Sebanyak apa waktu yang dibutuhkan sebuah hati untuk merasa lega? untuk merasa ringan? untuk merasa damai? Sedangkan diri, melarang untuk melupakan.--------------"Ha ha ha."Tawa bocah kecil yang wajahnya samar, membuatku diam membisu. Senyumnya yang lebar juga jemari mungilnya yang menyentuh pipiku terasa begitu hangat. Tapi, ada rasa menusuk yang bercokol begitu menyesakkan dalam hati juga seluruh diriku.Bibir merah nan mungil juga basah mengucapkan kalimat samar yang tidak pernah bisa kuartikan.Berat tubuh kecil yang terasa begitu nyata dalam dekapanku begitu nyata terasa.Namun, aku hanya diam menatapi bocah kecil yang kupangku dalam gendongan.Bocah kecil yang wajahnya bahkan tak pernah mampu kubayangkan, kecuali senyumnya yang lebar dan sentuhan jarinya yang mengusap pipiku, pipi basah yang rasanya tak akan pernah menjadi kering. ---------------Aku terbangun dengan airmata menggenang, tubuhku masih merasa lemah di atas kasur dingin yang selimutnya hangat. Plafon wa
"Come on, di sini hanya kamu yang bernama Mira, no one else, Darling." Aku hanya mengangguk. Ini bukan kali pertama aku bersikap seperti ini saat orang memanggilku. Rasanya, meski sudah lima tahun berlalu, aku belum terbiasa dengan panggilan 'Mira' sampai orang yang memanggilku bersikap seperti Muray atau yang parah, berteriak padaku."Kamu mau aku melakukan apa?"Muray langsung tersenyum lebar dan menyentuh bahuku. Aku sudah biasa dengan pinta Muray yang kadang menyuruhku menambah jam kerja, mengingat banyaknya lansia yang bekerja di hotel ini.Aku masih muda dan tenagaku pasti lebih besar dibanding kakek-kakek ataupun nenek-nenek yang gerakannya kadang lambat. Tapi, aku tahu mereka melakukan yang terbaik meski kadang menggerutu. "Aku tahu kau belum tidur. Tapi, bisakah kau kerja sampai siang hari? Mike dan Shanon tak enak badan. Kurasa musim dingin berpengaruh besar pada sendi tua mereka."Aku langsung mengangguk setuju dan tepukan lega tangan dingin Muray langsung mendarat di pun
"Mommy, I want my candy." Aku menoleh pada bocah yang terlihat begitu manja dan tak sabar melihat lolipopnya dikupas."Berikan ini pada adikmu dulu." Meski memutar bola matanya malas, bocah lelaki yang menerima lolipop warna ungu mengangguk lalu berlari menghampiri anak lain yang lebih kecil.Entah, apa yang keduanya bicarakan. Tapi, mataku tak ingin lepas memperhatikan dua anak kecil yang berdiri di samping boneka salju mereka dengan pose menggemaskan di bawah jepretan ponsel sang ibu sambil mengemut lolipop masing-masing. "!" aku terkejut saat wanita yang tertawa senang itu menoleh padaku yang berdiri diam, dan baru sadar rambutku sudah dipenuhi salju-salju halus yang langsung meleleh saat kuusap.Tak ingin dicurigai, aku melangkah pergi dan mengangkat tanganku kaku, saat ia melambai diikuti dua anak kecil yang semangat mengangkat tangan mereka yang memakai sarung tebal dengan senyum lebar nan lugu. Aku berusaha untuk tak berpikir apapun, saat melihat barisan gigi-gigi kecil ked
"Seolah kau tak ingin memiliki ataupun terikat dengan apapun, Mira."Aku tak memberi komentar pada ucapan Sidney yang lalu duduk di atas ranjangku yang selimutnya masih tersibak."Tapi, aku tak akan bertanya lebih jauh. But tell me, Mira, kenapa kamu memandangi lemari kosongmu sampai tak sadar aku masuk?"Aku menatap sekali lagi lemariku lalu menarik nafas, "aku butuh gaun, tapi ternyata aku tak punya satu pun." Mendengar itu Sidney tertawa, ia berdiri dan menarikku ke luar kamar lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri.Sidney membuka lebar lemari pakaiannya yang penuh terisi, tanpa ruang kosong.Ia memperhatikanku beberapa lama sebelum beralih lagi pada lemari yang isinya hanya diketahui yang punya. Sampai Sidney menarik satu potong pakaian yang ia buka lebar di hadapanku. "Kau tak akan kelihatan murahan dengan baju ini, percayalah. I know your a nun, Mira."Aku sadar maksud ucapan Sidney dan menatap gaun floral tanpa lengan yang akan benar-benar tertutup jika aku menggunakan kardigan
Aku yang diam terpaku.Seolah diperlihatkan gambaran cepat kehidupan yang kutinggalkan lima tahun lalu. Namun, aku tak bisa melihat adanya kebahagiaan di sana. Hanya ada gambaran dari wanita bodoh menyedihkan, juga kehidupan macam apa yang ia jalani. Wanita bodoh yang menunggu suaminya pulang dalam rumah sepi, saat ia sadar suaminya baru akan kembali saat hari berganti.Wanita bodoh yang memaksakan diri, untuk bertahan dengan menutup rapat mulutnya dan saat disadarkan siapa dirinya, ia hanya bisa diam termangu tanpa balasan.Wanita bodoh yang berpikir, rumah tangganya akan baik-baik saja selama ia bertahan dan mempertahankan rasa yang nyatanya hanya ia miliki sendiri.Wanita bodoh yang ternyata dikasihani suaminya sendiri, lalu pergi meninggalkan segalanya, tapi membawa luka dan rasa bersalah yang tak akan pernah hilang juga tak ingin dihilangkan. Wanita bodoh yang bahkan tak menyadari di dalam rahimnya ada bakal anak yang bertahan, sampai Tuhan mengambilnya lagi. Bakal manusia ya
Aku kembali masuk saat jam kerjaku hampir di mulai dan terkejut saat mendapati Muray duduk di ruang loker dengan botol minuman di tangan."Minumlah denganku, Mira."Aku menghampiri Muray yang mengangkat botol minuman beralkohol di tangannya tinggi-tinggi, anggur putih yang terlihat keemasan, gelembung udaranya menambah keelokan minuman yang biasanya kuhindari."Aku mengambil satu, kuharap tak akan ada yang bertanya kemana perginya wine yang seharusnya diminum GM baru kita." "Kurasa tak hanya kamu yang melakukan itu," ucapku membuat Muray tertawa dan mengedipkan mata.Ia membuka tutup yang meloncat entah kemana. Tapi, tak ada yang perduli saat yang Muray butuhkan hanya waktu untuk benar-benar melepas penat yang akhirnya terangkat sementara aku tak ingin berpikir tentang apapun. Tidak ada gelas. Muray menenggak langsung wine dari botol lalu menyodorkan padaku, "your turn, girl."Aku langsung menerima dan melakukan hal sama. Meneguk minuman yang aromanya sedikit menusuk hidung. Seteguk
Saat bangun, aku langsung memastikan pakaianku masih melekat di badan. Pun, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Ku tenarik nafas dalam, lega, meski saat aku menyentuh pipi, rasanya aku masih bisa merasakan kehangatan dari tangan yang bergetar.Dengan tubuh masih berbaring di atas ranjang dan selimut hangat yang menutupi tubuh, aku menggigit bibir bagian bawahku.Baru kali ini aku bermimpi seperti itu, bahkan rasanya kulit wajahku masih bisa merasakan sentuhan tangan yang rasanya dihafal kulitku. Mimpiku ..., 'kurasa ini hanya karena aku bertemu dengan Ken semalam.'Tapi, mulai hari ini aku harus mengunci pintu karena aku tak akan sadar, apa yang terjadi saat aku tidur di bawah pengaruh obat tidur. Mungkin berlebihan, karena aku baru pertama kali merasakan mimpi seperti ini sejak aku tinggal di rumah Rose. Mimpi yang membuat batinku tidak tenang.Sangat tidak tenang.Tok! Tok! "Mira, are you awake?"Aku bangun saat mendengar pintu kamarku diketuk. Sebelum kujawab, pintu terbuka
"Where are you going?"'Mau kemana?' Aku menatap Sidney."Sebentar," jawabku tak nyambung, lalu berjalan menjauh meninggalkan sepasang kekasih yang menatap dengan pandangan bingung. Dan, keduanya terlihat makin heran saat aku kembali, tanganku menggandeng tangan kecil yang begitu erat menggenggam jemariku. "Who? Your son? Aw." Carter mengaduh saat Sidney mencubit pahanya."Hay, young man. What is your name?" tanya Sidney menjajarkan wajahnya dengan Banyu yang menatapi uluran tangan Sidney. Aku bisa merasakan jemariku diremas tangan kecil yang mungkin tak menyadari apa yang ia lakukan. "Onty Sidney bertanya, siapa namamu?" ucapku mengulang tanya Sidney dengan bahasa. Banyu yang mendengar itu menoleh padaku, lalu pada Sidney juga tangannya yang terus terjulur. Tangan kecil Banyu terangkat, ia menjabat uluran tangan Sidney. "Aku, Banyu Hutama."Jawaban Banyu membuat Sidney memandangku, "a proud kid, e'? tapi, apa yang ia katakan?""His name is Banyu Hutama. Both of you can call him
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.