Di kediaman Calvin, tak terasa sudah larut malam. Kai begitu senang bermain di kamar Calvin. Keduanya tampak semakin dekat seolah ikatan batin mereka semakin kuat. Asih yang merasa tak enak hati kembali mengetuk pintu kamar Calvin dan mengajak Kai untuk tidur di kamarnya. "Nenek, Kai mau tidur sama Om Superman boleh?" tanyanya penuh harap. Asih menatap wajah Kai dan menggeleng perlahan. "Sayang, Om Calvin harus istirahat, ayok kita kembali ke kamar Nenek?" Namun, Kai berbalik menatap wajah Calvin. "Om, apa Kai boleh tidur di sini?" tanya Kai kembali. Calvin mengangguk perlahan, memberikan tatapan pada Asih untuk membiarkan Kai tidur di kamarnya. "Hore! Kai tidur sama Om Superman!" serunya bersemangat. Asih tersenyum haru, dalam hatinya ikut merasa senang melihat Kai seakan memiliki sosok Ayah yang selama ini ia sangat rindukan. Di sisi lain, Asih tidak dapat menutupi perasaan bingungnya setiap melihat kemiripan di wajah Kai dan Calvin. Namun, mengingat status mereka yang jauh be
Menjelang acara ulang tahun perusahaan Calvin yang akan diselenggarakan malam ini, di perusahaannya, Visha kembali menitipkan Kai pada Asih, ibunya. “Anak tampan Bunda, Kai sama Nenek lagi yah? Bunda ada kerjaan penting dan tak bisa membawa kamu ke sana.” “Baik Bunda, Bunda tetap semangat ya. Kai sayang Bunda.” “Terima kasih anak tampan Bunda, Bunda juga sangat sayang sama Kai, kalau Bunda sudah tidak sibuk, Bunda akan ajak Kai jalan-jalan.” “Baik Bunda. Oh ya, Bunda. Kai boleh kan ajak Om Superman bermain?” “Eumm, tentu boleh. Asal Om Superman nya mau dan jangan dipaksa ya.” “Asikk ....” Kai berseru dan melonjak dengan girang. Asih kembali membawa Kai menuju kediaman Calvin. "Ayok masuk?" titah Asih, Kai langsung pergi ke kamar Asih. Saat sore tiba, Kai datang menghampiri Calvin yang sedang bersiap menuju pesta di perusahaannya. "Om Superman mau ke mana?" tanya Kai dengan polos. "Om mau ke pesta, apa kamu pernah pergi ke pesta?” tanya Calvin dengan nada pen
Calvin meninggalkan Greta yang masih diliput oleh beberapa media, dia memilih untuk mendekati Kai kembali. "Ya, Om. Katanya mau tahu Bunda Kai, pergi terus!" gerutu Kai sembari mengembungkan pipinya. "Ya sudah, sekarang di mana Bunda Kai?" tanya Calvin mengulang. Kai menunjuk pada Visha yang sedang berdiri sembari menghadap belakang. Calvin mengernyitkan dahi, hatinya diliputi penasaran. Ia memandang sekumpulan orang yang berbaur di ruangan besar itu, mencoba menemukan sosok yang digambarkan oleh Kai. "Bunda Kai pakai baju apa?" tanyanya lagi, mencoba mendapatkan petunjuk lebih jelas. Kai, dengan mata berbinar penuh harap, menoleh ke arah tempat terakhir kali ia melihat ibunya. "Bunda pakai baju hitam, Om," jawab Kai dengan antusias. Namun, saat jari kecilnya terulur untuk menunjuk kembali, ia melihat Calvin yang sebelumnya berdiri di sampingnya, kini sedang menyapa kembali para kliennya yang datang menghambat. Calvin bergerak cepat ke arah yang berlawanan, meninggalkan K
Kai menatap bingung ke arah meja tempat ia yakin melihat ibunya terakhir kali di sana. Matanya berkilat kekhawatiran saat tidak menemukan sosok Visha yang dicarinya. “Di mana? Om nggak lihat siapa-siapa!” kata Calvin, matanya kembali mencari sosok ibunya Kai. “Di sana Om, tadi Bunda ada di sana!” jawab Kai bersikukuh. “Ya sudah, ayo kita temui Bunda kamu” ajak Calvin sambil menggandeng tangan Kai. Calvin, dengan langkah gontai, mengikuti arahan telunjuk Kai yang melihat Visha di dekat meja makanan. Mereka berdua mendekati meja tersebut, langkah mereka semakin cepat saat mendekat. Namun, yang mereka temui hanyalah Ayu, sahabat Visha, yang tersenyum lebar menyambut mereka. "Hai, Kai?" sapa Ayu dengan suara gugup. Kai, masih dengan rasa penasaran yang tinggi, segera menanyakan keberadaan ibunya. "Tante Ayu, Bunda di mana?" "Bunda... Bunda tadi ke kamar mandi," jawab Ayu, sambil mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Kai menghela napas, kekecewaan jelas terlihat di
Pada keesokan harinya, siang itu Calvin menuju kafe Dion karena begitu penasaran pada sosok ibu kandung Kai. “Dion, jadi Ibu kandungnya Kai, kerja di sini?” tanya Calvin penasaran. “Ya, dia kerja di sini. Ada perlu apa?” Calvin merasakan ada nada posesif dalam ucapan Dion. “Dia Visha, wanita yang gue sukai.”lanjut Dion. Calvin terkejut, “Visha?” tanya Calvin sekali lagi, ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Dion mengangguk sambil menyesap kopinya. “Iya, Visha. Wanita yang selalu punya tempat spesial di hati gue. Tapi kenapa, Pak? Kayaknya Bapak CEO tampak kaget sekali,” goda Dion lagi, seraya tertawa kecil. Calvin mengernyitkan keningnya heran. Calvin merasa ada yang aneh dan tak biasa pada sosok Visha. Wanita itu mengingatkannya pada wanita yang pernah ia ajak berhubungan saat dirinya dijebak oleh obat perangsang. Meskipun Calvin masih merasa ragu, karena dirinya begitu lupa dengan wajah wanita itu. Namun, suaranya dan tongkat yang Visha gunakan begitu nampak familiar.
Setelah kejadian itu, Visha semakin waspada. Dia berusaha menjauhkan Kai dari Calvin. Sementara Calvin, ia merasa khawatir karena tidak bisa menemukan Kai di rumahnya selama beberapa hari ini, untuk memulai rencananya melakukan tes DNA pada Kai. Dengan penuh kebingungan, setelah hampir dua minggu Kai tak pernah datang lagi. Calvin memutuskan untuk bertanya kepada Asih, tentang keberadaan Kai. “Sepertinya Kai sudah lama tidak terlihat. Apa ada masalah?” “Oh, maaf ya, Den Calvin. Kai baru mulai sekolah jadi dia tidak bisa datang ke sini lagi. Paling nanti kalau liburan Ibu bawa ke sini.” Calvin mengangguk paham, “Dimana Kai bersekolah?” “Kai belajar di TK Bintang Kecil di dekat gank ujung kompleks sini,” jawab Asih sambil kembali fokus pada tanamannya. Wajahnya polos, tidak menunjukkan tanda-tanda curiga atau pertanyaan mengapa seorang Calvin begitu tertarik pada cucunya. Di sisi lain Calvin merasa senang. Setelah mendapat informasi dari Asih, Calvin memutuskan untuk
Pada saat Calvin kembali ke mobilnya, dia lantas menyuruh Bara untuk menelepon sekertarisnya untuk menanyai agenda pada hari ini. Calvin menarik napas lega, mendengar tidak ada jadwal rapat yang mengganggu agenda hari ini. Dia lantas menyuruh sopirnya mengarahkan mobil menuju kafe Dion yang terkenal dengan kopi aromatiknya dan sengaja datang ke sana untuk melakukan pendekatan pada Visha. Setibanya di kafe, Calvin melangkah masuk dengan langkah pasti. Tanpa menunggu lama, dia memilih tempat duduk yang menghadap ke jendela, tempat terbaik untuk menikmati pemandangan jalanan yang ramai. Di sisi lain, Visha yang tengah sibuk melayani pembeli, terkejut bukan kepalang melihat sosok Calvin yang tiba-tiba muncul. Wajahnya yang tadinya ceria berubah menjadi murung. “Pria itu, kenapa dia datang lagi ke sini sih!” gumamnya dalam hati, rasa kesal bercampur bingung mengapa Calvin kembali ke kafe tempat dia bekerja. Visha berusaha menyembunyikan kegelisahannya, namun tangannya sediki
Visha menatap Calvin dengan mata yang berkilat, mencoba membaca setiap ekspresi wajahnya yang tampak tenang namun penuh teka-teki. Dia menelan ludah, berusaha keras untuk menjaga ketenangan meski di dalam hatinya bergemuruh tak menentu. “Ya, Pak! Apa Anda butuh sesuatu?” Suaranya terdengar sedikit gemetar. Di tengah keramaian kafe yang dipenuhi suara bising para pengunjung, saat mata mereka bertemu, ada gema yang tak terdefinisi, sebuah pengakuan tanpa kata yang terhenti di tengah jeda. “Hei, ayo katakan! Elo mau pesan apalagi?” Dion, tiba-tiba memecah suasana tegang namun penuh dengan ketidakpastian itu. Calvin, yang tampaknya terhipnotis oleh kepolosan yang terpancar dari wajah Visha, hanya menggelengkan kepalanya perlahan. “Bawakan satu gelas air putih untuk saya,” ucap Calvin akhirnya, sembari mencoba menyembunyikan kekacauan emosi yang ia rasakan. Visha merasa seakan beban berat terangkat dari bahunya. Dia mengira bahwa Calvin sudah menyadari siapa dia sebenarnya, b