Tuduhan Reno membuat Aster hilang kendali. Dia menyentak tangan Tomy untuk memutar haluan.
Tujuannya menarik kerah Reno. Lalu kedua tangannya yang lebih banyak berbicara. Juga kaki yang tak segan menerjang pria licik itu. Perlu usaha Tomy dan Jimmy untuk memisahkan Aster dari Reno. Pria yang terkapar lemas dibawa Jimmy pergi dari ruangan. Sementara Aster menyentakkan diri dari rengkuhan Tomy. "Kita pulang," ujar Tomy lirih. Dia kembali menarik tangan Aster. Mereka berpindah cepat ke mobil. Aster sudah gelap mata tak tahu bagaimana bisa begitu saja sudah di mobil. Dia memelankan tarikan nafas yang begitu cepat. Kedua sisi kepala dipegang. Kembalikan fokusnya pada saat ini. "Aku akan memastikan Reno mengaku," kata Tomy. Aster membuang muka ke luar jendela. Jarinya terangkat cepat menyeka air mata. "Kamu apakan istrinya?" Masih sempat Aster memikirkan nasib wa"Foto kencan?" timpal Tomy. Dia mencengkeram lengan Ilham. Pemuda itu sampai mengaduh ampun. Aster pun meminta Tomy melepaskan cengkeramannya. Aster memperhatikan Ilham. "Di mana kamu lihat fotonya?" Wajah Ilham menjadi pucat. Dia mengerut takut. "Di surel kantor, Bos. Ada yang salah kirim." "Surel kantor apa?" sergah Tomy. "Surel kantor gudang sini, Bos. Kan namanya mirip dengan surelnya bos David. Belum diganti. Saya sudah lapor bos David. Katanya suruh biarin. Itu orang salah kirim," cerita Ilham. Tomy menyuruh Ilham menunjukkan surel yang dimaksud. Maka mereka pun masuk ke bagian kantor gudang. Kepala gudang itu memandu mereka naik ke mezanin tempat kubikel - kubikel kerja berada. Dia menuju meja yang paling besar di sebelah ruangan berpintu tertutup. Ada papan nama kepala gudang di sebelah komputer desktop. Ilham
Ponsel David ada di sana. Aster memberikannya pada Jimmy yang sigap mengangsurkan sebuah kantong plastik bening. Ketika benda itu masuk kantong, serpihan merah kepat tertinggal di sarung tangan yang dipakai Aster. Seketika Aster menyentakkan tangan. Dia berusaha melepaskan sarung tangan. Namun seakan benda itu membelitnya. Perlu bantuan Tomy agar benda itu bisa ditarik lepas. Seseorang dari mereka mengambil ponsel tersebut. Dia menyalakannya tanpa canggung. Lalu memeriksa ponsel tersebut. "Dia detektif polisi," bisik Tomy. Aster menjadi heran. Kalau dari tadi ada detektif mengapa mereka membiarkan Aster mengambil benda tersebut. Tidak kah itu berarti Aster merusak barang bukti. Orang tersebut menghampiri Tomy. "Semua temuan akan dibawa ke kantor. Termasuk yang telah Jimmy serahkan sebelumnya akan kami olah." "Tolong periksa semua suspek. Mumpung mereka ada di kota ini," imbuh Tomy. "Jangan khawatir. Kami akan lakukan sesuai prosedur," timpal orang tersebut. Dia memberi k
"Stop, Tomy! Stop!" pekik Aster histeris. Dia terus menepuk lengan Tomy. Sambil tiada henti berseru agar Tomy menghentikan laju mobil. "Dia! Itu dia!" jerit Aster sampai Tomy mau berhenti. Mobil ditepikan ke jalan yang begitu sepi. Pencahayaan dari lampu jalan pun minim. Sinar bulan tertutup awan. Begitu mobil berhenti total. Aster bergegas melepas seatbelt. Dia tidak menggubris keheranan Tomy. Tuntutan Tomy agar dia mengatakan lebih jelas apa yang dimaksud tak dijawab. Sebab dia sendiri baru hendak membuktikannya. Dia akan tahu pasti setelah ini. Aster berlari. Dia kembali ke arah mereka berasal. Tak peduli jalan beton yang tak rata menjadi kerikil penghalang. Di belakangnya, Tomy mengikuti. Dia memanggil Aster beberapa kali. Namun tidak disahut. Beberapa puluh meter Aster berhenti. Dia celingukan ke sana kemari. Tadi dia jelas melihat seseorang di sana. "Mas David!" panggil Aster pilu. Dia melihatnya. Sosok yang tertangkap sorot lampu mobil adalah David. Tomy meraih tangan
Aster gelagapan. Dia menarik udara dengan rakus. Dirinya tengah terombang - ambing naik turun dalam gulungan ombak. Tepukan air menerpa muka. Kasar menciptakan gores tak disangka. Asinnya air menyengatkan perih. Kedua tangannya tak sanggup digerakkan. Terkulai lemas di sisi badan. Begitu pula kaki - kakinya yang menyerah mengayun. Hingga sesuatu mencengkeram kakinya. Seakan sebuah tangan di sana menariknya makin ke dalam. Jauh tenggelam kepada gelapnya laut. Dia tak mampu melawah. Terus kebawah sampai segala air menekannya. Bukan lagi udara yang dia hirup. Air menyelinap masuk ke paru - paru. Aster terguncang. Kedinginan hingga membeku. Tak mampu bernafas. Tak mampu melihat apa pun di sekitar. ** "Kamu awasi Aster lebih ketat." "Jalan satu - satunya ya David harus segera ditemukan, Pa. Kurasa Brian sudah tahu David menghilang. Atau malah memang benar dia dalang di balik semua hal ini." "Anak itu hanya mengejar surat wasiat. Surat wasiat yang Aster temukan dan surat y
Aster melamun di depan jendela kamar. Dia melihat halaman samping tengah dipangkas rumputnya. Padahal hari mulai terik. Matahari bersinar gagah tanpa adanya awan menghalangi. Sudah lewat jam baik untuk berjemur. Panas berubah menyengat merambat lemah melalui kaca jendela. Tok! Tok! "Ya," sahut Aster. Pintu terbuka. "Mbak, turunlah makan. Apa mau aku ambilkan bawa kemari?" tanya Tomy. Aster memang belum mau makan sejak tadi pagi sudah diajak Safira. Sampai Safira dan Rendra berangkat kerja pun dia belum mau turun ke ruang makan. Mereka tidak memaksa Aster. "Aku ke bawah saja," hela Aster. Dia pun mengikuti Tomy menuju ruang makan. Anti menyajikan nasi dan lauk untuk Aster. Tomy sendiri menemani sambil mengemil buah. Dia mengamati Aster yang tidak begitu bersemangat menyendok. "Apa yang terjadi pada Brian?" Aster berhenti sejenak. Tomy menelan sepotong apel. "Wajib lapor. Belum banyak bukti yang bisa menahannya." "Dia berada di rumahnya?" "Iya. Tapi jangan takut. D
Hanya satu jam Aster tinggal di kantor. Dia menyelesaikan pekerjaan yang Dini serahkan. Tanpa berbincang lagi dengan Fadil atau pun staff yang lain. Bahkan dengan Dini juga hanya tentang pekerjaan. Ketika Aster berpamitan pulang, Fadil memicingkan mata pada Tomy yang membayangi Aster. Saudara kembar Fuad itu tidak menutupi kalau tengah tidak senang. Entah apa yang membuatnya terlihat marah. "Siapa tadi? Pemilik saham?" heran Tomy sambil menyalakan mesin mobil. Aster membenahi seatbelt. Dia menoleh heran. "Fadil? Dia yang ke rumah bersama Dini waktu dijemput Jimmy." "Iya, aku masih ingat, Mbak. Makanya, dia itu siapa? Kenapa bertingkah seakan pemilik saham terbesar? Atau memang benar begitu?" Gelengan kepala Aster membuat alis Tomy bertaut. "Dia saudara kembar Fuad. Fuad itu yang punya saham. Maksudku, temanku si Fuad. Aku mengenal Fadil karena saudara kembarnya. Dia membantu desain untuk sementara waktu. Fadil sebenarnya komikus." "Ribet." "Eh, iya. Begitulah." "Aku
Sebuket bunga teronggok di tepi meja. Basah oleh kopi yang gelasnya jatuh. Tetes - tetes kopi turut membasahi lantai. "Mbak, tolong minggir dulu. Biar kami bersihkan," kata seorang waitress. Dia yang duduk terpaku melihat gelas menggelinding, jadi kikuk sendiri. Dia pun meraih jaket dan tas di kursi sebelahnya. Beranjak pergi tanpa mengatakan apa pun. "Mbak, ada yang ketinggalan," seru waitress. Langkahnya terhenti. Apa lagi yang masih tertinggal. Bukankah semua sudah usai. "Mbak Aster, tablet sama bunganya ketinggalan," ulang waitress. Waitress coffee shop itu sudah mengenalnya cukup jauh. Akibat sering makan siang dan bekerja sambil minum kopi di sana. Nama pun telah dihafal. Sesering tertulis di gelas kopi. "Oh, i-ya, Mbak. Makasih ya," ujarnya. Kembali mengambil tablet. Bunga dia tinggalkan. "Bunganya, Mbak? Masih bagus lho." "Buang saja, Mbak. Atau kalau Mbak mau, buat Mbak saja." Dia pun bergegas pergi. Tidak ada lagi yang tertinggal di sana. Dia sudah membawa
"Maaf, ya, Din. Nanti aku hubungi lewat telepon," kata Aster pada karyawan di kantornya. Dini memincingkan mata. "Mbak Aster mau kabur kemana?" tuduhnya. "Mama nyuruh pulang. Udah, nggak usah cemas. Semua kan sudah diatur," balas Aster. Dini mengerutkan hidung. Dia menggeleng gelengkan kepala. "Mencurigakan. Pasti mau dijodohkan." "Ih, jangan aneh aneh dong, Din. Udah, ah. Sana kamu kerja. Aku berangkat sekarang," timpal Aster. Aster pun meninggalkan kantor yang menyewa salah satu lantai sebuah gedung. Dia turun melalui lift, menuju basement. Tempat mobil lawas pemberian papanya diparkir. Mobil yang banyak digunakan untuk keperluan kantor. Urusan pribadi jarang dia pakai. Kecuali berkaitan dengan keluarga. Seperti pulang ke rumah orang tua. Perjalanan yang ditempuh selama tiga jam ditemani lantunan lagu pop mellow. Malah membuat suasana hati Aster makin nelangsa. Dia membiarkan air mata mengalir. Dengan tujuan begitu sampai di rumah dia akan kehabisan tangis. Jangan sam