Kai menatap bingung ke arah meja tempat ia yakin melihat ibunya terakhir kali di sana. Matanya berkilat kekhawatiran saat tidak menemukan sosok Visha yang dicarinya. “Di mana? Om nggak lihat siapa-siapa!” kata Calvin, matanya kembali mencari sosok ibunya Kai. “Di sana Om, tadi Bunda ada di sana!” jawab Kai bersikukuh. “Ya sudah, ayo kita temui Bunda kamu” ajak Calvin sambil menggandeng tangan Kai. Calvin, dengan langkah gontai, mengikuti arahan telunjuk Kai yang melihat Visha di dekat meja makanan. Mereka berdua mendekati meja tersebut, langkah mereka semakin cepat saat mendekat. Namun, yang mereka temui hanyalah Ayu, sahabat Visha, yang tersenyum lebar menyambut mereka. "Hai, Kai?" sapa Ayu dengan suara gugup. Kai, masih dengan rasa penasaran yang tinggi, segera menanyakan keberadaan ibunya. "Tante Ayu, Bunda di mana?" "Bunda... Bunda tadi ke kamar mandi," jawab Ayu, sambil mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Kai menghela napas, kekecewaan jelas terlihat di
Pada keesokan harinya, siang itu Calvin menuju kafe Dion karena begitu penasaran pada sosok ibu kandung Kai. “Dion, jadi Ibu kandungnya Kai, kerja di sini?” tanya Calvin penasaran. “Ya, dia kerja di sini. Ada perlu apa?” Calvin merasakan ada nada posesif dalam ucapan Dion. “Dia Visha, wanita yang gue sukai.”lanjut Dion. Calvin terkejut, “Visha?” tanya Calvin sekali lagi, ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Dion mengangguk sambil menyesap kopinya. “Iya, Visha. Wanita yang selalu punya tempat spesial di hati gue. Tapi kenapa, Pak? Kayaknya Bapak CEO tampak kaget sekali,” goda Dion lagi, seraya tertawa kecil. Calvin mengernyitkan keningnya heran. Calvin merasa ada yang aneh dan tak biasa pada sosok Visha. Wanita itu mengingatkannya pada wanita yang pernah ia ajak berhubungan saat dirinya dijebak oleh obat perangsang. Meskipun Calvin masih merasa ragu, karena dirinya begitu lupa dengan wajah wanita itu. Namun, suaranya dan tongkat yang Visha gunakan begitu nampak familiar.
Setelah kejadian itu, Visha semakin waspada. Dia berusaha menjauhkan Kai dari Calvin. Sementara Calvin, ia merasa khawatir karena tidak bisa menemukan Kai di rumahnya selama beberapa hari ini, untuk memulai rencananya melakukan tes DNA pada Kai. Dengan penuh kebingungan, setelah hampir dua minggu Kai tak pernah datang lagi. Calvin memutuskan untuk bertanya kepada Asih, tentang keberadaan Kai. “Sepertinya Kai sudah lama tidak terlihat. Apa ada masalah?” “Oh, maaf ya, Den Calvin. Kai baru mulai sekolah jadi dia tidak bisa datang ke sini lagi. Paling nanti kalau liburan Ibu bawa ke sini.” Calvin mengangguk paham, “Dimana Kai bersekolah?” “Kai belajar di TK Bintang Kecil di dekat gank ujung kompleks sini,” jawab Asih sambil kembali fokus pada tanamannya. Wajahnya polos, tidak menunjukkan tanda-tanda curiga atau pertanyaan mengapa seorang Calvin begitu tertarik pada cucunya. Di sisi lain Calvin merasa senang. Setelah mendapat informasi dari Asih, Calvin memutuskan untuk
Pada saat Calvin kembali ke mobilnya, dia lantas menyuruh Bara untuk menelepon sekertarisnya untuk menanyai agenda pada hari ini. Calvin menarik napas lega, mendengar tidak ada jadwal rapat yang mengganggu agenda hari ini. Dia lantas menyuruh sopirnya mengarahkan mobil menuju kafe Dion yang terkenal dengan kopi aromatiknya dan sengaja datang ke sana untuk melakukan pendekatan pada Visha. Setibanya di kafe, Calvin melangkah masuk dengan langkah pasti. Tanpa menunggu lama, dia memilih tempat duduk yang menghadap ke jendela, tempat terbaik untuk menikmati pemandangan jalanan yang ramai. Di sisi lain, Visha yang tengah sibuk melayani pembeli, terkejut bukan kepalang melihat sosok Calvin yang tiba-tiba muncul. Wajahnya yang tadinya ceria berubah menjadi murung. “Pria itu, kenapa dia datang lagi ke sini sih!” gumamnya dalam hati, rasa kesal bercampur bingung mengapa Calvin kembali ke kafe tempat dia bekerja. Visha berusaha menyembunyikan kegelisahannya, namun tangannya sediki
Visha menatap Calvin dengan mata yang berkilat, mencoba membaca setiap ekspresi wajahnya yang tampak tenang namun penuh teka-teki. Dia menelan ludah, berusaha keras untuk menjaga ketenangan meski di dalam hatinya bergemuruh tak menentu. “Ya, Pak! Apa Anda butuh sesuatu?” Suaranya terdengar sedikit gemetar. Di tengah keramaian kafe yang dipenuhi suara bising para pengunjung, saat mata mereka bertemu, ada gema yang tak terdefinisi, sebuah pengakuan tanpa kata yang terhenti di tengah jeda. “Hei, ayo katakan! Elo mau pesan apalagi?” Dion, tiba-tiba memecah suasana tegang namun penuh dengan ketidakpastian itu. Calvin, yang tampaknya terhipnotis oleh kepolosan yang terpancar dari wajah Visha, hanya menggelengkan kepalanya perlahan. “Bawakan satu gelas air putih untuk saya,” ucap Calvin akhirnya, sembari mencoba menyembunyikan kekacauan emosi yang ia rasakan. Visha merasa seakan beban berat terangkat dari bahunya. Dia mengira bahwa Calvin sudah menyadari siapa dia sebenarnya, b
Setelah memberi makan Kai dengan penuh kasih, Visha kembali fokus pada pekerjaannya di Kafe, sebelum itu, dia memerintahkan Kai dengan lembut untuk tidak pergi terlalu jauh. “Bunda, Kai mau ke taman belakang kafe boleh?” tanyanya. “Boleh, tapi jangan jauh-jauh ya, Sayang?” “Baik Bunda.” Kai melangkahkan kakinya dengan gembira. Namun, begitu melangkahkan kaki keluar ruangan, pandangannya secara tidak sengaja terhenti pada sosok Calvin yang tengah asyik berbincang di salah satu sudut Kafe. Mata mereka bertemu, dan dengan gerakan cepat namun halus, Calvin menempatkan jari di bibirnya, memberi isyarat kepada Kai untuk tetap tenang dan tidak mendekatinya. “Papa,” bisiknya. “Ssst!” Calvin memberi isyarat kembali. Kai mengangguk patuh dan pergi terlebih dahulu ke belakang. Calvin beranjak dengan alasan ingin ke toilet, menyusul Kai ke belakang meski dia sendiri tidak tahu apakah Kai mengerti sebuah kode yang dia berikan. Calvin mengikuti Kai yang sudah terlebih dahulu menunggu
Calvin dan Bara segera meninggalkan kafe, ledekan Bara membuka Calvin berpikir tentang kedekatan Visha dan Dion selama ini. “Apa benar Visha dan Dion saling mencintai?” tanyanya sendiri, rasa cemburu yang membara dalam hati, belum dia sadari juga selama ini. Setibanya di kantor, Calvin melangkahkan kakinya, memasuki kantor dengan pikiran yang tak tenang. Setiap langkahnya terasa berat, menggambarkan kekacauan emosi yang sedang dia alami. Dalam hati kecilnya, Calvin merasa iri dengan Dion, namun dia berusaha keras untuk menyembunyikan rasa cemburu itu. Di meja kerjanya, dia mencoba untuk konsentrasi pada tumpukan berkas yang menanti, tetapi kata-kata Bara tentang Visha dan Dion terus menghantui pikirannya. “Kenapa aku harus cemburu,” batin Calvin lagi, berusaha menenangkan diri. Dia menghela napas dalam-dalam, mencoba membuang semua pikiran negatif tersebut. Calvin membuka laptopnya, berpura-pura asyik dengan pekerjaan yang menumpuk. Namun, matanya masih mengingat wajah dan
Calvin memijat pelipisnya, langkahnya tergopoh-gopoh menembus lorong rumah sakit yang ramai. Setiap detik baginya terasa bagai jam. Sesampainya di ruang dokter yang menangani tes DNA, Calvin langsung menyapa dokter tersebut dengan napas tersengal. “Dok, bagaimana hasilnya?” suaranya bergetar, memancarkan kegelisahan yang mendalam.Dokter itu menoleh dengan senyum lembut yang menenangkan. Perlahan, ia mengeluarkan sebuah amplop dari laci meja dan membukanya dengan hati-hati. Calvin menelan ludah, jantungnya berdegup kencang, menunggu kata-kata yang akan menentukan masa depannya.Melihat kegelisahan Calvin, dokter itu berkata dengan suara yang penuh empati, “Pak Calvin, saya mengerti ini momen penting bagi Anda.” Ia menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan, “Hasil tes DNA menunjukkan bahwa Kai adalah anak biologis Pak Calvin. Selamat, Pak.”Seakan beban berat terangkat dari pundaknya, Calvin merasa lega sekaligus terharu. Air mata kebahagiaan menetes di pipinya. Ia tak bisa berk