Sorot mata pria misterius itu seakan menghipnotis Sofia, memerangkapnya dalam pesona yang sulit diartikan. Di balik penampilan eksentriknya yang semula terkesan aneh di mata Sofia, ternyata tersembunyi wajah rupawan yang mampu meluluhkan hati. Manik matanya yang sewarna batu amber memancarkan kehangatan, kontras dengan hidung mancung dan garis rahang tegas yang membingkai bibir semerah delima. Selama beberapa detik, waktu seolah terhenti kala mereka saling beradu pandang, sebelum pria tampan itu kembali menundukkan wajah.
Dengan rasa malu yang tak mampu disembunyikan, Reyfaldi meraih topi dari genggaman Sofia dan menyematkannya kembali di puncak kepala. Menyaksikan gerak-geriknya, Sofia terpaku, tak sanggup berkata-kata. "Maaf!" ucap Sofia sembari memegangi masker penutup hidung milik Reyfaldi. Pria itu hanya membisu, tak menanggapi permohonan maaf yang terucap dari bibir wanita di sisinya. Netra Sofia masih terpancang pada paras menawan yang kini terekspos sebagian, mengagumi lekuk bibir dan hidungnya, sebelum akhirnya ia mengalihkan pandangan ke arah jendela kaca mobil di sisi kiri. Tanpa basa-basi, Reyfaldi memusatkan atensi pada jalanan di hadapannya, menyalakan mesin mobil dengan satu sentakan. Deru halus kendaraan mewah itu membelah hujan lebat yang mengguyur seantero kota Jakarta, melaju memecah genangan air yang menggenangi aspal. Sofia termenung di kursinya, tak berniat bertanya akan ke mana pria misterius ini membawanya pergi. Benaknya berkecamuk, dihantui bayangan kejadian yang baru saja dialaminya di apartemen. Matanya menerawang hampa, menatap rintik air yang berdansa liar di kaca jendela. "Apakah Alvian masih bersama wanita itu? Mengapa dia begitu tega padaku. Ternyata, pengorbananku selama ini tak berarti untuknya." monolognya seraya menatap jendela samping mobil yang buram tertutupi lelehan air hujan. Mendadak, dering ponsel memecah keheningan di antara mereka. Nama yang tertera di layar tidak dikenali Sofia, namun ia tetap mengangkat panggilan tersebut tanpa pikir panjang. "Hallo." "Hallo! Bibi mu kabur kemana, hah? Dia sudah tidak membayar hutang-hutangnya selama dua bulan! Jika dia tidak membayarnya, maka kamulah yang harus membayar hutang-hutang bibimu yang kini sudah mencapai 150 juta!" sentak penelepon pria itu. Detik itu juga, memori tentang pinjaman online yang diajukan Bibi Ella menggunakan data dirinya berkelebat di benak Sofia. KTP sang bibi raib entah ke mana, sehingga ia terpaksa meminjam identitas Sofia untuk melakukan transaksi tersebut. Bibi Ella, adik dari mendiang ayah Sofia, dan suaminya tengah dirundung masalah finansial. Usaha yang mereka rintis gulung tikar, memaksa mereka menjual semua aset yang dimiliki hingga tak bersisa, bahkan rumah tempat tinggal pun lepas dari genggaman. Semenjak kepergian orang tuanya, Sofia memang tinggal bersama Bibi Ella dan Paman Danu di rumah warisan almarhum. Namun, tak disangka mereka justru menikam Sofia dari belakang - menguras habis harta peninggalan orang tuanya dan meninggalkan setumpuk utang yang menjadi tanggung jawab Sofia seorang diri. "Saya tidak tau Bibi saya pergi kemana, jangan ganggu saya!" jawab Sofia dengan suara sedikit bergetar. Kemudian, mengakhiri panggilanya. Belum lagi hatinya pulih dari kegalauan yang mencengkeram, kini Sofia harus menghadapi masalah pelik yang menghimpitnya dari segala penjuru. Ia tahu, mustahil baginya untuk melunasi utang Bibi Ella yang nominalnya tak tanggung-tanggung itu. Satu-satunya harapan Sofia hanyalah penelepon tadi tak lagi mengganggunya setelah ia memblokir nomornya - mungkin ia juga harus mengganti nomor telepon secepatnya. Reyfaldi tetap membisu, matanya lurus tertuju ke depan, meski telinganya menangkap jelas percakapan yang baru saja berlangsung. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres tengah menimpa wanita bertubuh sintal di sampingnya itu. Namun, Reyfaldi memilih bungkam. Ia paham, mengorek luka hanya akan menambah perih bagi Sofia. Kalaupun ia bertanya, Reyfaldi yakin jawaban yang didapatnya hanya keheningan semata. Roda mobil mewah itu melambat, berhenti di pelataran rumah yang cukup luas. Arsitekturnya memukau, dengan dinding kaca yang mendominasi fasad bangunan. Rumah impian yang kerap Sofia dambakan dalam angan. "Rumah siapa ini ?" tanya Sofia seraya menebarkan pandangan dari balik kaca mobil. "Sementara, kamu bisa tinggal dirumah ini." jawab pria misterius itu. "Tidak! Aku tidak mau tinggal bersama orang yang tidak aku kenal." tolak Sofia mentah-mentah. "Memangnya kamu akan kemana? Sebentar lagi hari akan gelap. Setidaknya, bermalam lah disini hingga kamu dapat berfikir apa yang akan kamu lakukan besok." tawar Reyfaldi. "T.tapi..." Belum selesai wanita itu berkata. Reyfaldi keluar dari mobil, melangkah ke sisi pintu Sofia, membukanya perlahan, lalu memapah wanita itu dengan hati-hati. Lengan kekarnya melingkari pinggang Sofia, menuntunnya melintasi halaman sampai ke undakan teras. Sofia termangu sesaat begitu pintu rumah terbuka, memperlihatkan ruang tamu yang dirancang apik dengan sentuhan minimalis namun elegan. Perabotan berkelas memenuhi sudut-sudut ruangan, mencerminkan selera sang pemilik tempat tinggal yang tidak main-main. Semua itu membuat Sofia semakin bertanya-tanya, siapa gerangan sosok Reyfaldi yang sebenarnya. "Ayo masuk! Ada mbok Nah yang akan menemanimu disini. Saya akan bermalam dirumah kakek saya!" ucap Reyfaldi dengan cepat. "Oiyaa, nanti saya akan memerintahkan sopir saya untuk mengambilkan mobilmu. Berikan kunci mobilnya!" pinta Reyfaldi sembari menandahkan tanganya. "Tidak! Saya belum mengenal siapa kamu. Saya akan pergi dari sini!" bantah Sofia membalikan badanya melangkah tertatih ke arah luar rumah. "Lantas, kamu akan pergi kemana? Kembali ke apartemen suamimu?" tanya Reyfaldi. Pertanyaan Reyfaldi menghentikan langkah Sofia seketika. Ia tertegun, mencerna ucapan pria itu dalam diam. Benar juga. Tak mungkin ia kembali ke apartemen Alvian malam ini. Harga dirinya terlalu tinggi untuk sudi mengemis cinta lelaki yang telah menghancurkan kepercayaannya berkeping-keping. Namun, di sisi lain, Sofia enggan merepotkan orang yang bahkan belum dikenalnya. Apalagi, sikap Reyfaldi yang misterius membuatnya sulit membangun rasa percaya. "Sudah saya katakan, menginaplah! Setidaknya hanya malam ini, hingga kamu dapat berfikir akan kemana besok." Pinta pria tampan itu. Perlahan, Sofia memutar tumit, melangkah terseok-seok mendekati Reyfaldi yang menunggunya di ambang pintu. Meski hatinya masih dilanda keraguan, ia tak punya pilihan lain. "Berikan kunci mobilmu!" pinta Reyfaldi kembali menadahkan tanganya. Dengan berat hati, Sofia merogoh saku celana lusuhnya, lalu meletakkan kunci mobil di telapak tangan Reyfaldi yang terbuka. "Mboook..." panggil Reyfaldi. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita paruh baya berusia sekitar 45 tahun yang biasa dipanggil Mbok Nah. Ia membungkuk hormat pada Reyfaldi, siap menerima perintah. "Iya Tuan." jawabnya dengan badan agak membungkuk. "Tolong siapkan kamar untuknya. Kemudian, berikan ia makan." perintah Reyfaldi pada pelayan wanita itu. Setelah memberikan instruksi, pria itu bergegas melangkah pergi, meninggalkan Sofia yang masih terpaku menatap punggungnya yang menjauh. Bunyi deru mesin mobil yang menghilang di kejauhan menyadarkan Sofia dari lamunannya. "Mari silahkan ikut saya, Nona." ucap wanita itu membuyarkan fokus pandangan Sofia yang sedari tadi menatap ke arah Reyfaldi. Pelan-pelan, Sofia mengekori langkah wanita itu, matanya tak henti-hentinya mengagumi interior rumah yang memanjakan mata. Kakinya yang terkilir membuatnya sedikit terpincang-pincang, namun Mbok Nah dengan sabar menyesuaikan ritme langkahnya. "Silahkan, Nona. Ini kamar anda." persila wanita itu membuka pintu kamar untuk Sofia lalu kembali ke tempatnya semula. Sofia menjejaki kamar yang ditunjukkan Mbok Nah. Matanya menyapu setiap detail interior elegan yang memenuhi ruangan. Ranjang berukuran queen size tampak begitu menggoda, seolah memanggil-manggil untuk merebahkan tubuh letihnya di sana. "Waaah... siapa dia sebenarnya ?" gumam Sofia, masih terkagum-kagum dengan kemewahan yang tersaji di depan matanya. Lamunan Sofia buyar oleh ketukan pintu yang disusul suara lembut Mbok Nah. "Permisi, Nona. saya mau mengantarkan pakaian." "Masuk." dahut Sofia. Mbok Nah melangkah masuk sembari menenteng beberapa potong pakaian dan handuk. Ia meletakkan bawaannya dengan rapi di atas tempat tidur. "Terimakasih, Mbok." ucap Sofia tersenyum ramah. Sepeninggal Mbok Nah, Sofia bergegas menuju kamar mandi. Ia menanggalkan pakaian lusuhnya yang basah kuyup, mengguyur tubuhnya di bawah pancuran air hangat. Sensasi menyegarkan menjalari tiap jengkal kulitnya, meluruhkan penat yang mendera. Usai membasuh diri, Sofia mengenakan pakaian yang disiapkan Mbok Nah untuknya. Ia melangkah menuju meja rias, menatap bayangannya di cermin. Rambutnya yang ikal tampak sedikit berantakan. Tangannya meraba permukaan meja, mencari sisir yang biasa tersedia di sana, namun nihil. Akhirnya, Sofia memutuskan untuk mencari sisir di laci meja rias. Dibukanya laci itu perlahan. Alih-alih menemukan sisir, kedua bola matanya justru membelalak lebar saat pandangannya menangkap sebuah foto yang tersimpan di sana. Foto itu menampilkan figur seseorang yang tak asing baginya. "Hah, Ternyata.."Seketika mata Sofia membelalak lebar saat membalikkan selembar foto usang yang tersimpan tertelungkup di dalam laci meja kamar itu. Potret klasik yang menampilkan sosok pria yang tak asing baginya. "Hah, ini kan mas Alvian sewaktu SMP. Mengapa ia berfoto dengan si pria aneh itu? Siapa dia sebenarnya ?" monolog Sofia sembari lekat memandangi foto di genggamannya. Rasa penasaran menguasai benak Sofia. Dengan tak sabar ia merogoh isi laci lebih dalam, berharap menemukan petunjuk lain yang dapat mengungkap misteri pria asing dalam foto itu. Namun nihil, tak ada apa pun di sana selain beberapa barang pribadi biasa seperti jam tangan dan sisir. Saat tengah larut dalam pikirannya, tiba-tiba sayup terdengar suara deru mesin mobil yang familier. Asalnya dari arah halaman depan rumah megah itu. "Apakah itu mobilku ?" gumam Sofia. Ia bergegas menyibak tirai jendela kamar, mencari sumber suara. Benar saja, mobil sedan merahnya sudah terparkir manis di sana. Tak lama, pintu mobil terbuka.
"Hah, kamu ada disini?" Ucap Sofia ketika melihat sosok pria misterius itu duduk membelakanginya. "Silahkan, Nona." Pelayan ramah itu mempersilakan Sofia untuk duduk di sebelah pria aneh itu. Dengan enggan, Sofia menjatuhkan tubuhnya pelan ke atas kursi makan. Kehadiran Reyfaldi di sana seketika mengurangi selera makannya yang semula menggebu. Kali ini, pria misterius itu tak mengenakan topi hitamnya, membuat wajahnya terlihat jelas. Tanpa berkata apa pun, ia melahap makanan di piringnya sesuap demi sesuap dengan tenang. Sofia menelan ludah melihat hidangan lezat yang tersaji di meja. Aroma menggugah selera menggelitik indra penciumannya, membuat perutnya seolah meronta minta diisi. "Makanlah!" ucap pria aneh itu tanpa menoleh ke arah Sofia. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, wanita bertubuh sintal itu segera menyendok nasi dan lauk-pauk ke piringnya. Ia melahap sarapannya dengan sedikit tergesa, enggan berlama-lama duduk berdampingan dengan pria aneh itu. "Setelah ini, aku
Di tengah keheningan makam, Sofia menoleh ke arah bayangan sosok yang berdiri tak jauh darinya. Dengan langkah gontai, ia mendekati pria itu sambil terisak. "Reyfaldi, aku bersedia menikah denganmu. Masih berlakukah tawaran itu?" ucap Sofia lirih. Tanpa diduga, wanita bertubuh gempal itu memeluk Reyfaldi erat, menumpahkan segala kepedihan dalam tangis yang memilukan. Reyfaldi, yang terkejut dengan tindakan Sofia, hanya berdiri kaku tanpa membalas pelukannya. Saat ini, Sofia merasa berada di titik terendah hidupnya. Hatinya hancur berkeping-keping, seolah tak ada lagi harapan untuk bangkit. Andai bunuh diri bukan dosa besar, mungkin sudah ia lakukan. Yang terpenting baginya kini hanyalah bertahan hidup, entah bagaimana caranya. "Menangis ... menangislah sepuasnya, hingga kau tidak akan pernah menangisi hal yang sama untuk yang kedua kalinya," Reyfaldi berkata datar, meski kemeja putihnya kini basah oleh air mata Sofia. Tak ingin berlama-lama di area pemakaman, Reyfaldi menuntun Sof
Mata Sofia membelalak lebar mendengar ucapan Reyfaldi di telepon. "Bunuh saja, itu sudah membahayakan!" "Apaaa?" pekik Sofia terkejut. Reyfaldi sontak berbalik, menatap Sofia dengan ponsel masih menempel di telinga. Wajah Sofia memucat, jelas ketakutan. "Nanti saya hubungi lagi!" Reyfaldi mengakhiri panggilan. Sofia melangkah mundur, mengira Reyfaldi adalah seorang psikopat atau semacamnya. Kepribadiannya yang aneh menguatkan dugaan itu. "Apa yang kamu dengar barusan?" selidik Reyfaldi. "Tidak, hentikan! Jangan mendekat!" sentak Sofia saat pria itu melangkah ke arahnya. "Kamu akan membunuh siapa, hah?" tanya Sofia dengan suara bergetar. "Barusan saya bicara dengan perawat kakek. Ada ular di halaman belakang, jadi saya minta mereka membunuhnya. Apakah saya salah?" Reyfaldi menjelaskan dengan tenang. "Jangan bohong!" hardik Sofia. "Untuk apa saya berbohong? Kalau tidak percaya, kita bisa langsung ke rumah kakek sekarang juga," tawar Reyfaldi meyakinkan. Sofia menghela napas
Dering ponsel di genggaman Sofia memecah keheningan. Nama Renata tertera di layar, membuat Sofia segera menjawab tanpa ragu. "Sofia, cepat ke sini!" Suara Renata terdengar gemetar di ujung sambungan. Mendengar urgensi dalam nada bicara Renata, Sofia langsung berbalik arah dan memacu langkah menuju tempat kerjanya yang tak begitu jauh dari lokasi kos. Reyfaldi mengikuti di belakang, berusaha menyamai kecepatan langkah Sofia. Setibanya di sana, pemandangan kacau menyambut mereka. Dua pria bertubuh kekar tengah mengobrak-abrik isi gudang distributor milik Renata, melempar barang-barang tanpa perasaan. Sofia mengenali mereka sebagai orang yang sama dengan yang merampas paksa mobilnya kemarin. "Hentikan!" teriak Sofia dengan napas terengah. Teriakan lantang Sofia menghentikan aksi brutal kedua pria itu. Mereka menoleh, menatap Sofia dengan seringai puas seolah berhasil menemukan mangsa yang diburu. Tanpa membuang waktu, mereka melangkah mengancam ke arah Sofia, namun dengan sigap Reyfa
"Menikah resmi?" pekik Sofia. "Ya! Saya tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan. Namun, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, jika kamu tidak mengizinkan saya untuk menyentuhmu. Maka, sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menyentuhmu," ucap pria tampan itu sembari menatap layar ponselnya. Mendengar itu, Sofia tersenyum miring. "Tentu saja aku tidak akan mungkin menyerahkan tubuhku pada laki-laki yang tidak aku cintai," bisiknya dalam hati sambil mendelikkan matanya. Reyfaldi mengalihkan pandangannya dari ponsel, mata tajamnya menelisik wajah Sofia. "Bagaimana? Bukankah sebelumnya kamu sudah setuju! Atau, apakah kamu berubah pikiran?" tanyanya dengan nada tenang namun menuntut jawaban. "Tidak! Aku tidak berubah pikiran," jawab Sofia cepat, kepalanya menggeleng dengan yakin. Dalam benaknya, Sofia menyadari konsekuensi jika ia mencoba mundur dari kesepakatan ini. Pria misterius di hadapannya pasti akan meminta kembali uang yang telah dikeluarkan untuk melunasi hutangnya p
"Hah. Mas Alvian?" Tatapan Sofia terpaku pada pemandangan yang mengiris hatinya. Sepasang kekasih yang telah menghancurkan kehidupannya berjalan beriringan, jemari mereka saling bertaut mesra seolah mengejek luka yang masih menganga. Rasa sakit merambati dadanya seperti aliran listrik. Hingga detik ini, Sofia masih sulit mempercayai pengkhianatan Alvian. Namun begitulah hidup—penuh kejutan tak terduga yang terkadang datang sebagai pelajaran pahit. Beruntung, kedua sosok itu terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri hingga tak menyadari keberadaan Sofia. Mereka berjalan dengan tawa riang dan wajah berseri, tanpa setitik pun penyesalan atas luka yang telah mereka torehkan. "Dasar jahat! Lihat saja, suatu hari nanti aku akan membalas perbuatan kalian!" gumam Sofia, rahangnya mengeras menahan amarah. "Sebaiknya, alihkan pandanganmu. Tak ada gunanya kamu terus memandanginya. Itu hanya akan membuat hatimu semakin hancur!" Reyfaldi berkata dengan tenang, sumpit di tangannya masih dengan
Sesaat setelah pintu dibuka oleh pelayan wanita yang berdiri di samping pintu, terlihat sebuah ruangan modern dengan peralatan medis canggih dan tempat tidur pasien yang tertata rapi. "Reyfaldi?!" sapa seorang wanita cantik berjas putih yang duduk di balik meja kerja elegannya. "Hai, Tamara," balas Reyfaldi dengan senyum hangat yang jarang terlihat. Keduanya berjabat tangan dengan akrab. Sofia memperhatikan perubahan ekspresi Reyfaldi—pria yang biasanya dingin dan hemat senyum kini tampak berseri-seri. Matanya memancarkan keramahan yang belum pernah Sofia lihat sebelumnya. "Oya, kenalkan, teman saya," ucap Reyfaldi sambil mengarahkan tangannya pada Sofia. "Sofia!" "Hai, Sofia. Saya Tamara. Tetangga Reyfaldi ketika kami tinggal di Amerika. Ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita cantik itu dengan keramahan profesional. "Buatlah dia menjadi langsing dan lebih cantik lagi," pinta Reyfaldi. "Oh, gampang! Itu hal yang sangat mudah," jawab dokter cantik itu dengan senyum meyakinkan.
"Mbooook ...!" Teriak Ella memecah keheningan. Mbok Nah segera berlari menghampiri Ella. Ia kaget melihat cairan yang sudah tergenang di kaki Sofia. "Nona ... Anda akan melahirkan?!" "Segera hubungi Reyfaldi! Aku akan membawa Sofia kerumah sakit bersalin!" titah Ella panik. Dengan panik. Wanita itu segera memboyong Sofia masuk ke dalam mobil peninggalan orang tua Sofia yang terparkir di halaman rumah Reyfaldi. Kemudian, Ella menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya menuju rumah sakit bersalin tempat Sofia memeriksakan kehamilannya. Untungnya, wanita yang sempat menjadi pengemis itu sudah ahli dalam mengemudikan mobil. Sehingga, tak membutuhkan waktu yang lama untuk Sofia bisa tiba di Rumah sakit. Ella berlari ke bagian administrasi. Untung saja saldo di rekeningnya terisi uang hasil penjualan beberapa hari kebelakang. Sekitar 10 juta Ella melakukan deposit di rumah sakit tersebut. Tim medis segera bertindak dengan cepat. Sofia ditangani dengan sangat baik di rumah sakit
Sofia keluar dari ruangan tak layak huni tersebut. Ia menyeka air mata di pipi kemudian berbicara dengan Reyfaldi sambil berbisik."Sayang ..., bisa tolong Paman Danu? Aku sangat tidak tega melihatnya," ucap Sofia seraya menitikan air mata. Reyfaldi kemudian menyeka air di pipi Sofia dengan lembut. "Tentu, Sayang. Saya akan segera memanggil ambulace." Sofia mengangguk dan tersenyum haru. "Terima kasih, Sayang." Tak lama berselang, sebuah mobil ambulance tiba di depan jalan. Tim medis segera membawa Danu ke rumah sakit untuk diperiksa. Ella masuk dan duduk di dalam ambulance. Sedangkan Sofia bersama Reyfaldi mengikuti dari belakang. Setibanya di rumah sakit, Reyfaldi segera memesan kamar kelas VVIP, yaitu kamar termahal yang tersedia di rumah sakit tersebut. Danu segera ditangani oleh tim medis. Beberapa pengecekan dilakukan oleh dokter. Beruntung, bukan penyakit berbahaya yang diderita oleh Danu. Melainkan hanya asam urat namun cukup akut. "Sofia ... ruangan ini pasti sangat mah
"Bibi Ella?" Wanita yang tengah hamil besar itu beringsut mundur kemudian berbalik badan dan pergi meninggalkan Ella di ruang tamu. Ia merasa sangat benci pada Bibinya itu. Namun, Reyfaldi langsung mencekalnya. "Ayolah, Sayang ... bukankah tadi kamu berniat akan memaafkannya," bujuk Reyfaldi. "Tuhan saja pemaaf, apagi kita yang hanya sebagai hamba," tambahnya lagi. Sofia termenung beberapa saat. "Baiklah ..., aku akan menemuinya!" Wanita bertubuh besar itu kemudian berbalik badan dan melangkah kembali ke ruang tamu. Ia menjatuhkan bokongnya dengan pelan di atas sofa. Sedangkan Reyfaldi memilih untuk menunggu di dalam kamar, tak ingin mencampuri urusan bibi dan keponakan itu. "Sofia ... akhirnya kamu mau menemuiku." Mata wanita itu berkaca-kaca. "Aku benar-benar minta maaf atas perbuatanku dan Paman Danu. Kami melakukannya karena sangat terdesak. Pada saat itu, kami selalu diancam oleh debt collector. Sehingga kami merasa stress dan gelap mata. Tidak ada cara lain bagi kami selai
Pria yang menjabat sebagai CEO itu membungkuk lalu mendaratkan kedua tangannya di lengan bagian atas Alvian. Kemudian, mengangkat tubuh itu ke atas. "Jangan lakukan itu. Kamu tidak perlu bersimpuh di hadapanku!" Lagi-lagi, Alvian berucap terima kasih pada Reyfaldi. Pun juga dengan wanita tua yang sedari tadi berdiri di sana. Ia meminta maaf dan mengucapkan banyak terima kasih pada Reyfaldi. "Mulai minggu depan. Kembalilah ke perusahaan. Jadilah kepala produksi yang tidak akan mengecewakan saya lagi!" tutur pria tampan itu. Kepala yang semula menunduk, langsung terangkat wajahnya. "Apa?! Apa aku tidak salah dengar, Rey?" Reyfaldi tersenyum sekilas. "Bekerjalah lebih giat, agar kehidupan anakmu terjamin!" Alvian menyatukan kedua telapak tangannya seolah berterima kasih pada Reyfaldi. "Aku akan berusaha jadi karyawan terbaik. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu berikan, Rey!" Pria yang mengenakan kemeja hitam itu berpamitan. Ia berniat segera pulang karena mengingat
Alvian bergegas naik ke dalam mobil milik tetangganya yang menawarkan bantuan padanya. "Maaf, pak. Saya menjadi merepotkan," ucapnya pada Bapak pemilik mobil. "Tidak sama sekali, Pak." Ambar tidak mengetahui kejadian yang terjadi semalam pada anaknya itu. Ia mengira, selama Clara bekerja menjadi LC karaoke, rumah tangga Alvian baik-baik saja. Bagai tersambar petir, tiba-tiba saja wanita tua itu mendengar kabar jika menantu kesayangannya itu kecelakaan bersama pria lain secara mengenaskan. Dan yang paling membuatnya merasa tercengang adalah berita tentang perselingkuhannya bersama pria beristri. Tak banyak berkata. Di dalam perjalanan, mereka hanya terdiam. Ambar dan Alvian masih merasa sulit untuk memahami apa yang tengah terjadi. "Kamu harus menjelaskan banyak hal pada ibu, setelah ini!" cetus ambar. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam. Akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang dituju. Alvian dan Ambar melangkah dengan sedikit keraguan dan ketakutan. Mereka merasa tida
Keributan yang terjadi di kediaman Alvian membuat para tetangga penasaran. Beberapa warga mengintip dari balik jendela menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Ketua RT dan beberapa warga di pemukiman itu langsung menghampiri rumah Alvian untuk mencari tau dan melihat keadaan Alvian. Namun, mereka dikagetkan oleh suara teriakan Alvian yang menyatakan bahwa dirinya ingin mati. Segera, mereka menerobos masuk ke dalam rumah Alvian tanpa permisi. Melihat Alvian yang telah siap menghujamkan pisau ke dadanya. Sontak, salah satu warga berteriak. "Hentikan!! Kamu tidak boleh melakukannya!" Alvian otomatis membuka matanya. Salah satu warga yang datang langsung menyambar pisau yang berada di dalam genggaman tangan Alvian. Kemudian, meyadarkan lelaki itu dari tindakan bodohnya. Alvian menangis tak terkendali. "Tenang ... tenangkan diri anda, Pak Alvian. Beberapa orang warga mengelus pelan punggung Alvian. Sementara, satu orang lainnya mengambil segelas air minum lalu meminumkannya pada Alvian
"Sofia?!" Ella menatap lekat Sofia. Penyesalan langsung menyeruak di hatinya. "Maafkan Bibi, Sofia ...."Tatapannya berpindah pada bagian perut Sofia yang sudah dalam keadaan hamil besar. "Kamu sudah hamil?! Akhirnya kamu hamil juga, Sofia!" tatapnya sayu. "Dimana Alvian?" Wanita berusia 47 tahun itu mengedarkan pandang. Ia melihat sosok pria tampan berperawakan atletis dan terlihat kaya berdiri di dekat Sofia. "Mengapa kamu tidak bersama Alvian?" tanya Ella. Sedari tadi Sofia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Jantungnya berdegup kian kencang karena menahan emosi.Ella memegang tangan Sofia. Namun, Sofia menghempaskannya dengan kasar. "Jangan sentuh aku!" bentaknya. Reyfaldi mendekat. "Maaf, Anda siapa?" tanyanya pada Ella. "Saya Ella, Bibinya Sofia!" jawabnya dengan nada bergetar. "Kamu, siapa?" tanya Ella balik. "Sudah! Tidak usah pedulikan dia. Dia bukan Bibiku. Aku sama sekali tidak mengenalnya!" sergah Sofia seraya mendelik.Sofia kemudian menarik lengan Reyfaldi untuk ma
"Pagi, sayang ... hari ini jadi, kan?" tanya Sofia pada lelaki yang baru saja membuka matanya. "Iya, Sayang!" jawab Reyfaldi dengan suara khas bangun tidur. Hari ini, Sofia berniat berbelanja kebutuhan persiapan untuk kelahiran bayinya. Sebuah kamar khusus untuk bayi akan ia persiapkan. Yaitu, kamar bekas Sofia sewaktu pertama datang ke rumah tersebut. "Lihat, Sayang ... aku ingin seperti ini interiornya." Tunjuk Sofia pada layar ponselnya memperlihatkan gambar ruangan bayi yang bernuansa white soft blue.Perkiraan Dokter, bayi yang tengah di kandung oleh Sofia adalah berjenis kelamin laki-laki. Sesuai dengan harapan Reyfaldi yang sangat menginginkan anak laki-laki agar dapat melanjutkan perusahaannya. "Baiklah, Sayang. Saya akan segera menghubungi jasa interior agar bisa secepatnya selesai."Reyfaldi langsung meraih ponselnya dan menghubungi jasa interior. Ia meminta agar secepatnya dilakukan renovasi sesuai dengan permintaan Sofia. Mengingat waktunya sudah tidak banyak lagi. Se
Wanita pelakor itu terbelalak. Ia langsung berjalan mendekati Sofia. Namun, wanita yang tengah hamil besar itu langsung berbalik badan mencoba menghindar dari Clara. Tapi, wanita jalang itu malah mengejar Sofia. "Sofia ... aku mohon jangan katakan ini pada Alvian!" Jalang itu terus memohon dengan wajah memelas. "Tenang saja! Lagi pula, itu bukan urusanku!" ucap Sofia dengan raut dingin tak peduli. Clara menoleh pada Reyfaldi. Pria yang menundukan wajahnya itu hanya diam mematung. "Pak, Reyfaldi ... tolong jangan-," "Siapa ini?" pangkas pria yang bersama Clara. Mendengar suara bariton dari balik badannya, mata wanita perusak rumah tangga orang itu langsung membola dengan sempurna. Cepat, ia berbalik badan dan mengubah mimik wajahnya menjadi tersenyum manis. "O-ya, ini kenalkan temanku, namanya Sofia dan ini suaminya!" ujar wanita itu seraya mengarahkan tangannya pada Sofia dan Reyfaldi. Dengan senyum masam, keduanya mengulurkan tangan menyambut ajakan bersalaman pria tua yang be