Debby mengembuskan napas pendek dan menyingkirkan ponselnya ke samping tanpa membalas pesan dari William. Debby justru mengalihkan perhatiannya pada makanan yang ada di hadapannya. Dengan cepat, Debby melahap sepiring gado-gado hingga tandas. Jam makan siangnya sudah lama lewat. Ia sudah kelaparan sejak tadi, tetapi klien terbarunya menahannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa diabaikan oleh Debby begitu saja. Selesai mengisi perut, perhatian Debby kembali tertuju pada benda pipih yang ada di sisi kirinya. Benda itu seolah-olah memanggil Debby untuk kembali diperhatikan. Wanita berambut burgundi itu mengerang dalam hati. Dengan enggan, ia meraih ponsel dengan soft case warna merah itu. Sambil mendesah, Debby mengusap layar untuk membuka ponsel. Setelah berdiam diri sejenak, akhirnya jari jemari dengan kuku yang terpotong rapi itu bergerak untuk mengetik pesan balasan. Kedua alis hitamnya yang berkerut menaungi sepasang mata sipit yang terpaku pada layar ponsel. “Selamat s
“Aku tahu Koko bohong! Jangan dikira aku bodoh, ya, Ko! Kalau Koko nggak mau kasih tahu yang sebenarnya … nggak apa-apa, aku masih bisa tanya sama Debby,” gerutu Fanny sembari menggerakkan roda kemudi.“Dan kamu juga, Deb! Awas aja kalau kenyataannya kayak yang aku pikir … ” cerocos Fanny sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.Setelah puas mengomel panjang pendek, Fanny mengikis jarak dari apartemen Niel ke rumah Debby dalam keheningan. Saat ini, ia tidak punya selera untuk mendengarkan musik seperti biasanya jika sedang berkendara. Sebisa mungkin ia memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi setiap kali ada kesempatan. Ia ingin cepat sampai di rumah Debby.Begitu wanita berambut sebahu itu menghentikan kendaraannya di depan rumah Debby, ia langsung meloncat turun dan bergegas menekan bel pintu. Ia enggan menghubungi ponsel Debby, takut jika dirinya tak mampu menahan kata-kata. Deng
Debby membaca pesan William sekali lagi dalam hati. “Selamat malam, Debby. Maaf, kalau selama ini pesan-pesanku ternyata membuatmu terganggu. Tapi bukan itu maksudku. Aku cuma pengin mengenal kamu lebih dekat lagi di luar pekerjaan. Gak masalah buatku kalau Debby gak mau membalas pesan-pesanku atau belum bersedia membuka diri untuk mengenalku. Aku akan sabar menunggu sampai Debby bersedia membuka hati buatku.“Tapi selagi menunggumu, izinkan aku untuk bisa terus berbagi hari-hariku denganmu. Aku cuma berharap melalui pesan-pesanku ini kamu bisa menilai diriku, yah, meskipun mungkin hanya sebagian kecil dan pada akhirnya Debby mau membuka hati buatku. Kalau Debby bersedia membalas pesan-pesanku, apalagi membagikan juga hari-harimu denganku, aku akan lebih menghargai dan lebih senang lagi.” Pesan itu pun diakhiri dengan emotikon tersenyum.Debby kembali menggeram kesal. “Dasar konyol! Kamu sendiri yang bilang, ya,
Fanny mengernyit mendengar pernyataan lelaki asing itu yang kini duduk di bangku sebelah. Fanny mendengkus. “Hah! Nggak usah mengarang deh!”“Eh, benar! Kita pernah ketemu kok,” bantah lelaki asing itu. “Yah … paling nggak, sekali sih. Bukankah kamu teman Debby?”Fanny menjengit kaget mendengar nama mantan sahabatnya disebut oleh lelaki asing itu. ‘Siapa sih orang ini? Apa iya kami pernah ketemu?’ Otak Fanny yang sedang tumpul menolak untuk menggali ingatan. ‘Ah, bodoh amatlah!’“Ah, siapa namamu waktu itu, ya?”Fanny mendengkus lagi dan tertawa sinis. “Hah! Nggak usah sok kenal kalau gitu! Sekarang tinggalkan aku sendiri!”“Mana bisa gitu! Nggak baik seorang perempuan sendirian di tempat kayak gini. Biar kutemani kalau kamu masih mau di sini. Atau mau kuantar pulang?” tawar lel
Suasana hatinya masih belum membaik. Sejak meninggalkan rumah Debby kemarin, Fanny belum menghubungi satu pun dari dua orang yang sudah membuat suasana hatinya kacau. Padahal, serentetan pesan atau panggilan masuk dari Niel sudah menanti untuk direspons.Jangankan menjawab panggilan atau menelepon balik lelaki itu, membaca pesannya saja Fanny sudah enggan, setidaknya untuk saat ini. Berkebalikan dengan Niel, Debby justru tidak ada kabar apa-apa sama sekali. Fanny pun tak ambil pusing dengan kenyataan tersebut.Beruntung sekarang hari libur, ia sedang tidak ingin melakukan sesuatu yang membutuhkan konsentrasi penuh. Pagi tadi, ia sudah meluapkan sebagian kekecewaan yang masih bercokol di hatinya dengan menguras tenaga hingga bermandikan keringat di ruang olahraga. Namun, perasaan kecewa, nelangsa, dan hampa masih menggelayut di hatinya.Demikian pula ketika siang harinya ia menghabiskan waktu dengan melakukan hobinya yang
“Apa kamu keberatan kalau kita pindah lokasi?” tawar Leon. “Kalau kita mengobrol di sini, mungkin besok kita akan sakit tenggorokan. Aku tahu tempat nongkrong yang bagus dan cocok untuk menghabiskan malam tanpa terganggu dengan suara berisik ini. Gimana?”Fanny tertawa mendengar tawaran balik dari pria di hadapannya. “Kamu ini kemaruk apa aji mumpung, ha?”Leon tergelak. “Kalau bisa dua-duanya, kenapa nggak?” Namun, setelah tawanya mereda, Leon menambahkan, “Jangan khawatir! Kali ini, biar aku yang mentraktirmu. Kamu bisa menyampaikan rasa terima kasihmu itu lain kali.”“Oh, jangan! Aku nggak suka berutang. Nggak masalah buatku kalau kamu mau kutraktir di mana. Oke, kalau gitu tunjukkan tempatmu itu. Aku akan mengekor di belakangmu.”Fanny yang hendak beranjak dari duduknya tertahan oleh cekalan Leon. “Aku memaksa. Biar mal
Isi pesan-pesannya yang lain masih senada seperti biasanya, hanya saja sekarang bertambah dengan kata-kata penyemangat. Satu-dua kali, lelaki itu juga pernah bertanya tentang kegemaran Debby atau kegiatan yang dilakukan Debby ketika senggang. Namun, mungkin karena Debby tidak pernah menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, lelaki itu tidak pernah bertanya lagi sekarang. Terkadang, lelaki itu juga menyisipkan komentar tentang suatu topik yang tengah viral, entah itu berita atau video kocak.“Hah! Apa Bapak nggak terlalu tinggi menaruh harapan? Kenapa nggak berhenti aja sih, Pak, kayak yang lain-lain itu, lo! Aku kan jadi nggak pusing!” Debby membuang napas panjang. “Aku nggak mau menyakiti siapa pun. Jadi, menyerah ajalah, Pak!” tuntut Debby pada ponselnya.Sejak Debby mengajukan keberatan pada akhir minggu lalu hingga hari ini, mereka belum bertemu kembali. Bukan berarti Debby mengharapkan untuk dapat bertemu dengan lelaki itu. Namun, konsekuensi dari kontrak pekerjaan D
“Ssst! Tolong kecilkan suaramu!” desis Debby. Suara dengkusan yang keluar dari hidung Fanny menjadi jawaban spontan dari permintaan Debby. Dada wanita itu kembang kempis. Mata sipitnya pun semakin lenyap karena sekarang ia memicingkan keduanya. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus yang kaku. Debby mengulang sekali lagi permintaannya untuk bicara di dalam apartemen. Sekali ini, Fanny merespons permintaan Debby meskipun dengan raut wajah kaku. Wanita bertubuh kurus itu pun melangkah mendekati pintu apartemen. “Kalau nggak kuturuti, kamu tetap akan maksa, ‘kan?” tanya Fanny dengan ketus. Biarpun terlihat tidak senang, jari telunjuk Fanny tetap bergerak memasukkan kode akses. “Benar.” Debby mengekor sahabatnya. Keduanya lalu beriringan masuk ke apartemen. Namun, Fanny rupanya benar-benar tidak berniat untuk mengundang Debby masuk ke apartemen karena ia tak bersedia
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam