Aster duduk bersandar ke jok. Ketakutan menghinggapi. Dia takut tadi benar mobil Brian. Takut Brian mencari dirinya. Untuk apa pria itu datang malam - malam ke rumah. Apa dia hendak berbuat onar lagi? Aster bergidik ngeri. Untung saja dia telah pergi dari sana. Sehingga mereka tidak akan bertemu. Aster pun bisa bernafas lega. "Mbak, benar rumah yang ini?" tanya sopir taksi. Aster terkejut. Dia pun melihat keluar jendela. Mereka telah sampai di perumahan tempat rumah baru yang David berikan untuknya. "Yang pojok sana, Pak. Maju sedikit," beritahu Aster. Mobil pun bergerak maju. Berhenti tepat di depan gerbang rumah baru. Dia pun membayar lalu turun dari mobil segera. Kunci dia keluarkan dari tas kecil yang dibawa. Kunci baru setelah Aster meminta pada Jimmy agar mengganti seluruh kunci mulai dari pagar sampai pintu - pintu rumah. Dia tidak mau Brian bisa masuk lagi ke rumah
"Hah!!" Aster terbangun. Nafasnya terengah - engah. Dia meraup muka. Basah oleh keringat. Mimpinya begitu nyata. Dia memang memimpikan pertemuannya dengan David pada awal kerja sama dengan AntarKata. Momen yang sempat terlewat begitu saja dalam memori Aster. Dia bergeser ke tengah tempat tidur. Bersandar ke headboard, seraya mengecek jam di nakas. Pukul 2 dini hari. Belum lama dia jatuh tertidur. Dia pun merasa pening. Kedua tangan terangkat memijit sisi kepala. Dia merasa tidak nyaman. Bukan hanya mukanya yang basah, punggung dan dada turut banjir keringat. Dia pun menuju walk in closet, menyalakan lampu. Seketika ruangan tersebut dibanjiri cahaya. Hampir Aster memekik kaget, namun urung. Dia hanya melihat pantulan cahaya dari kaca. Segera Aster mengambil baju ganti. Dia menemukan kaos dan celana training. Kemudian dipakainya setelah mengeringkan keringat. Dia beralih ke kamar mandi, mencuci muka dan menyisir rambut. Di cermin terliha
"Lepas!" desis kencang suara berat yang begitu dingin. Aster dan Brian terlonjak. Serentak mereka mengalihkan pandang ke bawah tangga. Pada seseorang yang datang dari kegelapan. "David!" seru Brian dan Aster bersamaan. David pun menaiki anak tangga seperti orang kesetanan. Dia menarik tangan Aster dari cengkeraman Brian. Serta mendorong Brian menjauh. "Pergi, Brian!" raung David. Brian menyeringai. Dia menegakkan badannya, sama tinggi dengan David. "Bagaimana bisa kamu kembali, hah?" David mendekap kuat Aster. Tatap mata tajamnya menusuk ke Brian yang mulai gelisah. "Pergi. Atau kupatahkan tanganmu," ancam David dingin. "Kamu tidak akan berani," sahut Brian. "Satu...." "Demi wanita sialan ini, Dav?" "Dua...." Brian mendengus kasar. "Kita akan memperhitungkan ini segera, Dav! Kau juga jangan merasa aman, Aster," Brian balas mengancam. Dia lalu berbalik menuruni tangga. Blam! Pintu dibanting. Aster mengembus
Aster menatap pria yang tidur terlelap di tempat tidur. Dia berdiri tak jauh dari ranjang, menelengkan kepala. Seakan kepalanya begitu berat untuk disangga leher. Pria itu sudah tidur sejak subuh. Hari sudah mencapai tengah. Dia tak berniat sedikit pun untuk membangunkan si pria. Hanya duduk atau berdiri memperhatikan tiap naik turun dada pria itu. Masih bernafas dan hidup. Ponsel di saku bajunya bergetar. Takut mengganggu tidurnya, Aster bergegas keluar kamar. Sambil merogoh keluar benda pipih canggih. "Mama, ada apa?" jawab Aster pada Safira yang menelepon. "Bagaimana dengan David? Dia masih tidur?" cemasnya. "Iya, Ma. Nanti begitu bangun, akan kubujuk untuk ke rumah sakit. Jimmy sudah siap di luar," jawab Aster. "Benar dia masih belum bertemu kami?" Aster menarik nafas berat. "Belum, Ma. Mas David melarangku memberitahu mama dan papa. Dia juga tidak mau bertemu Tomy. Maafkan
"Kenapa mereka datang, As?" gerutu David. Tangan Aster dipegang erat. Dia pun dilepas oleh Safira. "Mereka ingin bertemu denganmu, Mas. Semua orang merindukanmu," jawab Aster. David menggeleng. Dia tidak mau memandang kedua orang tua dan adiknya. "Minta mereka keluar, As," suruh David. Aster mencoba membujuk David, tapi pria itu bersikukuh agar keluarganya pergi. Aster pun mengikuti mereka berjalan keluar. Di depan ruang rawat mereka berdiri melingkar. "Papa sama mama istirahat di rumah saja. Nanti Aster bujuk mas David lagi," ujar Aster. Safira merangkul Aster. "Kami di luar sampai David tidur, As. Biar Tomy juga menginap di luar. Jangan sendirian mengurus David." "Dia pasti marah pada kita, Ma. Entah karena apa," hela Rendra. "Tapi kita tidak bisa membiarkan saja, Pa. Banyak hal harus dibereskan. Kalau David malah marah begini, kita akan kesulitan," balas Safira.
Pada pagi berikutnya, Aster sudah di ruangan dokter. Dokter yang menangani David, tengah menerangkan kondisi pria tersebut. Tidak ada cidera serius, namun memang ada kecurigaan mal nutrisi dan trauma psikis. David bisa pulang. Meski disarankan untuk menjalani pemeriksaan lanjutan terkait kecurigaan tersebut. Aster tak mampu memutuskan. Dia memilih membawa David pulang. Soal mal nutrisi, mereka bisa mengembalikan asupan gizi. Tidak akan sulit kan. Kecuali jika kondisi kejiwaan David turut mempengaruhi nafsu makan. Itu akan menjadi masalah. Saat bicara dengan dokter, Aster tidak membawa serta David. Karena itu kemudian Aster memberitahu Safira dan Rendra begitu keluar ruangan. Termasuk membicarakan akan membawa pulang ke mana. "Kalau mas David tidak mau ke rumah besar bagaimana, Ma?" cemas Aster. "Rumah David sudah disiapkan. Bawa saja ke sana. Rumah baru kalian kan belum diperbaiki. Apa lagi Brian bisa ke sana," ujar Safira memberi solusi. "Baiklah, Ma. Kalau begitu nanti ka
Tangan Aster ditahan Arin agar tidak sampai terjatuh. Dia pun dibantu untuk duduk. Arin makin sedih memandangnya. "Non Aster duduk saja. Biar saya yang masak," ujar Arin cemas. Aster pun menurut duduk. Dia memandang kosong ke arah lantai. Pikirannya makin kusut. Entah mengapa makin kuat dugaan bahwa dia itu yang disekap. Dia ditahan dalam keluarga Antasena. Dikendali sedemikian rupa. "Non, mau minum sesuatu? Biar enakan? Non Aster kayak pucat banget gitu. Apa capek?" tanya Arin disela kegiatan memasaknya. Aster yang tenggelam dalam pikiran hanya memutar bola mata. Tak kuat pun menggerakkan leher. Dia juga tak mengucap apa pun. Namun Arin lebih sigap. Dia menaruh secangkir teh manis. Dia membujuk agar Aster meminumnya segera. Juga turut menghidangkan sepotong kue lapis. Aroma manis dan hangat menggelitik indera Aster. Dia pun tergerak untuk menghirup teh. Perlahan merasakan hangatnya cairan itu memasuki tubuh. Perutnya pun berbunyi. Gerakan alami ketika memang dia sudah
David menghempas Aster ke tempat tidur. Dia sendiri berdiri berkacak pinggang di sisi tempat tidur. Dadanya naik turun bergemuruh. "Jangan beri ijin mereka masuk," tegas David. Aster bangkit perlahan. "Mas, mereka orang tuamu. Aku tidak punya hak untuk melarang mereka masuk ke rumah putranya," sanggah Aster. Dia mengusap tangannya yang sakit dicengkeram David terlampau kencang. Tak anyal menjadi merah pun. Dia menunduk menyembunyikan wajah kesakitan. "Aku memberimu ijin, Aster. Ini rumahmu juga," seru David. "Kita belum resmi menikah, Mas," ucap Aster kencang tanpa sadar. Dia pun membekap mulutnya. Kepalanya digeleng - gelengkan. "Tidak, Mas. Bukan maksudku membentakmu. Maafkan aku," cicit Aster merasa bersalah. Terlebih air muka David menjadi keruh. Memerah gelap pula wajah datar itu. Tak ada hawa sejuk di sekitar mereka. Ruangan menjadi sesak seketika. David terdiam lama. Dia lalu meraih Aster, memeluknya. "Maafkan aku juga, Aster," bisik David dengan berat. "Kita
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua