Lova perlahan membuka matanya, kebingungannya terlihat jelas di wajahnya. Cahaya lampu ruangan rumah sakit terasa terlalu terang untuk matanya yang baru saja terbuka. Dia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi merasakan genggaman kuat di tangannya.
"Love..." suara Caid terdengar lembut, namun penuh dengan nada emosional yang jarang ia tunjukkan. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa khawatir yang sulit disembunyikan. "Kau sadar."
Lova mencoba tersenyum tipis, meskipun wajahnya terlihat lelah. "Apa yang terjadi?" tanyanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.
"Kau pingsan" jawab Caid sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
Lova terdiam sejenak, mengingat kilasan terakhir yang ia lihat sebelum kehilangan kesadaran. Gambar tubuh Robertino yang tergeletak di lantai kembali menghantui pikirannya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri.
"Maaf" gumamnya pelan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi... semuanya terlalu berat."
C
Hari pernikahan yang sangat ditunggu oleh Caid akhirnya tiba dengan segala kemegahannya. Sebuah aula besar di pusat kota New York disulap menjadi tempat yang tampak seperti diambil dari mimpi: lampu kristal bergemerlapan, bunga-bunga eksotis menghiasi setiap sudut, dan lantunan musik klasik mengalun lembut di udara.Lova berdiri di ruangan rias, mengenakan gaun putih yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya yang cantik terlihat dingin, tapi ada sorot mata yang menunjukkan kegelisahan.Dia... .. ragu"Anda cantik sekali nona" ujar salah satu asisten riasnya.Lova hanya tersenyum tipis, lalu menatap bayangan dirinya di cermin. Dalam hati, ia masih bertanya-tanya apakah keputusan ini adalah langkah yang tepat. Tapi kemudian, bayangan Caid melintas di pikirannya, dan entah kenapa, hal itu memberinya sedikit keberanian.Di luar, Caid berdiri di ujung altar, mengenakan setelan hitam yang membuat auranya semakin mendominasi. Tatapannya terus tertu
Dor!Tembakan menggema di aula, menghentikan musik dan percakapan. Jeritan tamu terdengar bersahut-sahutan, menciptakan kepanikan yang langsung menyebar. Lova terhuyung, tangan kanannya bergerak memegang dadanya yang mulai berwarna merah."Lova!" teriak Caid, menangkap tubuhnya sebelum terjatuh. Dia memeluk istrinya erat-erat, ekspresinya campuran antara keterkejutan dan kemarahan.Calton segera bergerak, berlari ke arah mereka sementara Ophelia dengan sigap mencari perlindungan di balik meja, memandang situasi dengan tatapan penuh ketegangan.Para pengawal dengan badge Walton yang berada di sekitar aula langsung bereaksi. Salah satu dari mereka berhasil melumpuhkan pria bersenjata itu sebelum dia bisa melepaskan tembakan lagi."Lova, tetap bersamaku" bisik Caid panik, menekan luka di dada Lova untuk menghentikan pendarahan. Matanya menatap penuh rasa takut, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang pria seperti dia.Lova mencoba tersenyum,
New York Memorial HospitalCaid terus menggenggam tangan Lova, tidak peduli dengan noda darah di bajunya. Dokter dan perawat bergerak cepat, membawa Lova ke ruang operasi darurat."Dia kehilangan banyak darah" ujar salah satu dokter. "Kita harus segera melakukan tindakan."Caid mencoba mengikuti mereka, tetapi seorang perawat menghalangi jalannya. "Maaf, Tuan, Anda harus menunggu di luar.""Tidak! Aku tidak akan meninggalkannya!" sergah Caid, matanya dipenuhi kemarahan.Calton, yang baru tiba di rumah sakit bersama Ophelia, mendekati Caid dan meletakkan tangan di bahunya. "Biarkan mereka bekerja, Caid. Kau harus mempercayai mereka."Dengan enggan, Caid mundur, meskipun matanya tetap tertuju pada pintu ruang operasi. Dia merasa tidak berdaya, sesuatu yang jarang dia rasakan dalam hidupnya.“Harusnya aku langsung membunuh wanita jalang itu sejak dulu” Caid menggeram, menyalahkan dirinya sendiri. Dia menatap
Virginia, Markas CIAMeredith melangkah dengan tergesa-gesa ke kantor Louis Belucci, salah satu petinggi tertinggi di CIA yang selama ini menjadi sekutunya. Wajahnya memerah karena marah, dan napasnya tersengal. Dia hampir menerobos pintu tanpa mengetuk, tetapi dua pengawal Louis segera menghadangnya.“Louis, aku butuh bantuan!” serunya, suaranya hampir histeris.Pintu terbuka dengan perlahan, dan Louis duduk dengan sikap tenang di balik meja kayu besar, kedua tangannya terlipat di depan dada. Wajahnya tampak tidak terganggu, tetapi ada kilatan dingin di matanya yang memperingatkan.“Biarkan dia masuk” katanya singkat, mengisyaratkan pengawalnya untuk membiarkan Meredith masuk.Begitu pintu ditutup, Meredith langsung meledak. “Apa kau tahu apa yang sedang terjadi? Walton dan kelompoknya akan menyerang kita! Ini gila! Kita butuh pasukan tambahan, sistem pertahanan yang lebih kuat—apa kau mendengarku?”Louis memandang Meredith dengan tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang m
Dayn mengamati pergerakan dari kejauhan melalui teropong khusus miliknya “Mereka terlihat terlalu tenang. Apa menurutmu mereka tahu kita datang?”Caid, yang berdiri di sebelahnya, menyeringai dingin. “Biar saja mereka tenang. Mereka tidak tahu apa yang akan menghantam mereka setelah ini.”“Kau yakin akan meledakan gedung itu?” tanya Dylan tak yakin“Jika dia masih bersembunyi layaknya tikus, aku tak punya pilihan lain”“Banyak manusia tak bersalah disana” tambah Dylan menasehatiDayn menurunkan teropongnya, melirik pada saudara kembarnya lalu menatap Caid dengan ekspresi serius. “Dylan benar. Jika kau meledakkan gedung itu, kau tidak hanya akan menargetkan mereka yang bersalah. Ada banyak nyawa di sana. Apa kau benar-benar siap menanggung akibatnya?”Caid memandang Dylan dan Dayn dengan dingin, rahangnya mengeras. “Aku tidak meminta persetujuan kalian. Aku sudah memberikan mereka cukup banyak waktu untuk menyerah. Kalau mereka memilih bersembunyi di balik perisai manusia tak bersalah,
Caid membuka pintu ruang perawatan dengan langkah tegas, wajahnya dingin dan tak terbaca. Meskipun penampilannya agak berantakan, maklum dia begitu tergesa kembali ke New York karena takut dengan ancaman perceraian dari Lova. Dia tak ingin menduda disaat penikahan mereka bahkan belum 24 jam terjadi.Caid tak peduli pada pandangan aneh perawat dan dokter yang ia lewati di koridor rumah sakit. Yang ada di benaknya hanyalah wajah Lova yang marah dan dingin. Ancaman perceraian itu seperti pisau yang terus menusuk dadanya.Saat pintu ruangan Lova terbuka, mata abu itu tertuju pada Lova yang duduk di tempat tidur dengan posisi bersandar, wajahnya menunjukkan ekspresi lelah bercampur kesal. Gaun pengantinnya sudah berganti menjadi baju piyama pasien rumah sakit yang longgar“Kau terlambat 1 jam 34 menit, Caid Walton”“Love” panggil Caid pelan, agak takut sebenarnyaLova sudah menunggunya, wajahnya pucat tetapi sorot matanya tajam d
Ophelia tersenyum samar, menatap ke arah Caid dan Lova yang tampak begitu nyaman dalam pelukan di atas ranjang. Ada sesuatu yang hangat dan penuh perhatian antara keduanya, meskipun situasi itu terasa sedikit tidak biasa."Apa mereka selalu begitu?" tanya Ophelia dengan suara lembut, namun matanya tidak lepas dari pemandangan itu.Emily, yang berdiri di samping Ophelia, tampak sedikit canggung. Dia menelan saliva sebelum menjawab, "Sepertinya, tapi memang Mr Walton yang mengincar Lova sejak awal." Emily merasa sedikit takut akan salah bicara, takut jika pengakuannya akan membuat Ophelia berpikir berbeda tentang hubungan mereka.Ophelia memandang Emily sejenak dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah merenung. "Caid memang selalu seperti itu" jawabnya perlahan. "Tapi, Lova tampaknya bisa menghadapinya dengan baik."Emily mengangguk ragu, matanya kembali melirik ke arah Caid dan Lova. "Mereka... berbeda dari yang saya bayangkan sebelumnya" kata Emily pelan
Caid memutar bola mata jengah, matanya terasa perih karena melihat kemesraan ayah dan ibunya di ruang tempat Lova dirawat. Dari sudut pandangnya, terlihat jelas bagaimana Calton dan Ophelia berbicara dengan penuh perhatian, seolah dunia mereka berputar di sekitar satu sama lain. Sementara dia, entah kenapa, merasa sedikit canggung dengan pemandangan itu.Bayangkan saja, kedua orang tuanya bercerai sejak usia Caid 19 tahun, itu artinya sudah hampir 8 tahun yang lalu. Namun, hari ini mereka tampak seperti pasangan yang tak pernah terpisah.Calton dengan gaya khasnya yang tenang dan berwibawa, duduk disofa sambil menggenggam tangan Ophelia seakan mereka masih menjadi pasangan muda yang saling jatuh cinta.Sementara itu, Ophelia menatap Calton dengan senyuman lembut, tatapan yang penuh kasih dan kehangatan, sesuatu yang jarang Caid lihat di wajah ibunya sejak mereka bercerai.“Jadi rujuk?” Caid akhirnya membuka suara, nada suaranya datar namun mengandung rasa ingin tahu yang tulus.Calton
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t
“Kau tak sehat, Puppy?” tanya Dylan, matanya memeriksa dengan cermat wajah Lumia yang tampak sedikit lebih pucat dari biasanya. Mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan menuju sekolah, dan meskipun Lumia mencoba terlihat baik-baik saja, Dylan tahu ada sesuatu yang mengganggunya.Lumia tersenyum tipis, berusaha menutupi kecemasan di dalam dirinya. “Aku baik-baik saja, Dylan,” jawabnya dengan suara lembut, meski nada itu terdengar sedikit terpaksa.Dylan meliriknya dari kursi pengemudi, matanya tetap fokus ke jalan, tetapi ekspresinya tetap tajam. “Kau yakin? Kau... lebih diam dari biasanya.”Lumia menoleh ke luar jendela, mencoba menghindari tatapan Dylan. "Aku cuma sedikit capek, itu saja" jawabnya pelanBahkan setelah sampai disekolahpun Lumia langsung keluar dari mobil Dylan, tak ada basa basi seperti kecupan ringan yang biasanya mereka lakukan dan Dylan hanya bisa memaklumi keadaan LumiaDylan menatap pun
“Selama papa tak ada, kau aman saja kan?” Petrus bertanya, suaranya penuh kekhawatiran, meskipun ia berusaha terdengar tenang. Lumia mengangguk, meskipun ada keraguan yang tersembunyi dalam dirinya.“Aku baik-baik saja, Pa. Dylan menjagaku dengan baik” Lumia menjawab dengan nada antusias yang tak dia sadari. Dia bahkan tersenyum ringan, seolah kata-kata itu menenangkan dirinya. Namun, di dalam hati, ia tahu bahwa ada lebih dari sekadar penjagaan yang Dylan berikan. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang mungkin Petrus tidak akan pernah mengerti.“Ada apa dengan senyummu itu?” Petrus bertanya pada putrinya dengan nada menggoda“Tidak ada apa-apa” jawab Lumia cepat, berusaha menutupi senyumannya yang tanpa sadar muncul. Ia memotong rotinya dengan pelan, menghindari tatapan ayahnya. Namun, Petrus Lorenzo bukanlah tipe orang yang mudah tertipu, apalagi oleh putrinya sendiri.“Kau pikir Papa tidak mengenalmu?” Petrus mengangkat alis, meletakkan cangkir kopinya di atas meja. “Biasa