Usai terbunuhnya dua senapati kerajaan Rawamerta. Yakni, Senapati Landaka dan Senapati Loguna, maka Jasena segera memerintahkan para prajuritnya untuk mengevakuasi jasad prajurit yang telah binasa dan juga mengevakuasi para prajurit yang terluka akibat pertempuran pada malam itu.
Setelah itu, pasukannya langsung kembali ke perkemahan untuk mengurus para prajurit yang menjadi korban dari pertempuran itu, sekaligus hendak beristirahat sejenak.
Wanara melarang keras para prajuritnya agar tidak menghancurkan barak milik para prajurit kerajaan Rawamerta. Karena, ia berniat akan merebut barak tersebut dalam serangan berikutnya, dan akan menjadikannya sebagai markas utama bagi para prajurit Padepokan Dewa Petir.
Setibanya di perkemahan, Jasena dan Sumadra langsung menghadap Wanara yang saat itu tengah berbincang dengan Ramanggala yang baru saja tiba di perkemahan tersebut dengan membawa tujuh ribu pasukan, sehingga padukan di perkemahan itu bertambah menjadi dua belas
Karena para prajurit itu sudah merasa terdesak. Mereka pun sudah tidak bisa bertahan lagi, maka terdengar sebuah isyarat dari mulut salah seorang prajurit tersebut.Sepertinya salah seorang dari prajurit itu sedang memanggil prajurit lainnya untuk membantu mereka menghadapi Wanara yang tiba-tiba muncul dan berhasil mengalahkan mereka.'Tuiiit ... tuiiit!' Seperti itulah bunyi isyarat dari prajurit tersebut.Beberapa saat kemudian, beberapa prajurit telah berhamburan keluar dari sebuah saung penjagaan yang ada di depan gerbang barak tersebut, mereka mendekat Wanara dan membuat formasi melingkar.Enam prajurit itu langsung mengepung Wanara dengan menodongkan senjata tombak mereka.Wanara hanya berdiam diri dengan sikap tenang.Ia mengerutkan keningnya sambil berkata dalam hati, "Mereka memang benar-benar mempunyai nyali yang sangat besar."Namun kemudian terdengar salah seorang dari para prajurit itu yang terluka parah
Prabu Bagaskara geram sekali dengan kegagalan para prajuritnya yang bertugas di wilayah kademangan Turonggo. Ditambah lagi dengan hadirnya beberapa pendekar yang sengaja berkunjung ke istana dengan sikap yang tidak sopan dan menjengkelkan.Akan tetapi, Prabu Bagaskara tidak dapat berbuat apa-apa, karena jika dirinya berlaku kasar terhadap para pendekar itu. Maka sudah dapat dipastikan, mereka tidak akan mau membantunya dalam mengatasi pemberontakan yang tengah gencar dilakukan oleh para prajurit dari Padepokan Dewa Petir."Kenapa tidak kita usir saja mereka, Gusti Prabu!" kata Panglima Jaya Wiguna menyarankan. Ia merasa gusar dengan sikap diam Prabu Bagaskara."Hei, kau ini bicara apa? Kita akan kehilangan dukungan, jika mereka kita usir!" hardik sang raja mendelik ke arah Panglima Jaya Wiguna.Entah kenapa, Panglima Jaya Wiguna hanya diam saja? Biasanya ia selalu menentang keputusan raja, jika dinilainya tidak sesuai dengan kehendak dan pemikirannya. Aka
Ketika menginjak hari kelima penyerangan terhadap pertahanan pihak kerajaan yang berbasis di kademangan Turonggo.Para prajurit Padepokan Dewa Petir kembali bersiap untuk melakukan pertempuran. Mereka hendak menghadang kedatangan ribuan para prajurit kerajaan Rawamerta.Kali ini, Wanara turut serta dalam pertempuran tersebut, dan akan memimpin pasukannya bersama Ramanggala.Mendadak terdengar suara seruan dari seorang prajurit senior, "Para prajurit! Berikan jalan untuk yang mulia Raja Bumi!"Seketika muncullah Wanara yang telah mengenakan pakaian kebesarannya sebagai seorang pimpinan dari pasukannya. Ia tersenyum lebar melangkah menuju ke barisan terdepan dari ribuan pasukannya itu, diikuti oleh Ramanggala, Jasena, dan para panglima prajurit.Hari itu dua pasukan berkekuatan besar dan berjumlah ribuan prajurit sudah saling berhadap-hadapan di sebuah sabana luas yang akan menjadi arena pertempuran pada saat itu."Wanara! Sebaiknya kau urungk
Maka dari pihak pasukan kerajaan tinggal Panglima Jaya Wiguna bersama Senapati Karama serta lima panglima saja yang memimpin perang. Sementara yang lainnya sudah kabur meninggalkan arena pertempuran.Wanara dalam pertempuran itu, sudah membuktikan kegagahan dirinya. Hingga akhirnya Senapati Karama dan lima panglima lainnya kabur dari arena pertempuran itu.Tiba-tiba muncul pula Sumadra yang ikutan menyerang Panglima Jaya Wiguna dari udara. Ia tidak segan-segan langsung menyabetkan pedangnya ke arah Panglima Jaya Wiguna yang tengah berhadap-hadapan dengan Wanara.Dengan gerakan cepat, Panglima Jaya Wiguna segera menghindar dari terjangan pedang yang hampir mengenai tubuhnya. Sehingga serangan dari Sumadra hanya mengenai angin kosong saja.Panglima Jaya Wiguna berdiri sambil memandang sinis ke arah Sumadra dan Wanara yang ada di hadapannya. Sedikitpun ia tidak merasa gentar menghadapi kedua pendekar itu."Semua prajurit sudah meninggalkan dirimu send
Senapati Karama dan para prajurit seniornya langsung menghadap Prabu Bagaskara setelah mereka gagal dalam perang. Raut wajah mereka tampak mendung, seakan-akan merasa sangat bersedih karena mengalami kekalahan dalam perang tersebut.Raja Bagaskara merasa kebingungan hingga bertanya, "Hai! Kalian kenapa? Kenapa kalian bersedih? Apa yang ada dalam pikiran kalian?""Maaf, Gusti Prabu. Kami menangis karena kami sudah kalah perang, dua senapati andalan kita telah binasa dan juga dua panglima kita pun tewas oleh keganasan pasukan Wanara. Hal inilah yang membuat kami berduka dan merasa bersedih, Gusti Prabu," jawab Senapati Karama tertunduk di hadapan sang raja.Prabu Bagaskara geleng-geleng kepala melihat sikap senapatinya. Lantas, ia pun berkata, "Yang namanya pertempuran itu, mau kalah ataupun menang. Itu adalah persoalan biasa, kau tidak boleh larut dalam suasana duka! Kau ini seorang pemimpin prajurit, harus kuat dan berani!" tegas sang raja.Mendengar perk
Tujuh hari setelah terbentuknya kerajaan Bumi yang sah. Dewa Kilat Narasoma diutus oleh Dewa Petir untuk menemui Wanara sang raja bumi, ada hal penting yang hendak disampaikan oleh Dewa Kilat Narasoma kepada sang raja bumi atas titah dari pimpinan tertinggi di kerajaan langit.Pada saat itu, Dewa Kilat Narasoma pun terbang melayang bersama dua pengawalnya. Saat Dewa Kilat Narasoma turun dari langit, mereka menjadi heran ketika melihat istana kerajaan masih dalam bentuk sebuah bangunan barak sederhana yang dikelilingi pagar yang terbuat dari batangan kayu hutan saja yang sebagian sudah tampak rapuh.Sejumlah prajurit berdiri berkelompok tengah membahas sesuatu, mereka teramat kaget dengan kehadiran tiga sosok misterius yang tiba-tiba meluncur menembus kegelapan malam dan mendarat di hadapan mereka.Sontak semua prajurit yang tengah berjaga itu langsung menghunus pedang mereka masing-masing."Siapa kalian? Dan ada urusan apa kalian datang ke tempat kami?" tan
Dewa Kilat Narasoma tersenyum lebar dan sangat percaya dengan ucapan Wanara. "Aku percaya sepenuhnya dengan apa yang kau katakan kepadaku Raja. Karena kau adalah manusia pilihan yang tepat untuk menjadi raja bumi!" tandas Dewa Kilat Narasoma. Setelah itu, ia pun langsung menyampaikan pesan dari Dewa Petir kepada Wanara. Yakni, mengenai kekuasaan yang telah diberikan oleh sang Dewa kepada Wanara dan ada sedikit penyampaian lain selain itu."Raja tentu tidak akan menduga jika yang mulia Dewa Petir telah memberikan anugerah ini bukan hanya gelar saja. Akan tetapi, sang Dewa telah mengutus prajurit langit untuk membantu perjuangan Raja dan rakyat kerajaan bumi di masa yang akan datang. Seperti yang sudah tertulis dalam kitab Jala, bahwa pulau ini akan menjadi pusat kerajaan bumi yang disegani oleh kerajaan-kerajaan lain!" tandas Dewa Kilat Narasoma menuturkan.Mendengar keterangan dari Dewa Kilat Narasoma, Wanara lalu memberi isyarat kepada sang Dewa agar ikut dengannya pergi
Wanara pun tak mau sembarangan menerobos masuk. Sehingga, ia lebih memilih kembali untuk mengabarkan hal itu kepada para prajuritnya agar mereka berhati-hati ketika bertugas di perbatasan.Wanara dan Guliwang kembali memacu derap langkah kudanya menuju pulang. Baru beberapa langkah saja, mereka sudah dikejar oleh belasan prajurit musuh entah dari mana datangnya? Mereka berteriak lantang, "Berhentilah! Kami akan memeriksa kalian!" seru salah seorang prajurit dari kerajaan Rawamerta.Mendengar seruan tersebut, Wanara dan Guliwang pun segera menghentikan laju kuda mereka, dan segera berpaling ke arah belakang. Tampak beberapa prajurit kerajaan Rawamerta tengah berdiri dengan posisi memegang senjata masing-masing sambil menatap tajam ke arah Wanara dan Guliwang."Kalian siapa?" bentak prajurit itu mulai mengepung Wanara dan Guliwang."Kami adalah pengembara, memangnya kalian ada urusan apa dengan kami?" jawab Wanara balas bertanya. Ia menutupi identitasnya sebagai ra