Tetesan air yang menyentuh kulit wajahku terasa dingin.
"Ng...," aku mengeluh dan suara tawa yang begitu kuhafal terdengar seketika diikuti pelukan yang membuat bibirku yang terasa kering, tersenyum dengan mata masih terpejam rapat.Rasanya tubuhku lemas sekali.Aku sama sekali tak bertenaga bahkan saat suamiku mengecupi bagian belakang kepala juga telingaku, karena wajahku tenggelam dalam bantal yang aromanya penuh dengan aroma khasnya."Jangan tidur lagi, sleepy head," protesnya yang kujawab dengan tawa pelan, rasanya mataku berat sekali untuk kubuka."Memangnya ini jam berapa? maaf aku tak dengar kamu pulang," ucapku masih membenamkan kepalaku yang rasanya pening.Ia terdiam, lalu tertawa dan kecupannya kurasakan lagi. "Kamu masih mimpi ternyata," ucapnya membuat diri mengernyitkan dahiku di atas bantal empuk yang aromanya menenangkan. "Aku sudah bilang aku menginap di rumah ibu, bukan?" Mendengar itu aku langsung membuka mataku cepat. Secepat aku bangun dan itu membuatnya yang sedang memelukku terkejut. Matanya yang sudah kaget itu makin membulat saat memperhatikan wajahku yang diusapnya, "apa kamu menangis? kenapa?"Aku hanya membisu, menatapinya yang penuh tanya. Potret pernikahan kami yang tergeletak di atas kasur juga sebotol air mineral yang masih tersegel membuat tubuhku kaku. "Yang? kamu kenapa?" 'Aku kenapa?' ulangku berkali-kali dalam kepala, sampai kurasakan tubuhku ditarik dalam dekapan hangat yang tak terasa. Tanganku sama sekali tak bergerak kecuali meremas kuat sprei kasur kami. "Kamu kenapa, Yang? Kenapa menangis?" Suaranya yang terdengar pelan sedikit bergetar, ia terus memelukku yang tak membalas. Aroma shampo dan sabun yang kuhafal menyeruak dari ceruk lehernya yang kokoh.Lelaki yang sedang memelukku ini begitu hangat, begitu penuh kasih, begitu bisa diandalkan, begitu bertanggung jawab, begitu pandai menyimpan apa yang baru kuketahui. Rasanya aku ingin mengatakan apa yang kulihat, apa yang kuketahui, apa yang kulakukan kemarin. Tapi, mulutku begitu Kelu sampai tak ada kalimat yang keluar, kecuali isak yang kembali kuperdengarkan.Airmataku lolos begitu saja meski mulutku masih membisu tanpa kata.Namun, kini aku tak menangis sendirian karena sumber tangisku mengusapi punggungku, berusaha menenangkan diriku yang hanya terus menangis dalam bisu.'Tuhan, kenapa aku mencintainya sampai seperti ini?' Tanganku bergerak memeluk pria yang sudah membagi tubuh dan hatinya dengan wanita lain.Kini, aku bahkan tak bisa mencium keringatnya yang pasti bercampur dengan wanita itu, karena aroma sabun dan sampo yang biasa kami pakailah yang menyeruak dari tubuhnya. Tubuhnya yang pasti sudah bertukar keringat juga cairan lain yang-!!"Yang?"Aku langsung mendorong suamiku yang terkejut, apalagi saat aku berlari cepat ke kamar mandi dan memuntahkan apapun yang ingin kumuntahkan meski yang keluar hanya air. Mengingat aku belum makan apapun sejak kemarin kecuali dua butir pil tidur. Suamiku ikut berlari menyusulku, ia mengusapi punggungku tapi rasa mualku makin menjadi sampai kudorong tangannya, "keluarlah, aku hanya pusing.""Jangan main-main, Ri, kamu tidak baik-baik saja." "Aku akan baik-baik saja, Ken, please." Namun, suamiku tetap tinggal sampai perutku berhenti bergejolak. Ia masih Ken yang lembut, masih Ken yang bertanggung jawab, masih Ken yang kuingat. Tapi, masih Ken yang sama berarti selama ini aku hidup dalam ... "Ri?"Aku terlonjak merasakan sentuhan tangan Ken yang besar di pipiku. Matanya memperhatikanku yang jadi diam, "pa--pakailah bajumu, Ken."Suamiku--Ken tertawa pelan, kurasa ia bisa melihat wajahku menegang saat ia hendak menciumku, sampai ciumannya berahir mendarat di kening, "aku penasaran kenapa kamu menangis, Ri? Kuharap kamu mau cerita padaku nanti." Aku tidak menjawab, hanya menatap Ken yang senyumnya sama tapi terasa berbeda.Punggungnya pun masih terlihat sama. Lebar dan bisa diandalkan. Namun, kenapa rasanya ada yang berubah dari penglihatanku? Kurasa aku tak akan pernah lagi melihat suamiku dengan penglihatan yang sama lagi. Tidak akan pernah lagi.'Ken masih sama, hanya aku yang berbeda.'Kutatapi pantulan diri dalam cermin sementara kran air menyala. Aku tidak pernah merasa diriku jelek, tidak sekalipun. Tapi, saat aku menatap manik mataku sendiri, rasanya aku bisa menemukan kekurangan yang biasanya tak kulihat.Mataku kurang besar.Hidungku kurang mancung.Bibirku kurang seksi.Pipiku kurang tirus.Perutku kurang ramping.Lenganku kurang kecil.Tidak! tidak! tidak! 'Mungkin aku kurang tinggi, mungkin aku kurang berisi, mungkin aku kurang putih, mungkin aku kurang--!'Aku terkejut sendiri saat aku membandingkan diri dengan wanita yang bersama suamiku. Jika aku mau mungkin aku bisa berubah sepertinya dengan bantuan dokter.Aku bisa merubah tampilanku dengan berbelanja dan menghabiskan uangku, meski mungkin aku tak akan bisa setinggi wanita itu karena cangkok kaki belum ditemukan. "ha-ha..ha...," aku tertawa! Aku menertawakan apa yang kupikirkan meski mataku kuyu seolah seluruh kehidupanku tersedot, menghilang entah kemana. "Yang?" suara panggilan itu membuatku kembali dari apapun yang kulamunkan, ketukan pelan di pintu membuatku sadar kakiku sudah kesemutan juga kebas, dan sebanyak apa tagihan PAM bulan ini nanti karena aku memutar kran sampai pol. Aku langsung membasuh wajahku, pura-pura tak mendengar ketukan di pintu. Setelah melepas seluruh pakaian yang kukenakan, aku berdiri di bawah shower dan menyalakan air dingin. Tubuhku kaget saat guyuran air menyapa. Aku bahkan sengaja membuka mata saat merasakan wajahku dijatuhi buliran air yang serasa memijiti kulit. Setidaknya, tubuhku terasa lebih segar saat aku selesai dengan higienisku, bukan? Tapi, aku lupa membawa handuk ataupun baju ganti. Hanya ada baju kotor dalam keranjang. Tanganku ingin meraih kemeja suamiku tapi tanganku berhenti seketika. Dalam tiap langkah aku berusaha menghilangkan pikiran burukku tak perduli pada tetesan air yang jatuh ke atas lantai. Aku keluar dengan rambut basah tanpa sehelai benang pun menutupi. Meski, mataku menatapi tumpukan pakaian di lemari yang lebar kubuka, pikiranku melayang jauh dan tanganku mengambil pakaian apapun yang ada di bagian paling atas. Kurasa, aku baru sadar suamiku ada di dalam kamar setelah aku selesai memakai baju. Ia diam di tempatnya duduk, melihatku seperti melihat mahluk asing yang baru pertama kali ia temui.Aku yang juga diam di tempatku jadi lupa pada apa yang biasanya kami lakukan saat hari minggu.Memoriku seolah terdistorsi berkeping-keping yang rasanya sulit kusatukan, sampai ia berdiri dan mengajakku sarapan. 10.12. kami sarapan.Dua tangkup roti, sebutir telur mata sapi, juga 2 sosis goreng. Sambil menggoreng telur aku berusaha mengingat apa telur yang biasa ia makan. 'Setengah matang ataukah matang?'Nihil. Aku tak ingat. Aku sama sekali tidak mengingat telur macam apa yang biasa kami makan.Kopi ataukah teh? Atau hanya air putih sebagai pelengkap sarapan? 'Tuhan, aku sama sekali tak ingat hal-hal yang biasanya kulakukan. Apa pengaruh dua butir obat tidur masih menguasai sistem sarafku?'Dahi Ken sedikit mengerut saat aku meletakan telur matang di hadapannya, "aku kelamaan memasak telurku, Ken."Alasan paling mudah, bukan? "Tidak apa, Yang, ayo kita sarapan." Aku mengangguk dan duduk. Selama makan, aku hanya diam memakan sarapanku tanpa rasa. Dua butir pil tidur sama sekali tak mampu mengganjal perutku yang nyatanya masih bisa merasa lapar dan haus tak perduli dengan apa yang kurasakan. Aku lapar hanya tak berselera."Apa kamu tak mau menungguku?" tanya Ken saat aku menyuapkan potongan terakhir dari sosis yang kukunyah cepat lalu kutelan."Kamu ingin kutunggu?" Ah, wajah Ken terlihat kaget mendengar tanyaku.Apa aku selalu menunggunya? Jawabannya iya, aku selalu menunggunya.Aku seperti anjing setia yang akan menunggu Ken selesai dengan apapun. Belajar, bekerja, makan, mandi, aku bahkan akan menunggunya berbaring di ranjang kami sebelum benar-benar menata tubuhku di sampingnya. Aku selalu menunggunya. Dan itu juga yang akan kulakukan saat piringku sudah kosong."Apa kamu akan diam saja dan menatapiku, Ri?""Tak bolehkah?" tanyaku pada suamiku yang makan dengan senyum di wajahnya, "Ibu apa kabar?"WAJAH Ken sedikit berubah sebelum menelan lalu menatapku, "baik, seperti biasa."Aku hanya mengangguk saat melihat wajah suamiku terlihat tak nyaman, "apa Minggu depan kamu juga akan ke rumah ibu lagi?"Mata Ken membesar sesaat."Aku tau ibu tak akan suka melihatku tapi, mungkin aku bisa mengiriminya opor dan sambal goreng kentang." "Ibu pasti akan menyukainya," ucap Ken meremas tanganku yang tak menemukan balasan apapun saat senyumnya yang kukenali nampak sama. Mungkin ibu tak akan benar-benar menyukai makananku. Tapi, aku tahu di rumah itu akan ada orang yang mau memakannya. Hanya saja, apa makanan yang kubuat akan benar-benar sampai di rumah mertuaku atau tidak? "Masih tak ingin bercerita kenapa kamu menangis?"Aku merasakan tanganku yang diremas Ken rambut halusnya berdiri. "Suatu hari-- mungkin." Aku tak tahu kenapa bibirku bisa tersenyum saat melihat wajah Ken yang alisnya bertautan heran, "dan habiskan sarapanmu, Ken." Aku tidak tahu, apa yang kulakukan ini sungguh diriku atau hanya impuls semata. Tapi, yang manapun itu rasanya tidak penting lagi. Karena yang terpenting Ken ada bersamaku sekarang. Bukan bersama wanita itu. Namun, sampai kapan aku akan merasa aman?Karena saat Ken jauh dariku, seluruh kesadaranku membayangkan ia sedang bersama wanita itu. Sedangkan aku duduk sendirian di rumah kami. Menunggu. Menunggu. Dan menunggu dalam bisuku yang menyesakkan. Sampai kapan aku akan merasa aman? Jika saat keluar, mataku akan berkeliling mencari keberadaan wanita itu dan suamiku. Aku merasa takut sendiri jika mereka yang sedang bersama melihatku. 'Bodohnya diriku.' Dengan pikiran seperti itu, aku memilih berbelanja di tempat yang jauh dari rumahku tinggal. Melewati tol panjang yang berlawanan arah baik dari lingkunganku tinggal maupun lingkup kerja suamiku. Tapi, mataku yang sudah hafal siluet Ken tak bisa berpaling saat aku melihat bayangannya. Dan aku hanya bisa bersembunyi memperhatikan suamiku menemani wanita itu masuk ke dalam toko pakaian.Aku, istrinya, hanya bisa melihat di samping manekin tak bernyawa yang seolah menertawakan diri dan pilihanku. Meski tak mendengar suara mereka, Ken terlihat memuji tiap kali wanita itu keluar dengan pakaian yang berbeda, tawanya ... 'apa Ken juga tertawa seperti itu saat bersamaku? Apa wajahnya berseri-seri saat menemaniku? Apa Ken terlihat bersenang-senang saat ia keluar bersamaku? Apa ia terlihat bahagia saat berada di sampingku?'Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul silih berganti tanpa mau berhenti, meski aku hanya diam membisu di samping manekin yang bisa menyembunyikan diriku begitu rapi tak terlihat. Sampai suamiku menyambut uluran tangan lentik wanita yang terus ia gandeng. Bahkan, setelah keluar dari toko pakaian, pegawai toko pun tampak terkesima melihat keduanya.Rasanya, aku bisa mendengar pujian seberapa serasi suamiku dan wanita itu. Sesabar apa suamiku menunggu wanita itu, sebaik apa suamiku mau memuji kecantikan wanita yang memang mempesona itu. "Sudah selesai?" "Tentu saja sudah kecuali kamu masih mau berkeliling." Mendengar suara manja itu Ken tertawa, tangannya mengusap kepala dari pemilik suara manja yang rasanya bak duri untuk telingaku. Bahkan, dua punggung yang menjauh dariku memancarkan kebahagiaan. Pembicaraan mereka terdengar begitu menyenangkan.Sampai aku mencopot topi lebar manekin di sampingku lalu berbalik cepat saat Ken menoleh ke belakang.Dadaku berdebar kencang, takut suamiku yang sedang bersama wanita itu menyadari keberadaanku. Menyedihkan sekali, bukan? ------------Terimakasih sudah baca ❤️ jangan lupa tinggalkan feedback kamu kalau mau 😆"Ada apa, Ken?" Tanya manja itu membuatku menahan nafas. Dadaku berdebar keras berharap topi kelebaran yang menutupi kepalaku bisa menyamarkan tampilan diri yang mungkin akan Ken kenali, sebagaimana aku menyadari siluetnya begitu mudah. "Bukan apa-apa, hanya salah lihat." Tapi, aku merasa kecewa setelah mendengar jawaban Ken sampai bibirku menarik garis senyum yang terasa menyakitkan. Ia yang rasanya melihatku tak mengenali punggungku, istrinya yang bersembunyi. Ken menjauh dengan terus menggandeng erat tangan wanita itu, sementara mataku masih terus menatap punggungnya dari kaca toko yang pegawainya memperhatikanku curiga.Bagaimana tidak curiga? Aku berdiri di samping maneqin tokonya begitu lama. Tapi, menatapi toko lain dengan pandangan awas, 'tentu saja ia akan curiga padaku.'"Sa--saya beli ini," ucapku tapi meminta warna lain.Meski aku yakin, tidak akan pernah memakai topi kebesaran yang sudah terbungkus rapi di tanganku. Itu hanya akan mengingatkan diriku pada hari ini. H
[Jangan.... Jangan pergi, Ken.... Jangan tinggalkan aku.]Lagi ..., lagi-lagi mimpi ini. Ingin mengejar seperti apapun, kakiku tetap terpaku dengan kegelapan di bawahku. Sejauh apapun tanganku meraih, aku tak bisa menahan tangan suamiku yang tidak bisa ku gapai. Sekeras apapun aku berteriak suamiku seolah tak mendengar panggilanku. Ken tetap menjauh, meninggalkanku yang tidak bisa mengejarnya. Bahkan, di dalam mimpi rasa sakitku masih sama. Harapanku pun masih sama. Hanya saja, aku bisa melihat serapuh apa tempatku berpijak. Pijakan yang suara retaknya bisa kudengar meski dalam dalam mimpi. Dan itu menakutkan, sangat menakutkan.Krak! krakk! krak...[JANGAN TINGGALKAN AKU, KEN. JANGAN PERGI!!]"Ken!" Aku yang bisa merasakan tenggorokanku kering, membuka mata di tempat asing.Sofa di bawahku bahkan basah dengan keringat yang serasa menganak sungai. Meski kepalaku pusing perutku tak sakit lagi. Bahkan, di dahiku ada plester penurun panas yang rasanya sudah lama di tempel. 'Dim
Rumah yang kumasuki masih sepi.Aku yang akhirnya bisa menebus dua botol obat tidur setelah konsultasi pada dokter langsung membuka kulkas.Meskipun tak memiliki selera makan, bagaimanapun juga aku harus makan bukan? Kuambil apel yang langsung kugigit tanpa rasa. Lalu menyerah pada gado-gado yang baru kumakan tiga suap.Aku merasa begitu lelah, meski saat memejamkan mata, kantukku tidak datang sama sekali. Dengan sendal jepit yang kubeli di apotik, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelahnya langsung naik ke kasur dan meminum dua butir pil tidur yang membuatku mengangguk. Tak butuh waktu lama, aku terlelap tanpa kemungkinan bangun seburuk apapun mimpiku. 'Tapi, setidaknya aku bisa tidur meski harus mengonsumsi pil terlebih dahulu, bukan?'***"Yang, aku pulang. Yang? Ri?" Lelaki yang berlari masuk setelah melepas sepatunya cepat itu tertegun melihat ponsel sang istri di samping kotak makanan yang masih belum dibuka. "Yang?"Sepi, tak ada jawaban. Bahkan percuma
"Beruntung?" Tanyaku lebih pada diriku sendiri."Iya, Nyonya, suami anda sangat beruntung karena saat saya pulang tidak ada istri cantik yang menunggu saya di rumah. Hanya ada sepi dan bantal dingin."Aku tahu lelaki di sampingku bercanda. Tapi, aku bahkan tak bisa tertawa dan hanya mengamati tautan jemariku sendiri yang terlihat gelisah. Aku tak ingin berpikir apa yang sedang di pikirkan tetanggaku ini tentangku. Tapi, ia nampaknya bukan tipe manusia yang suka mencampuri urusan orang lain, ia juga tak keberatan aku hanya menjawab seperlunya. Ah, bukan begitu. Sejak dulu aku memang orang yang tak terlalu bisa bercengkrama dengan orang lain. Hanya bicara seperluku. Kurasa, aku hanya orang yang tidak menyenangkan untuk diajak bergosip."Apa anda sudah harus kembali?"Aku yang berdiri dari kursi besi bercat hijau mengangguk."Apa suami anda sudah pulang?"Aku menatap jajaran gigi rapinya yang terlihat menunggu jawabanku. Tapi, sekali lagi aku menggeleng, "saya hanya ingin bersiap kare
Aku menarik nafasku dalam, berharap ucapan ibu tidak akan terlalu kupikirkan. Tapi, siapa yang sedang ku bohongi saat dalam tiap langkah kepalaku berkali-kali mengulang ucapan ibu. [Benalu...bercerai...lebih pantas untuk putraku]"Selamat datang," sambutan ramah dengan senyum komersil itu membuatku diam, aroma salon yang terasa berbeda begitupun suasananya membuatku ragu untuk masuk. "Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" tanya lelaki yang menyambutku setelah ia memperhatikan jemariku yang memakai cincin. Ramah. Itu kesanku untuk lelaki yang rambutnya dicat pink ini. Keramahan yang membuat seseorang merasa disambut, sampai aku yang tak terbiasa masuk ke dalam salon berani melangkah dan mengatakan apa yang ku mau. "Apa anda ada kencan, Nyonya?" Aku yang menutup mata saat wajahku dipoles menggeleng pelan, tidak ingin tangan yang sedang memoleskan lipstik di bibirku terganggu."Ataukah bertemu dengan selingkuhan suami?" Candanya dengan tawa tapi hanya bertahan sesaat ketika aku tanpa sa
Baju warna hijau yang ku kenakan terasa begitu dingin dan berat. Selang infus yang menancap pun, seakan menyatu dengan tanganku. Aku merasa begitu kosong. Meskipun, rasa menusuk yang kurasakan nyata adanya. Aku bahkan tak bisa menangis saat aku menyentuh perut rataku. Sesuatu yang seharusnya tumbuh sudah tidak ada lagi. Sesuatu yang kehadirannya sama sekali tak kusadari, sudah dikeluarkan saat aku tak sadarkan diri. Sesuatu yang seharusnya kusyukuri keberadaanya sudah menghilang karena dokter mengambilnya. 'Tidak! Bukan! Bukan dokter, tapi aku!'Aku yang bahkan tak menyadari kehadirannyalah yang membuat Tuhan mengambilnya lagi dariku. Aku yang membuatnya pergi. AKU! Bukan dokter ataupun stres yang selama tiga bulan terakhir ini kurasakan. Aku sudah membunuh darah daging yang bahkan kehadirannya tak kusadari. Aku sudah membunuh anakku sendiri karena kelalaianku. Dan aku, bahkan tak mampu mengeluarkan airmata untuknya yang keberadaanya sudah tak tersisa lagi di rahimku."An
Kehangatan tulus dari tubuh lain ternyata terasa begitu menenangkan.Tetapi, aku tak boleh berlama-lama membiarkan lelaki ini memelukku dan saat aku melepaskan peganganku dari kemejanya, Arga melepaskan pelukannya tanpa kuminta. Ia menatapiku yang menunduk."Maaf, Nyo-""Terimakasih," potongku cepat pada kalimat Arga. Ia diam lalu mengangguk."Apa anda harus segera pulang, Nyonya? kalau tidak, maukah menemani saya makan siang?"Wajah Ken langsung terbayang di pelupuk mataku, rumah kami pun melintas di pikiran. "Saya- ... saya harus pulang," jawabku singkat. Arga mengangguk, "kalau begitu bolehkah kita berjalan sampai parkiran? Rasanya saya sudah cukup menatapi anak jelek ini," ucap Arga yang senyumnya kembali, ia menatap bayi mungil yang terlihat memberi Arga tatapan protes dengan jemari menggenggam erat. Aku ingin menolak, apalagi aku harus membayar biaya perawatanku. Kurasa, aku bersyukur saat seorang pria memanggil Arga. "Ga!" Ia ayah dari bayi lelaki berambut lebat yang masih
Sebanyak apa waktu yang dibutuhkan sebuah hati untuk merasa lega? untuk merasa ringan? untuk merasa damai? Sedangkan diri, melarang untuk melupakan.--------------"Ha ha ha."Tawa bocah kecil yang wajahnya samar, membuatku diam membisu. Senyumnya yang lebar juga jemari mungilnya yang menyentuh pipiku terasa begitu hangat. Tapi, ada rasa menusuk yang bercokol begitu menyesakkan dalam hati juga seluruh diriku.Bibir merah nan mungil juga basah mengucapkan kalimat samar yang tidak pernah bisa kuartikan.Berat tubuh kecil yang terasa begitu nyata dalam dekapanku begitu nyata terasa.Namun, aku hanya diam menatapi bocah kecil yang kupangku dalam gendongan.Bocah kecil yang wajahnya bahkan tak pernah mampu kubayangkan, kecuali senyumnya yang lebar dan sentuhan jarinya yang mengusap pipiku, pipi basah yang rasanya tak akan pernah menjadi kering. ---------------Aku terbangun dengan airmata menggenang, tubuhku masih merasa lemah di atas kasur dingin yang selimutnya hangat. Plafon wa
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.