“Apa kamu keberatan kalau kita pindah lokasi?” tawar Leon. “Kalau kita mengobrol di sini, mungkin besok kita akan sakit tenggorokan. Aku tahu tempat nongkrong yang bagus dan cocok untuk menghabiskan malam tanpa terganggu dengan suara berisik ini. Gimana?”
Fanny tertawa mendengar tawaran balik dari pria di hadapannya. “Kamu ini kemaruk apa aji mumpung, ha?”
Leon tergelak. “Kalau bisa dua-duanya, kenapa nggak?” Namun, setelah tawanya mereda, Leon menambahkan, “Jangan khawatir! Kali ini, biar aku yang mentraktirmu. Kamu bisa menyampaikan rasa terima kasihmu itu lain kali.”
“Oh, jangan! Aku nggak suka berutang. Nggak masalah buatku kalau kamu mau kutraktir di mana. Oke, kalau gitu tunjukkan tempatmu itu. Aku akan mengekor di belakangmu.”
Fanny yang hendak beranjak dari duduknya tertahan oleh cekalan Leon. “Aku memaksa. Biar mal
Isi pesan-pesannya yang lain masih senada seperti biasanya, hanya saja sekarang bertambah dengan kata-kata penyemangat. Satu-dua kali, lelaki itu juga pernah bertanya tentang kegemaran Debby atau kegiatan yang dilakukan Debby ketika senggang. Namun, mungkin karena Debby tidak pernah menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, lelaki itu tidak pernah bertanya lagi sekarang. Terkadang, lelaki itu juga menyisipkan komentar tentang suatu topik yang tengah viral, entah itu berita atau video kocak.“Hah! Apa Bapak nggak terlalu tinggi menaruh harapan? Kenapa nggak berhenti aja sih, Pak, kayak yang lain-lain itu, lo! Aku kan jadi nggak pusing!” Debby membuang napas panjang. “Aku nggak mau menyakiti siapa pun. Jadi, menyerah ajalah, Pak!” tuntut Debby pada ponselnya.Sejak Debby mengajukan keberatan pada akhir minggu lalu hingga hari ini, mereka belum bertemu kembali. Bukan berarti Debby mengharapkan untuk dapat bertemu dengan lelaki itu. Namun, konsekuensi dari kontrak pekerjaan D
“Ssst! Tolong kecilkan suaramu!” desis Debby. Suara dengkusan yang keluar dari hidung Fanny menjadi jawaban spontan dari permintaan Debby. Dada wanita itu kembang kempis. Mata sipitnya pun semakin lenyap karena sekarang ia memicingkan keduanya. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus yang kaku. Debby mengulang sekali lagi permintaannya untuk bicara di dalam apartemen. Sekali ini, Fanny merespons permintaan Debby meskipun dengan raut wajah kaku. Wanita bertubuh kurus itu pun melangkah mendekati pintu apartemen. “Kalau nggak kuturuti, kamu tetap akan maksa, ‘kan?” tanya Fanny dengan ketus. Biarpun terlihat tidak senang, jari telunjuk Fanny tetap bergerak memasukkan kode akses. “Benar.” Debby mengekor sahabatnya. Keduanya lalu beriringan masuk ke apartemen. Namun, Fanny rupanya benar-benar tidak berniat untuk mengundang Debby masuk ke apartemen karena ia tak bersedia
Pelukan yang menentramkan dari sang sahabat sudah terlepas sejak tadi. Tangis Fanny pun sudah mereda, hanya menyisakan isak kecil. Kedua tangan Debby kini tengah mengusap-usap lengan atasnya. Fanny merasa lega bisa mengeluarkan semua sesak di hatinya. Ia beruntung memiliki seorang sahabat yang pantang menyerah dalam menghadapi dirinya yang suka berubah-ubah suasana hatinya. Fanny jadi merasa bodoh ketika kemarin sempat berpikir untuk melepas Debby sebagai sahabat. “Sudah merasa lebih baik?” Suara Debby yang lembut memasuki gendang telinga Fanny dan membuyarkan angannya. Fanny menganggukkan kepala sekali sebagai jawaban. Satu tangannya masih sibuk menutulkan tisu yang tadi disodorkan oleh Debby—yang sekarang wujudnya sudah berubah menjadi gumpalan kecil—pada hidungnya. Sejak dirinya mulai menangis hingga sekarang, ia terus menundukkan kepala. Ia merasa tidak sanggup untuk menatap sahabatnya. Ia merasa bersalah pernah menjadikan wanita yang kini masih berlutut di hadapannya itu sebag
Gestur Debby yang jelas-jelas mengarahkan perhatian sepenuhnya pada Fanny sudah membuat panik sang sahabat. “Ada apa? Kenapa kamu melihatku kayak gitu? Apa ada remah-remah di mulutku?” tanya Fanny setelah menoleh sekilas padanya. Punggung tangannya yang bebas ikut bergerak mengusap ujung-ujung bibirnya.Debby menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Tenang aja. Nggak ada kok.”“Lantas? Jangan bikin takut deh!” tuntut Fanny. Kepalanya kembali menoleh sekilas.Setelah menatap Fanny beberapa detik lebih lama, Debby akhirnya buka suara. “Boleh aku tanya sesuatu?”Tawa Fanny langsung tersembur. “Ck! Apaan sih? Tanya, ya, tinggal tanya aja. Kenapa harus minta izin?”“Karena yang mau kutanyakan ini masalah pribadi. Jujur aja, aku penasaran.”Fanny akhirnya memalingkan kepala dan menaruh perhat
“Hah! Kenapa Fanny enggak menjawab satu pun panggilanku? Ada apa sebenarnya sama dia? Sudah seminggu ini enggak ada kabar sama sekali. Apa terjadi sesuatu sama dia? Apa dia baik-baik aja? Aduh! Kamu ini kenapa sih, Fan?” Niel bersungut-sungut pada ponselnya. Lelaki berpostur 175 sentimeter itu berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Tangannya yang bertato diletakkan di pinggang sementara tangan yang lain kembali mendekatkan benda pipih persegi panjang itu ke telinganya.Nada sambung memasuki gendang telinganya, tetapi hingga panggilan terputus dengan sendirinya, suara wanita itu belum juga terdengar. Niel akhirnya duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mulai bergerak di atas layar ponsel untuk mengetikkan sederet pesan.Kepalanya menggeleng-geleng pelan melihat pesan-pesan sebelumnya selama seminggu terakhir ini yang belum juga dibaca satu pun oleh wanita itu. Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Sejurus kemudian, ia melemparkan
Seminggu sudah berlalu, tetapi Niel masih belum mendapatkan kabar tentang Fanny. Ia sudah mencoba bertanya pada saudara lelakinya meskipun tidak secara gamblang. Begitu pula ketika Niel mengunjungi orang tua Fanny beberapa hari yang lalu. Secara sambil lalu, ia bertanya tentang keberadaan wanita itu. Ia tidak ingin memancing kecurigaan orang-orang terdekat Fanny. Namun, hasilnya nihil semua.Niel juga sudah beberapa kali menyambangi apartemen Fanny, tetapi hasilnya sama saja. Nihil! Sebenarnya pria berpostur sedang itu memiliki kode akses untuk masuk ke apartemen Fanny, tetapi ia masih berusaha untuk menghormati privasi wanita itu. Ia tidak mau menyalahgunakan kepercayaan yang sudah diberikan oleh Fanny. Kode akses tersebut biasanya memang hanya ia gunakan di saat-saat genting, seperti saat ia mengantar pulang wanita itu ketika mabuk.Namun, pada kesempatan terakhir Niel datang ke sana kemarin malam, ia memutuskan untuk mencoba memasuki apar
Niel meringis mendengar pertanyaan blak-blakan yang dilontarkan wanita berambut panjang di depannya itu. “Yah, bisa dibilang gitu.” Namun, detik berikutnya Niel mengangkat bahu. “Entahlah. Aku sendiri lagi cari tahu karena akhir-akhir ini Fanny sulit dihubungi. Mungkin lagi sibuk sama kerjaannya juga. Jadi, waktu tadi aku lihat kamu di sini … yah, kupikir siapa tahu kamu tahu kabar Fanny.” “Hmm,” gumam Debby. Wanita itu terdiam sejenak, tampak tengah menimbang-nimbang sesuatu. Sebuah harapan muncul di hati Niel. Melihat gelagat Debby, sepertinya tak lama lagi ia bisa mengetahui kabar Fanny bahkan mungkin keberadaan wanita itu selama menghilang dari radarnya. Ia sudah tak sabar ingin segera mendengar jawaban Debby, tetapi masih berusaha untuk menahan diri. “Saya nggak bisa bilang apa Fanny baik-baik aja atau nggak karena cuma dia yang tahu. Bisa aja ‘kan dia tersenyum di luar, tapi di dalam hati siapa yang tahu?” Niel mengernyitkan kening, bingung dengan jawaban Debby yang penuh tek
Niel buru-buru mengitari meja bartender. Mulutnya menggerutu karena langkahnya terhalang meja panjang sehingga tidak bisa langsung mengejar Fanny. Ia mengumpat kesal ketika kehilangan sosok Fanny. Mata sipitnya nyalang mencari-cari di antara kerumunan pengunjung kelab malam hingga pintu keluar. Ia masih memanggil-manggil dan mencari sosok Fanny ketika suara dering telepon memasuki indra pendengarannya. Niel mengabaikan panggilan tersebut. Namun, suara itu tak kunjung berhenti setelah sekian lama, bahkan suara dering telepon itu mengalahkan teriakannya. Setibanya di luar kelab malam, barulah Niel melihat sosok Fanny lagi. Ia memanggil sekencang-kencangnya. Namun, Fanny hanya melambaikan tangan sembari berjalan mundur. Seulas senyum kembali terbit di wajah wanita itu. “Fanny!” teriak Niel sekali lagi dengan napas tersengal-sengal. Matanya nyalang dan tubuhnya bermandikan peluh. Niel memandang berkeliling dan menyadari jika ia tengah berada di dalam ruang kerjanya. “Oh, sial!” erang N
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd
“Wah, ada angin apa Koko ke sini? Sendirian aja, Ko? Mana Fanny?” Debby tampak mencari-cari ke arah pintu pagar yang masih terbuka.Untuk sesaat, hati William kembali merasa terusik gara-gara sambutan hangat yang diberikan kekasihnya pada tamu tak diundang itu, apalagi melihat senyum manis yang menyertainya. William harus berjuang keras untuk meredam perasaan cemburu yang lagi-lagi menyeruak ke permukaan.“Astaga, Will! Kamu kenapa sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sensitif gini? Ayo, kendalikan dirimu!” tegur William dalam hati.“Fanny enggak ikut,” sahut Niel. “Koko baru mau ke tempat Fanny nanti, setelah dari sini.”“Oh.”“Tamunya disuruh masuk dulu, Baby,” ucap William setelah berhasil mengendalikan perasaannya. Satu tangan