‘Terima kasih... ternyata kau lebih baik dari yang kukira’
“Sepertinya ada yang sangat bahagia malam ini”
Caid tersentak dari pikirannya ketika Dylan menepuk pundaknya, menariknya kembali ke kenyataan. Senyuman jahil terukir di wajah Dylan, sementara sahabat-sahabat lainnya, Dayn, Lucius dan Enid duduk mengelilingi meja, tampak penasaran dengan apa yang baru saja terjadi.
“Apa?” Caid memasang ekspresi tenang dan nada datarnya
“Jangan berpura-pura, Caid. Kami semua melihat caramu keluar dari kamar itu dengan ekspresi yang... ya, kita semua tahu apa artinya,” kata Dayn, terkekeh pelan.
Caid mengerutkan kening, merasa sedikit terganggu dengan godaan teman-temannya. “Lalu?” jawabnya datar
“Ck, tidak menyenangkan sekali” Lucius berdecak sedangkan Enid tetap diam sambil menahan kesal
“bagaimana rasanya?” tanya Dylan
“Manis”
Lova terbangun kala merasakan perih di perutnya. Tubuhnya terasa lemas dan kepalanya terasa berat seolah-olah dunia berputar di sekitarnya.Dengan susah payah, dia duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan diri, tapi rasa mual yang semakin parah membuatnya terpaksa bergegas mencari kamar mandi.Di sana, Lova muntah dengan perasaan yang bercampur aduk antara ketidaknyamanan fisik dan emosi yang kacau. Ketika akhirnya rasa mual itu mereda, dia berdiri di depan wastafel, menatap cermin, mencoba memahami apa yang terjadi.“Kau bodoh Lova” Lova memaki dirinya sendiri yang terus minum hingga berharap bisa melupakan AleandroTatapannya kemudian beralih ke sekitar kamar mandi yang luas dan mewah, perlahan menyadari bahwa ini bukanlah tempat yang bisa dia kunjungiLova berjalan kembali ke kamar, memperhatikan dekorasi mewah dan detail-detail elegan yang membuat ruangan itu terasa seperti milik seorang konglomerat. Kemudian ingatannya mulai puli
Di sebuah mansion yang sangat mewah itu terdapat seorang wanita yang tengah asik menyesap wine-nya. Suara pintu yang terbuka membuat bibirnya yang dilapisi lipstick berwarna merah menyala itu tersenyum lebar.Dengan cepat wanita itu meletakkan gelas kacanya dimeja dan mendekati sosok pria rupawan yang baru memasuki kamar tempatnya berada“Aku sudah menunggumu” Ucap wanita itu sambil membuka bathrobe nya, menampakan tubuh yang tidak tertutupi apapun. Ia berjalan mendekati Caid dengan tatapan menggoda sambil memainkan tangannya pada tubuhnya sendiri, mengedipkan sebelah mata dan menggigit bibirnya, menggoda sosok pria tampan di depannya ini.“Bagaimana pestanya kemarin?” tanyanya yang tidak mendapatkan jawaban dari Caid, pria itu justru mengeluarkan kalimatnya yang membuatnya tertegun“Kau harus meninggalkan tempat ini sebelum malam, Jess” Seruan datar dan dingin itu membuat langkah wanita itu berhenti sebelum kembali mel
DOR!Suara tembakan menggelegar di kamar itu, menggema di antara dinding-dinding mewah. Jess terhuyung. Dia jatuh ke lantai, napasnya tersengal-sengal, matanya masih menatap Caid dengan tatapan tak percaya.Caid menurunkan pistolnya perlahan, seringai lebar terpatri dibibirnya “Lemah, sepertinya aku keliru memilihmu dulu”“M-maaf” Jess merintih, dia bersyukur Caid tidak benar-benar menembaknya melainkan menembak atap mansionnyaCaid mendekat, seringai lebar masih menghiasi wajahnya. "Kau bilang aku tidak akan dicintai?" ucapnya dengan nada mengejek, sambil menunduk mendekati Jess yang hampir lemas tak berdaya. "Banyak wanita yang menginginkanku, Jess. Mereka semua berebut untuk bisa berada di posisimu. Kau bukanlah yang pertama, dan tentu saja bukan yang terakhir.”Jess mencoba membuka mulutnya, seakan ingin mengucapkan sesuatu, tapi suaranya hanya keluar sebagai bisikan lemah."Namun, sayangnya bagi mereka…" lanjut Caid, suaranya kini lebih rendah dan mengintimidasi, "Aku hanya memili
"Masuklah, biar aku antar" suara berat seorang pria memecah keheningan pagi di depan gedung apartemen Lova. Gadis itu baru saja hendak melangkah ke kampus ketika ia melihat mobil mewah berhenti di depannya.Lova mengerjapkan matanya, sedikit terkejut dengan kemunculan pria yang baru bersamanya dua hari lalu ”Caid Walton?" gumam Lova setengah tidak percaya. Dia menatap pria itu yang keluar dari mobilnya dengan percaya diri, mengenakan setelan kemeja abu yang sangat rapi.“Ya, aku Caid. Dan aku sedang menawarkan tumpangan, jadi masuklah, nona Luvena” Caid mengulangi dengan nada yang tidak memberi ruang untuk penolakan.Lova masih ragu, tatapannya beralih antara Caid dan pintu mobil yang terbuka "Kenapa kau disini?" tanyanya akhirnya, mencoba mencari alasan di balik tawaran tak terduga itu.Caid tersenyum tipis, ekspresinya tenang tapi dengan mata yang memancarkan tekad "Aku punya urusan di kampusmu hari ini. Dan kebetulan aku melihatmu dis
"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Lova, nada suaranya mulai mengeras.Caid memarkirkan mobil dengan tenang, mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Lova dengan senyum tipis di wajahnya. "Kau bilang tidak ingin dilihat oleh orang lain, bukan? Ini tempat yang paling aman untukmu."Lova menatap sekeliling, lalu mengangguk “Terimakasih atas tumpangannya, selamat tinggal”Caid mengerutkan kening mendengar ucapan Lova "Selamat tinggal?" gumamnya dengan nada penuh kekesalan. Saat Lova meraih pintu mobil untuk keluar, Caid dengan cepat mengunci semua pintu menggunakan tombol di dasbor.Suara "klik" yang keras terdengar, membuat Lova terkejut dan mencoba membuka pintu, namun sia-sia. Pintu terkunci rapat, dan dia tidak bisa keluar.Lova menoleh ke arah Caid, matanya berbentuk almond bak mata rubah itu memincing menatap Caid “Apalagi sekarang?” tanya LovaCaid menatap Lova dengan tatapan dingin "Aku belum selesai berbicara de
‘Pulang denganku’Lova mendesah keras dan untuk kesekian kalinya, umpatan keluar dari mulutnya begitu membaca pesan yang Caid kirimkan. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, sementara pikirannya berkecamuk antara marah, kesal dan bingung.Kenapa pria itu selalu saja muncul di hidupku? batinnya, berusaha mencari alasan untuk tidak menuruti perintah itu. Namun, seperti biasa, bagian dari dirinya yang penasaran dengan maksud tersembunyi di balik setiap tindakan Caid membuatnya sulit untuk benar-benar menolaknya.Pesan kedua masuk, kali ini lebih singkat namun dengan tekanan yang terasa jelas.‘Jangan buat aku menunggu.’Lova menghela napas panjang. Di satu sisi, ia sangat ingin mengabaikan pesan itu, membiarkan Caid merasakan apa yang dirasakannya—keberadaan pria itu yang semakin hari semakin mengusik ketenangannya. Tapi di sisi lain, ia tahu betul bahwa mengabaikan Caid hanya akan membuat situasi semakin rumit.Akhirnya, setelah beberapa detik berpikir, Lova menanggapi pesan itu denga
Malam itu, Lova sedang berbaring di sofa di apartemennya, matanya menatap langit-langit sambil memikirkan Ia masih bisa mengingat ekspresi tenang dan tatapan penuh makna dari Caid.Lova terusik oleh keberadaan Caid, seolah semua sindiran mereka sebelumnya tak lebih dari permainan kecil.Teleponnya berdering, dan nama Cosette muncul di layar. Lagi-lagi. Lova mendesah pelan sebelum akhirnya mengangkat telepon itu.“Aku tahu kau tidak sedang sibuk, Angelic” suara Cosette terdengar tegas, tapi ada nada cemas yang tersembunyi di baliknya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kau tidak pernah absen selama ini, tapi sekarang tiba-tiba menghilang.”Lova tersenyum tipis, meskipun Cosette tak bisa melihatnya. “Tidak ada yang terjadi, Cos. Aku hanya butuh istirahat. Lagipula, aku masih punya cukup uang untuk bertahan beberapa waktu lagi.”Cosette terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada lebih lembut, “Kau tahu kau bisa bicara padaku, kan? Jika ada masalah…”“Tidak ada masalah, Cosette. Aku baik-baik s
“kukirimkan lokasinya”Caid menatap layar ponselnya yang kini gelap, senyum puas masih menghiasi wajahnya. Dia telah menempuh langkah-langkah panjang untuk bisa sedekat ini dengan Lova. Keputusannya untuk menetap di Boston selama sebulan, meninggalkan tugas utamanya, adalah sesuatu yang tidak biasa bagi pria seperti Caid. Namun, demi mendapatkan sang Angelic, dia rela melakukannya.Sambil besiul pelan, Caid berjalan menuju jendela suite penthouse, menatap pemandangan kota Boston yang berkilauan di bawah cahaya lampu.Di balik tatapan dinginnya, ada obsesi yang semakin menguat setiap hari. Lova adalah sosok yang berbeda dari wanita-wanita lain yang pernah dia kenal—dia adalah tantangan, sesuatu yang tidak mudah didapatkan, dan itu membuat Caid semakin tertarik.Sedangkan di dalam jet pribadi yang melesat menuju Columbia, Enid menatap Dylan yang sedang asyik memeriksa detail transaksi. "Kau yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa kehadiran