William setengah menyimak, setengah melamun. Tanpa disadari, angannya memunculkan kembali adegan-adegan pertemuan tak terduga mereka sebelumnya. Jika tidak mengalaminya sendiri, ia tidak akan percaya kalau wanita yang tengah berbicara di hadapannya saat ini adalah orang yang sama dengan wanita yang pada beberapa kali kesempatan sebelumnya pernah bersinggungan dengan dirinya.Pembawaan wanita berambut ekor kuda di hadapannya saat ini sangat berbeda 180 derajat dengan kesan yang selama ini terpatri dalam ingatannya. Tidak ada kesan dingin dan tak terjangkau yang terpancar dari gesturnya saat ini. Padahal, pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, biarpun dalam rentang waktu yang sangat singkat, aura dingin dan tak terjangkau jelas terasa oleh William.Saat ini, Debby terkesan jauh lebih ramah daripada kesan yang sudah ia tangkap selama ini, bahkan sesekali wanita itu melontarkan candaan ringan di sela-sela presentasinya. Suasana menjadi lebih cair karenanya. Beberapa kali, alis William sampai
Mendengar namanya dipanggil, Debby segera menoleh ke belakang dan mendapati Astri menyusul di belakangnya. Tangan kirinya menggenggam ponsel yang masih menempel di telinga. Tak berapa lama kemudian, Debby mendengar Astri menanggapi lawan bicaranya sambil mengangguk. Detik berikutnya, ponsel sudah menjauh dari telinga Astri yang dihiasi anting kecil. “Ada apa, Mbak Astri?” tanya Debby yang berdiri menanti sang sekretaris dengan sabar. “Maaf, Mbak Debby, sekretaris Pak William ingin bertemu dengan Mbak Debby. Mohon menunggu sebentar di dalam. Beliau sedang dalam perjalanan kemari.” “Oh?” sahut Debby dengan nada sedikit terkejut. “Maaf, ada keperluan apa, ya?” “Maaf, saya kurang tahu. Saya hanya diminta Pak Leon untuk menyampaikan pada Mbak Debby supaya menunggu sebentar karena ada sesuatu hal yang ingin disampaikan.” Meskipun dengan sedikit kebingungan, Debby tetap menjawab, “Oh, begitu? Baiklah.” “Silakan, Mbak.” Debby akhirnya kembali melangkah memasuki ruang pertemuan yang baru
Suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Debby yang tengah menatap layar laptop di dalam ruang kerjanya. Ia menoleh ke arah ponselnya yang diletakkan pada dudukan ponsel di meja lain. Alisnya sedikit berkerut. “Hmm. Nomor nggak dikenal,” gumam Debby yang tak serta-merta meraih ponselnya. Dipalingkannya kembali tatapan matanya ke arah laptop sembari menghitung dalam hati. Kedua tangannya kembali bergerak-gerak. Satu tangan menggerakkan tetikus, sedangkan yang lain bergerak di atas kibor. Ketika ponselnya masih berbunyi hingga dering keempat, barulah Debby menggerakkan kursi berodanya untuk meraih benda pipih tersebut. Sembari menggeser tombol hijau pada layar ponsel, tangan yang lain menarik lepas kacamata anti radiasi yang bertengger manis di atas hidungnya. “Halo,” sahut Debby dengan ramah. Meskipun ia merasa terganggu dengan panggilan dari nomor tak dikenal, ia tak bisa mengabaikannya begitu saja. Siapa yang tahu kalau itu telepon dari calon klien? “Hai. Ini aku, William,” ucap
Debby mengembuskan napas pendek dan menyingkirkan ponselnya ke samping tanpa membalas pesan dari William. Debby justru mengalihkan perhatiannya pada makanan yang ada di hadapannya. Dengan cepat, Debby melahap sepiring gado-gado hingga tandas. Jam makan siangnya sudah lama lewat. Ia sudah kelaparan sejak tadi, tetapi klien terbarunya menahannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa diabaikan oleh Debby begitu saja. Selesai mengisi perut, perhatian Debby kembali tertuju pada benda pipih yang ada di sisi kirinya. Benda itu seolah-olah memanggil Debby untuk kembali diperhatikan. Wanita berambut burgundi itu mengerang dalam hati. Dengan enggan, ia meraih ponsel dengan soft case warna merah itu. Sambil mendesah, Debby mengusap layar untuk membuka ponsel. Setelah berdiam diri sejenak, akhirnya jari jemari dengan kuku yang terpotong rapi itu bergerak untuk mengetik pesan balasan. Kedua alis hitamnya yang berkerut menaungi sepasang mata sipit yang terpaku pada layar ponsel. “Selamat s
“Aku tahu Koko bohong! Jangan dikira aku bodoh, ya, Ko! Kalau Koko nggak mau kasih tahu yang sebenarnya … nggak apa-apa, aku masih bisa tanya sama Debby,” gerutu Fanny sembari menggerakkan roda kemudi.“Dan kamu juga, Deb! Awas aja kalau kenyataannya kayak yang aku pikir … ” cerocos Fanny sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.Setelah puas mengomel panjang pendek, Fanny mengikis jarak dari apartemen Niel ke rumah Debby dalam keheningan. Saat ini, ia tidak punya selera untuk mendengarkan musik seperti biasanya jika sedang berkendara. Sebisa mungkin ia memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi setiap kali ada kesempatan. Ia ingin cepat sampai di rumah Debby.Begitu wanita berambut sebahu itu menghentikan kendaraannya di depan rumah Debby, ia langsung meloncat turun dan bergegas menekan bel pintu. Ia enggan menghubungi ponsel Debby, takut jika dirinya tak mampu menahan kata-kata. Deng
Debby membaca pesan William sekali lagi dalam hati. “Selamat malam, Debby. Maaf, kalau selama ini pesan-pesanku ternyata membuatmu terganggu. Tapi bukan itu maksudku. Aku cuma pengin mengenal kamu lebih dekat lagi di luar pekerjaan. Gak masalah buatku kalau Debby gak mau membalas pesan-pesanku atau belum bersedia membuka diri untuk mengenalku. Aku akan sabar menunggu sampai Debby bersedia membuka hati buatku.“Tapi selagi menunggumu, izinkan aku untuk bisa terus berbagi hari-hariku denganmu. Aku cuma berharap melalui pesan-pesanku ini kamu bisa menilai diriku, yah, meskipun mungkin hanya sebagian kecil dan pada akhirnya Debby mau membuka hati buatku. Kalau Debby bersedia membalas pesan-pesanku, apalagi membagikan juga hari-harimu denganku, aku akan lebih menghargai dan lebih senang lagi.” Pesan itu pun diakhiri dengan emotikon tersenyum.Debby kembali menggeram kesal. “Dasar konyol! Kamu sendiri yang bilang, ya,
Fanny mengernyit mendengar pernyataan lelaki asing itu yang kini duduk di bangku sebelah. Fanny mendengkus. “Hah! Nggak usah mengarang deh!”“Eh, benar! Kita pernah ketemu kok,” bantah lelaki asing itu. “Yah … paling nggak, sekali sih. Bukankah kamu teman Debby?”Fanny menjengit kaget mendengar nama mantan sahabatnya disebut oleh lelaki asing itu. ‘Siapa sih orang ini? Apa iya kami pernah ketemu?’ Otak Fanny yang sedang tumpul menolak untuk menggali ingatan. ‘Ah, bodoh amatlah!’“Ah, siapa namamu waktu itu, ya?”Fanny mendengkus lagi dan tertawa sinis. “Hah! Nggak usah sok kenal kalau gitu! Sekarang tinggalkan aku sendiri!”“Mana bisa gitu! Nggak baik seorang perempuan sendirian di tempat kayak gini. Biar kutemani kalau kamu masih mau di sini. Atau mau kuantar pulang?” tawar lel
Suasana hatinya masih belum membaik. Sejak meninggalkan rumah Debby kemarin, Fanny belum menghubungi satu pun dari dua orang yang sudah membuat suasana hatinya kacau. Padahal, serentetan pesan atau panggilan masuk dari Niel sudah menanti untuk direspons.Jangankan menjawab panggilan atau menelepon balik lelaki itu, membaca pesannya saja Fanny sudah enggan, setidaknya untuk saat ini. Berkebalikan dengan Niel, Debby justru tidak ada kabar apa-apa sama sekali. Fanny pun tak ambil pusing dengan kenyataan tersebut.Beruntung sekarang hari libur, ia sedang tidak ingin melakukan sesuatu yang membutuhkan konsentrasi penuh. Pagi tadi, ia sudah meluapkan sebagian kekecewaan yang masih bercokol di hatinya dengan menguras tenaga hingga bermandikan keringat di ruang olahraga. Namun, perasaan kecewa, nelangsa, dan hampa masih menggelayut di hatinya.Demikian pula ketika siang harinya ia menghabiskan waktu dengan melakukan hobinya yang
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam