“AH! IYA AKU LUPA!” ucapku sambil menepuk jidat.
“Kenapa?” tanya Reza sambil memasukan suapan nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Tadi ini harganya berapa ya? Hehehe,” jawabku sambil menyengir dan menunjuk piring kotorku.
Reza yang mendengarnya menjadi tersedak dan buru-buru minum, aku pun yang melihatnya buru-buru menepuk pundak pemuda ini.
“UHUK UHUK UHUK.”
“Eh, kenapa?”
“Aku kira ada apa,” Reza memutarkan badanya sambil mengahadap Nara.
“Maaf,” ucapku yang menundukan kepala.
“Gapapa,” ujarnya sambil mengelus pucuk kepalaku, aku yang mendapatkan perlakukan itu spontan menepis kasar tangan kekar pemuda itu dari kepalaku.
“Dasar ga sopan!” bentakku. Aku mendengus kesal padanya.
Reza yang ditepis tangannya langsung memunculkan wajah tak sukanya. “Menarik,” pikir Reza.
“Tapi ada syaratnya…”
Aku yang mendengar ucapannya hanya bisa menarik nafas dalam dan menyesal menerima ajakannya tadi. Andai aja kalau waktu bisa berputar.
“Kapan nasib Nara berubah?” gumamku pelan namun, Reza bisa mendengar jelas apa yang gadisnya ucapkan barusan.
Reza lagi-lagi memunculkan senyuman iblisnya, ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya. Semakin ia mengulur waktu semakin lama juga Reza mendapatkan mangsanya. Reza sudah menanti lama moment ini melihat reaksi mangsanya saat mau memasuki kandangnya.
Aku dibuat penasaran padanya. “Kenapa harus digantung sih ngomongnya!” kesalku .
“Menikahlah denganku.”
“Omong kosong,” bantinku yang menatap tajam ke arahnya.
“Untuk membayar nasi gorengnya dan itu menjadi syarat utamanya.” ketika aku mau protes padanya tapi ia malah lanjut berbicara.
Aku membulatkan mataku, rasanya ingin sekali menampar pemuda ini.
“Tanpa penolakan,” sambungnya sambil menatap ku dingin.
“Dasar gila!” makiku lalu menglenggang pergi meninggal pemuda itu diam ditempatnya.
Reza mengepal kuat tangan, melihat Nara begitu saja tanpa mengucapkan ‘terima makasih’. Reza melirik sekitarnya lalu ia mengambil ponsel di saku depan celanannya.
"Rey, tetap awasin Nara!"
Belum sempat Reyhan menjawab, Reza sudah lebih dulu menutup telefonnya.
"Jadi kamu menganggap ini hanya bercanda ya," Reza tersenyum smirk lalu berjalan keluar rumah sakit dan memasuki mobilnya untuk kembali ke perusahaannya.
Setibanya di MaLvi Company, Reza disambut hangat dengan semua karyawan di sana namun, Reza tidak membalasnya. Ia hanya berjalan lurus ke arah ruangannya tanpa memperdulikan sekitarnya. Langkahnya terhenti karna salah satu karyawannya mengajaknya berbicara.
"Permisi tuan," ucapnya sopan sambil membungkukkan badannya.
"Ya?" sahut Reza sambil memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana.
"Saya telah menemukan perusahan yang benar-benar ahli di bidang desain dan-" ujarnya berhenti saat Reza membalikan badannya dan menatap tajam karyawannya.
"Batalkan kerja sama itu."
"T-tapi tuan wakil perusahannya sudah berada di sini."
"Apa saya peduli?" ucap Reza yang lalu berjalan kearah ruangannya.
"Mampus nasib gue gimana!" gumam karyawan itu.
Sesampainya di ruangannya, Reza langsung melepaskan jas tuxedo berwana hitam seraya berjalan ke arah kaca jendela.
Ting
Reza membalikan badannya dan meraih ponsel miliknya.
Reyhan A : Tuan nona Nara bekerja di WhitE Cafe.
Reyhan A : Foto.
Reza melihat isi pesannya, bernafas lega. Jarinya mulai membelas pesan tersebut, pikiran jahatnya seolah begitu saja terlintas di benaknya.
Reza M : Bilang ke manajernya suruh pecat dia dan tidak ada uang gaji untuk bulan ini.
Reyhan A : Baik tuan.
Reza mematikan ponselnya seraya menutup mata untuk menetralkan suasana hatinya.
"Bahkan takdir aja sudah merestui kita. Buat apa kamu lari jauh itu akan membuat mu lelah," monolognya.
Perkataan yang Reza lontar semuanya akan menjadi kenyataan, jika diingat-ingat lagi Reza mempunyai kekuasan besar. Maka tak heran jika semua orang akan mengikuti perkataannya.
Aku berjalan masuk ke dalam ruangan ganti dan segera melayani pembeli
"Dek, kamu ga jagain mama kamu?" tanya mba Shafa. Mba Shafa salah satu pegawai di cafe ini yang ku percaya. Aku sama mba Shafa terpaut umur yang lumayan jauh, aku yang 2 bulan lagi akan lulus SMA sedangkan mba Shafa yang udah berumur 25 tahun.
"Ga dulu mba," jawab ku sambil mengelap meja cafe. Pikiranku masih sama ditambah lagi saat aku bertemu pemuda yang ga jelas itu.
"Mba?"
"Iya?"
"Nara mau curhat mba boleh, ya" mohonku sama mba Shafa. Saat ini aku memang sangat membutuhkan pundak seseorang.
"Boleh dek," jawab mba Shafa seraya meraih tanganku dan kita duduk di kursih pelanggan paling belakang.
Aku mulai menceritakan kejadian yang tadi pagi, aku udah ga bisa menahan bendungan air mataku saat aku menceritakan soal mama. Rasanya mau putus asa.
"Jadi kamu masih ada utang 44 juta, dek?" aku hanya mengangguk lemas.
"Yampun, dek" ujar mba Shafa seraya mengelus tangan ku.
Shafa yang tau segala hal tentang kehidupan Nara, bagaimana dengan keluarganya, kehidupan yang Nara jalani. Shafa ingin sekali membantu Nara namun, ia juga harus paham sama keadaannya sekarang.
"Hiks...mba, Nara harus gimana hiks...ga kuat mba! N-Nara cape hiks...pa-papah hiks...Nara cape!"
"Husst ga boleh ngomong gitu ah mba ga suka. Hmm...gini deh mba ada uang nih sekitar 3 juta, mba kasih pinjem ke kamu tapi terserah kamu deh mau bayar kapan, dek" Shafa hanya menatap miris adeknya.
Walaupun tidak ada ikatan darah tapi baik Nara maupun Shafa, mereka sangat dekat. Bahkan Shafa pun pernah menawari Nara untuk tinggal bersamanya namun, Nara menolaknya dengan halus.
Aku mengangkat kepala ku untuk menatap mba Shafa, aku merasa senang bahwa masih ada yang mau bersimpati padaku.
"Ga usah mba, Nara kuat ko" ucapku sambil menggelengkan kepala dan tersenyum padanya.
"Nara!" Panggil salah satu karyawan di sini.
"Iya?"
"Di panggil pak bos!"
Deg
Cobaan apalagi ini.
"Tunggu sebentar ka," aku langsung menyekat air mataku.
"SEMANGAT!" mba Shafa memberiku semangat.
Aku berjalan ragu untuk menghampiri ruangannya. Setibanya di depan pintu aku terdiam sebentar seraya mengusir perasaan yang ga enak yang sedari tadi menghantuiku.
Tok tok tok tok
"Masuk," titahnya dari dalam pintu.
Ceklek
"Permisi pak," ucapku sambil membungkukkan badan.
"Duduk Nara," sahutnya untuk menyuruhku duduk.
"Ada apa ya pak?" Tanyaku dengan ragu. Mati-matian aku menahan air mataku agar ga lolos keluar.
"Seperti ini akhir-akhir ini bulan ini kamu kenapa? Tidak fokus. Saya paham dengan keadaanmu sekarang, tapi kerja ya kerja jangan dicampuri urusan masalah yang lain," aku hanya menghembuskan nafas lelah.
"Saya tidak mau reputasi cafe saya menurun hanya gara-gara sifat teledornya kamu, paham?!" suara pemilik cafe sedikit meninggi.
"Pa-paham pak."
"Ini sedikit gaji kamu," ucap bosku sambil memberi amplop coklat.
Air mataku meloloskan keluar begitu aja. "Hiks...bapak maksudnya, maksudnya s-saya di hiks...pecat, pak?" bo ku hanya mengangguk.
"Silahkan keluar."
"G-ga bapak, Nara janji. Janji pak bakalan lebih baik lagi hiks..." ucapku sambil memohon padanya namun, keputusannya sudah bulat.
Aku melenggang pergi dari ruangannya aku berjalan kearah toilet. Di sana aku menangis aku luapan rasa lelahku.“Maaf saya, Nara,” ucap sang pemilik yang terdengar menyesal. Kurang lebih satu tahun ini pemilik cafe diam-diam memperhatian Nara dan sudah satu tahun ini juga ia memendam rasanya pada Nara. Farhan Dirgantara ialah pemilik cafe tersebut sekaligus sahabat kecilnya Reza.Setelah berpamitan dengan semuanya, aku ga tau harus kemana lagi. Aku hanya lelah.Disini lain Reza sedang tersenyum kemenangan melihat Naranya menderita karnanya. Ia melihat wajah gadisnya yang keluar dari cafe milik Farhan dengan wajah yang sangat cape.Dddrrrttttt ddddrrrrtttttTelefonku berbunyi, aku melihat siapa yang menelefonku dan ternyata perawat kamar mama."Suster Anez," gumamku sambil mengklik tombol hijau."Halo sus," ucapku yang dengan su
Ponsel Reza berbunyi.Ia merogoh saku belakang celananya untuk mengambil ponselnya, ia berdecak kesal membaca pesan itu. Kenapa di saat seperti ini harus ada penghalang ke bahagiaannya.Reyhan A : Tuan hari ada rapat penting mengenai bekerja bersama dengan Worts Babel. Serta beberapa dokumen yang harus di tanda tanganin.Reza M : Saya ke sana.Reza bergegas untuk ke perusahannya untuk saat ini jadwalnya tidak bisa di tunda lagi apalagi dengan perusahaan Worts Babel. Jika ia berhasil bekerja sama dengannya itu akan sangat menguntungkan bagi MaLvi Company dan untuk dirinya sendiri.Sesampainya di ruang rapat, Reza di sambut hangat oleh ketua Worts Babel. Tangan terulur untuk berjabat tangan, Reza yang ditemani oleh Reyhan dan beberapa karyawan kepercayaannya untuk melangsungkan rapat penting ini.Setelah rapat berlangsung baik dari pihak Worts Babel dan pihak MaLvi Company, akhirnya
"Ngapain sih ngeliatin mulu!" suasana hatiku yang lagi buruk ditambah lagi dengan pemuda yang ga jelas satu ini."Gunanya punya mata buat apa?" jawabnya sambil menyenderkan punggungnya."Aku bingung," ujarku dengan tatapan kosong. Reza hanya melipatkan kedua tangannya di dada."Saya paham.""Gimana kamu bisa kenal sama mama?"Reza hanya menaikan pundaknya sambil menghela nafas nafas. Aku mulai merasakan perih di lambungku dan merasa sangat dingin."Pulang yuk," ajaknya. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia malah langsung menggandeng tanganku. Reza merasakan tangan Nara yang sangat dingin, ia juga melihat baju Nara masih sama seperti tadi hanya saja Nara memakai sweater moca yang melekat ditubuhnya.Aku hanya mengikutinya dari belakang. Aku merasakan kehangatan di tangan Reza saat di dalam mobil. Aku yang awalnya membuka suara untuk memecahka
Aku sontak melihat badanku dan ternyata masih full, pakaianku pun masih sama seperti tadi hanya saja sweaternya yang terlepas. Mbo yang melihatku lalu tersenyum seraya mengajakku untuk turun ke bawah dan makan malam bersama.“Mbo duluan aja, ya? Nara mau ke kamar mandi dulu,” mbo mengangguk dan meninggal Nara sendirian.“Loh mbo? Nara kemana?” tanya Reza.Sontak membuat raut wajah Reyhan menjadi kebingungan.“Masih ada di kamar tuan, katanya mau ke kamar mandi dulu. Mbo ke dapur dulu ya tuan.”“Ka? Ada Nara di sini?”Reza berdehem sebagai jawabannya. “Hmm.”Sedangkan Aku? aku masih bingung mau melakukan apa. Jujur terlebih lagi saat ini aku baru bangun tidur pasti nyawaku belum terkumpul dengan sempurna, apa iya Reza mau menculikku dan memaksa untuk menikahinya.
"KENAPA LO JUAL SAHAM GUE KE MUSUH GUE! BRENGSEK!" Reza yang sudah membabi buta.Axell meludahkan darahnya dan menatap sengit Reza. "KARNA SIFAT SOMBONG LO! ANGKUHNYA LO! DAN LO SELALU MEMANFAATKAN GUE SEMENA-MENA! ITU YANG BUAT GUE MUAK!" hardik Axell.BUGH!BUGH!BUGH!Reza langsung menendang kuat perut Axell. Axell mulai tak berdaya dan sulit untuk bernapas, bagi Reza orang sudah munafik akan selamanya menjadi munafik.Kemeja putih Reza sudah berlumuran darah. "Siksa si kotoran ini dalam 2 jam! Siapkan air panas perasan lemon!" perintahnya lalu berjalan mundur untuk duduk manis seraya menyaksikan pertunjukan yang akan segera dimulai."Ka, jangan lupa di rumah ada ka Nara," Reyhan yang mulai memperingati Reza, Reyhan juga melupakan adanya Nara di rumah."Hmm.""AAAARRRGGGHHHH! SAKITTTTT!" teriak Axell yang kesekian kalinya
Semenjak aku berada di mansion Reza, tanpa Reza sadari ia sudah menunjukan sifat manjanya padaku. Aku pun juga merasakan perubahan pada dirinya yang awalnya aku kira Reza adalah pemuda yang annoying dan membosankan tapi aku rasa ia tidak terlalu buruk sekarang-sekarang ini.Sebelum aku mengobati lukanya aku sempet introgasi dia dulu perihal baju yang penuh dengan darah lalu menceramahinya abis-abisan namun, lelaki itu malahan senyum-senyum ga jelas ia sama sekali tak menggubris pertanyaanku. Reza bisa melihat dari sorot mataku yang menandakan aku sedang khawatir padanya. Ia sedari tadi tak menanggapi ucapanku, Reza hanya melipat kedua tangannya di dada seraya tersenyum ga jelas ke arahku.Ntah mengapa kalau aku ingat-ingat lagi kejadian beberapa jam yang lalu, ada rasa penasaran dalam diriku. Aku menjadi kasihan padanya jika ia selalu pulang malam dalam keadaan kacau seperti tadi, siapa yang akan merawat Reza?Aku mengam
Pagi ini udaranya sangat sejuk apalagi saat pemuda di samping ini mengatakan ‘sayang’ makin tambah sejuk. Aku teringat dulu kalau masih ada ayah pasti ia akan mengajakku untuk berjalan pagi dan disaat itu juga aku melihat aku dipukuli beberapa orang yang berbadan besar serta mukanya yang sangat seram. Aku menatap ayah dari kejauhan sambil menutup mulutku agar tidak terdengar isak tangisku ada banyak trauma yang aku alami dan sampai sekarang trauma itu belum hilang. Aku juga pernah merasakaan ketakutan saat ingin menyebrang jalan bersama mama.Flashback OnSaat aku dan mama akan berjalan pulang, aku sempat melihat disebrang sana yang jualan susu vanila. Aku terus-terusan merengek ke mama untuk dibelikan susu itu, padahal aku sendiri tidak tahu rasanya seperti apa susu vanila.“Mama! Nara mau itu,” rengekku seraya menunjuk penjual susu disebrang sana.Mata mamanya mengikuti arah yang ditunjuk
Saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, baik aku mau pun Reza kita saling bertukar cerita namun, masih belum menyinggung ke topik yang lebih privasi. Walupun Reza di luarnya terlihat sangat nyebalin, dingin, angkuh, dan juga sombong tapi aslinya ia akan menunjukan sikap pedulinya walaupun dengan caranya sendiri tapi walaupun begitu bukan berarti sifat nyebelin, angkuh, dan sombongnya menghilang begitu saja.Nara menceritakan tentang pekerjaannya, sekolah, dan pertemanan. Nara menceritakannya dengan sangat detail, sebenarnya Nara adalah orang tidak mudah begitu langsung percaya menceritakan semuanya sama orang asing tapi ntah sama Reza rasanya jadi beda dan nyaman namun, tanpa Nara sadari secara ga langsung Nara telah membantu Reza untuk mengumpulkan data pribadi Nara sendiri jadi Reza tak usah pusing-pusing untuk menyuruh Reyhan menguntit Nara. Sepanjang Nara bercerita ekspresi wajah Reza hanya tersenyum licik.Ia terlihat sangat kaget
Aku menoleh ke Reza yang tiba-tiba terpaku dengan ucapanku barusan, apa aku salah ngomong tadi? Kenapa dia tiba-tiba diam? Malahan sekarang yang menjadi bingung sendiri.“Reza? Kamu kenapa?” aku menyerngit kebingungan, aku takut kalau ucapakan aku salah.Reza berusaha untuk menutupi sikap gugupnya agar tidak ketahuan kalau ia sedang panik. “Ah, gapapa,” ujarnya yang berusaha tenang.“Beneran?” aku hanya ingin memastikannya lagi kalau ia benar-benar tidak apa-apa dengan ucapanku yang barusan. “Iya.” Reza menambah kecepatan mobilnya tiba-tiba perasaannya berubah menjadi tak tenang.“Tapi…” ucapku yang mulai terdengar mulai getir, sesak rasanya ingin mengatakan ini.Reza menunggu kelanjutan dari Nara, ia sedikit melirik ke arah samping dan mendapati gadisnya yang sedang mengepal erat hingga berubah warna kulitnya men
Aku terbangung sekitar pukul 08.00 aku merasakan pegal di bagian leher saat aku menoleh ke samping aku mendapati Reza yang tengah tertidur pulas, tangan kecilku mengusap rambut tebalnya lalu beberapa kali menyibak rambutnya dengan lembut, aku menghembuskan napas lelah dan mencoba untuk duduk perlahan-lahan agar tidur Reza tidak terganggu gara-gara pergerakan aku. Aku usap air mataku yang tiba-tiba menetes, semua beban yang berada dipundakku sudah terlalu banyak dan aku tidak sanggup untuk menahan semuanya.Semua kejadian yang aku alami sudah cukup membuatku hampir gila, aku melihat pergelangan tangan kiri yang hampir penuh dengan goresan cutter hanya goresan itu membuatku merasa lebih baik dan tenang.Kehidupanku jauh dari kata baik, semuanya aku punya sudah hancur berkeping-keping, semua yang aku sayangin sudah tidak ada lagi. Apa kehadiranku membawa kesialan bagi keluargaku sendiri?Isak tangisku semakin lama semakin k
Flashback OnSaat memasuki ruangan dokter, tangan dokternya terulur untuk berjabat tangan tapi Reza enggan melakukan itu dan langsung duduk, tatapnnya begitu dingin. “Katakan.”“Apa nona suka minum obat tidur dengan dosis yang tak seharusnya dianjurkan, tuan?” ujar Rafa selaku dokter yang menanganiku .Reza terdiam sejenak. “Maksudnya?”“Baik, tadi ada anak buah tuan yang memberi obat ini, saat kami melakukan pengecekan dan menyatakan kalau obat ini adalah sebagai obat penenang dan obat tidur,” jelas Rafa yang memberikan beberapa merk obat yang biasanya aku minum.Reza terlihat sangat kebingungan dengan penuturan dokter Rafa, ia mencoba meraih obat tersebut lalu mencium aromanya. Reza sangat tahu dengan aroma obat ini, obat yang biasanya orang tersayangnya minum hingga sudah tiada. “Mama,” lirik Reza dalam batin.
Sedang si pengirim pesan misterius lagi tertawa kemenangan, Ia makin ga sabar untuk membuat Reza menderita atas aksinya setelah beberapa tahun ia mencoba untuk sabar dan memilih waktu yang tepat.Reza Malviano selaku CEO dari MaLvi Company, ia mempunyai banyak kekuasaan atas jabatannya pemilik perusahaan dan CEO. Kekuasannya yang membuat Reza bertindak semaunya tanpa takut ada yang menuntutnya sekali pun, ia sudah kebal dengan para musuh-musuh di luaran sana.Kekuasaanya yang membuat semua orang harus mau ga mau bertunduk dan berlutut pasrah padanya. Reza sangat berpengaruh dalam bidang bisnis segala cara akan ia lakukan untuk berhasil dan memenang tender. Walau ia tau itu akan melanggar aturan tapi seorang Reza Malviano tidak bisa diperintah dengan siapa pun.Reza hanya bisa memerintah tapi tak bisa diperintah.Itulah julukan yang ia dapatkan.Ada banyak perusahaan ternama yang
Sekarang dirinya bingung harus berbuat apa untuk Nara percaya sepenuhnya pada Reza. Setibanya di kantor, Reza menyuruh Reyhan untuk menemuinya di ruangan pribadi, Reza. Di perusahaanya Reza memiliki dua ruangan yang berbeda dan berbeda pula fungsinya tidak bisa sembarangan orang bisa meyelinap masuk.Tok tok tok tok“Masuk.”Reyhan menghela nafas. “Ini pasti masalah, Nara?” duganya.“Iya.”“Ada apa nih?” tanya Reyhan seraya mengambil toples kacang almond.Plak!“Punya gue,” Reza memukul tangan Reyhan yang hendak mengambil harta bendanya. Reyhan mendengus kesal. “Yailah pelit.” Reza ga akan ngebiarin siapa pun mengambil kacang almondnya, baginya kacang almondnya adalah moodbosternya.“Gue bingung sama diri gue sendiri…&rdqu
Aku membawakannya teh hijau hangat, air hangat, minyak kayu putih, dan kompresan air hangat. "Reza jangan bobo dulu," aku menggoyangkan pundaknya."Kamu ngikutin apa yang aku suruh ya," pintaku seraya menyibak rambut tebalnya."Kalau aku ga bisa?" tanyanya polos. Aku terkekeh geli, ternyata ini sifat aslinya.Aku membantunya untuk duduk namun, dia hanya senyam-senyum ga jelas. "Kamu minum ini pelan-pelan ini panas, ya," aku mengambil gelas teh hijau lalu di kasih ke Reza."Huh! Nara ini panas," ucapnya sambil mengibas-mengibas tangannya ke mulut."Ahahahaha kamu ih. Kan aku suruh apa? Pelan-pelan, Reza.""Kamu cantik..." godanya."Hmm." Ia memajukan bibirnya dengan ekspresi marah. Aku yang melihatnya jadi gemas sendiri."Apa kamu marah? Aku ga mau tolongin kamu lagi," ucapku yang seolah-olah dibuat marah. 
"Reza..." panggilku sekali lagi sambil memegang kepalan tangannya tapi Reza menepis tanganku dengan kasar."BISA DIEM! LO GA TULI, KAN! NARA CHARLIE!" gertaknya yang membuatku takut dan berjalan mundur perlahan. Reza menekan kata-kata 'Charlie' Jujur aku sakit hati mendengar ucapannya, sifatnya yang berubah drastis. kenapa Reza bisa berbicara sekasar itu kepada perempuan.Plak!Tangan Reza mengudara dan mendarat di pipiku. Jelas aku sangat kaget dan merasakan sangat perih di pipiku. Bibirku kaku tanganku refleks memegangi pipi yang ia tampar. "Nar, aku..." ucap Reza yang berubah menjadi khawatir dan memegangi tanganku. Ia mencoba mengangkup pipiku, Aku lepaskan tangannya dengan kasar dan berjalan keluar seraya memegangi pipiku yang terasa perih tangisku pecah saat keluar dari ruangannya.“Nara,” lirihnya.Aku bergegas keluar dengan air mata yang terus-terusan mengalir
Setibanya di ruangan Reza yang kalah megahnya dengan mansion Reza, aku melihat banyak tumpukan kertas-kertas penting hampir mejanya full dengan tumpukan berkas-berkas. Aku mendengar helaan nafas kasar Reza, tangan kecilku mengusap punggung besar Reza.“Kamu di sini ya, aku mau cek-cek dulu,” ujarnya sambil menunjuk meja kerjanya.Aku lihat-lihat perusahaanya bener-bener sangat megah dan berkelas ga salah juga mendapatkan penghargaan perusahaan tersukses dan termaju kedua di dunia. Aku jadi heran sendiri apa ia menderikan ini dari nol atau warisan dari ayahnya.Aku mulai merasa insecure.Aku berkeliling menelusuri setiap sudut ruangan Reza. Menurut u ruangan ini lebih cocok dikatakaan sebagai rumah tapi bedanya di sini ga ada dapur. Di sini sangat lengkap terdapat dua kamar mandi, dua kulkas, Tv, microwave, mesin pembuat kopi, dan kamar.Tunggu ini ada ka
"Sebentar lagi sampe," Reza mengelus rambutku berkali-kali dan itu rasanya sangat nyaman. Aku merasa nyaman dan rasa ngantuk mulai menyelimutiku."Andai ini bukan dendam, Nar. Aku pastiin aku udah ngerasa bahagia banget," batin Reza. Reza juga udah mulai merasakan aneh pada dirinya semakin hari perasaan itu mulai tumbuh dengan perlahan.Reza menoleh ke arah Nara yang sedang berdamai dengan alam mimpinya, ia tersenyum tipis dan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. “Nara, bangun yuk udah sampe,” Reza menggoyangkan pipi tembam gadisnya.“Kenapa pipinya tembem banget si,” gumam Reza.Aku yang merasa tidurku terusik padahal baru merem sebentar tapi udah diganggu aja. “Eeunghh…”“Ayo, kamu mau ketemu sama mama, kan?” aku mengangguk perlahan dengan mata yang masih terpejam.Saat nyaw