Selama dua tahun bersekolah di Airlangga High School, bukan tidak mungkin kalau Neyza berkeinginan untuk bisa berada di kelas para kesayangan para guru. Kelas 12A, kelas terakhir yang bisa dijadikan tujuan setelah dua tahun terjebak di kelas 10F dan 11G. Kelas yang selalu dianggap remeh oleh kebanyakan guru, karena berasal dari buangan siswa-siswi pilihan dari kelas atas.
Tangan Neyza meraih knop pintu ruang kelas 12A. Di dalam sana, 19 anak lain sudah duduk di masing-masing bangkunya.
"Selamat datang Vaneyza Arasyta, biar saya pasangkan name tag ini untuk kamu."
Suara Pak Budi terasa berat di dengarnya. Ia hanya bisa mengangguk dengan rasa lega bercampur senang, karena berhasil memenuhi impiannya sebelum benar-benar lulus dari sekolah asrama terbaik di Kota Surabaya ini.
"Silakan duduk di belakang sana, karena hanya kursi itu yang tersisa."
Neyza mengangguk, lalu melangkahkan kaki menuju bangku yang dimaksud oleh wali kelas barunya. Melewati jajaran baru dari anak-anak lain yang terlihat begitu tenang bisa masuk di kelas unggulan ini, membuatnya merasa speechless.
Ulyn Feanada, gadis dingin dan cuek yang pernah satu kelas dengan Neyza. Duduk tepat di sebelahnya dengan senyuman yang masih sama ketika mereka berada di kelas 10F.
"Lo yang nyuruh gue buat taruhan, kan? Dan sekarang udah terbukti, gue masuk di urutan 11 dan lo urutan 12. Gue lebih unggul satu tingkatan dari lo, jadi kasih apa yang udah lo janjiin waktu itu."
Adinda Carissa, gadis dengan kecantikan natural sedang meminta jatah kemenangan setelah teruhan dengan Willy Rafardhan. Neyza bisa tahu nama-nama itu, karena ada name tag di dada kiri masing-masing.
"Harus banget gitu?"
"Ya, harus. Karena gue adalah pemenangnya," balas Dinda.
Neyza tersenyum tipis, meyaksikan bagaimana anak-anak di kelas yang diimpikannya sejak dua tahun lalu, dengan macam-macam alasan mereka masuk kelas ini.
Di sebelah gadis itu duduk, ada Ulyn yang baru saja mengeluarkan sebuah koran dari tasnya, dan melemparkannya pada Neyza. "Tes PISA udah dilaksanakan tahun 2018, persis kayak yang kita omongin waktu kita satu kelas dulu. Tiga tahun udah berlalu, dan tahun ini adalah waktunya."
Neyza menatap bibir Ulyn yang sedang berbicara serius padanya. Baru setelah itu, membuka lembar koran yang dilempar oleh gadis dingin itu.
"Koran itu nggak berisi kepentingan apapun, gue ngelemparnya karena dari tadi lo ngelamun terus. Nggak usah heran sama anak-anak di kelas terbaik SMA Airlangga ini, lo bakal lebih terkejut setelah cukup lama belajar di kelas ini."
Neyza baru bisa mengoneksi kalimat Ulyn. Gadis dingin itu masih menatap ke depan, sekali pun sedang berbicara cukup serius dengannya.
"Gue nggak heran, justru gue seneng. Karena—"
"—Pak, ada siswa yang telat masuk."
Pak Budi menatap pintu kelas, tiga siswa laki-laki berdiri di ambang sana.
"Kenapa kalian bisa terlambat?"
Neyza merasa ragu, jika kelas yang selalu menjadi impiannya itu adalah kelas terbaik dari kelas lainnya.
"Kita sebenarnya nggak telat Pak, Willy nyuruh kita untuk beli mie ayam di kantin sekolah."
Ucapan salah satu dari ketiga laki-laki itu, membuat Neyza akhirnya mengetahui nama masing-masing dari mereka. Abian Fairel, laki-laki yang berani berbicara pertama kali. Yovieno Stevaga, laki-laki yang membawa semangkuk mie ayam di tangannya, dan terakhir Elvano Alvian yang menunduk takut.
Ulyn mengangkat tangan kanannya, membuat pandangan satu kelas berpusat padanya.
"Saya rasa, anak laki-laki lugu ini telat karena alasan yang kuat Pak. Saya melihat dia ada di bengkel sepeda saat saya berangkat tadi."
Pak Budi mendengarkan penjelasan Ulyn, selanjutnya mengangguk paham dan memberikan pin nama pada Vano, baru menyuruh siswanya itu untuk duduk.
"Gue pikir, gue yang paling terlambat masuk kelas. Ternyata masih ada yang lain," gumam Neyza. Kesan pertama yang dirasakannya ketika pertama kali melihat ada anak kelas atas yang ternyata tidak seambis dan sedisiplin yang ia kira waktu itu.
"Bagaimana pendidikan di Indonesia bisa berkembang, kalau kedisiplinan muridnya saja kurang ha?"
Pak Budi angkat bicara keras di depan kelas. Membuat para siswa di sana terkejut, terutama Vaneyza Arasyta. Hingga tiba-tiba saja gadis itu memiliki keberanian untuk berdiri menatap wali kelasnya.
"Pendidikan di Indonesia belum bisa berkembang, bukan hanya karena kurangnya kedisiplinan siswa, Pak."
Dan begitulah, bagaimana awal Vaneyza ingin menyelamatkan pendidikan di Indonesia dengan sedikit masalah kecil yang biasa di hadapinya selama bersekolah di Airlangga High School.
Bersambung...
Seluruh pandangan satu kelas tiba-tiba berpusat pada bangku paling belakang pojokan. Sosok siswi dengan rambut kuncir kuda itu masih tetap berani menatap Pak Budi dengan keberanian yang dimilikinya.Pak Budi diam di tempatnya, sementara Neyza masih belum juga melanjutkan kalimatnya."Pendidikan di Indonesia, belum juga bisa berkembang karena semua tokohnya. Mulai dari siswa sendiri, masyarakat, pemerintah, dan yang paling penting adalah guru." Ulyn berbicara tanpa bangkit dari tempat duduknya. "Bapak nggak bisa menyalahkan siswa, seolah nggak ada faktor lain yang lebih berpengaruh."Neyza menolehkan wajahnya ke arah Ulyn yang duduk di sebelahnya. Ia mengembangkan senyum, cukup merasa senang karena Ulyn menguatkan argumennya."Kalian benar. Tetapi kedisiplinan siswa juga penting sebagai upaya kecil untuk membangun pendidikan yang layak."Neyza mengangguk dengan tenang, baru setela
"Ibu sendiri, bahkan malu telah bela kamu di lapangan bola tadi." Bu Asti menahan kepalanya yang terasa memberat dengan kedua tangannya. Sosok Willy Rafardhan, hanya bisa terus berpasrah pada guru pembimbing itu setiap kali kena masalah di sekolah, entah bersalah atau menjadi korban.Bu Asti mencoba membuka matanya untuk menatap lurus-lurus ke arah Willy yang tidak peduli dengan ucapannya. Siswa laki-laki itu, justru membuang muka seolah tidak ada siapapun yang sedang berbicara dengannya."Willy, Ibu lagi bicara sama kamu!"Willy menarik wajah tegak menatap Bu Asti, meski sebenarnya bosan hampir setiap hari masuk ke ruang bimbingan ini. "Iya, Bu. Saya juga mendengarkan Ibu daritadi. Ibu pikir saya ngapain aja satu jam duduk di kursi ini?"Bu Asti menghela napasnya dengan cukup panjang. "Sikapmu seperti itu salah, Willy! Saya tahu persis, bagaimana kamu yang selalu mudah terpancing emosi apalagi ini h
"Ibu sendiri, bahkan malu telah bela kamu di lapangan bola tadi." Bu Asti menahan kepalanya yang terasa memberat dengan kedua tangannya. Sosok Willy Rafardhan, hanya bisa terus berpasrah pada guru pembimbing itu setiap kali kena masalah di sekolah, entah bersalah atau menjadi korban.Bu Asti mencoba membuka matanya untuk menatap lurus-lurus ke arah Willy yang tidak peduli dengan ucapannya. Siswa laki-laki itu, justru membuang muka seolah tidak ada siapapun yang sedang berbicara dengannya."Willy, Ibu lagi bicara sama kamu!"Willy menarik wajah tegak menatap Bu Asti, meski sebenarnya bosan hampir setiap hari masuk ke ruang bimbingan ini. "Iya, Bu. Saya juga mendengarkan Ibu daritadi. Ibu pikir saya ngapain aja satu jam duduk di kursi ini?"Bu Asti menghela napasnya dengan cukup panjang. "Sikapmu seperti itu salah, Willy! Saya tahu persis, bagaimana kamu yang selalu mudah terpancing emosi apalagi ini h
Seluruh pandangan satu kelas tiba-tiba berpusat pada bangku paling belakang pojokan. Sosok siswi dengan rambut kuncir kuda itu masih tetap berani menatap Pak Budi dengan keberanian yang dimilikinya.Pak Budi diam di tempatnya, sementara Neyza masih belum juga melanjutkan kalimatnya."Pendidikan di Indonesia, belum juga bisa berkembang karena semua tokohnya. Mulai dari siswa sendiri, masyarakat, pemerintah, dan yang paling penting adalah guru." Ulyn berbicara tanpa bangkit dari tempat duduknya. "Bapak nggak bisa menyalahkan siswa, seolah nggak ada faktor lain yang lebih berpengaruh."Neyza menolehkan wajahnya ke arah Ulyn yang duduk di sebelahnya. Ia mengembangkan senyum, cukup merasa senang karena Ulyn menguatkan argumennya."Kalian benar. Tetapi kedisiplinan siswa juga penting sebagai upaya kecil untuk membangun pendidikan yang layak."Neyza mengangguk dengan tenang, baru setela
Selama dua tahun bersekolah di Airlangga High School, bukan tidak mungkin kalau Neyza berkeinginan untuk bisa berada di kelas para kesayangan para guru. Kelas 12A, kelas terakhir yang bisa dijadikan tujuan setelah dua tahun terjebak di kelas 10F dan 11G. Kelas yang selalu dianggap remeh oleh kebanyakan guru, karena berasal dari buangan siswa-siswi pilihan dari kelas atas.Tangan Neyza meraih knop pintu ruang kelas 12A. Di dalam sana, 19 anak lain sudah duduk di masing-masing bangkunya."Selamat datang Vaneyza Arasyta, biar saya pasangkan name tag ini untuk kamu."Suara Pak Budi terasa berat di dengarnya. Ia hanya bisa mengangguk dengan rasa lega bercampur senang, karena berhasil memenuhi impiannya sebelum benar-benar lulus dari sekolah asrama terbaik di Kota Surabaya ini."Silakan duduk di belakang sana, karena hanya kursi itu yang tersisa."Neyza mengangguk, lalu melangkah