"KENAPA LO JUAL SAHAM GUE KE MUSUH GUE! BRENGSEK!" Reza yang sudah membabi buta.
Axell meludahkan darahnya dan menatap sengit Reza. "KARNA SIFAT SOMBONG LO! ANGKUHNYA LO! DAN LO SELALU MEMANFAATKAN GUE SEMENA-MENA! ITU YANG BUAT GUE MUAK!" hardik Axell.
BUGH!
BUGH!
BUGH!
Reza langsung menendang kuat perut Axell. Axell mulai tak berdaya dan sulit untuk bernapas, bagi Reza orang sudah munafik akan selamanya menjadi munafik.
Kemeja putih Reza sudah berlumuran darah. "Siksa si kotoran ini dalam 2 jam! Siapkan air panas perasan lemon!" perintahnya lalu berjalan mundur untuk duduk manis seraya menyaksikan pertunjukan yang akan segera dimulai.
"Ka, jangan lupa di rumah ada ka Nara," Reyhan yang mulai memperingati Reza, Reyhan juga melupakan adanya Nara di rumah.
"Hmm."
"AAAARRRGGGHHHH! SAKITTTTT!" teriak Axell yang kesekian kalinya.
"RREEEZAAA LO GABAKALAN BAHAGIA! AAHRKKK!" pekik Axell.
“Gue peduli gitu?” Reza menampilkan wajah songongnya.
Rahang Reza mengeras lalu berdiri dari kursinya.
"BERHENTI! SIRAM KOTORAN INI DENGAN AIR LEMON DAN BUANG KOTORAN!"
Empat anak buah Reza masuk ke dalam ruangan lalu mengguyur seluruh badan Axell. Axell ga bisa berkutik lagi tubuhnya terlalu lemas untuk melawan, untuk yang terakhir kalinya Axell yang merintih kesakitan.
"AAAARRGGGHHHH!!"
Reza yang menyaksikan pertunjukkan di depannya tersenyum menyeringai sedangkan Reyhan hanya menatap nanar korbannya. Walaupun ia ga menyiksa langsung korbannya namun, Reyhanlah yang mencari semua data sikorban dan terperangkap dalam kandang buas.
Reza langsung meninggal tempat itu yang diikuti Reyhan dari belakang, ia membalikan badannya menghadap Reyhan.
"Kerja bagus! Lo boleh pulang ke rumah," titahnya yang diangguki Reyhan.
Reza mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh, ia sudah sangat lelah dengan hari ini.
Di lain tempat, aku masih mencoba untuk memejamkan mataku tapi nihil padahal tadi itu terasa sangat ngantuk berat.
"Ko ga bisa bobo ya," monologku sambil mengusap mata.
"Turun ke bawah deh," batinku.
Aku perlahan membuka pintu kamar lalu berjalan menuruni anak tangga. Rumah ini sangat gelap dan sangat minim pencahayaan. Saat di tangga terakhir aku tersentak kaget melihat sesuatu di depan.
"Astaga!"ucapku sambil menyentuh dada dan terjatuh dari tangga.
"Untung aja ini tangga terakhir!" gerutuku.
Aku kembali memfokuskan pendanganku ke pemuda itu, kalau dari postur tubuh sepertinya aku. Aku berjalan ragu mengahampirinya dengan keberanian dan rasa takut yang mulai mendominasi.
"R-Reza, i-itu kamu?” ucapku yang terbata-bata seraya tangan kiriku meraih wajah Reza.
Grep
Reza memelukku dengan sangat erat dan membenamkan kepalanya di ceruk leherku, seketika tubuhku menjadi tegang.
Aku cuman bisa diam dan menahan nafas.
"Nafas, Nara jangan mati konyol," suara beratnya yang membuat detak jantungku ga normal.
"Ka-kamu ke-kenapa?" Reza tidak menggubris pertanyaanku.
Aku memberanikan diri untuk membalas pelukannya. Reza tersentak kaget sekaligus merasa nyaman.
"Reza?" bisikku pelan sambil mengelus punggung besarnya.
Aku melapaskan pelukannya tapi hasilnya Reza malah semakin mempererat pelukannya, itu membuatku ga nyaman dan susah untuk bernafas tapi kok aku bisa merasakan ya? Kalau detak jantung Reza kenceng banget.
Apa Reza punya riyawat penyakit jantung?
“Reza? Kamu punya penyakit jantung,ya?”
“Mana ada anak CEO penyakitan, Nara,” cibirnya.
“Tapi tuh kamu ngerasain ga? Kenceng banget.”
Ah sial!
“Kamu lagi ga boong, kan?” cecarku, eh kenapa aku jadi panik?
“Ga ada, jangan sok tau,” cetusnya, Reza menghela nafas besat dan menghembuskannya di leher Nara.
Indra penciumanku terganggu aku seperti mencium bau amis, otakku berpikir keras ini bau apa? Apa bau ikan? Atau
“DARAH!” aku berteriak histeris saat melihat ke pundak kanan Reza yang penuh dengan darah.
Reza spontan menutup telinga dan melepaskna pelukannya, aku masih mengatur nafas. Nafasku seperti orang yang abis lari, lututku lemas.
Aku melihat beberapa kejadian muncul di pikiranku, kejadian yang sudah merubah hidupku jadi seperti ini. Kejadian itu yang berhasil membuatku trauma berat, aku pernah mencoba mengakhiri hidupku tapi tidak jadi karna aku juga masih punya mama yang harus aku jaga.
Raut wajah Reza yang berubah menjadi panik dan segera membawa Nara ke dalam pelukannya, ia juga menggendong Nara ala bridal style dan mendudukannya di sofa ruang tengah. Reza menggenggam tanganku berusaha untuk membuatku tenang. Tangan kekarnya mengelus pelan punggungku dan menyingkarkan beberapa helaian rambut.
“Tarik nafas terus buang.”
“Darah itu darah,” aku menjahui tubuhku darinya seraya menutup ke dua mataku.
“Darah hikss…darah…banyak.”
“Nar, ada aku, kamu ga perlu takut,ya,” Reza masih setia meraih tanganku.
“Engga,” tolakku. Traumaku kembali.
Reza mengerutkan dahinya, kenapa gadisnya begitu histeris?
Apa Reza masih belum mengerti dengan ketakutan Nara? Atau Reza sudah lupa dengan kejadian itu?
Reza menggaruk tengkuknya yang tak gatal lalu menghembuskan nafas lelahnya. “Kamu kenapa?”
Aku menatapnya dengan tatapan sendu. “Kenapa ada darah?” tanyaku balik padanya.
Reza yang terdiam, ia tidak mau menceritakannya pada Nara.
“Kamu takut?”
“I-iya.”
“Kok belum bobo? Kan, tadi aku suruh bobo,” aku menoleh ke arahnya.
“Belum bisa bobo, belum minum susu,” Reza terkekeh mendengarnya tangan kekarnya mengelus puncuk kepala gadisnya.
“Harus minum susu, ya?”
“Iya, kalau ga minum susu ga bisa bobo.”
“Kamu mau bikinin aku susu. Mau, ya?” rengekku. Reza semakin gemas melihat tingkah laku gadisnya, ia bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah dapur.
Aku menahan tangan kekarnya, Reza dapat merasakan kehangatan saat tangannya disentuh. “Susu coklat jangan vanila, ya.”
Reza menggangguk, saat di dapur ia memeganggi dadanya yang tidak dapat diajak kerja sama. “Ah! Sialan,” gumamnya.
“Reza! Aku ke atas dulu mau nyiapin peralatan mandi kamu dulu.”
“Kayak punya istri aja,” monolognya lalu terkekeh pelan.
Reza sempat berpikir sejenak. “Kenapa dia lihat darah jadi histeris gitu? Punya masa lalu yang berhubungan sama darah?”
Reza naik ke atas tak lupa ia juga membawa pesanan gadisnya. “Nara...”
Aku membalikan badan mendapati Reza yang bediri tegak dihadapanku, pandangan Reza seolah-olah terkunci dengan wajah polos yang dimiliki Nara. Reza masih setia mengamati bentuk wajahku.
“Cantik,” pujinya.
Aku memalingkah wajah meronaku seraya menahan senyumanku. “E-eh…ini susu kamu, awas loh ini masih panas. Aku mandi dulu,” pamitnya lalu berjalan cepat masuk ke kamar mandi.
“REZA HANDUK KAMU KETINGGALAN.”
“Eh iya,” ucapnya yang cengengesan.
Aku tertawa lepas melihat tingkah konyolnya barusan, aku masih tau batasanku dengannya jadi aku memutuskan untuk keluar kamar seraya menungggu Reza yang mandi. Hampir sekitar satu jam lamanya aku menonton tv di ruang tengah.
“DORRR!”
“IH KAGET!” aku refleks mencubit pinggangnya.
“Hehehe maaf.”
“Hmm.”
Aku tersentak kaget saat Reza menenggelamkan kepalanya di pundakku tanganku seolah-olah refleks begitu aja mengelus rambut lebatnya. “Nara…”
“Apa?”aku terfokuskan pada drakor.
“Ada yang luka,” suaranya yang terdengar seperti lagi mengadu.
“Oh.”
“Ih, Nara!”
Ahrk aku sudah sangat gemas dengan tingkahnya, aku menoleh padanya dan mendapati raut wajah Reza yang mengulum bibirnya ke bawah.
“Apa? Tuan muda.”
“Sakit nih di jidat, benjol ga, Nar?” ujarnya seraya menyibak rambutnya.
“Makin ganteng,” batinku.
“Luka aja si, mau aku obatin?”
“EH KOK INI TANGAN KAMU BERDARAH!”
“Nar…ga usah teriak-teriak ah udah malam.”
Aku hanya memberinya senyuman manis.
“Anjrit pake senyum,” batin Reza.
“Ga usah senyum kek orang gila, Nar,” cetusnya dan membuat rauh wajahku kesal padanya.
“Obatin sakit.”
“Nar…”
“Ih marah, ya?”
Reza masih setia membujukku yang aku terheran adalah, apa benar kalau pria matang yang di hadapanku saat ini adalah seorang CEO?
Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya yang menjadi panik. “Hahaha iya, iya ayok,” aku bangkit lalu berjalan mendahuluinya. Aku sama sekali tidak merasa bersalah padanya.
“Ih ninggalian lagi, dasar lucu.”
Semenjak aku berada di mansion Reza, tanpa Reza sadari ia sudah menunjukan sifat manjanya padaku. Aku pun juga merasakan perubahan pada dirinya yang awalnya aku kira Reza adalah pemuda yang annoying dan membosankan tapi aku rasa ia tidak terlalu buruk sekarang-sekarang ini.Sebelum aku mengobati lukanya aku sempet introgasi dia dulu perihal baju yang penuh dengan darah lalu menceramahinya abis-abisan namun, lelaki itu malahan senyum-senyum ga jelas ia sama sekali tak menggubris pertanyaanku. Reza bisa melihat dari sorot mataku yang menandakan aku sedang khawatir padanya. Ia sedari tadi tak menanggapi ucapanku, Reza hanya melipat kedua tangannya di dada seraya tersenyum ga jelas ke arahku.Ntah mengapa kalau aku ingat-ingat lagi kejadian beberapa jam yang lalu, ada rasa penasaran dalam diriku. Aku menjadi kasihan padanya jika ia selalu pulang malam dalam keadaan kacau seperti tadi, siapa yang akan merawat Reza?Aku mengam
Pagi ini udaranya sangat sejuk apalagi saat pemuda di samping ini mengatakan ‘sayang’ makin tambah sejuk. Aku teringat dulu kalau masih ada ayah pasti ia akan mengajakku untuk berjalan pagi dan disaat itu juga aku melihat aku dipukuli beberapa orang yang berbadan besar serta mukanya yang sangat seram. Aku menatap ayah dari kejauhan sambil menutup mulutku agar tidak terdengar isak tangisku ada banyak trauma yang aku alami dan sampai sekarang trauma itu belum hilang. Aku juga pernah merasakaan ketakutan saat ingin menyebrang jalan bersama mama.Flashback OnSaat aku dan mama akan berjalan pulang, aku sempat melihat disebrang sana yang jualan susu vanila. Aku terus-terusan merengek ke mama untuk dibelikan susu itu, padahal aku sendiri tidak tahu rasanya seperti apa susu vanila.“Mama! Nara mau itu,” rengekku seraya menunjuk penjual susu disebrang sana.Mata mamanya mengikuti arah yang ditunjuk
Saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, baik aku mau pun Reza kita saling bertukar cerita namun, masih belum menyinggung ke topik yang lebih privasi. Walupun Reza di luarnya terlihat sangat nyebalin, dingin, angkuh, dan juga sombong tapi aslinya ia akan menunjukan sikap pedulinya walaupun dengan caranya sendiri tapi walaupun begitu bukan berarti sifat nyebelin, angkuh, dan sombongnya menghilang begitu saja.Nara menceritakan tentang pekerjaannya, sekolah, dan pertemanan. Nara menceritakannya dengan sangat detail, sebenarnya Nara adalah orang tidak mudah begitu langsung percaya menceritakan semuanya sama orang asing tapi ntah sama Reza rasanya jadi beda dan nyaman namun, tanpa Nara sadari secara ga langsung Nara telah membantu Reza untuk mengumpulkan data pribadi Nara sendiri jadi Reza tak usah pusing-pusing untuk menyuruh Reyhan menguntit Nara. Sepanjang Nara bercerita ekspresi wajah Reza hanya tersenyum licik.Ia terlihat sangat kaget
"Sebentar lagi sampe," Reza mengelus rambutku berkali-kali dan itu rasanya sangat nyaman. Aku merasa nyaman dan rasa ngantuk mulai menyelimutiku."Andai ini bukan dendam, Nar. Aku pastiin aku udah ngerasa bahagia banget," batin Reza. Reza juga udah mulai merasakan aneh pada dirinya semakin hari perasaan itu mulai tumbuh dengan perlahan.Reza menoleh ke arah Nara yang sedang berdamai dengan alam mimpinya, ia tersenyum tipis dan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. “Nara, bangun yuk udah sampe,” Reza menggoyangkan pipi tembam gadisnya.“Kenapa pipinya tembem banget si,” gumam Reza.Aku yang merasa tidurku terusik padahal baru merem sebentar tapi udah diganggu aja. “Eeunghh…”“Ayo, kamu mau ketemu sama mama, kan?” aku mengangguk perlahan dengan mata yang masih terpejam.Saat nyaw
Setibanya di ruangan Reza yang kalah megahnya dengan mansion Reza, aku melihat banyak tumpukan kertas-kertas penting hampir mejanya full dengan tumpukan berkas-berkas. Aku mendengar helaan nafas kasar Reza, tangan kecilku mengusap punggung besar Reza.“Kamu di sini ya, aku mau cek-cek dulu,” ujarnya sambil menunjuk meja kerjanya.Aku lihat-lihat perusahaanya bener-bener sangat megah dan berkelas ga salah juga mendapatkan penghargaan perusahaan tersukses dan termaju kedua di dunia. Aku jadi heran sendiri apa ia menderikan ini dari nol atau warisan dari ayahnya.Aku mulai merasa insecure.Aku berkeliling menelusuri setiap sudut ruangan Reza. Menurut u ruangan ini lebih cocok dikatakaan sebagai rumah tapi bedanya di sini ga ada dapur. Di sini sangat lengkap terdapat dua kamar mandi, dua kulkas, Tv, microwave, mesin pembuat kopi, dan kamar.Tunggu ini ada ka
"Reza..." panggilku sekali lagi sambil memegang kepalan tangannya tapi Reza menepis tanganku dengan kasar."BISA DIEM! LO GA TULI, KAN! NARA CHARLIE!" gertaknya yang membuatku takut dan berjalan mundur perlahan. Reza menekan kata-kata 'Charlie' Jujur aku sakit hati mendengar ucapannya, sifatnya yang berubah drastis. kenapa Reza bisa berbicara sekasar itu kepada perempuan.Plak!Tangan Reza mengudara dan mendarat di pipiku. Jelas aku sangat kaget dan merasakan sangat perih di pipiku. Bibirku kaku tanganku refleks memegangi pipi yang ia tampar. "Nar, aku..." ucap Reza yang berubah menjadi khawatir dan memegangi tanganku. Ia mencoba mengangkup pipiku, Aku lepaskan tangannya dengan kasar dan berjalan keluar seraya memegangi pipiku yang terasa perih tangisku pecah saat keluar dari ruangannya.“Nara,” lirihnya.Aku bergegas keluar dengan air mata yang terus-terusan mengalir
Aku membawakannya teh hijau hangat, air hangat, minyak kayu putih, dan kompresan air hangat. "Reza jangan bobo dulu," aku menggoyangkan pundaknya."Kamu ngikutin apa yang aku suruh ya," pintaku seraya menyibak rambut tebalnya."Kalau aku ga bisa?" tanyanya polos. Aku terkekeh geli, ternyata ini sifat aslinya.Aku membantunya untuk duduk namun, dia hanya senyam-senyum ga jelas. "Kamu minum ini pelan-pelan ini panas, ya," aku mengambil gelas teh hijau lalu di kasih ke Reza."Huh! Nara ini panas," ucapnya sambil mengibas-mengibas tangannya ke mulut."Ahahahaha kamu ih. Kan aku suruh apa? Pelan-pelan, Reza.""Kamu cantik..." godanya."Hmm." Ia memajukan bibirnya dengan ekspresi marah. Aku yang melihatnya jadi gemas sendiri."Apa kamu marah? Aku ga mau tolongin kamu lagi," ucapku yang seolah-olah dibuat marah. 
Sekarang dirinya bingung harus berbuat apa untuk Nara percaya sepenuhnya pada Reza. Setibanya di kantor, Reza menyuruh Reyhan untuk menemuinya di ruangan pribadi, Reza. Di perusahaanya Reza memiliki dua ruangan yang berbeda dan berbeda pula fungsinya tidak bisa sembarangan orang bisa meyelinap masuk.Tok tok tok tok“Masuk.”Reyhan menghela nafas. “Ini pasti masalah, Nara?” duganya.“Iya.”“Ada apa nih?” tanya Reyhan seraya mengambil toples kacang almond.Plak!“Punya gue,” Reza memukul tangan Reyhan yang hendak mengambil harta bendanya. Reyhan mendengus kesal. “Yailah pelit.” Reza ga akan ngebiarin siapa pun mengambil kacang almondnya, baginya kacang almondnya adalah moodbosternya.“Gue bingung sama diri gue sendiri…&rdqu
Aku menoleh ke Reza yang tiba-tiba terpaku dengan ucapanku barusan, apa aku salah ngomong tadi? Kenapa dia tiba-tiba diam? Malahan sekarang yang menjadi bingung sendiri.“Reza? Kamu kenapa?” aku menyerngit kebingungan, aku takut kalau ucapakan aku salah.Reza berusaha untuk menutupi sikap gugupnya agar tidak ketahuan kalau ia sedang panik. “Ah, gapapa,” ujarnya yang berusaha tenang.“Beneran?” aku hanya ingin memastikannya lagi kalau ia benar-benar tidak apa-apa dengan ucapanku yang barusan. “Iya.” Reza menambah kecepatan mobilnya tiba-tiba perasaannya berubah menjadi tak tenang.“Tapi…” ucapku yang mulai terdengar mulai getir, sesak rasanya ingin mengatakan ini.Reza menunggu kelanjutan dari Nara, ia sedikit melirik ke arah samping dan mendapati gadisnya yang sedang mengepal erat hingga berubah warna kulitnya men
Aku terbangung sekitar pukul 08.00 aku merasakan pegal di bagian leher saat aku menoleh ke samping aku mendapati Reza yang tengah tertidur pulas, tangan kecilku mengusap rambut tebalnya lalu beberapa kali menyibak rambutnya dengan lembut, aku menghembuskan napas lelah dan mencoba untuk duduk perlahan-lahan agar tidur Reza tidak terganggu gara-gara pergerakan aku. Aku usap air mataku yang tiba-tiba menetes, semua beban yang berada dipundakku sudah terlalu banyak dan aku tidak sanggup untuk menahan semuanya.Semua kejadian yang aku alami sudah cukup membuatku hampir gila, aku melihat pergelangan tangan kiri yang hampir penuh dengan goresan cutter hanya goresan itu membuatku merasa lebih baik dan tenang.Kehidupanku jauh dari kata baik, semuanya aku punya sudah hancur berkeping-keping, semua yang aku sayangin sudah tidak ada lagi. Apa kehadiranku membawa kesialan bagi keluargaku sendiri?Isak tangisku semakin lama semakin k
Flashback OnSaat memasuki ruangan dokter, tangan dokternya terulur untuk berjabat tangan tapi Reza enggan melakukan itu dan langsung duduk, tatapnnya begitu dingin. “Katakan.”“Apa nona suka minum obat tidur dengan dosis yang tak seharusnya dianjurkan, tuan?” ujar Rafa selaku dokter yang menanganiku .Reza terdiam sejenak. “Maksudnya?”“Baik, tadi ada anak buah tuan yang memberi obat ini, saat kami melakukan pengecekan dan menyatakan kalau obat ini adalah sebagai obat penenang dan obat tidur,” jelas Rafa yang memberikan beberapa merk obat yang biasanya aku minum.Reza terlihat sangat kebingungan dengan penuturan dokter Rafa, ia mencoba meraih obat tersebut lalu mencium aromanya. Reza sangat tahu dengan aroma obat ini, obat yang biasanya orang tersayangnya minum hingga sudah tiada. “Mama,” lirik Reza dalam batin.
Sedang si pengirim pesan misterius lagi tertawa kemenangan, Ia makin ga sabar untuk membuat Reza menderita atas aksinya setelah beberapa tahun ia mencoba untuk sabar dan memilih waktu yang tepat.Reza Malviano selaku CEO dari MaLvi Company, ia mempunyai banyak kekuasaan atas jabatannya pemilik perusahaan dan CEO. Kekuasannya yang membuat Reza bertindak semaunya tanpa takut ada yang menuntutnya sekali pun, ia sudah kebal dengan para musuh-musuh di luaran sana.Kekuasaanya yang membuat semua orang harus mau ga mau bertunduk dan berlutut pasrah padanya. Reza sangat berpengaruh dalam bidang bisnis segala cara akan ia lakukan untuk berhasil dan memenang tender. Walau ia tau itu akan melanggar aturan tapi seorang Reza Malviano tidak bisa diperintah dengan siapa pun.Reza hanya bisa memerintah tapi tak bisa diperintah.Itulah julukan yang ia dapatkan.Ada banyak perusahaan ternama yang
Sekarang dirinya bingung harus berbuat apa untuk Nara percaya sepenuhnya pada Reza. Setibanya di kantor, Reza menyuruh Reyhan untuk menemuinya di ruangan pribadi, Reza. Di perusahaanya Reza memiliki dua ruangan yang berbeda dan berbeda pula fungsinya tidak bisa sembarangan orang bisa meyelinap masuk.Tok tok tok tok“Masuk.”Reyhan menghela nafas. “Ini pasti masalah, Nara?” duganya.“Iya.”“Ada apa nih?” tanya Reyhan seraya mengambil toples kacang almond.Plak!“Punya gue,” Reza memukul tangan Reyhan yang hendak mengambil harta bendanya. Reyhan mendengus kesal. “Yailah pelit.” Reza ga akan ngebiarin siapa pun mengambil kacang almondnya, baginya kacang almondnya adalah moodbosternya.“Gue bingung sama diri gue sendiri…&rdqu
Aku membawakannya teh hijau hangat, air hangat, minyak kayu putih, dan kompresan air hangat. "Reza jangan bobo dulu," aku menggoyangkan pundaknya."Kamu ngikutin apa yang aku suruh ya," pintaku seraya menyibak rambut tebalnya."Kalau aku ga bisa?" tanyanya polos. Aku terkekeh geli, ternyata ini sifat aslinya.Aku membantunya untuk duduk namun, dia hanya senyam-senyum ga jelas. "Kamu minum ini pelan-pelan ini panas, ya," aku mengambil gelas teh hijau lalu di kasih ke Reza."Huh! Nara ini panas," ucapnya sambil mengibas-mengibas tangannya ke mulut."Ahahahaha kamu ih. Kan aku suruh apa? Pelan-pelan, Reza.""Kamu cantik..." godanya."Hmm." Ia memajukan bibirnya dengan ekspresi marah. Aku yang melihatnya jadi gemas sendiri."Apa kamu marah? Aku ga mau tolongin kamu lagi," ucapku yang seolah-olah dibuat marah. 
"Reza..." panggilku sekali lagi sambil memegang kepalan tangannya tapi Reza menepis tanganku dengan kasar."BISA DIEM! LO GA TULI, KAN! NARA CHARLIE!" gertaknya yang membuatku takut dan berjalan mundur perlahan. Reza menekan kata-kata 'Charlie' Jujur aku sakit hati mendengar ucapannya, sifatnya yang berubah drastis. kenapa Reza bisa berbicara sekasar itu kepada perempuan.Plak!Tangan Reza mengudara dan mendarat di pipiku. Jelas aku sangat kaget dan merasakan sangat perih di pipiku. Bibirku kaku tanganku refleks memegangi pipi yang ia tampar. "Nar, aku..." ucap Reza yang berubah menjadi khawatir dan memegangi tanganku. Ia mencoba mengangkup pipiku, Aku lepaskan tangannya dengan kasar dan berjalan keluar seraya memegangi pipiku yang terasa perih tangisku pecah saat keluar dari ruangannya.“Nara,” lirihnya.Aku bergegas keluar dengan air mata yang terus-terusan mengalir
Setibanya di ruangan Reza yang kalah megahnya dengan mansion Reza, aku melihat banyak tumpukan kertas-kertas penting hampir mejanya full dengan tumpukan berkas-berkas. Aku mendengar helaan nafas kasar Reza, tangan kecilku mengusap punggung besar Reza.“Kamu di sini ya, aku mau cek-cek dulu,” ujarnya sambil menunjuk meja kerjanya.Aku lihat-lihat perusahaanya bener-bener sangat megah dan berkelas ga salah juga mendapatkan penghargaan perusahaan tersukses dan termaju kedua di dunia. Aku jadi heran sendiri apa ia menderikan ini dari nol atau warisan dari ayahnya.Aku mulai merasa insecure.Aku berkeliling menelusuri setiap sudut ruangan Reza. Menurut u ruangan ini lebih cocok dikatakaan sebagai rumah tapi bedanya di sini ga ada dapur. Di sini sangat lengkap terdapat dua kamar mandi, dua kulkas, Tv, microwave, mesin pembuat kopi, dan kamar.Tunggu ini ada ka
"Sebentar lagi sampe," Reza mengelus rambutku berkali-kali dan itu rasanya sangat nyaman. Aku merasa nyaman dan rasa ngantuk mulai menyelimutiku."Andai ini bukan dendam, Nar. Aku pastiin aku udah ngerasa bahagia banget," batin Reza. Reza juga udah mulai merasakan aneh pada dirinya semakin hari perasaan itu mulai tumbuh dengan perlahan.Reza menoleh ke arah Nara yang sedang berdamai dengan alam mimpinya, ia tersenyum tipis dan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. “Nara, bangun yuk udah sampe,” Reza menggoyangkan pipi tembam gadisnya.“Kenapa pipinya tembem banget si,” gumam Reza.Aku yang merasa tidurku terusik padahal baru merem sebentar tapi udah diganggu aja. “Eeunghh…”“Ayo, kamu mau ketemu sama mama, kan?” aku mengangguk perlahan dengan mata yang masih terpejam.Saat nyaw