Suara dering ponsel memecah konsentrasi Niel yang tengah menyusun laporan keuangan di ruang kerjanya yang berada di lantai atas kelab malam miliknya. Perhatiannya yang tertuju pada layar laptop segera beralih pada ponselnya. Selembar nota yang dipegang di tangan kirinya langsung diletakkan di atas tumpukan nota yang lain ketika mengetahui siapa yang menelepon. Niel segera menggeser tombol hijau sembari mengulas senyum. Tangannya yang lain juga bergerak memindahkan pemberat kertas ke atas tumpukan nota.“Akhirnya aku bisa menghubungimu, Ko! Dari pagi sampai sekarang kalau nggak ikut rapat, ya, bikin laporan yang batas waktunya buat hari ini juga. Hah!” seru Fanny dari seberang telepon.“Memangnya ada apa? Heboh banget kamu.” Senyum Niel berubah menjadi tawa. Punggungnya disandarkan ke belakang.Fanny terkekeh. “Nggak ada apa-apa sih, Ko, cuma mau kasih info aja. Minggu kemarin Ko Niel minta n
Niel memasuki sebuah kafe yang cukup lengang, hanya ada beberapa gelintir orang saja dalam ruangan yang cukup luas itu. Maklum saja, ini sudah lewat waktu sarapan, tetapi juga masih terlalu dini untuk orang-orang bersantap siang. Memandang sekilas berkeliling, lelaki jangkung itu langsung bisa menangkap sosok perempuan yang telah mengundangnya untuk datang kemari. Dengan langkah cepat, Niel menghampiri meja di salah satu sudut ruangan yang ditempati oleh wanita tersebut. Meja yang dipilih wanita itu jauh dari pengunjung yang lain dan berada di sisi terjauh dari pintu masuk, membuat Niel memiliki waktu untuk mengamati sosok tersebut. Postur tubuhnya tampak santai dengan punggung bersandar pada sandaran kursi. Niel bisa melihat puncak kepala berambut burgundi yang tengah menunduk itu. Ujung rambut panjangnya yang diekor kuda menjuntai di depan bahu kiri. Sebuah buku terbuka di hadapannya yang disandarkan pada tepi meja. Tangan kirinya menyangga bagian bawah buku, sedangkan tangan kanan
Niel tersenyum kecil melihat respons Debby sebelum kembali memusatkan perhatian pada ponselnya. Selang beberapa saat kemudian, suara gemerincing halus kembali memasuki gendang telinganya. Lelaki yang tengah menyeruput cairan hitam dari cangkir putih itu segera menoleh mengikuti sumber suara yang baru saja melewati sisi kirinya. Debby kini sudah duduk kembali di hadapannya. Namun, wajah wanita itu tampak datar. Tidak ada sama sekali jejak tawa bahkan senyum yang beberapa saat yang lalu menghiasi wajah bulat telurnya. “Hmm, ke mana perginya senyum dan tawa tadi?” batin Niel sambil menelisik wajah bulat telur di hadapannya. “Maaf, sudah membuat Ko Niel menunggu.” “Oh, enggak apa-apa. Ehm … apa kamu tahu, Deb, kalau kamu semakin terlihat cantik dan manis saat tersenyum atau tertawa?” “Apa?” “Oh, aku enggak punya maksud apa-apa, cuma menyampaikan apa yang aku lihat aja kok. Kamu semakin cantik kalau tersenyum,” puji Niel lagi, “dan bukan berarti sekarang enggak cantik, ya.” Niel lagi-
Debby baru saja selesai memeriksa ulang berkas-berkas yang dibutuhkan untuk presentasi di depan klien siang ini. Berkas-berkas dalam bentuk cetak sudah disimpan di dalam map snelhecter plastik, sedangkan berkas-berkas soft copy tersimpan aman di dalam laptopnya. Sebelumnya, Debby sudah berkoordinasi dengan sekretaris Anggoro kalau hari ini ia akan presentasi sehingga meminta disiapkan peralatan pendukung. Sejauh ini, Debby cukup puas dengan hasil rancangan sementara yang ia buat untuk sang klien. Ia pun berharap apa yang sudah ia siapkan bisa memuaskan mereka sehingga ia bisa segera merealisasikan rancangannya. Selama ini, klien-kliennya selalu puas dengan rancangan awal yang ia buat. Kalaupun ada revisi, hanya sebagian kecil dan bukan sesuatu yang harus dirombak secara besar-besaran. Setelah dirasa cukup, Debby pun membereskan laptop dan map berisi salinan materi presentasi ke dalam tas laptop multifungsi andalannya. I
Debby yang kembali ditinggalkan di dalam ruangan berpendingin itu lalu menuang air mineral dari botol ke dalam gelas dan meminumnya seteguk. Wanita yang mengikat rambut panjangnya menjadi ekor kuda itu lantas meraih berkas-berkas salinan dan bangkit berdiri. “Hmm, untung aku menyiapkan lebih,” gumam Debby. Tanpa tergesa-gesa, Debby meletakkan satu demi satu keempat berkas salinan yang ia bawa di samping tiap-tiap gelas dan botol air mineral. Debby tidak merasa terganggu dengan kemunculan tiba-tiba sang CEO yang belum ia ketahui seperti apa sosoknya itu. Ia sudah terbiasa menghadapi berbagai macam klien sehingga ia sudah tidak canggung atau gugup lagi ketika harus bertemu dengan orang baru. Ia pun menanti beberapa menit lagi sebelum akhirnya pintu ruangan kembali terbuka. Astri masuk terlebih dahulu dan berdiri di samping pintu yang terbuka lebar. Di belakangnya, menyusul masuk seorang pria dengan setelan jas warna biru dongker. Kedua alis Debby yang melengkung indah sedikit mengerny
William setengah menyimak, setengah melamun. Tanpa disadari, angannya memunculkan kembali adegan-adegan pertemuan tak terduga mereka sebelumnya. Jika tidak mengalaminya sendiri, ia tidak akan percaya kalau wanita yang tengah berbicara di hadapannya saat ini adalah orang yang sama dengan wanita yang pada beberapa kali kesempatan sebelumnya pernah bersinggungan dengan dirinya.Pembawaan wanita berambut ekor kuda di hadapannya saat ini sangat berbeda 180 derajat dengan kesan yang selama ini terpatri dalam ingatannya. Tidak ada kesan dingin dan tak terjangkau yang terpancar dari gesturnya saat ini. Padahal, pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, biarpun dalam rentang waktu yang sangat singkat, aura dingin dan tak terjangkau jelas terasa oleh William.Saat ini, Debby terkesan jauh lebih ramah daripada kesan yang sudah ia tangkap selama ini, bahkan sesekali wanita itu melontarkan candaan ringan di sela-sela presentasinya. Suasana menjadi lebih cair karenanya. Beberapa kali, alis William sampai
Mendengar namanya dipanggil, Debby segera menoleh ke belakang dan mendapati Astri menyusul di belakangnya. Tangan kirinya menggenggam ponsel yang masih menempel di telinga. Tak berapa lama kemudian, Debby mendengar Astri menanggapi lawan bicaranya sambil mengangguk. Detik berikutnya, ponsel sudah menjauh dari telinga Astri yang dihiasi anting kecil. “Ada apa, Mbak Astri?” tanya Debby yang berdiri menanti sang sekretaris dengan sabar. “Maaf, Mbak Debby, sekretaris Pak William ingin bertemu dengan Mbak Debby. Mohon menunggu sebentar di dalam. Beliau sedang dalam perjalanan kemari.” “Oh?” sahut Debby dengan nada sedikit terkejut. “Maaf, ada keperluan apa, ya?” “Maaf, saya kurang tahu. Saya hanya diminta Pak Leon untuk menyampaikan pada Mbak Debby supaya menunggu sebentar karena ada sesuatu hal yang ingin disampaikan.” Meskipun dengan sedikit kebingungan, Debby tetap menjawab, “Oh, begitu? Baiklah.” “Silakan, Mbak.” Debby akhirnya kembali melangkah memasuki ruang pertemuan yang baru
Suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Debby yang tengah menatap layar laptop di dalam ruang kerjanya. Ia menoleh ke arah ponselnya yang diletakkan pada dudukan ponsel di meja lain. Alisnya sedikit berkerut. “Hmm. Nomor nggak dikenal,” gumam Debby yang tak serta-merta meraih ponselnya. Dipalingkannya kembali tatapan matanya ke arah laptop sembari menghitung dalam hati. Kedua tangannya kembali bergerak-gerak. Satu tangan menggerakkan tetikus, sedangkan yang lain bergerak di atas kibor. Ketika ponselnya masih berbunyi hingga dering keempat, barulah Debby menggerakkan kursi berodanya untuk meraih benda pipih tersebut. Sembari menggeser tombol hijau pada layar ponsel, tangan yang lain menarik lepas kacamata anti radiasi yang bertengger manis di atas hidungnya. “Halo,” sahut Debby dengan ramah. Meskipun ia merasa terganggu dengan panggilan dari nomor tak dikenal, ia tak bisa mengabaikannya begitu saja. Siapa yang tahu kalau itu telepon dari calon klien? “Hai. Ini aku, William,” ucap
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd
“Wah, ada angin apa Koko ke sini? Sendirian aja, Ko? Mana Fanny?” Debby tampak mencari-cari ke arah pintu pagar yang masih terbuka.Untuk sesaat, hati William kembali merasa terusik gara-gara sambutan hangat yang diberikan kekasihnya pada tamu tak diundang itu, apalagi melihat senyum manis yang menyertainya. William harus berjuang keras untuk meredam perasaan cemburu yang lagi-lagi menyeruak ke permukaan.“Astaga, Will! Kamu kenapa sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sensitif gini? Ayo, kendalikan dirimu!” tegur William dalam hati.“Fanny enggak ikut,” sahut Niel. “Koko baru mau ke tempat Fanny nanti, setelah dari sini.”“Oh.”“Tamunya disuruh masuk dulu, Baby,” ucap William setelah berhasil mengendalikan perasaannya. Satu tangan