"Ibu sendiri, bahkan malu telah bela kamu di lapangan bola tadi." Bu Asti menahan kepalanya yang terasa memberat dengan kedua tangannya. Sosok Willy Rafardhan, hanya bisa terus berpasrah pada guru pembimbing itu setiap kali kena masalah di sekolah, entah bersalah atau menjadi korban.
Bu Asti mencoba membuka matanya untuk menatap lurus-lurus ke arah Willy yang tidak peduli dengan ucapannya. Siswa laki-laki itu, justru membuang muka seolah tidak ada siapapun yang sedang berbicara dengannya.
"Willy, Ibu lagi bicara sama kamu!"
Willy menarik wajah tegak menatap Bu Asti, meski sebenarnya bosan hampir setiap hari masuk ke ruang bimbingan ini. "Iya, Bu. Saya juga mendengarkan Ibu daritadi. Ibu pikir saya ngapain aja satu jam duduk di kursi ini?"
Bu Asti menghela napasnya dengan cukup panjang. "Sikapmu seperti itu salah, Willy! Saya tahu persis, bagaimana kamu yang selalu mudah terpancing emosi apalagi ini hanya masalah sepele."
Kini giliran Willy yang menghembuskan napasnya cukup berat, sebelum angkat bicara. "Masalah sepele yang bagaimana? Anak-anak kelas bawah itu, menggoda pacar saya Bu. Apa saya salah kalau marah?"
Mungkin kebanyakan sekolah yang berdiri di Indonesia, tidak pernah luput dari permasalahan siswa-siswinya yang didominasi oleh masalah asmara. Jadi tidak juga sedikit guru, yang selalu berusaha memberikan pengertian sebaik mungkin agar permasalahan asmara itu tidak mengganggu prosesi sekolah.
"Saya tahu itu, tetapi kamu seharusnya bisa mengontrol emosi." Bu Asti sama sekali tidak membiarkan opininya terhadap Willy terus melayang di udara. Rasanya sama-sama bosan, jika hampir setiap hari anak laki-laki ini yang langganan masuk ruangan bimbingannya.
"Kalau saja Ibu tidak langsung datang ketika kamu hampir saja memukul Rendy, apa masih tersisa kepercayaan sekolah sama kamu?" Kali ini Bu Asti memberikan pengertian berupa pertanyaan. "Ibu tanya sekali lagi, apa yang akan terjadi?"
Willy tidak memberikan jawaban, pandangannya terus tertunduk ke bawah dengan posisi duduk yang tidak tegak sama sekali.
"Baik, Willy. Sekarang yang Ibu mau, kamu lebih bersikap baik dan kendalikan emosimu apapun masalah yang terjadi." Itu adalah pesan terakhir yang diberikan Bu Asti sebelum membiarkan Willy pergi. "Karena Ibu tidak setiap waktu bisa mengawasi kamu, jadi kau harus bisa berhati-hati sendiri. Paham?"
"Paham, Bu." Willy mengucapkan itu dengan setengah niat dan setengahnya lagi malas. "Sudah itu, Bu!" ucap laki-laki itu lagi sebelum akhirnya berdiri, mengeluarkan handphone dari saku celananya, dan keluar sambil menelepon seseorang.
.
Willy Rafardhan, si tokoh laki-laki yang sangat sering masuk ruang bimbingan Bu Asti. Salah satu teman sekelas Neyza, yang banyak dikenal karena playboy alias banyak pacar. Sosok siswa jangkung, yang juga terkenal sombong karena sering mentraktir teman-temannya tanpa menghitung uang sakunya. Jadi sangat jelas, Willy bukan siswa dari keluarga biasa saja. Dia memiliki sedikit kelebihan, yakni sanggup memberikan jawaban masuk akal ketika Neyza menyusun teka-teki menjadi sebuah pertanyaan.
.
Sebenarnya malas, jika dalam pikiran Neyza yang sudah seharusnya penuh dengan pelajaran justru tiba-tiba sedikit terisi tentang laki-laki bernama lengkap Willy Rafardhan itu. Mengingat bagaimana menjengkelkannya laki-laki itu, ketika di kelas 10F selalu mencari keributan dengannya. Jadi ketika tiba-tiba laki-laki itu baik dan perhatian padanya, rasanya sudah tindakan yang tepat jika tidak dihiraukan saja.
"Heh, liatin apaan sih lo Wil?" Eno bertanya pada Willy. "Papan hitam ada di sana, di depan, kenapa lo liat ke belakang terus sih?"
Senyuman Willy mengembang ketika matanya terus fokus menangkap objek segar di bangku paling belakang sana. "Di belakang, ada sesuatu yang jauh lebih menarik daripada pelajaran Pak Budi yang udah pernah kita dengarin sebelumnya."
Eno sama sekali tidak paham tentang apa dimaksud Willy. Laki-laki itu tidak langsung mengatakan saja apa yang dimaksud, justru mengatakan semua dengan kalimat hiperbolis.
"Apa maksud lo?" Eno terus mencoba bertanya karena penasaran. "Gue nggak paham dah."
"Lo cuma akan ngerti, kalo udah dapet jatah makan siang di kantin . Buat sekarang, udah deh diem aja."
Pendengaran dan tatapan sekilas Neyza masih bisa berfungsi dengan sangat baik. Jadi ia tahu, bagaimana Willy terus memperhatikannya dari bangku depan, lalu berdebat ringan dengan Eno yang penasaran. Namun karena ia malas menanggapi semua itu, akan lebih baik jika berpura-pura tidak tahu dan diam saja asalkan laki-laki bernama Willy itu tidak mengganggunya.
"Heh, nggak butuh pensil lagi?" tanya Ulyn pada Vano di bangku depannya. Laki-laki itu menoleh ragu ke belakang, kini dengan raut wajah dan posisi kepala tegak yang sedikit berani dari hari kemarin. Sementara yang bertanya, menanyakan hal itu dengan begitu santai sambil mencatat materi yang ada di papan hitam.
"Nggak perlu, Ulyn." Vano sebenarnya tampan, tetapi karena sikapnya yang penakut dan pemalu, membuatnya tidak begitu menonjol di kelas atau sekolah ini. "Pulpen yang kamu kasih satu lusin kemarin, masih ada banyak banget. Aku makasih banget."
"Waw, masih lo simpan?"
Vano mengangguk, sementara Ulyn memberikan senyuman tipis yang tidak biasa ia umbar ke sembarang orang. Namun mungkin sekarang, tidak sembarang orang selain Vano —Ups.
Neyza ikut tersenyum tipis, melihat bagaimana lucunya gadis dingin di sebelahnya berinteraksi dengan laki-laki imut dan penakut yang pernah meminjam pensil. Sayangnya, senyuman itu membuat Willy di depan sana langsung percaya diri. Merapikan baju seragamnya, menata rambut, dan terus menatapnya dari jarak sekitar dua meter.
.
"Neyza, lo nggak pengen ke kantin?"
Neyza memejamkan matanya satu detik, lalu membukanya dengan perlahan ke arah yang bertanya. "Apa urusan lo emang?"
Abi hanya geleng-geleng melihat tingkah Willy yang terus berusaha mendekati Neyza. Sementara Eno masih mengerjakan tugasnya yang belum selesai karena sepanjang pelajaran tidak memperhatikan guru.
Willy memberikan senyum termanisnya, "mungkin lo pengen pergi sama gue ke kantin?"
Neyza pun juga membalas dengan sebuah senyuman, tetapi sedikit risih. "Gue nggak pengen ke kantin, Willy Rafardhan." Kalimat itu muncul, ketika pengucapnya buru-buru berjalan dengan cepat.
"Tapi tunggu!" Willy segera menghadang arah jalan Neyza tepat di depan gadis itu hanya berjarak beberapa cm saja. "Jadi lo pengen kemana? Kemana pun lo pergi, gue akan ikut."
Sebenarnya sangat menjengkelkan jika harus meladeni Willy yang saat ini terlihat ingin dekat dengannya. Tetapi jika harus berlama-lama untuk mengiyakan permintaan laki-laki itu, Neyza justru segera berjalan melewati Willy dan tidak peduli akan diikuti atau tidak.
"Ada satu hal yang perlu lo tahu tentang gue, Neyza."
"Sayangnya gue nggak tertarik untuk tahu."
"Tapi lo harus tetap gue kasih tahu," pungkas Willy.
Neyza terus melangkahkan kakinya tanpa peduli Willy yang mengikutinya di sebelah kanannya. Rasa muak dan kesal bercampur menjadi satu sebenarnya, tetapi karena bahkan lebih malas untuk menanggapi, Neyza justru tidak mempedulikan laki-laki itu sama sekali.
"Gue udah berubah, jauh dari diri gue yang lo kenal di kelas 10 lalu."
Neyza tidak merespon apapun. Ia tetap berjalan ke depan, membiarkan Willy mengatakan apa saja yang ia mau sampai puas.
Hutan gunung sawah lautan...
Simpanan kekayaan...
Sebuah suara nyanyian terdengar dari belakang mereka berdua. Belum sempat Neyza bisa menoleh dan menatap penyanyinya dengan jelas, dua orang siswa menabrak pelantun nyanyian itu.
"Hey, hati-hati kalian!" Suara Bu Asti membuat Neyza yang awalnya terfokus pada penabrak, kini beralih pada guru pembimbing itu dan seorang siswi di sebelahnya. "Lain kali hati-hati kalau jalan. Apa kalian berdua tidak melihat Dinda sedang melatih suaranya?"
"Maafkan saya, Bu Asti. Saya dan teman saya nggak sengaja."
Bu Asti terlihat sama sekali tidak menyalahkan Dinda dan justru terus menyalahkan dua siswi lainnya. Neyza sangat bisa melihat jelas, bagaimana sekolah ini memandang status siswa dengan menaruh ketidakadilan di dalamnya.
"Untung saja, Dinda baik-baik saja." Bu Asti membelai rambut halus Dinda perlahan. "Kalau Dinda sampai jatuh, bagaimana dia bisa mengikuti lomba bernyanyi solo nanti, ha?"
Neyza langsung memutar badannya, kini arah jalnnya ke arah Bu Asti, Dinda dan dua siswi di belakangnya sana. "Tetapi mereka sudah meminta maaf Bu Asti. Lagi pula mereka nggak sengaja nabrak Dinda. Apa permintaan maaf mereka berdua nggak ada artinya?"
Bu Asti tersenyum simpul, tetapi tetap manis. "Jangan hiperbolis Vaneyza, Ibu hanya menyampaikan kebenarannya. Omong-omong, bukankah kamu dari kelas 12A?"
Neyza menelan salivanya dalam-dalam. Di sebelahnya masih tetap ada Willy, yang saat ini terus mengikutinya. Ia merasakan, kenapa setiap ia mencoba menggugah keadilan, pertanyaan tentang ia di kelas apa selalu ada? Heran.
"Maaf, tetapi apa masalahnya dengan kelas yang saya tempati Bu?"
"Em, nggak ada. Seenggaknya, Ibu bisa menilai kamu dari sisi lain."
Neyza mengerutkan alis. "Sisi lain? Apa yang Ibu maksud kalau saya dari kelas 12A, ibu nggak akan menegur saya dan justru membiarkan saya speak up?" Pertanyaan itu terlontar dengan begitu gamblang. "Konyol banget ya sekolah ini, kasta kelas tinggi baru dihargai. Bahkan guru-guru sama sekali tidak peduli dengan siswa kasta rendah. Apa ini tujuan dibuat pembagian kelas berdasarkan nilai raport setiap semesternya?"
Willy tiba-tiba menahan tangannya untuk memberikan kekuatan.
"Iya, karena mereka yang mau berusaha untuk mendapat nilai tinggi bisa dipastikan akan masuk kelas kasta atas agar dihargai. Jelas berbeda dengan mereka yang hanya mau hasil tanpa mau berusaha, itu hanya akan memberikan mereka kelas cap buruk di sekolah ini."
Bu Asti ada benarnya, kebanyakan ia selalu cerewet dengan siswa yang sangat sulit diatur dan kurang disiplin. Untuk sementara menit berlalu, Neyza menahan bibirnya agar tidak mengeluarkan kalimat yang dihasilkan dari emosional.
"Hukum hidup di Indonesia kayak gini udah biasa, lo aja yang terlalu terobsesi sama kehidupan sama rata." Kali ini giliran Dinda yang menyombongkan dirinya setelah dibela oleh Bu Asti. "Hidup tanpa persaingan itu mustahil. Lo aja rela kan kehilangan temen-temen lo dari kelas bawah sampai bisa naik kasta ke kelas 12A? Buat kecurangan apa lo?"
Neyza menelan salivanya pahit-pahit, perkataan Dinda memang terkadang selalu memancing emosi. Apalagi saat ini, ia berada di mana ia akan selalu dibela para guru terutama Bu Asti.
"Apa lo nggak salah nuduh gue kayak gitu?"
"Nggak sama sekali," pungkas Dinda dengan gelengan kepala terkesan menyombongkan diri.
Neyza sontak melepas tautan tangannya dengan Willy. Satu langkah kakinya dimajukan, pandangan matanya lurus-lurus menatap tajam Dinda.
"Lo seharusnya ngaca sama diri lo sendiri, gimana bodohnya lo ketika kepergok sama gue tentang kertas buram mencurigakan itu. Lo gue nggak tau isinya?"
Dinda diam seketika. Jika yang dibahas sudah tentang kertas buram yang menjadi rahasianya selama ini, bukan tidak mungkin ia takut semua akan dibongkar dengan sia-sia.
"Kertas apaan, Ney?"
Kedua lekuk wajah dengan rahang perempuan yang cukup tegas. Mata mereka bertemu di satu titik yang sama yaitu perdebatan.
"Kertas apa yang kamu maksud Neyza?"
Semua itu berlangsung cukup lama, sampai setidaknya Neyza memilih membuang muka dan mundur lebih dari satu langkah sejajar dengan di mana Willy berdiri.
"Keadilan itu penting buat ditumbuhkan di sekolah ini. Sekolah tanpa keadilan, murid yang menang segala akan semakin semena-mena, Bu."
Willy tidak bisa mengatakan apapun untuk sekarang, pasalnya Neyza benar-benar gadis paling nekat yang pernah ia kelas sejak menjadi salah satu siswa di SMA Airlangga ini.
"Apakah pantas setiap murid mendapatkan perlakuan yang berbeda bahkan semua didasarkan dari nilai-nilai mereka? Ini lucu."
Bu Asti menghela napas beberapa kali setiap Neyza mengeluarkan semua keluhannya. Tidak ada bahasa yang lebih baik dari apa yang bisa ia dengar.
"Neyza, jaga bicara kamu. Bagaimana pun juga, kamu cuma siswa di sini."
Neyza manggut-manggut yakin dengan senyuman tipis. "Ya, aku emang cuma siswa di sini. Dan Dinda, bukankah dia juga sederajat sama aku?"
Bu Asti justru menggeleng tanpa ragu. "Kenapa pembahasan ini semakin kacau?"
"Keadaan yang memperkacau ini semua, apakah sulit untuk Ibu hanya menjawab pertanyaan itu? Sesulit itu kah menumbuhkan keadilan di sekolah terpandang ini?"
Dan bagaimana pertanyaan bom itu meledak saat Dinda hampir saja mati di tempat karena Neyza hampir saja membongkar rahasianya.
Selama dua tahun bersekolah di Airlangga High School, bukan tidak mungkin kalau Neyza berkeinginan untuk bisa berada di kelas para kesayangan para guru. Kelas 12A, kelas terakhir yang bisa dijadikan tujuan setelah dua tahun terjebak di kelas 10F dan 11G. Kelas yang selalu dianggap remeh oleh kebanyakan guru, karena berasal dari buangan siswa-siswi pilihan dari kelas atas.Tangan Neyza meraih knop pintu ruang kelas 12A. Di dalam sana, 19 anak lain sudah duduk di masing-masing bangkunya."Selamat datang Vaneyza Arasyta, biar saya pasangkan name tag ini untuk kamu."Suara Pak Budi terasa berat di dengarnya. Ia hanya bisa mengangguk dengan rasa lega bercampur senang, karena berhasil memenuhi impiannya sebelum benar-benar lulus dari sekolah asrama terbaik di Kota Surabaya ini."Silakan duduk di belakang sana, karena hanya kursi itu yang tersisa."Neyza mengangguk, lalu melangkah
Seluruh pandangan satu kelas tiba-tiba berpusat pada bangku paling belakang pojokan. Sosok siswi dengan rambut kuncir kuda itu masih tetap berani menatap Pak Budi dengan keberanian yang dimilikinya.Pak Budi diam di tempatnya, sementara Neyza masih belum juga melanjutkan kalimatnya."Pendidikan di Indonesia, belum juga bisa berkembang karena semua tokohnya. Mulai dari siswa sendiri, masyarakat, pemerintah, dan yang paling penting adalah guru." Ulyn berbicara tanpa bangkit dari tempat duduknya. "Bapak nggak bisa menyalahkan siswa, seolah nggak ada faktor lain yang lebih berpengaruh."Neyza menolehkan wajahnya ke arah Ulyn yang duduk di sebelahnya. Ia mengembangkan senyum, cukup merasa senang karena Ulyn menguatkan argumennya."Kalian benar. Tetapi kedisiplinan siswa juga penting sebagai upaya kecil untuk membangun pendidikan yang layak."Neyza mengangguk dengan tenang, baru setela
"Ibu sendiri, bahkan malu telah bela kamu di lapangan bola tadi." Bu Asti menahan kepalanya yang terasa memberat dengan kedua tangannya. Sosok Willy Rafardhan, hanya bisa terus berpasrah pada guru pembimbing itu setiap kali kena masalah di sekolah, entah bersalah atau menjadi korban.Bu Asti mencoba membuka matanya untuk menatap lurus-lurus ke arah Willy yang tidak peduli dengan ucapannya. Siswa laki-laki itu, justru membuang muka seolah tidak ada siapapun yang sedang berbicara dengannya."Willy, Ibu lagi bicara sama kamu!"Willy menarik wajah tegak menatap Bu Asti, meski sebenarnya bosan hampir setiap hari masuk ke ruang bimbingan ini. "Iya, Bu. Saya juga mendengarkan Ibu daritadi. Ibu pikir saya ngapain aja satu jam duduk di kursi ini?"Bu Asti menghela napasnya dengan cukup panjang. "Sikapmu seperti itu salah, Willy! Saya tahu persis, bagaimana kamu yang selalu mudah terpancing emosi apalagi ini h
Seluruh pandangan satu kelas tiba-tiba berpusat pada bangku paling belakang pojokan. Sosok siswi dengan rambut kuncir kuda itu masih tetap berani menatap Pak Budi dengan keberanian yang dimilikinya.Pak Budi diam di tempatnya, sementara Neyza masih belum juga melanjutkan kalimatnya."Pendidikan di Indonesia, belum juga bisa berkembang karena semua tokohnya. Mulai dari siswa sendiri, masyarakat, pemerintah, dan yang paling penting adalah guru." Ulyn berbicara tanpa bangkit dari tempat duduknya. "Bapak nggak bisa menyalahkan siswa, seolah nggak ada faktor lain yang lebih berpengaruh."Neyza menolehkan wajahnya ke arah Ulyn yang duduk di sebelahnya. Ia mengembangkan senyum, cukup merasa senang karena Ulyn menguatkan argumennya."Kalian benar. Tetapi kedisiplinan siswa juga penting sebagai upaya kecil untuk membangun pendidikan yang layak."Neyza mengangguk dengan tenang, baru setela
Selama dua tahun bersekolah di Airlangga High School, bukan tidak mungkin kalau Neyza berkeinginan untuk bisa berada di kelas para kesayangan para guru. Kelas 12A, kelas terakhir yang bisa dijadikan tujuan setelah dua tahun terjebak di kelas 10F dan 11G. Kelas yang selalu dianggap remeh oleh kebanyakan guru, karena berasal dari buangan siswa-siswi pilihan dari kelas atas.Tangan Neyza meraih knop pintu ruang kelas 12A. Di dalam sana, 19 anak lain sudah duduk di masing-masing bangkunya."Selamat datang Vaneyza Arasyta, biar saya pasangkan name tag ini untuk kamu."Suara Pak Budi terasa berat di dengarnya. Ia hanya bisa mengangguk dengan rasa lega bercampur senang, karena berhasil memenuhi impiannya sebelum benar-benar lulus dari sekolah asrama terbaik di Kota Surabaya ini."Silakan duduk di belakang sana, karena hanya kursi itu yang tersisa."Neyza mengangguk, lalu melangkah