Ponsel Reza berbunyi.
Ia merogoh saku belakang celananya untuk mengambil ponselnya, ia berdecak kesal membaca pesan itu. Kenapa di saat seperti ini harus ada penghalang ke bahagiaannya.
Reyhan A : Tuan hari ada rapat penting mengenai bekerja bersama dengan Worts Babel. Serta beberapa dokumen yang harus di tanda tanganin.
Reza M : Saya ke sana.
Reza bergegas untuk ke perusahannya untuk saat ini jadwalnya tidak bisa di tunda lagi apalagi dengan perusahaan Worts Babel. Jika ia berhasil bekerja sama dengannya itu akan sangat menguntungkan bagi MaLvi Company dan untuk dirinya sendiri.
Sesampainya di ruang rapat, Reza di sambut hangat oleh ketua Worts Babel. Tangan terulur untuk berjabat tangan, Reza yang ditemani oleh Reyhan dan beberapa karyawan kepercayaannya untuk melangsungkan rapat penting ini.
Setelah rapat berlangsung baik dari pihak Worts Babel dan pihak MaLvi Company, akhirnya mereka bersepakat untuk mendirikan perusahan baru yang akan nantinya berjalan dalam bidang perusahaan minyak. Letak utamanya markasnya akan berada di Texas. Mereka juga bersepakat akan menamai perusahaan barunya dengan nama MaLvi Babel yang akan beroperasi sekitar 9 bulan lagi.
“Rey, ke sini,” panggil Reza.
“Iya tuan, ada apa?”
“Gausah terlalu formal, biasa aja.”
“Ada apa ka?”
“Bawain gue jas baru,” Reyhan menggangguk paham lalu membawakan jas baru yang dipinta Reza.
“Ini ka.”
“Ambil kartu kredit itu, buat lo pakai aja gausah di balikin,” ujarnya seraya menunjuk kartu kredit.
Walaupun dengan sifat Reza yang seperti ini. Reyhan tidak pernah merasa tersinggung atas perbuatan Reza yang terkadang suka semaena-mena padanya. Malahan Reyhan sangat bersyukur karna sudah di pertemukan sama Reza. Berkat Reza kehidupan Reyhan jauh lebih baik dari sebelumnya. Baik Reyhan mau Reza, mereka sudah satu sama lain menganggap bahwa mereka adalah kakak adik.
Reyhan sangat memahami segala sisi Reza, mau Reza sekuat apa pun untuk menantang arus. Ia juga akan menangis jika sudah menyangkut orang yang ia sayangi. Reza itu sangat perhatian namun, dengan caranya sendiri.
“Ka ini berlebihan banget,” protes Reyhan.
“Ambil! Lagi juga lo udah berjuang sampai sekarang,” titahnya sambil memberi paksa kartu kredit itu.
“Lo kapan nikah? Mau bujang lapuk lo?” tanyanya sambil tertawa hambar.
“Apa jangan-jangan lo gay, ya!” tuduhnya.
“Gila lo ka! Ya gal ah. Gue nungguin lo bahagia.”
“Kalau gue ga bahagia?” tanyanya sambil menyereput teh miliknya.
“Ya… ga kan nikah gue...”
Plak!
Reza memukul lengan Reyhan, sontak membuat Reyhan kaget. “GILA!” hardiknya seraya berjalan keluar ruangan rapat.
“Rey!” Reza memunculkan kepalanya diambang pintu.
“Eh kaget! Sialan,” Reyhan memegangi dadanya.
“Jaga omongon lo!” desis Reza yang menatap tajam ke arah Reyhan.
“Itung semua keuntungan tadi, kalau rugi siap-siap nyawa lo!” ancam dan langsung menutup pintunya dengan kasar.
“Iya tuan.”
Reza berjalan ke lobby untuk mengambil mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit. Tapi sebelum itu ia akan mampir dulu ke cafe sahabatnya untuk membicarakan Nara.
Sesampainya di depan cafe, Reza berjalan masuk dan memesan americano dua dan menyuruh salah pelayan untuk mengantarnya ke ruangan Farhan.
“Bro!” sapa Reza seraya tersenyum ke arah Farhan.
“Ngapai ke sini?” Farhan yang menyahutnya dengan malas.
“Mainlah. Oh ya! Thanks udah mecat Nara buat gue,” Reza menepuk pundak sahabatnya.
Tok tok tok
“Maaf pak ini pesanannya,” ujar pelayan itu dengan sangat ramah.
Namun, ternyata perbuatan pelayan itu terlihat sangat salah. “Memangnya saya sudah memperbolehkan anda masuk?” itu bukan suara dari Farhan melainkan dari Reza.
“Maaf pak,” ujar mba Shafa yang sudah ketakukan.
“Za, taruh di meja saya,” sela Farhan.
“Baik pak, permisi.”
Reza menyeruput minumannya dengan tenang. “Gue suka sama Nara,” jelas Farhan.
Reza hampir tersedak mendengar perkataan Farhan. Ia menatap lekat sahabatnya seraya menaruh cangkirnya kembali. “Maksud lo?!”
“Gue harap lo budeg sama perkataan gue barusan.”
Sifat Farhan yang hampir mirip dengan Reza hanya saja Farhan masih terlihat ramah jika dibandingkan dengan Reza.
“Udah berapa lama?”
“Hampir satu tahun,” jawab Farhan dengan sangat tenang.
“Sialan!” desis Reza.
“Gue kasih dia ke lo kalau dia udah menderita sama perlakukan gue ke dia,” Reza kembali menyeruput minumannya.
“Lo yakin kalau nantinya lo gabakalan suka sama Nara?” kini Farhan sudah menyudutkan Reza.
Reza terdiam dan rahangnya mulai mengeras tatapannya sudah sangat gelap ke Farhan kemudian menggeleng perlahan. “Ga akan.”
Farhan tersenyum smirk. “Gue merasa tertantang sekarang.”
“Silahkan gue ga akan peduli dengan itu. Gue kasih Nara ke lo nantinya sebagai tanda ucapan terima kasih.”
Reza bangkit dari duduknya dan berjalan keluar sedangkan Farhan secara ga langsung ia sudah membuat Reza menjadi khawatir. Reza takut jika semuanya akan hancur. Reza yang kini sudah berada di dalam mobil langsung memukul stir dengan kencangnya seraya menyalurkan amarahnya. “Sialan Farhan.”
Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Hujan di kota Seoul mulai mereda perlahan dan menampil pelangi yang indah. Sekarang ia harus berhati-hati dengan Farhan.
Sahabat juga bisa berubah menjadi musuh, iya kan?
disisi lain aku terlihat sangat kebingungan setiap perakataan mama yang dilontarkan.
“Mama…Nara ga paham sama yang mama bicarain,” protesku dalam hati.
“Mama? Apa mama yakin sama keputusan mama?” tanyaku yang mencoba untuk meyakinkan mama.
Mama Sherlie menatap lekat putrinya dan membawa putrinya ke dalam dekapannya seraya mengangguk pelan.
Aku merasakan mama menyimpan sesuatu dariku.
“Apa mama yakin kalau Reza baik?” tanyaku seraya memotong apel. Sherlie melihat tangan putrinya lalu menggenggam tangan putrinya dengan lembut.
“Mama yakin sayang,” ujarnya sambil mengelus rambut panjang putrinya.
“Tinggalkan Reza, Nara,” batin Sherlie yang sangat tertekan.
“Yaudah kalau itu keputusan mama, Nara tau ko kalau itu yang terbaik buat Nara dari mama.”
“Mama itu sebenarnya kenapa?” batinku yang mulai kebingungan dengan sikap mama yang menyuruhku untuk menikahi pemuda asing.
“Sekarang mama istirahat ya, Nara ada di luar ko,” sambungku sambil membantu mama untuk beristirahat lagi.
Aku melenggang pergi dengan perasaan yang masih berkecamuk. Aku mengeratkan sweaterku yang beberapa hari lalu tertinggal. Apa kehidupan anak SMA akan sesulit ini? Atau memang akunya saja yang tak kuat menghadapinya.
“Papah…Nara ga kuat,”ujarku yang sudah sangat lelah lalu memeluk lututku, aku tenggelamkan kepalaku di lutut. Aku menangis lumayan kencang tanpa memeperdulikan orang lain yang melihat ku seperti ini, saat aku bangkit dari posisiku, aku mendapati Reza yang tengah menatapku dengan tatapan iba tapi ada senyuman yang terukir.
Senyuman itu terlihat seperti mengejekku namun, aku tidak terlalu peduli denganya, aku sudah sangat cape hari ini.
Aku hanya menghela nafas kasar seraya berjalan menghampirinya, aku duduk di sampingnya. Ia masih menatapku tanpa henti dan itu membuat aku mulai risih dengannya.
"Ngapain sih ngeliatin mulu!" suasana hatiku yang lagi buruk ditambah lagi dengan pemuda yang ga jelas satu ini."Gunanya punya mata buat apa?" jawabnya sambil menyenderkan punggungnya."Aku bingung," ujarku dengan tatapan kosong. Reza hanya melipatkan kedua tangannya di dada."Saya paham.""Gimana kamu bisa kenal sama mama?"Reza hanya menaikan pundaknya sambil menghela nafas nafas. Aku mulai merasakan perih di lambungku dan merasa sangat dingin."Pulang yuk," ajaknya. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia malah langsung menggandeng tanganku. Reza merasakan tangan Nara yang sangat dingin, ia juga melihat baju Nara masih sama seperti tadi hanya saja Nara memakai sweater moca yang melekat ditubuhnya.Aku hanya mengikutinya dari belakang. Aku merasakan kehangatan di tangan Reza saat di dalam mobil. Aku yang awalnya membuka suara untuk memecahka
Aku sontak melihat badanku dan ternyata masih full, pakaianku pun masih sama seperti tadi hanya saja sweaternya yang terlepas. Mbo yang melihatku lalu tersenyum seraya mengajakku untuk turun ke bawah dan makan malam bersama.“Mbo duluan aja, ya? Nara mau ke kamar mandi dulu,” mbo mengangguk dan meninggal Nara sendirian.“Loh mbo? Nara kemana?” tanya Reza.Sontak membuat raut wajah Reyhan menjadi kebingungan.“Masih ada di kamar tuan, katanya mau ke kamar mandi dulu. Mbo ke dapur dulu ya tuan.”“Ka? Ada Nara di sini?”Reza berdehem sebagai jawabannya. “Hmm.”Sedangkan Aku? aku masih bingung mau melakukan apa. Jujur terlebih lagi saat ini aku baru bangun tidur pasti nyawaku belum terkumpul dengan sempurna, apa iya Reza mau menculikku dan memaksa untuk menikahinya.
"KENAPA LO JUAL SAHAM GUE KE MUSUH GUE! BRENGSEK!" Reza yang sudah membabi buta.Axell meludahkan darahnya dan menatap sengit Reza. "KARNA SIFAT SOMBONG LO! ANGKUHNYA LO! DAN LO SELALU MEMANFAATKAN GUE SEMENA-MENA! ITU YANG BUAT GUE MUAK!" hardik Axell.BUGH!BUGH!BUGH!Reza langsung menendang kuat perut Axell. Axell mulai tak berdaya dan sulit untuk bernapas, bagi Reza orang sudah munafik akan selamanya menjadi munafik.Kemeja putih Reza sudah berlumuran darah. "Siksa si kotoran ini dalam 2 jam! Siapkan air panas perasan lemon!" perintahnya lalu berjalan mundur untuk duduk manis seraya menyaksikan pertunjukan yang akan segera dimulai."Ka, jangan lupa di rumah ada ka Nara," Reyhan yang mulai memperingati Reza, Reyhan juga melupakan adanya Nara di rumah."Hmm.""AAAARRRGGGHHHH! SAKITTTTT!" teriak Axell yang kesekian kalinya
Semenjak aku berada di mansion Reza, tanpa Reza sadari ia sudah menunjukan sifat manjanya padaku. Aku pun juga merasakan perubahan pada dirinya yang awalnya aku kira Reza adalah pemuda yang annoying dan membosankan tapi aku rasa ia tidak terlalu buruk sekarang-sekarang ini.Sebelum aku mengobati lukanya aku sempet introgasi dia dulu perihal baju yang penuh dengan darah lalu menceramahinya abis-abisan namun, lelaki itu malahan senyum-senyum ga jelas ia sama sekali tak menggubris pertanyaanku. Reza bisa melihat dari sorot mataku yang menandakan aku sedang khawatir padanya. Ia sedari tadi tak menanggapi ucapanku, Reza hanya melipat kedua tangannya di dada seraya tersenyum ga jelas ke arahku.Ntah mengapa kalau aku ingat-ingat lagi kejadian beberapa jam yang lalu, ada rasa penasaran dalam diriku. Aku menjadi kasihan padanya jika ia selalu pulang malam dalam keadaan kacau seperti tadi, siapa yang akan merawat Reza?Aku mengam
Pagi ini udaranya sangat sejuk apalagi saat pemuda di samping ini mengatakan ‘sayang’ makin tambah sejuk. Aku teringat dulu kalau masih ada ayah pasti ia akan mengajakku untuk berjalan pagi dan disaat itu juga aku melihat aku dipukuli beberapa orang yang berbadan besar serta mukanya yang sangat seram. Aku menatap ayah dari kejauhan sambil menutup mulutku agar tidak terdengar isak tangisku ada banyak trauma yang aku alami dan sampai sekarang trauma itu belum hilang. Aku juga pernah merasakaan ketakutan saat ingin menyebrang jalan bersama mama.Flashback OnSaat aku dan mama akan berjalan pulang, aku sempat melihat disebrang sana yang jualan susu vanila. Aku terus-terusan merengek ke mama untuk dibelikan susu itu, padahal aku sendiri tidak tahu rasanya seperti apa susu vanila.“Mama! Nara mau itu,” rengekku seraya menunjuk penjual susu disebrang sana.Mata mamanya mengikuti arah yang ditunjuk
Saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, baik aku mau pun Reza kita saling bertukar cerita namun, masih belum menyinggung ke topik yang lebih privasi. Walupun Reza di luarnya terlihat sangat nyebalin, dingin, angkuh, dan juga sombong tapi aslinya ia akan menunjukan sikap pedulinya walaupun dengan caranya sendiri tapi walaupun begitu bukan berarti sifat nyebelin, angkuh, dan sombongnya menghilang begitu saja.Nara menceritakan tentang pekerjaannya, sekolah, dan pertemanan. Nara menceritakannya dengan sangat detail, sebenarnya Nara adalah orang tidak mudah begitu langsung percaya menceritakan semuanya sama orang asing tapi ntah sama Reza rasanya jadi beda dan nyaman namun, tanpa Nara sadari secara ga langsung Nara telah membantu Reza untuk mengumpulkan data pribadi Nara sendiri jadi Reza tak usah pusing-pusing untuk menyuruh Reyhan menguntit Nara. Sepanjang Nara bercerita ekspresi wajah Reza hanya tersenyum licik.Ia terlihat sangat kaget
"Sebentar lagi sampe," Reza mengelus rambutku berkali-kali dan itu rasanya sangat nyaman. Aku merasa nyaman dan rasa ngantuk mulai menyelimutiku."Andai ini bukan dendam, Nar. Aku pastiin aku udah ngerasa bahagia banget," batin Reza. Reza juga udah mulai merasakan aneh pada dirinya semakin hari perasaan itu mulai tumbuh dengan perlahan.Reza menoleh ke arah Nara yang sedang berdamai dengan alam mimpinya, ia tersenyum tipis dan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. “Nara, bangun yuk udah sampe,” Reza menggoyangkan pipi tembam gadisnya.“Kenapa pipinya tembem banget si,” gumam Reza.Aku yang merasa tidurku terusik padahal baru merem sebentar tapi udah diganggu aja. “Eeunghh…”“Ayo, kamu mau ketemu sama mama, kan?” aku mengangguk perlahan dengan mata yang masih terpejam.Saat nyaw
Setibanya di ruangan Reza yang kalah megahnya dengan mansion Reza, aku melihat banyak tumpukan kertas-kertas penting hampir mejanya full dengan tumpukan berkas-berkas. Aku mendengar helaan nafas kasar Reza, tangan kecilku mengusap punggung besar Reza.“Kamu di sini ya, aku mau cek-cek dulu,” ujarnya sambil menunjuk meja kerjanya.Aku lihat-lihat perusahaanya bener-bener sangat megah dan berkelas ga salah juga mendapatkan penghargaan perusahaan tersukses dan termaju kedua di dunia. Aku jadi heran sendiri apa ia menderikan ini dari nol atau warisan dari ayahnya.Aku mulai merasa insecure.Aku berkeliling menelusuri setiap sudut ruangan Reza. Menurut u ruangan ini lebih cocok dikatakaan sebagai rumah tapi bedanya di sini ga ada dapur. Di sini sangat lengkap terdapat dua kamar mandi, dua kulkas, Tv, microwave, mesin pembuat kopi, dan kamar.Tunggu ini ada ka
Aku menoleh ke Reza yang tiba-tiba terpaku dengan ucapanku barusan, apa aku salah ngomong tadi? Kenapa dia tiba-tiba diam? Malahan sekarang yang menjadi bingung sendiri.“Reza? Kamu kenapa?” aku menyerngit kebingungan, aku takut kalau ucapakan aku salah.Reza berusaha untuk menutupi sikap gugupnya agar tidak ketahuan kalau ia sedang panik. “Ah, gapapa,” ujarnya yang berusaha tenang.“Beneran?” aku hanya ingin memastikannya lagi kalau ia benar-benar tidak apa-apa dengan ucapanku yang barusan. “Iya.” Reza menambah kecepatan mobilnya tiba-tiba perasaannya berubah menjadi tak tenang.“Tapi…” ucapku yang mulai terdengar mulai getir, sesak rasanya ingin mengatakan ini.Reza menunggu kelanjutan dari Nara, ia sedikit melirik ke arah samping dan mendapati gadisnya yang sedang mengepal erat hingga berubah warna kulitnya men
Aku terbangung sekitar pukul 08.00 aku merasakan pegal di bagian leher saat aku menoleh ke samping aku mendapati Reza yang tengah tertidur pulas, tangan kecilku mengusap rambut tebalnya lalu beberapa kali menyibak rambutnya dengan lembut, aku menghembuskan napas lelah dan mencoba untuk duduk perlahan-lahan agar tidur Reza tidak terganggu gara-gara pergerakan aku. Aku usap air mataku yang tiba-tiba menetes, semua beban yang berada dipundakku sudah terlalu banyak dan aku tidak sanggup untuk menahan semuanya.Semua kejadian yang aku alami sudah cukup membuatku hampir gila, aku melihat pergelangan tangan kiri yang hampir penuh dengan goresan cutter hanya goresan itu membuatku merasa lebih baik dan tenang.Kehidupanku jauh dari kata baik, semuanya aku punya sudah hancur berkeping-keping, semua yang aku sayangin sudah tidak ada lagi. Apa kehadiranku membawa kesialan bagi keluargaku sendiri?Isak tangisku semakin lama semakin k
Flashback OnSaat memasuki ruangan dokter, tangan dokternya terulur untuk berjabat tangan tapi Reza enggan melakukan itu dan langsung duduk, tatapnnya begitu dingin. “Katakan.”“Apa nona suka minum obat tidur dengan dosis yang tak seharusnya dianjurkan, tuan?” ujar Rafa selaku dokter yang menanganiku .Reza terdiam sejenak. “Maksudnya?”“Baik, tadi ada anak buah tuan yang memberi obat ini, saat kami melakukan pengecekan dan menyatakan kalau obat ini adalah sebagai obat penenang dan obat tidur,” jelas Rafa yang memberikan beberapa merk obat yang biasanya aku minum.Reza terlihat sangat kebingungan dengan penuturan dokter Rafa, ia mencoba meraih obat tersebut lalu mencium aromanya. Reza sangat tahu dengan aroma obat ini, obat yang biasanya orang tersayangnya minum hingga sudah tiada. “Mama,” lirik Reza dalam batin.
Sedang si pengirim pesan misterius lagi tertawa kemenangan, Ia makin ga sabar untuk membuat Reza menderita atas aksinya setelah beberapa tahun ia mencoba untuk sabar dan memilih waktu yang tepat.Reza Malviano selaku CEO dari MaLvi Company, ia mempunyai banyak kekuasaan atas jabatannya pemilik perusahaan dan CEO. Kekuasannya yang membuat Reza bertindak semaunya tanpa takut ada yang menuntutnya sekali pun, ia sudah kebal dengan para musuh-musuh di luaran sana.Kekuasaanya yang membuat semua orang harus mau ga mau bertunduk dan berlutut pasrah padanya. Reza sangat berpengaruh dalam bidang bisnis segala cara akan ia lakukan untuk berhasil dan memenang tender. Walau ia tau itu akan melanggar aturan tapi seorang Reza Malviano tidak bisa diperintah dengan siapa pun.Reza hanya bisa memerintah tapi tak bisa diperintah.Itulah julukan yang ia dapatkan.Ada banyak perusahaan ternama yang
Sekarang dirinya bingung harus berbuat apa untuk Nara percaya sepenuhnya pada Reza. Setibanya di kantor, Reza menyuruh Reyhan untuk menemuinya di ruangan pribadi, Reza. Di perusahaanya Reza memiliki dua ruangan yang berbeda dan berbeda pula fungsinya tidak bisa sembarangan orang bisa meyelinap masuk.Tok tok tok tok“Masuk.”Reyhan menghela nafas. “Ini pasti masalah, Nara?” duganya.“Iya.”“Ada apa nih?” tanya Reyhan seraya mengambil toples kacang almond.Plak!“Punya gue,” Reza memukul tangan Reyhan yang hendak mengambil harta bendanya. Reyhan mendengus kesal. “Yailah pelit.” Reza ga akan ngebiarin siapa pun mengambil kacang almondnya, baginya kacang almondnya adalah moodbosternya.“Gue bingung sama diri gue sendiri…&rdqu
Aku membawakannya teh hijau hangat, air hangat, minyak kayu putih, dan kompresan air hangat. "Reza jangan bobo dulu," aku menggoyangkan pundaknya."Kamu ngikutin apa yang aku suruh ya," pintaku seraya menyibak rambut tebalnya."Kalau aku ga bisa?" tanyanya polos. Aku terkekeh geli, ternyata ini sifat aslinya.Aku membantunya untuk duduk namun, dia hanya senyam-senyum ga jelas. "Kamu minum ini pelan-pelan ini panas, ya," aku mengambil gelas teh hijau lalu di kasih ke Reza."Huh! Nara ini panas," ucapnya sambil mengibas-mengibas tangannya ke mulut."Ahahahaha kamu ih. Kan aku suruh apa? Pelan-pelan, Reza.""Kamu cantik..." godanya."Hmm." Ia memajukan bibirnya dengan ekspresi marah. Aku yang melihatnya jadi gemas sendiri."Apa kamu marah? Aku ga mau tolongin kamu lagi," ucapku yang seolah-olah dibuat marah. 
"Reza..." panggilku sekali lagi sambil memegang kepalan tangannya tapi Reza menepis tanganku dengan kasar."BISA DIEM! LO GA TULI, KAN! NARA CHARLIE!" gertaknya yang membuatku takut dan berjalan mundur perlahan. Reza menekan kata-kata 'Charlie' Jujur aku sakit hati mendengar ucapannya, sifatnya yang berubah drastis. kenapa Reza bisa berbicara sekasar itu kepada perempuan.Plak!Tangan Reza mengudara dan mendarat di pipiku. Jelas aku sangat kaget dan merasakan sangat perih di pipiku. Bibirku kaku tanganku refleks memegangi pipi yang ia tampar. "Nar, aku..." ucap Reza yang berubah menjadi khawatir dan memegangi tanganku. Ia mencoba mengangkup pipiku, Aku lepaskan tangannya dengan kasar dan berjalan keluar seraya memegangi pipiku yang terasa perih tangisku pecah saat keluar dari ruangannya.“Nara,” lirihnya.Aku bergegas keluar dengan air mata yang terus-terusan mengalir
Setibanya di ruangan Reza yang kalah megahnya dengan mansion Reza, aku melihat banyak tumpukan kertas-kertas penting hampir mejanya full dengan tumpukan berkas-berkas. Aku mendengar helaan nafas kasar Reza, tangan kecilku mengusap punggung besar Reza.“Kamu di sini ya, aku mau cek-cek dulu,” ujarnya sambil menunjuk meja kerjanya.Aku lihat-lihat perusahaanya bener-bener sangat megah dan berkelas ga salah juga mendapatkan penghargaan perusahaan tersukses dan termaju kedua di dunia. Aku jadi heran sendiri apa ia menderikan ini dari nol atau warisan dari ayahnya.Aku mulai merasa insecure.Aku berkeliling menelusuri setiap sudut ruangan Reza. Menurut u ruangan ini lebih cocok dikatakaan sebagai rumah tapi bedanya di sini ga ada dapur. Di sini sangat lengkap terdapat dua kamar mandi, dua kulkas, Tv, microwave, mesin pembuat kopi, dan kamar.Tunggu ini ada ka
"Sebentar lagi sampe," Reza mengelus rambutku berkali-kali dan itu rasanya sangat nyaman. Aku merasa nyaman dan rasa ngantuk mulai menyelimutiku."Andai ini bukan dendam, Nar. Aku pastiin aku udah ngerasa bahagia banget," batin Reza. Reza juga udah mulai merasakan aneh pada dirinya semakin hari perasaan itu mulai tumbuh dengan perlahan.Reza menoleh ke arah Nara yang sedang berdamai dengan alam mimpinya, ia tersenyum tipis dan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. “Nara, bangun yuk udah sampe,” Reza menggoyangkan pipi tembam gadisnya.“Kenapa pipinya tembem banget si,” gumam Reza.Aku yang merasa tidurku terusik padahal baru merem sebentar tapi udah diganggu aja. “Eeunghh…”“Ayo, kamu mau ketemu sama mama, kan?” aku mengangguk perlahan dengan mata yang masih terpejam.Saat nyaw