Aster mengunci diri di kamar. Dia menolak untuk turun makan malam. Safira juga tidak memaksa. Dia hanya memastikan Aster tidak kelaparan dengan memberitahu kalau kapan pun Aster sudah berselera makan, dia bisa ke ruang makan. Memang benar, tengah malam Aster keluar kamar. Awalnya dia tidak hendak menuju ruang makan. Tetapi mendengar langkah lain di belakang, Aster mengganti arah. Dia menuju ruang makan. Di meja makan masih tersaji makanan yang ditutup tudung saji. Aster pun mengambil piring. Dia hanya mengambil sayur dan lauk. "Aster, sedang makan?" tanya Safira pelan. Dia menuju dapur. Aster mendongak. "Iya, Ma. Apa aku membuat berisik?" jawab Aster cemas. "Tidak, Sayang. Makanlah. Aku mau buat teh," sahut Safira lalu sibuk membuat secangkir teh. Lapar membuat Aster bisa mengesampingkan marahnya sejenak. Dia makan tenang meski kemudian Safira ikut duduk di seberangnya. Tengah menikmati teh tengah malam. Suara denting sendok pelan mengetuk piring. Aster pun mengunyah tan
Semalam Safira lebih dulu kembali ke kamar. Aster sendiri menghabiskan makan malamnya. Ketika Aster juga meninggalkan ruang makan, rasa kantuk tak kunjung datang. Dia duduk terjaga di atas kasur. Hendak membuka ponsel nanti malah segar. Alhasil diam saja bersandar ke headboard, yang menjelang subuh baru bisa jatuh tidur. Matahari sudah tinggi ketika Aster bangun. Jendela begitu terang. Dia pun menggeliat lalu turun dari tempat tidur. Pukul 8 pagi dan tidak ada yang membangunkan. Aster segera mandi dan berganti pakaian. Dia dengan tenang menuju lantai satu. Tidak mau terlihat panik. "Non Aster, sudah bangun?" sapa Anti yang berjalan dari ruang keluarga. Aster mengangguk kaget. "Ah, ya, Bu. Apa mama dan papa sudah berangkat?" balas Aster. "Sudah, Non. Tadi sudah suruh saya bangunin non Aster, tapi terus suruh saya nunggu non Aster bangun sendiri saja. Mau saya siapkan sarapan?" Aster melongok ke ruang depan yang sepi. Dia menarik nafas lega. "Baik, Bu. Bisa disiapkan sal
Berusaha mengesampingkan pembicaraannya dengan Anti, selesai makan Aster menghubungi Tomy. Dia menanyakan apakah Tomy akan segera pulang atau tidak. Dia minta diantar ke rumah David. "Apa sudah ijin mama?" tanya Tomy memastikan. "Sudah. Semalam mama sudah memberiku ijin," jawab Aster. "Kalau begitu Jimmy akan segera sampai. Dia yang akan mengantarmu ke sana. Dia juga akan menjagamu selama di sana sampai aku pulang," ujar Tomy lalu mematikan sambungan telepon. Aster menyimpan ponselnya. Dia melihat ke sekitar kamar. Tidak ada yang perlu dibawa. Penemuannya biar tetap di sini. Dia berangkat begitu Jimmy tiba di rumah. Dari ruang makan, Anti berdiri melihatnya keluar. Aster hanya berpamitan sopan. "Ada apa di rumah mas David?" tanya Aster duduk di kursi penumpang depan. Jimmy tiada menoleh. Dia fokus menyetir perlahan menuju rumah yang tak jauh dari rumah utama. Beberapa menit saja sudah sampai. Pagar dibuka oleh Feri yang mengenali mobil Jimmy. Mereka keluar begitu pagar
Tuduhan Jimmy terus menghantui Aster. Kakinya menjadi berat diangkat. Aster pun terpuruk ke lantai. Dia duduk memeluk kedua lutut. Masih saja sendiri. Arin pun tiada tampak masuk menemuinya. Lama dia duduk berdiam diri. Sampai dingin menggigit tubuh. Gelap makin menjadi. Aster berpindah ke ruang keluarga. Dia meringkuk ke sofa besar. Dia mengeluarkan ponselnya dan mulai melihat pesan - pesan yang masuk. /Mbak Aster, kamu sudah di rumah mas David? Sepertinya aku tidak bisa menyusulmu. Harus ada yang kukerjakan di kantor./ Aster membaca pesan dari Tomy. Hati jadu tenang. Dia tidak perlu bertemu dengan Tomy. Pesan itu tidak dibalas. Begitu pula pesan lain dari Panji dan Dini. Bahkan tidak dibaca Aster. Hanya pesan dari Fuad yang sedikit berbeda. Bukan tentang pekerjaan. Atau pun mengkhawatirkan kondisi Aster saat ini. /Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku sangat merasa bersalah. Tapi aku juga tidak tahu apa yang kemudian terjadi. Aku hanya takut. Ini semua salahku./ "Di
Aster duduk bersandar ke jok. Ketakutan menghinggapi. Dia takut tadi benar mobil Brian. Takut Brian mencari dirinya. Untuk apa pria itu datang malam - malam ke rumah. Apa dia hendak berbuat onar lagi? Aster bergidik ngeri. Untung saja dia telah pergi dari sana. Sehingga mereka tidak akan bertemu. Aster pun bisa bernafas lega. "Mbak, benar rumah yang ini?" tanya sopir taksi. Aster terkejut. Dia pun melihat keluar jendela. Mereka telah sampai di perumahan tempat rumah baru yang David berikan untuknya. "Yang pojok sana, Pak. Maju sedikit," beritahu Aster. Mobil pun bergerak maju. Berhenti tepat di depan gerbang rumah baru. Dia pun membayar lalu turun dari mobil segera. Kunci dia keluarkan dari tas kecil yang dibawa. Kunci baru setelah Aster meminta pada Jimmy agar mengganti seluruh kunci mulai dari pagar sampai pintu - pintu rumah. Dia tidak mau Brian bisa masuk lagi ke rumah
"Hah!!" Aster terbangun. Nafasnya terengah - engah. Dia meraup muka. Basah oleh keringat. Mimpinya begitu nyata. Dia memang memimpikan pertemuannya dengan David pada awal kerja sama dengan AntarKata. Momen yang sempat terlewat begitu saja dalam memori Aster. Dia bergeser ke tengah tempat tidur. Bersandar ke headboard, seraya mengecek jam di nakas. Pukul 2 dini hari. Belum lama dia jatuh tertidur. Dia pun merasa pening. Kedua tangan terangkat memijit sisi kepala. Dia merasa tidak nyaman. Bukan hanya mukanya yang basah, punggung dan dada turut banjir keringat. Dia pun menuju walk in closet, menyalakan lampu. Seketika ruangan tersebut dibanjiri cahaya. Hampir Aster memekik kaget, namun urung. Dia hanya melihat pantulan cahaya dari kaca. Segera Aster mengambil baju ganti. Dia menemukan kaos dan celana training. Kemudian dipakainya setelah mengeringkan keringat. Dia beralih ke kamar mandi, mencuci muka dan menyisir rambut. Di cermin terliha
"Lepas!" desis kencang suara berat yang begitu dingin. Aster dan Brian terlonjak. Serentak mereka mengalihkan pandang ke bawah tangga. Pada seseorang yang datang dari kegelapan. "David!" seru Brian dan Aster bersamaan. David pun menaiki anak tangga seperti orang kesetanan. Dia menarik tangan Aster dari cengkeraman Brian. Serta mendorong Brian menjauh. "Pergi, Brian!" raung David. Brian menyeringai. Dia menegakkan badannya, sama tinggi dengan David. "Bagaimana bisa kamu kembali, hah?" David mendekap kuat Aster. Tatap mata tajamnya menusuk ke Brian yang mulai gelisah. "Pergi. Atau kupatahkan tanganmu," ancam David dingin. "Kamu tidak akan berani," sahut Brian. "Satu...." "Demi wanita sialan ini, Dav?" "Dua...." Brian mendengus kasar. "Kita akan memperhitungkan ini segera, Dav! Kau juga jangan merasa aman, Aster," Brian balas mengancam. Dia lalu berbalik menuruni tangga. Blam! Pintu dibanting. Aster mengembus
Aster menatap pria yang tidur terlelap di tempat tidur. Dia berdiri tak jauh dari ranjang, menelengkan kepala. Seakan kepalanya begitu berat untuk disangga leher. Pria itu sudah tidur sejak subuh. Hari sudah mencapai tengah. Dia tak berniat sedikit pun untuk membangunkan si pria. Hanya duduk atau berdiri memperhatikan tiap naik turun dada pria itu. Masih bernafas dan hidup. Ponsel di saku bajunya bergetar. Takut mengganggu tidurnya, Aster bergegas keluar kamar. Sambil merogoh keluar benda pipih canggih. "Mama, ada apa?" jawab Aster pada Safira yang menelepon. "Bagaimana dengan David? Dia masih tidur?" cemasnya. "Iya, Ma. Nanti begitu bangun, akan kubujuk untuk ke rumah sakit. Jimmy sudah siap di luar," jawab Aster. "Benar dia masih belum bertemu kami?" Aster menarik nafas berat. "Belum, Ma. Mas David melarangku memberitahu mama dan papa. Dia juga tidak mau bertemu Tomy. Maafkan
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua