Debby membaca pesan William sekali lagi dalam hati. “Selamat malam, Debby. Maaf, kalau selama ini pesan-pesanku ternyata membuatmu terganggu. Tapi bukan itu maksudku. Aku cuma pengin mengenal kamu lebih dekat lagi di luar pekerjaan. Gak masalah buatku kalau Debby gak mau membalas pesan-pesanku atau belum bersedia membuka diri untuk mengenalku. Aku akan sabar menunggu sampai Debby bersedia membuka hati buatku.
“Tapi selagi menunggumu, izinkan aku untuk bisa terus berbagi hari-hariku denganmu. Aku cuma berharap melalui pesan-pesanku ini kamu bisa menilai diriku, yah, meskipun mungkin hanya sebagian kecil dan pada akhirnya Debby mau membuka hati buatku. Kalau Debby bersedia membalas pesan-pesanku, apalagi membagikan juga hari-harimu denganku, aku akan lebih menghargai dan lebih senang lagi.” Pesan itu pun diakhiri dengan emotikon tersenyum.
Debby kembali menggeram kesal. “Dasar konyol! Kamu sendiri yang bilang, ya,
Fanny mengernyit mendengar pernyataan lelaki asing itu yang kini duduk di bangku sebelah. Fanny mendengkus. “Hah! Nggak usah mengarang deh!”“Eh, benar! Kita pernah ketemu kok,” bantah lelaki asing itu. “Yah … paling nggak, sekali sih. Bukankah kamu teman Debby?”Fanny menjengit kaget mendengar nama mantan sahabatnya disebut oleh lelaki asing itu. ‘Siapa sih orang ini? Apa iya kami pernah ketemu?’ Otak Fanny yang sedang tumpul menolak untuk menggali ingatan. ‘Ah, bodoh amatlah!’“Ah, siapa namamu waktu itu, ya?”Fanny mendengkus lagi dan tertawa sinis. “Hah! Nggak usah sok kenal kalau gitu! Sekarang tinggalkan aku sendiri!”“Mana bisa gitu! Nggak baik seorang perempuan sendirian di tempat kayak gini. Biar kutemani kalau kamu masih mau di sini. Atau mau kuantar pulang?” tawar lel
Suasana hatinya masih belum membaik. Sejak meninggalkan rumah Debby kemarin, Fanny belum menghubungi satu pun dari dua orang yang sudah membuat suasana hatinya kacau. Padahal, serentetan pesan atau panggilan masuk dari Niel sudah menanti untuk direspons.Jangankan menjawab panggilan atau menelepon balik lelaki itu, membaca pesannya saja Fanny sudah enggan, setidaknya untuk saat ini. Berkebalikan dengan Niel, Debby justru tidak ada kabar apa-apa sama sekali. Fanny pun tak ambil pusing dengan kenyataan tersebut.Beruntung sekarang hari libur, ia sedang tidak ingin melakukan sesuatu yang membutuhkan konsentrasi penuh. Pagi tadi, ia sudah meluapkan sebagian kekecewaan yang masih bercokol di hatinya dengan menguras tenaga hingga bermandikan keringat di ruang olahraga. Namun, perasaan kecewa, nelangsa, dan hampa masih menggelayut di hatinya.Demikian pula ketika siang harinya ia menghabiskan waktu dengan melakukan hobinya yang
“Apa kamu keberatan kalau kita pindah lokasi?” tawar Leon. “Kalau kita mengobrol di sini, mungkin besok kita akan sakit tenggorokan. Aku tahu tempat nongkrong yang bagus dan cocok untuk menghabiskan malam tanpa terganggu dengan suara berisik ini. Gimana?”Fanny tertawa mendengar tawaran balik dari pria di hadapannya. “Kamu ini kemaruk apa aji mumpung, ha?”Leon tergelak. “Kalau bisa dua-duanya, kenapa nggak?” Namun, setelah tawanya mereda, Leon menambahkan, “Jangan khawatir! Kali ini, biar aku yang mentraktirmu. Kamu bisa menyampaikan rasa terima kasihmu itu lain kali.”“Oh, jangan! Aku nggak suka berutang. Nggak masalah buatku kalau kamu mau kutraktir di mana. Oke, kalau gitu tunjukkan tempatmu itu. Aku akan mengekor di belakangmu.”Fanny yang hendak beranjak dari duduknya tertahan oleh cekalan Leon. “Aku memaksa. Biar mal
Isi pesan-pesannya yang lain masih senada seperti biasanya, hanya saja sekarang bertambah dengan kata-kata penyemangat. Satu-dua kali, lelaki itu juga pernah bertanya tentang kegemaran Debby atau kegiatan yang dilakukan Debby ketika senggang. Namun, mungkin karena Debby tidak pernah menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, lelaki itu tidak pernah bertanya lagi sekarang. Terkadang, lelaki itu juga menyisipkan komentar tentang suatu topik yang tengah viral, entah itu berita atau video kocak.“Hah! Apa Bapak nggak terlalu tinggi menaruh harapan? Kenapa nggak berhenti aja sih, Pak, kayak yang lain-lain itu, lo! Aku kan jadi nggak pusing!” Debby membuang napas panjang. “Aku nggak mau menyakiti siapa pun. Jadi, menyerah ajalah, Pak!” tuntut Debby pada ponselnya.Sejak Debby mengajukan keberatan pada akhir minggu lalu hingga hari ini, mereka belum bertemu kembali. Bukan berarti Debby mengharapkan untuk dapat bertemu dengan lelaki itu. Namun, konsekuensi dari kontrak pekerjaan D
“Ssst! Tolong kecilkan suaramu!” desis Debby. Suara dengkusan yang keluar dari hidung Fanny menjadi jawaban spontan dari permintaan Debby. Dada wanita itu kembang kempis. Mata sipitnya pun semakin lenyap karena sekarang ia memicingkan keduanya. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus yang kaku. Debby mengulang sekali lagi permintaannya untuk bicara di dalam apartemen. Sekali ini, Fanny merespons permintaan Debby meskipun dengan raut wajah kaku. Wanita bertubuh kurus itu pun melangkah mendekati pintu apartemen. “Kalau nggak kuturuti, kamu tetap akan maksa, ‘kan?” tanya Fanny dengan ketus. Biarpun terlihat tidak senang, jari telunjuk Fanny tetap bergerak memasukkan kode akses. “Benar.” Debby mengekor sahabatnya. Keduanya lalu beriringan masuk ke apartemen. Namun, Fanny rupanya benar-benar tidak berniat untuk mengundang Debby masuk ke apartemen karena ia tak bersedia
Pelukan yang menentramkan dari sang sahabat sudah terlepas sejak tadi. Tangis Fanny pun sudah mereda, hanya menyisakan isak kecil. Kedua tangan Debby kini tengah mengusap-usap lengan atasnya. Fanny merasa lega bisa mengeluarkan semua sesak di hatinya. Ia beruntung memiliki seorang sahabat yang pantang menyerah dalam menghadapi dirinya yang suka berubah-ubah suasana hatinya. Fanny jadi merasa bodoh ketika kemarin sempat berpikir untuk melepas Debby sebagai sahabat. “Sudah merasa lebih baik?” Suara Debby yang lembut memasuki gendang telinga Fanny dan membuyarkan angannya. Fanny menganggukkan kepala sekali sebagai jawaban. Satu tangannya masih sibuk menutulkan tisu yang tadi disodorkan oleh Debby—yang sekarang wujudnya sudah berubah menjadi gumpalan kecil—pada hidungnya. Sejak dirinya mulai menangis hingga sekarang, ia terus menundukkan kepala. Ia merasa tidak sanggup untuk menatap sahabatnya. Ia merasa bersalah pernah menjadikan wanita yang kini masih berlutut di hadapannya itu sebag
Gestur Debby yang jelas-jelas mengarahkan perhatian sepenuhnya pada Fanny sudah membuat panik sang sahabat. “Ada apa? Kenapa kamu melihatku kayak gitu? Apa ada remah-remah di mulutku?” tanya Fanny setelah menoleh sekilas padanya. Punggung tangannya yang bebas ikut bergerak mengusap ujung-ujung bibirnya.Debby menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Tenang aja. Nggak ada kok.”“Lantas? Jangan bikin takut deh!” tuntut Fanny. Kepalanya kembali menoleh sekilas.Setelah menatap Fanny beberapa detik lebih lama, Debby akhirnya buka suara. “Boleh aku tanya sesuatu?”Tawa Fanny langsung tersembur. “Ck! Apaan sih? Tanya, ya, tinggal tanya aja. Kenapa harus minta izin?”“Karena yang mau kutanyakan ini masalah pribadi. Jujur aja, aku penasaran.”Fanny akhirnya memalingkan kepala dan menaruh perhat
“Hah! Kenapa Fanny enggak menjawab satu pun panggilanku? Ada apa sebenarnya sama dia? Sudah seminggu ini enggak ada kabar sama sekali. Apa terjadi sesuatu sama dia? Apa dia baik-baik aja? Aduh! Kamu ini kenapa sih, Fan?” Niel bersungut-sungut pada ponselnya. Lelaki berpostur 175 sentimeter itu berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Tangannya yang bertato diletakkan di pinggang sementara tangan yang lain kembali mendekatkan benda pipih persegi panjang itu ke telinganya.Nada sambung memasuki gendang telinganya, tetapi hingga panggilan terputus dengan sendirinya, suara wanita itu belum juga terdengar. Niel akhirnya duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mulai bergerak di atas layar ponsel untuk mengetikkan sederet pesan.Kepalanya menggeleng-geleng pelan melihat pesan-pesan sebelumnya selama seminggu terakhir ini yang belum juga dibaca satu pun oleh wanita itu. Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Sejurus kemudian, ia melemparkan
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirn
“Eh, Papi!” seru William dan Debby berbarengan.Keduanya sama-sama terkejut. William langsung menghentikan gerakan tangannya yang tengah menjepit dan memainkan bibir bawah kekasihnya. Tangan itu pun sontak menjauh dari bibir menggemaskan putri semata wayang Gunawan.“Maaf, Pi,” ucap William sambil sedikit menundukkan kepala sekaligus merutuki kelancangan tangannya dalam hati.“Hmm,” timpal Gunawan dengan suara sekaligus ekspresi datar. Lelaki paruh baya itu pun mendekat dan duduk di sofa.William melirik kekasihnya saat wanita itu menggeser duduknya sedikit menjauh. Wajahnya sudah seperti kepiting rebus saja. William kembali menyesali tangannya yang tak bisa diam hingga membuat wanita itu harus menanggung malu di hadapan orang tuanya sendiri.“Sori,” bisik William tatkala Gunawan tak memperh
William sangat terkejut mendengar penuturan Debby. Ia sama sekali tak mengira jika kekasihnya memiliki ketakutan sampai seperti itu. William mengulurkan tangan hendak menenangkan sang kekasih yang kembali berderai air mata. Ia terenyuh melihat wanita itu bahkan bernapas dengan tersengal-sengal.Namun, belum sempat merengkuh sang kekasih, William kembali dikejutkan dengan suara jeritan histeris yang terdengar tiba-tiba. William dan Debby yang masih menangis sontak menoleh berbarengan ke sumber suara.“Jangan lagi, ya, Tuhan! Jangan lagi!” desis seseorang yang baru saja tiba hingga berkali-kali.Dalam sekejap, suara tangis di sisi William pun lenyap, berganti dengan kesiap tajam. Lelaki itu pun tak kalah terperanjat saat menatap kedua sosok yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Satu orang memapah yang lainnya yang tampak tak baik-baik saja. Buru-buru William ban
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs