Aku sontak melihat badanku dan ternyata masih full, pakaianku pun masih sama seperti tadi hanya saja sweaternya yang terlepas. Mbo yang melihatku lalu tersenyum seraya mengajakku untuk turun ke bawah dan makan malam bersama.
“Mbo duluan aja, ya? Nara mau ke kamar mandi dulu,” mbo mengangguk dan meninggal Nara sendirian.
“Loh mbo? Nara kemana?” tanya Reza.
Sontak membuat raut wajah Reyhan menjadi kebingungan.
“Masih ada di kamar tuan, katanya mau ke kamar mandi dulu. Mbo ke dapur dulu ya tuan.”
“Ka? Ada Nara di sini?”
Reza berdehem sebagai jawabannya. “Hmm.”
Sedangkan Aku? aku masih bingung mau melakukan apa. Jujur terlebih lagi saat ini aku baru bangun tidur pasti nyawaku belum terkumpul dengan sempurna, apa iya Reza mau menculikku dan memaksa untuk menikahinya.
Ah, ini gila!
Di ruang makan, aku yang duduk di sebelah Reza dan Reyhan yang berada di depanku. Reza yang sedari tadi mencuri-curi pandangan dariku. Aku ga mempedulikannya.
"Reyhan?" tanyaku sambil menyenggol lengan dia.
"Nama kamu, Reyhan? Ganteng deh ga kayak yang di sampingku."
“UHUK UHUK UHUK UHUK!”
Reza yang keselek dengan minumnya sendiri, aku langsung menuangkan air putih ke dalam gelasnya dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Kamu kenapa si?" tanyaku yang sedikit sewot.
"Kamu yang kenapa yang puji Reyhan, huh?" Reza menatapku dengan tajam seakan-akan mau menikam.
"Iya gapapa dong kan puji aja," jawabku sambil mengerutkan bibirku ke depan.
“Ngapain digituin bibirnya?”
"Rey jawab!" desakku tapi aku tidak bohong Reyhan memang ganteng terlebih lagi dengan sikapnya yang selalu sopan.
"Iya, Nara," ujarnya seraya tersenyum sedangkan Reza hanya menatap sengit Reyhan.
"Itu aja?"
"Ya terus mau apa lagi? Nara Charlie?!" Reza yang sudah terlihat geram, aku jadi heran kenapa tiba-tiba jadi seperti itu. Apa salahnya aku puji Reyhan? Memang kenyataannya Reyhan seperti itu kan.
"Apasi marah-marah mulu!" aku bangkit dari duduk namun, Reza menahan lenganku.
“Kamu ngapai jadi kepo-kepoan?”
“Ga ya, aku cuman tanya aja,” aku yang gamau kalahnya dengannya
“Tanya apa? Kenapa harus tanyain Reyhan?” aku mengelum bibirku ke bawah, ntah kenapa aku sedikit jadi sensitif.
Mereka berdua menghiraukan keberadaan Reyhan yang sedari tadi melihat pertengkaran konyol mereka berdua. Reyhan terkekeh melihat sifat Reza yang seperti kekanak-kanakan, ia sangat berharap lebih pada Nara.
"Mau kemana?" tanyanya seraya mencekal tanganku lagi.
"Pulang lah. Mau ketemu mama," cetusku.
Reza yang mendengar perkataanku langsung menatap emosi, ia langsung menarik kasar tanganku dan menyeretku untuk masuk ke kamarnya.
"Kamu apa-apansi Reza!" Aku yang terus berontak namun, nanasnya keberanianku tak sekuat dirinya. Hilang sudah kesabaran Reza.
“REZA! SAKIT!” pekikku. Reza mencengkeram tanganku yang terlalu kuat sehingga menimbulkan tanda kemerarahan.
Reza membanting kasar tubuhku ke kasur. Aku sudah dibuat takut pada sisi gelap yang dimiliki Reza, aku takut kalau dia macam-macam sama aku.
"Mau pulangkan?!" desisnya seraya mendekatan diri secara perlahan dan berhasil membuatku tak bisa menutupi rasa ketakutanku sekarang. Aku memundurkan badanku dan sialnya badanku sudah menabrak kepala kasur.
Aku menggelang keras dan menutup kedua mataku dengan selimut. Aku mencengkeram kuat selimut sehingga pundakku bergetar hebat, Reza yang melihatnya langsung menampilkan senyuman smirk. Satu tangannya meraih pucuk kepalaku namun, aku menepisnya dan satu tanggannya lagi masih berusaha mengelus punggungku. Ia masih mencoba untuk mendekatiku dan tanggannya masih setia meraih punggungku.
"Maaf yang tadi aku kelepasan," ujarnya dibuat seolah-olah ia menyesal.
“Ta-takut hiks…mama,” aku tak sanggup membuka selimut dan menatap ke arahnya. Wajah ketakutan yang dimiliki Nara berhasil membuat Reza tersenyum kemenangan dalam hati.
"Ga sekarang sayang, kamu melihat sifat asli aku," batin Reza.
Reza mendekapkan tubuh Nara pada bidang datarnya untuk menyalurkan kehangatan, Pundak Nara masih bergetar hebat. "Kamu takut?" aku yang bisa mengangguk lemah.
"Gapapa, aku suka," ujarnya sambil menarik kunciranku. Reza menangkup pipiku lalu satu tangannya menghapus jejak air mataku tatapannya turun pada mataku dalam beberapa kami berdua saling bertatapan. Reza bisa melihat dari sorotan mata Nara yang terbesit rasa ketakutan. “Jangan nangis,” batin Reza, ia mulai merasakan sakit ketika gadisnya menangis pilu.
"Kamu bobo ya? Udah malam. Aku ada masih ada urusan," ucapnya yang menjadi lembut, netra Reza tak sengaja melihat pergelangan tangan kiri gadisnya yang membiru. Ia mengusapnya dengan tulus lalu memeluk tubuh gadisnya, perlahan tangisanku mulai mereda.
Aku melepaskan pelukannya beberapa menit aku beradu tatap olehnya. "Aku ga bobo sama kamu, kan?" tanyaku pelan seraya menarik ingusku ke dalam.
Tangan Reza refleks menghapus air mataku yang terus mengalir dan mencubit idungku yang merah tanpa jiji sedikit pun. "Ga ko, aku tidur di bawah."
“Jorok, Za,” aku spontan mengelap inguskus pakai tangan.
"Good night," ucapnya seraya mencium pucuk kepalaku dan segara berjalan pergi meninggalkanku sendirian di kamarnya.
Aku melihat Reza yang sedikit tergesa-gesa.
"Kenapa sulit banget nebak pikiran dia," monologku yang masih terisak tangis.
Seketika pikiranku menjadi ke arah mama, aku masih penasaran sama omongan mama. Aku takut terjadi kenapa-napa padanya.
"Mama ga kenapa-napa, kan," monologku seraya menyibak selimut, saat aku turun dari kasur dan berjalan ke arah mandi. Langkahku terhenti saat ada yang mengetok pintu kamar.
“Reza balik lagi?” monologku.
Tok tok tok tok
"Non ini mbo," huh untung aja mbo.
Aku membuka pintu kamar mendapati mbo Siti yang membawa perlengkapan baju perempuan.
"Non ini dari tuan, kata tuan non harus mandi dulu baru bobo biar bersih non badannya," jelas mbo Siti.
Tanganku terulur untuk mengambil pakaian yang ia bawa sambil tersenyum padanya. "Makasih ya mbo."
Aku berjalan ke kamar mandi dan segera menyelesaikan ritualku setelah itu bergegas untuk bobo walau sekarang pikiranku masih ga tenang dan perasaanku berubah menjadi tak enak. Pikiranku sudah dipenuhi sama mama, sekolah, dan caranya aku melamar kerja lagi untuk mendapatkan penghasilan.
Rasanya mau ketemu ayah di atas sana.
Disisi lain Reza, Reyhan, dan beberapa anak buah Reza lagi berada di markas milik Reza. Markas milik Reza digunakan untuk mengeksekusi para-para tikus nakal di perusahannya. Ini sudah menjadi bagaian permainannya dalam perusahan MaLvi Company.
Reza masuk ke dalam ruangan seraya bertepuk tangan dan menyesap rokoknya. "Tuan Axell," panggilnya seraya berjalan perlahan lalu menghembus asap rokoknya tepat di muka tikus kecilnya.
Axell langsung terbatuk karna menghirup asap rokok, ia sudah tau jika berhadapan dengan Resza akan membawa petaka baginya.
"Ko batuk? Mau mati, ya?" ejeknya seraya ujung rokoknya di tempelkan di pipi sebelah kiri Axell.
"AAARRGHHHHH!!" Axell meringis kesakitan.
"Ini belum seberapa," ujarnya dengan suara santai tapi terdengar sangat dingin sambil memerkan senyuman iblisnya.
"Jawab pertanyaan gue dengan cepat! Brengsek!" hardik Reza.
"APA YANG LO CURI DARI GUE?!" gertaknya seraya mencengkeram kuat kerah Axell.
"Bukannya lo udah tau? Kenapa masih tanya, BODOH!!" desis Axell yang sudah membangun singa yang sedang tertidur lelap.
“Brengsek!” hardiknya.
BUGH!
BUGH!
Reza menonjok keras tepat di rahang tajam Axell.
BUGH!
BUGH!
Axell tersungkur jauh, pukulannya terlalu keras sehingga tali yang menjadi pengikat Axell terlepas. Reza yang sudah bersatu dengan semua persetanan ini, ia sudah membabi buta lawannya. Baik Reyhan atau anak buah lainnya sama sekali tidak bisa berkutik sama sekali. Kalau pun mereka mengambil jalan yang salah bisa-bisa aja mereka yang akan kena imbasnya, dengan kasarnya Reza menghempaskan tubuh Axell.
Siapa pun yang menjadi lawannya, ia dikenal sebagai si pendendam yang tak mandang bulu. Masih ingat?
"KENAPA LO JUAL SAHAM GUE KE MUSUH GUE! BRENGSEK!" Reza yang sudah membabi buta.Axell meludahkan darahnya dan menatap sengit Reza. "KARNA SIFAT SOMBONG LO! ANGKUHNYA LO! DAN LO SELALU MEMANFAATKAN GUE SEMENA-MENA! ITU YANG BUAT GUE MUAK!" hardik Axell.BUGH!BUGH!BUGH!Reza langsung menendang kuat perut Axell. Axell mulai tak berdaya dan sulit untuk bernapas, bagi Reza orang sudah munafik akan selamanya menjadi munafik.Kemeja putih Reza sudah berlumuran darah. "Siksa si kotoran ini dalam 2 jam! Siapkan air panas perasan lemon!" perintahnya lalu berjalan mundur untuk duduk manis seraya menyaksikan pertunjukan yang akan segera dimulai."Ka, jangan lupa di rumah ada ka Nara," Reyhan yang mulai memperingati Reza, Reyhan juga melupakan adanya Nara di rumah."Hmm.""AAAARRRGGGHHHH! SAKITTTTT!" teriak Axell yang kesekian kalinya
Semenjak aku berada di mansion Reza, tanpa Reza sadari ia sudah menunjukan sifat manjanya padaku. Aku pun juga merasakan perubahan pada dirinya yang awalnya aku kira Reza adalah pemuda yang annoying dan membosankan tapi aku rasa ia tidak terlalu buruk sekarang-sekarang ini.Sebelum aku mengobati lukanya aku sempet introgasi dia dulu perihal baju yang penuh dengan darah lalu menceramahinya abis-abisan namun, lelaki itu malahan senyum-senyum ga jelas ia sama sekali tak menggubris pertanyaanku. Reza bisa melihat dari sorot mataku yang menandakan aku sedang khawatir padanya. Ia sedari tadi tak menanggapi ucapanku, Reza hanya melipat kedua tangannya di dada seraya tersenyum ga jelas ke arahku.Ntah mengapa kalau aku ingat-ingat lagi kejadian beberapa jam yang lalu, ada rasa penasaran dalam diriku. Aku menjadi kasihan padanya jika ia selalu pulang malam dalam keadaan kacau seperti tadi, siapa yang akan merawat Reza?Aku mengam
Pagi ini udaranya sangat sejuk apalagi saat pemuda di samping ini mengatakan ‘sayang’ makin tambah sejuk. Aku teringat dulu kalau masih ada ayah pasti ia akan mengajakku untuk berjalan pagi dan disaat itu juga aku melihat aku dipukuli beberapa orang yang berbadan besar serta mukanya yang sangat seram. Aku menatap ayah dari kejauhan sambil menutup mulutku agar tidak terdengar isak tangisku ada banyak trauma yang aku alami dan sampai sekarang trauma itu belum hilang. Aku juga pernah merasakaan ketakutan saat ingin menyebrang jalan bersama mama.Flashback OnSaat aku dan mama akan berjalan pulang, aku sempat melihat disebrang sana yang jualan susu vanila. Aku terus-terusan merengek ke mama untuk dibelikan susu itu, padahal aku sendiri tidak tahu rasanya seperti apa susu vanila.“Mama! Nara mau itu,” rengekku seraya menunjuk penjual susu disebrang sana.Mata mamanya mengikuti arah yang ditunjuk
Saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, baik aku mau pun Reza kita saling bertukar cerita namun, masih belum menyinggung ke topik yang lebih privasi. Walupun Reza di luarnya terlihat sangat nyebalin, dingin, angkuh, dan juga sombong tapi aslinya ia akan menunjukan sikap pedulinya walaupun dengan caranya sendiri tapi walaupun begitu bukan berarti sifat nyebelin, angkuh, dan sombongnya menghilang begitu saja.Nara menceritakan tentang pekerjaannya, sekolah, dan pertemanan. Nara menceritakannya dengan sangat detail, sebenarnya Nara adalah orang tidak mudah begitu langsung percaya menceritakan semuanya sama orang asing tapi ntah sama Reza rasanya jadi beda dan nyaman namun, tanpa Nara sadari secara ga langsung Nara telah membantu Reza untuk mengumpulkan data pribadi Nara sendiri jadi Reza tak usah pusing-pusing untuk menyuruh Reyhan menguntit Nara. Sepanjang Nara bercerita ekspresi wajah Reza hanya tersenyum licik.Ia terlihat sangat kaget
"Sebentar lagi sampe," Reza mengelus rambutku berkali-kali dan itu rasanya sangat nyaman. Aku merasa nyaman dan rasa ngantuk mulai menyelimutiku."Andai ini bukan dendam, Nar. Aku pastiin aku udah ngerasa bahagia banget," batin Reza. Reza juga udah mulai merasakan aneh pada dirinya semakin hari perasaan itu mulai tumbuh dengan perlahan.Reza menoleh ke arah Nara yang sedang berdamai dengan alam mimpinya, ia tersenyum tipis dan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. “Nara, bangun yuk udah sampe,” Reza menggoyangkan pipi tembam gadisnya.“Kenapa pipinya tembem banget si,” gumam Reza.Aku yang merasa tidurku terusik padahal baru merem sebentar tapi udah diganggu aja. “Eeunghh…”“Ayo, kamu mau ketemu sama mama, kan?” aku mengangguk perlahan dengan mata yang masih terpejam.Saat nyaw
Setibanya di ruangan Reza yang kalah megahnya dengan mansion Reza, aku melihat banyak tumpukan kertas-kertas penting hampir mejanya full dengan tumpukan berkas-berkas. Aku mendengar helaan nafas kasar Reza, tangan kecilku mengusap punggung besar Reza.“Kamu di sini ya, aku mau cek-cek dulu,” ujarnya sambil menunjuk meja kerjanya.Aku lihat-lihat perusahaanya bener-bener sangat megah dan berkelas ga salah juga mendapatkan penghargaan perusahaan tersukses dan termaju kedua di dunia. Aku jadi heran sendiri apa ia menderikan ini dari nol atau warisan dari ayahnya.Aku mulai merasa insecure.Aku berkeliling menelusuri setiap sudut ruangan Reza. Menurut u ruangan ini lebih cocok dikatakaan sebagai rumah tapi bedanya di sini ga ada dapur. Di sini sangat lengkap terdapat dua kamar mandi, dua kulkas, Tv, microwave, mesin pembuat kopi, dan kamar.Tunggu ini ada ka
"Reza..." panggilku sekali lagi sambil memegang kepalan tangannya tapi Reza menepis tanganku dengan kasar."BISA DIEM! LO GA TULI, KAN! NARA CHARLIE!" gertaknya yang membuatku takut dan berjalan mundur perlahan. Reza menekan kata-kata 'Charlie' Jujur aku sakit hati mendengar ucapannya, sifatnya yang berubah drastis. kenapa Reza bisa berbicara sekasar itu kepada perempuan.Plak!Tangan Reza mengudara dan mendarat di pipiku. Jelas aku sangat kaget dan merasakan sangat perih di pipiku. Bibirku kaku tanganku refleks memegangi pipi yang ia tampar. "Nar, aku..." ucap Reza yang berubah menjadi khawatir dan memegangi tanganku. Ia mencoba mengangkup pipiku, Aku lepaskan tangannya dengan kasar dan berjalan keluar seraya memegangi pipiku yang terasa perih tangisku pecah saat keluar dari ruangannya.“Nara,” lirihnya.Aku bergegas keluar dengan air mata yang terus-terusan mengalir
Aku membawakannya teh hijau hangat, air hangat, minyak kayu putih, dan kompresan air hangat. "Reza jangan bobo dulu," aku menggoyangkan pundaknya."Kamu ngikutin apa yang aku suruh ya," pintaku seraya menyibak rambut tebalnya."Kalau aku ga bisa?" tanyanya polos. Aku terkekeh geli, ternyata ini sifat aslinya.Aku membantunya untuk duduk namun, dia hanya senyam-senyum ga jelas. "Kamu minum ini pelan-pelan ini panas, ya," aku mengambil gelas teh hijau lalu di kasih ke Reza."Huh! Nara ini panas," ucapnya sambil mengibas-mengibas tangannya ke mulut."Ahahahaha kamu ih. Kan aku suruh apa? Pelan-pelan, Reza.""Kamu cantik..." godanya."Hmm." Ia memajukan bibirnya dengan ekspresi marah. Aku yang melihatnya jadi gemas sendiri."Apa kamu marah? Aku ga mau tolongin kamu lagi," ucapku yang seolah-olah dibuat marah. 
Aku menoleh ke Reza yang tiba-tiba terpaku dengan ucapanku barusan, apa aku salah ngomong tadi? Kenapa dia tiba-tiba diam? Malahan sekarang yang menjadi bingung sendiri.“Reza? Kamu kenapa?” aku menyerngit kebingungan, aku takut kalau ucapakan aku salah.Reza berusaha untuk menutupi sikap gugupnya agar tidak ketahuan kalau ia sedang panik. “Ah, gapapa,” ujarnya yang berusaha tenang.“Beneran?” aku hanya ingin memastikannya lagi kalau ia benar-benar tidak apa-apa dengan ucapanku yang barusan. “Iya.” Reza menambah kecepatan mobilnya tiba-tiba perasaannya berubah menjadi tak tenang.“Tapi…” ucapku yang mulai terdengar mulai getir, sesak rasanya ingin mengatakan ini.Reza menunggu kelanjutan dari Nara, ia sedikit melirik ke arah samping dan mendapati gadisnya yang sedang mengepal erat hingga berubah warna kulitnya men
Aku terbangung sekitar pukul 08.00 aku merasakan pegal di bagian leher saat aku menoleh ke samping aku mendapati Reza yang tengah tertidur pulas, tangan kecilku mengusap rambut tebalnya lalu beberapa kali menyibak rambutnya dengan lembut, aku menghembuskan napas lelah dan mencoba untuk duduk perlahan-lahan agar tidur Reza tidak terganggu gara-gara pergerakan aku. Aku usap air mataku yang tiba-tiba menetes, semua beban yang berada dipundakku sudah terlalu banyak dan aku tidak sanggup untuk menahan semuanya.Semua kejadian yang aku alami sudah cukup membuatku hampir gila, aku melihat pergelangan tangan kiri yang hampir penuh dengan goresan cutter hanya goresan itu membuatku merasa lebih baik dan tenang.Kehidupanku jauh dari kata baik, semuanya aku punya sudah hancur berkeping-keping, semua yang aku sayangin sudah tidak ada lagi. Apa kehadiranku membawa kesialan bagi keluargaku sendiri?Isak tangisku semakin lama semakin k
Flashback OnSaat memasuki ruangan dokter, tangan dokternya terulur untuk berjabat tangan tapi Reza enggan melakukan itu dan langsung duduk, tatapnnya begitu dingin. “Katakan.”“Apa nona suka minum obat tidur dengan dosis yang tak seharusnya dianjurkan, tuan?” ujar Rafa selaku dokter yang menanganiku .Reza terdiam sejenak. “Maksudnya?”“Baik, tadi ada anak buah tuan yang memberi obat ini, saat kami melakukan pengecekan dan menyatakan kalau obat ini adalah sebagai obat penenang dan obat tidur,” jelas Rafa yang memberikan beberapa merk obat yang biasanya aku minum.Reza terlihat sangat kebingungan dengan penuturan dokter Rafa, ia mencoba meraih obat tersebut lalu mencium aromanya. Reza sangat tahu dengan aroma obat ini, obat yang biasanya orang tersayangnya minum hingga sudah tiada. “Mama,” lirik Reza dalam batin.
Sedang si pengirim pesan misterius lagi tertawa kemenangan, Ia makin ga sabar untuk membuat Reza menderita atas aksinya setelah beberapa tahun ia mencoba untuk sabar dan memilih waktu yang tepat.Reza Malviano selaku CEO dari MaLvi Company, ia mempunyai banyak kekuasaan atas jabatannya pemilik perusahaan dan CEO. Kekuasannya yang membuat Reza bertindak semaunya tanpa takut ada yang menuntutnya sekali pun, ia sudah kebal dengan para musuh-musuh di luaran sana.Kekuasaanya yang membuat semua orang harus mau ga mau bertunduk dan berlutut pasrah padanya. Reza sangat berpengaruh dalam bidang bisnis segala cara akan ia lakukan untuk berhasil dan memenang tender. Walau ia tau itu akan melanggar aturan tapi seorang Reza Malviano tidak bisa diperintah dengan siapa pun.Reza hanya bisa memerintah tapi tak bisa diperintah.Itulah julukan yang ia dapatkan.Ada banyak perusahaan ternama yang
Sekarang dirinya bingung harus berbuat apa untuk Nara percaya sepenuhnya pada Reza. Setibanya di kantor, Reza menyuruh Reyhan untuk menemuinya di ruangan pribadi, Reza. Di perusahaanya Reza memiliki dua ruangan yang berbeda dan berbeda pula fungsinya tidak bisa sembarangan orang bisa meyelinap masuk.Tok tok tok tok“Masuk.”Reyhan menghela nafas. “Ini pasti masalah, Nara?” duganya.“Iya.”“Ada apa nih?” tanya Reyhan seraya mengambil toples kacang almond.Plak!“Punya gue,” Reza memukul tangan Reyhan yang hendak mengambil harta bendanya. Reyhan mendengus kesal. “Yailah pelit.” Reza ga akan ngebiarin siapa pun mengambil kacang almondnya, baginya kacang almondnya adalah moodbosternya.“Gue bingung sama diri gue sendiri…&rdqu
Aku membawakannya teh hijau hangat, air hangat, minyak kayu putih, dan kompresan air hangat. "Reza jangan bobo dulu," aku menggoyangkan pundaknya."Kamu ngikutin apa yang aku suruh ya," pintaku seraya menyibak rambut tebalnya."Kalau aku ga bisa?" tanyanya polos. Aku terkekeh geli, ternyata ini sifat aslinya.Aku membantunya untuk duduk namun, dia hanya senyam-senyum ga jelas. "Kamu minum ini pelan-pelan ini panas, ya," aku mengambil gelas teh hijau lalu di kasih ke Reza."Huh! Nara ini panas," ucapnya sambil mengibas-mengibas tangannya ke mulut."Ahahahaha kamu ih. Kan aku suruh apa? Pelan-pelan, Reza.""Kamu cantik..." godanya."Hmm." Ia memajukan bibirnya dengan ekspresi marah. Aku yang melihatnya jadi gemas sendiri."Apa kamu marah? Aku ga mau tolongin kamu lagi," ucapku yang seolah-olah dibuat marah. 
"Reza..." panggilku sekali lagi sambil memegang kepalan tangannya tapi Reza menepis tanganku dengan kasar."BISA DIEM! LO GA TULI, KAN! NARA CHARLIE!" gertaknya yang membuatku takut dan berjalan mundur perlahan. Reza menekan kata-kata 'Charlie' Jujur aku sakit hati mendengar ucapannya, sifatnya yang berubah drastis. kenapa Reza bisa berbicara sekasar itu kepada perempuan.Plak!Tangan Reza mengudara dan mendarat di pipiku. Jelas aku sangat kaget dan merasakan sangat perih di pipiku. Bibirku kaku tanganku refleks memegangi pipi yang ia tampar. "Nar, aku..." ucap Reza yang berubah menjadi khawatir dan memegangi tanganku. Ia mencoba mengangkup pipiku, Aku lepaskan tangannya dengan kasar dan berjalan keluar seraya memegangi pipiku yang terasa perih tangisku pecah saat keluar dari ruangannya.“Nara,” lirihnya.Aku bergegas keluar dengan air mata yang terus-terusan mengalir
Setibanya di ruangan Reza yang kalah megahnya dengan mansion Reza, aku melihat banyak tumpukan kertas-kertas penting hampir mejanya full dengan tumpukan berkas-berkas. Aku mendengar helaan nafas kasar Reza, tangan kecilku mengusap punggung besar Reza.“Kamu di sini ya, aku mau cek-cek dulu,” ujarnya sambil menunjuk meja kerjanya.Aku lihat-lihat perusahaanya bener-bener sangat megah dan berkelas ga salah juga mendapatkan penghargaan perusahaan tersukses dan termaju kedua di dunia. Aku jadi heran sendiri apa ia menderikan ini dari nol atau warisan dari ayahnya.Aku mulai merasa insecure.Aku berkeliling menelusuri setiap sudut ruangan Reza. Menurut u ruangan ini lebih cocok dikatakaan sebagai rumah tapi bedanya di sini ga ada dapur. Di sini sangat lengkap terdapat dua kamar mandi, dua kulkas, Tv, microwave, mesin pembuat kopi, dan kamar.Tunggu ini ada ka
"Sebentar lagi sampe," Reza mengelus rambutku berkali-kali dan itu rasanya sangat nyaman. Aku merasa nyaman dan rasa ngantuk mulai menyelimutiku."Andai ini bukan dendam, Nar. Aku pastiin aku udah ngerasa bahagia banget," batin Reza. Reza juga udah mulai merasakan aneh pada dirinya semakin hari perasaan itu mulai tumbuh dengan perlahan.Reza menoleh ke arah Nara yang sedang berdamai dengan alam mimpinya, ia tersenyum tipis dan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. “Nara, bangun yuk udah sampe,” Reza menggoyangkan pipi tembam gadisnya.“Kenapa pipinya tembem banget si,” gumam Reza.Aku yang merasa tidurku terusik padahal baru merem sebentar tapi udah diganggu aja. “Eeunghh…”“Ayo, kamu mau ketemu sama mama, kan?” aku mengangguk perlahan dengan mata yang masih terpejam.Saat nyaw