Aster gelagapan. Dia menarik udara dengan rakus. Dirinya tengah terombang - ambing naik turun dalam gulungan ombak. Tepukan air menerpa muka. Kasar menciptakan gores tak disangka. Asinnya air menyengatkan perih. Kedua tangannya tak sanggup digerakkan. Terkulai lemas di sisi badan. Begitu pula kaki - kakinya yang menyerah mengayun. Hingga sesuatu mencengkeram kakinya. Seakan sebuah tangan di sana menariknya makin ke dalam. Jauh tenggelam kepada gelapnya laut. Dia tak mampu melawah. Terus kebawah sampai segala air menekannya. Bukan lagi udara yang dia hirup. Air menyelinap masuk ke paru - paru. Aster terguncang. Kedinginan hingga membeku. Tak mampu bernafas. Tak mampu melihat apa pun di sekitar. ** "Kamu awasi Aster lebih ketat." "Jalan satu - satunya ya David harus segera ditemukan, Pa. Kurasa Brian sudah tahu David menghilang. Atau malah memang benar dia dalang di balik semua hal ini." "Anak itu hanya mengejar surat wasiat. Surat wasiat yang Aster temukan dan surat y
Aster melamun di depan jendela kamar. Dia melihat halaman samping tengah dipangkas rumputnya. Padahal hari mulai terik. Matahari bersinar gagah tanpa adanya awan menghalangi. Sudah lewat jam baik untuk berjemur. Panas berubah menyengat merambat lemah melalui kaca jendela. Tok! Tok! "Ya," sahut Aster. Pintu terbuka. "Mbak, turunlah makan. Apa mau aku ambilkan bawa kemari?" tanya Tomy. Aster memang belum mau makan sejak tadi pagi sudah diajak Safira. Sampai Safira dan Rendra berangkat kerja pun dia belum mau turun ke ruang makan. Mereka tidak memaksa Aster. "Aku ke bawah saja," hela Aster. Dia pun mengikuti Tomy menuju ruang makan. Anti menyajikan nasi dan lauk untuk Aster. Tomy sendiri menemani sambil mengemil buah. Dia mengamati Aster yang tidak begitu bersemangat menyendok. "Apa yang terjadi pada Brian?" Aster berhenti sejenak. Tomy menelan sepotong apel. "Wajib lapor. Belum banyak bukti yang bisa menahannya." "Dia berada di rumahnya?" "Iya. Tapi jangan takut. D
Hanya satu jam Aster tinggal di kantor. Dia menyelesaikan pekerjaan yang Dini serahkan. Tanpa berbincang lagi dengan Fadil atau pun staff yang lain. Bahkan dengan Dini juga hanya tentang pekerjaan. Ketika Aster berpamitan pulang, Fadil memicingkan mata pada Tomy yang membayangi Aster. Saudara kembar Fuad itu tidak menutupi kalau tengah tidak senang. Entah apa yang membuatnya terlihat marah. "Siapa tadi? Pemilik saham?" heran Tomy sambil menyalakan mesin mobil. Aster membenahi seatbelt. Dia menoleh heran. "Fadil? Dia yang ke rumah bersama Dini waktu dijemput Jimmy." "Iya, aku masih ingat, Mbak. Makanya, dia itu siapa? Kenapa bertingkah seakan pemilik saham terbesar? Atau memang benar begitu?" Gelengan kepala Aster membuat alis Tomy bertaut. "Dia saudara kembar Fuad. Fuad itu yang punya saham. Maksudku, temanku si Fuad. Aku mengenal Fadil karena saudara kembarnya. Dia membantu desain untuk sementara waktu. Fadil sebenarnya komikus." "Ribet." "Eh, iya. Begitulah." "Aku
Sebuket bunga teronggok di tepi meja. Basah oleh kopi yang gelasnya jatuh. Tetes - tetes kopi turut membasahi lantai. "Mbak, tolong minggir dulu. Biar kami bersihkan," kata seorang waitress. Dia yang duduk terpaku melihat gelas menggelinding, jadi kikuk sendiri. Dia pun meraih jaket dan tas di kursi sebelahnya. Beranjak pergi tanpa mengatakan apa pun. "Mbak, ada yang ketinggalan," seru waitress. Langkahnya terhenti. Apa lagi yang masih tertinggal. Bukankah semua sudah usai. "Mbak Aster, tablet sama bunganya ketinggalan," ulang waitress. Waitress coffee shop itu sudah mengenalnya cukup jauh. Akibat sering makan siang dan bekerja sambil minum kopi di sana. Nama pun telah dihafal. Sesering tertulis di gelas kopi. "Oh, i-ya, Mbak. Makasih ya," ujarnya. Kembali mengambil tablet. Bunga dia tinggalkan. "Bunganya, Mbak? Masih bagus lho." "Buang saja, Mbak. Atau kalau Mbak mau, buat Mbak saja." Dia pun bergegas pergi. Tidak ada lagi yang tertinggal di sana. Dia sudah membawa
"Maaf, ya, Din. Nanti aku hubungi lewat telepon," kata Aster pada karyawan di kantornya. Dini memincingkan mata. "Mbak Aster mau kabur kemana?" tuduhnya. "Mama nyuruh pulang. Udah, nggak usah cemas. Semua kan sudah diatur," balas Aster. Dini mengerutkan hidung. Dia menggeleng gelengkan kepala. "Mencurigakan. Pasti mau dijodohkan." "Ih, jangan aneh aneh dong, Din. Udah, ah. Sana kamu kerja. Aku berangkat sekarang," timpal Aster. Aster pun meninggalkan kantor yang menyewa salah satu lantai sebuah gedung. Dia turun melalui lift, menuju basement. Tempat mobil lawas pemberian papanya diparkir. Mobil yang banyak digunakan untuk keperluan kantor. Urusan pribadi jarang dia pakai. Kecuali berkaitan dengan keluarga. Seperti pulang ke rumah orang tua. Perjalanan yang ditempuh selama tiga jam ditemani lantunan lagu pop mellow. Malah membuat suasana hati Aster makin nelangsa. Dia membiarkan air mata mengalir. Dengan tujuan begitu sampai di rumah dia akan kehabisan tangis. Jangan sam
Papa berdiri berkacak pinggang. Aster pun buru - buru bangkit. Dia menyalami papa dan mama bergantian. "Pulang juga akhirnya. Makan lah. Selesai itu kita bicara," kata Huda. "Iya, Pa. Papa sudah makan siang?" ujar Aster. "Sudah. Ma, tolong kopi. Papa duduk di teras samping," lanjut Huda kemudian melangkah pergi. Laura menghampiri putrinya. "Selesaiin dulu makannya. Habis itu kamu nurut saja sama papa kamu. Nggak usah protes. Papa kamu itu tahu mana yang baik dan yang buruk. Dia nggak mungkin pilih hal buruk buat putrinya." "Iya, Ma," jawab Aster patuh. Laura bergeser ke dapur. Dia mulai sibuk membuat secangkir kopi kesukaan suaminya. Sementara Aster menyelesaikan makan mie. Dan Panji pamit kembali ke warung. "Nggak usah nyariin cowok yang sudah mutusin kamu. Putus ya berakhir. Untuk apa kejar - kejar lagi. Jaga martabat kamu sebagai wanita," Laura mulai menasehati. Aster menelan ludah. Dia mengangkat piring kotor ke washbak. "Aster tahu, Ma. Aster nggak akan cari - cari
Baru juga selesai mandi. Bersantai di kamar sambil mengeringkan rambut. Laura memanggil Aster keluar kamar. Aster pun buru - buru berganti baju pantas dan menyisir rambut. Wajahnya dirias tipis - tipis. Kemudian keluar dengan penasaran. Pasalnya dia mendengar ada suara asing. Tidak bisa menebak siapa yang datang malam - malam begini ke rumah orang tuanya. Mungkin tetangga yang juga penasaran Aster pulang ke rumah. Dia berdiri kaget melihat seorang pria paruh baya duduk di ruang tamu bersama Huda. Mereka berbincang santai. Begitu akrab. "Aster, sini. Ada om Bisma, teman papa yang punya pabrik kain," kata Huda. "Selamat malam, om Bisma. Saya Aster," ucap Aster seraya menyalami Bisma. Bisma menyambut tangan Aster dan membalas salamannya. Dia kembali berbincang dengan Huda. Tentang pekerjaan yang tidak dimengerti Aster. Aster hendak beralih ke ruang keluarga. Namun Huda mencegahnya. Putrinya disuruh ke depan. Ada yang perlu dibantu. "Ada apa, Pa?" tanya Aster keheranan. "
Lepas subuh Aster hampir tidur lagi. Udara sejuk membuat matanya berat untuk terbuka. Belum lagi selimut dan bantal seakan melambai - lambai memanggil. Suara ketukan di pintu kamar berbunyi tiap lima menit. Persis alarm ponsel yang lupa dimatikan. Aster pun bergegas memakai baju training dan topi bisbol. Keluar kamar untuk menghentikan ketukan pintu. "Bawa dua botol minum," suruh Huda. Aster pun menuju dapur. Mamanya menyerahkan dua botol kosong. Dia isi dari air galon isi ulang di dispenser. Dengan tas serut, Aster membawa kedua botol dan handuk kecil. Serta ponselnya. "Jangan pakai headset. Papa tidak mau dicuekin," pesan Huda berjalan menuju luar rumah. Di halaman, keduanya melakukan pemanasan. Huda memimpin gerak pemanasan seperti pada senam. Singkat dan serius. "Kita ke arah lapangan kampung saja. Di sana sudah ada track lari. Lebih aman. Ada fasilitas olah raga umum lain juga. Lebih mirip alun - alun kota lho sekarang," kata Huda. Daerah rumah papa Aster memang suda