Beranda / Pernikahan / WITHERED / TAWA MEREKA MENYAKITIKU

Share

TAWA MEREKA MENYAKITIKU

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-31 14:42:39

[Jangan.... Jangan pergi, Ken.... Jangan tinggalkan aku.]

Lagi ..., lagi-lagi mimpi ini.

Ingin mengejar seperti apapun, kakiku tetap terpaku dengan kegelapan di bawahku.

Sejauh apapun tanganku meraih, aku tak bisa menahan tangan suamiku yang tidak bisa ku gapai.

Sekeras apapun aku berteriak suamiku seolah tak mendengar panggilanku.

Ken tetap menjauh, meninggalkanku yang tidak bisa mengejarnya.

Bahkan, di dalam mimpi rasa sakitku masih sama.

Harapanku pun masih sama.

Hanya saja, aku bisa melihat serapuh apa tempatku berpijak. Pijakan yang suara retaknya bisa kudengar meski dalam dalam mimpi. Dan itu menakutkan, sangat menakutkan.

Krak! krakk! krak...

[JANGAN TINGGALKAN AKU, KEN. JANGAN PERGI!!]

"Ken!"

Aku yang bisa merasakan tenggorokanku kering, membuka mata di tempat asing.

Sofa di bawahku bahkan basah dengan keringat yang serasa menganak sungai.

Meski kepalaku pusing perutku tak sakit lagi. Bahkan, di dahiku ada plester penurun panas yang rasanya sudah lama di tempel.

'Dimana?' Aku berusaha bangun meski tubuhku masih terasa lemas. Hal terakhir yang kuingat adalah kakiku yang terasa berat setelah keluar dari lift juga dinginnya lantai karena aku terhuyung jatuh.

Setelah itu ... Aku tak ingat apapun.

"Nyonya?"

Ah, iya seseorang memanggilku seperti itu.

"Anda sudah bangun?"

Iya, suaranya juga sama persis.

"Nyonya? Apa anda merasa lebih baik?"

Keget, aku menoleh pada pemilik suara yang nyatanya bukan hanya dalam kepala. Lelaki dengan barisan gigi rapi terlihat cemas memandangiku dari tempatnya berdiri.

"Nyonya?"

Jam di pergelangan tangannya langsung membuatku yang masih merasa pening, bangun. Hari sudah lewat tengah malam. Ken pasti sudah pulang dan ia pasti cemas tak mendapatiku di rumah kami.

Aku harus segera pulang, tapi sebelum itu aku harus mengucapkan terimakasih pada lelaki yang masih terus memandangiku bahkan terkejut saat aku berdiri begitu cepat.

"Sa--saya harus segera pulang, terimakasih sudah menolong saya."

Aku langsung mengambil tasku yang ada di atas meja, dan hanya melihat sekilas sebungkus makanan juga topi kebesaran yang pinggirannya begitu lebar.

"Te-terimakasih." Aku menunduk.

Ia terlihat bingung tapi tetap mengantarku sampai pintu.

"Sekali lagi terimakasih, Tuan," ucapku menundukkan badanku sekali lagi sebelum keluar tanpa mendengar balasan lelaki dengan barisan gigi rapi yang terus menatapiku, seolah menahan kalimat yang ada di ujung lidahnya.

Kupikir aku harus berjalan jauh untuk mencapai rumah, tapi, nyatanya pintu rumahku tepat ada di depanku.

Apartemenku hanya berjarak beberapa langkah dari rumah lelaki yang namanya masih belum kutanyakan.

Bip! Bip!

Langsung kudorong pintu yang sandinya ada di luar kepala, "Ken? Maaf aku pulang telat, tadi aku pingsan. Kamu percaya itu? Aku pingsan tepat setelah aku keluar dari lift."

Aku tertawa sambil melangkah, tapi tak ada jawaban. Bahkan saat aku membuka lebar pintu kamar kami, "Ken?"

Aku memanggil suamiku yang tak menjawab begitupun saat aku membuka pintu kamar mandi, "apa ia belum pulang?" tanyaku menyentuh dahiku yang masih di tempeli bye-bye fever juga-- plester?

'Kenapa dahiku diplester? Apa aku terbentur saat jatuh tad-'

Tubuhku kaku seketika, bayangan Ken yang menemani wanita itu kembali terbayang.

Manekin yang menyamarkan beberadaanku kembali terlintas, dan aku yang diam di kamarku sendiri jadi sadar aku bicara sendirian sejak tadi.

Tidak ada Ken yang menungguku, tidak ada Ken yang cemas aku belum pulang meski sudah lewat tengah malam, tidak ada Ken yang akan ikut tertawa dengan cerita bodohku yang pingsan, tidak akan ada Ken yang cemas ataupun memelukku lalu tertawa bersamaku.

Aku hanya sendiri.

Karena malam Minggu ini suamiku sedang di rumah ibu seperti chatnya padaku siang tadi. 'Hah, Siapa yang sedang kamu bohongi, Arini? Siapa yang sedang kamu coba bohongi?'

*

Hari sudah begitu terang, matahari pun begitu tinggi. Tapi, Ken yang biasanya sudah pulang saat aku bangun tak juga masuk dari pintu yang terus kupandangi semalaman.

Ponsel yang terus kutunggu bunyinya sejak matahari muncul pun, hanya diam tak bergetar, tergeletak di atas meja.

Obat tidurku habis sehingga aku sama sekali tak bisa memejamkan mata.

Tubuhku lelah, pikiranku apalagi. Tapi, mataku sama sekali tak mau terpejam barang sedetik pun. Kesadaranku masih sangat terjaga meski aku merasa begitu lemah.

Tok! Tok!

Sampai ketukan itu membuatku yang duduk di tempat sama sejak semalam, bangun.

Aku semangat mengira itu suamiku. Tapi, saat sadar Ken tak akan mengetuk pintu rumahnya sendiri, semangatku langsung menghilang.

"Ya, Siapa?" Tanyaku lupa pada monitor yang seharusnya bisa kulihat.

"Paket makan siang untuk Nyonya Arini."

Aku yang tak merasa memesan makanan membuka pintu dan senyum wanita paruh baya ramah menyambutku.

"Tapi, saya tidak memesan makanan, Bu. Bisa cek alamatnya sekali lagi?"

Namun, senyum wanita paruh baya itu makin lebar, "terima saja, Nyonya, lagipula makanan ini sudah dibayar. Anda Nyonya Arini, bukan?"

Aku mengangguk. Meski ragu, wanita paruh baya itu berhasil meyakinkanku menerima paket makan siang yang rasanya kebesaran untuk kuhabiskan sendiri.

"Terimakasih, Bu," ucapku pada akhirnya.

"Sama-sama, Nyonya."

Kutatapi kotak makanan yang masih terbungkus rapi. Melihat bungkusnya, aku bisa menebak makanan di dalamnya adalah makanan yang saat lajang hanya bisa kubayangkan mengingat satu potongnya saja setara dengan uang jajanku selama satu minggu.

Dan ini? Berapa banyak rupiah yang dikeluarkan orang yang mengirimiku makanan juga, 'siapa?'

Ragu kuambil ponsel, setelah melihat jam sudah menunjukan waktu makan siang aku memutuskan untuk menelpon Ken.

Nada sambung yang terhubung membuatku berdebar, jantungku bertalu-talu untuk tiap detik yang berlalu, sampai suara manja itu membuat jantungku serasa berhenti.

"Halo, Arini, ya?"

Rasanya aku menahan nafas, bahkan memegang ponsel begitu kuat agar tak terjatuh.

"Halo?"

Suara manja itu terdengar lagi. Aku berusaha bersikap biasa, tapi suaraku tetap bergetar.

"Ha--halo, ini ponsel Ken, kan?"

"Ha ha ha, kamu lucu sekali, Arini."

Tawa bak duri itu terdengar. 'apa ia sedang mengejekku? Namun reaksi seperti apa yang harus kutunjukkan? Atau, harus bersikap seperti apa diriku?'

"Kamu menelpon Ken, bukan? Tentu saja ini ponsel Ken. Tapi, sayang ia sedang di atas."

'Di--atas apa? Apa maksudnya?'

"Oh, apa Ken lupa memberitahumu? Di rumah sedang diadakan acara syukuran. Kau tahukan, Rama lulus SNMPTN. Ibu membuat syukuran besar-besaran."

Aku tak tahu mana yang membuatku diam membisu. Acara syukuran Rama, adik ipar ku atau aku yang bahkan tidak tahu.

"Tapi, kenapa kamu tak datang Arini? Apa ibu tak mengundangmu? Apa hubungan kalian masih tak baik? Hei- KEN!?"

Suara sambungan yang terganggu terdengar bersama langkah kaki juga pintu yang ditutup.

Kurasa aku tak perlu bertanya apa yang terjadi saat suara gedoran pintu terdengar dari sambungan telepon yang kuletakan di atas meja.

"Arini? Halo? Yang? Kamu masih di situ kan? Yang? Ri?"

Aku hanya diam memandangi ponsel juga kotak bekal berisi makanan mahal yang ada di atas meja.

Rasanya ... aku lelah sekali, tapi mataku sama sekali tak mengantuk. Aku ingin tidur. Mungkin setelah tidur rasaku akan lebih baik.

Aku yang ingat obat tidurku sudah habis berdiri dari tempatku duduk, langsung meraih kunci mobil dan keluar dari rumah sepi, meninggalkan ponselku yang masih menyala dengan suara Ken yang terus terdengar.

Aku yang memenceti tombol lift tak sabar menunggu, meski baru berdiri beberapa detik.

Kupilih menuruni anak-anak tangga yang jumlahnya tidak sedikit, mengingat lantai tempatku tinggal adalah yang tertinggi.

Begitu sampai tempat parkir khusus penghuni, aku langsung masuk ke dalam mobil dan melajukannya dengan kecepatan tinggi.

Namun, bukan apotik yang kutuju. Melainkan rumah megah yang terdengar ramai bahkan dari luar.

Pintu gerbang yang lebar terbuka membuatku bisa melihat sebanyak apa tamu yang datang. Obrolan hangat juga pujian terlontar untuk si anak bungsu yang akhirnya sudah lulus SMA.

Rama, anak nakal nan jahil itu terlihat kesal saat Ken mengusap kepalanya.

Aku bisa melihat tawa lebar dari semua yang hadir, terutama sang nyonya rumah yang terlihat begitu bangga pada putranya. Tidak hanya untuk sang putra bungsu, aku bisa melihat ia memuji si putra sulung yang terlihat malu. Sang kepala keluarga pun turut tertawa.

Tidak ada yang kurang dari apa yang kulihat.

Tawa.

Kebahagian.

Kebanggan.

Semua ada di sana.

Jika aku ada disana, apa mereka akan tetap tertawa seperti itu? Kurasa tidak. Dan itu menyakitkan untuk kuakui sendiri.

"Oh, darimana saja kamu, Nggit?"

Ucapan itu membuatku tertegun saat ibu mertuaku meminta wanita itu bergabung. Ia bahkan tak segan menyuruh wanita itu duduk di samping suamiku.

Tempat di mana seharusnya aku duduk.

Tapi, tempat itu memang tidak pernah untukku, bukan? Meski ada cincin yang melingkar begitu pas di jari manisku. cincin yang rasanya begitu berkilau siang ini sampai membuatku jadi samar bak bayangan yang terlupakan.

Aku terus berdiam diri memperhatikan tawa bahagia yang rasanya mengejekku, mengolok-olokku, menghinaku begitu nyata hari ini. Tawa suamiku, kedua mertuaku, orang-orang yang hadir, juga tawa wanita itu.

Sementara aku, hanya berdiri sendirian menatapi.

----

-----

-----

"Arini?"

Aku menoleh pada pemilik suara manja yang memotong jalan pergiku. Berdiri penuh kepercayaan diri yang rasanya tak lagi kumiliki.

Senyumnya terlihat begitu bersahabat.

"Kenapa hanya berdiri di situ, ayo masuk."

Aku hanya membisu pada ajakan ramah bak pemilik rumah yang menyentuh tanganku. Wajah dan sikapnya yang bersahabat sedikit berbeda dengan pandangan matanya yang terlihat mengejek.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu ingin merusak acara syukuran ini?"

Aku langsung melepaskan tangan yang di genggam Anggita. Tapi, rasanya ia bisa menebak apa yang akan kulakukan.

"Maaf, Arini, tapi melihat sebaik apa Tante Rossa padamu," Anggita melihat tampilanku dari atas sampai bawah. Ia tak menyembunyikan seringaian mengejeknya kali ini, "kurasa, jika tante Rossa melihatmu sekarang. Ia akan sangat malu."

Aku yang rasanya disadarkan bagaimana penampilanku yang bahkan tak mengenakan alas kaki, jadi makin diam dan menggigit bibir bagian dalamku keras.

Anggita benar, ibu mertuaku pasti akan senang sekali saat melihat tampilanku yang sama sekali tak pantas.

Namun, sekalipun aku berdandan dan memakai pakaian terbaikku, kurasa ibu tetap tidak akan menyukai kehadiranku.

Aku cukup sadar diri dan Anggita tahu itu.

"Tapi, ayolah masuk. Akan percuma kamu datang tapi hanya melihat."

"Tidak, sebaiknya saya pulang."

Aku tidak tahu bagaimana aku masih bisa tersenyum pada wanita yang sudah berbagi tubuh dengan suamiku. Tapi senyumku masih bisa tercetak bahkan aku ingat aku begitu sopan dan menunduk sebelum pergi.

"Tunggu!" seru Anggita membuatku berhenti melangkah meski tidak menoleh, "kamu tahu apa yang terjadi antara aku dan Ken, bukan?"

Deg!!

Jantungku berhenti berdetak, nafasku pun tercekat. Tapi, aku yang menoleh kebelakang memiringkan kepalaku, "memang apa yang terjadi antara kamu dan Ken?"

Aku bisa melihat wajah Anggita terkejut. Kurasa tidak hanya dirinya, aku pun kaget sendiri bagaimana suaraku bisa begitu tenang?

"Ti-tidak apa-apa, kok, Ri."

Aku hanya diam menatapi wanita penuh percaya diri di hadapanku.

"Ri, bagaimana kalau kita bicara besok. Aku libur dan kamu pasti punya banyak waktu luang, bukan?"

"Bicara tentang apa?"

"Well, besok kuberi tahu. Bagaimana? Bersedia?"

Aku seperti makan buah simalakama, menolak salah menerima juga salah.

Aku tak bisa membaca sedikitpun arti tatapan Anggita padaku. Kecuali satu, ia begitu percaya diri bisa mengambil apapun yang ia mau dan itu suamiku.

"Saya akan kabari kamu nanti," jawabku pada akhirnya.

"Kalau begitu aku akan menunggu, Arini."

Aku hanya bisa masuk mobil di bawah pengawasan wanita yang sudah berbagi ranjang dengan suamiku dan menyerah untuk rasa sakit di bagian perut sampai kuhentikan laju, jauh dari rumah mertuaku.

"Seharusnya aku makan sebelum keluar tadi."

Bab terkait

  • WITHERED   MENABUR GARAM DALAM LUKA

    Rumah yang kumasuki masih sepi.Aku yang akhirnya bisa menebus dua botol obat tidur setelah konsultasi pada dokter langsung membuka kulkas.Meskipun tak memiliki selera makan, bagaimanapun juga aku harus makan bukan? Kuambil apel yang langsung kugigit tanpa rasa. Lalu menyerah pada gado-gado yang baru kumakan tiga suap.Aku merasa begitu lelah, meski saat memejamkan mata, kantukku tidak datang sama sekali. Dengan sendal jepit yang kubeli di apotik, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelahnya langsung naik ke kasur dan meminum dua butir pil tidur yang membuatku mengangguk. Tak butuh waktu lama, aku terlelap tanpa kemungkinan bangun seburuk apapun mimpiku. 'Tapi, setidaknya aku bisa tidur meski harus mengonsumsi pil terlebih dahulu, bukan?'***"Yang, aku pulang. Yang? Ri?" Lelaki yang berlari masuk setelah melepas sepatunya cepat itu tertegun melihat ponsel sang istri di samping kotak makanan yang masih belum dibuka. "Yang?"Sepi, tak ada jawaban. Bahkan percuma

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • WITHERED   PUTRANYA MEMANJAKAN BENALU

    "Beruntung?" Tanyaku lebih pada diriku sendiri."Iya, Nyonya, suami anda sangat beruntung karena saat saya pulang tidak ada istri cantik yang menunggu saya di rumah. Hanya ada sepi dan bantal dingin."Aku tahu lelaki di sampingku bercanda. Tapi, aku bahkan tak bisa tertawa dan hanya mengamati tautan jemariku sendiri yang terlihat gelisah. Aku tak ingin berpikir apa yang sedang di pikirkan tetanggaku ini tentangku. Tapi, ia nampaknya bukan tipe manusia yang suka mencampuri urusan orang lain, ia juga tak keberatan aku hanya menjawab seperlunya. Ah, bukan begitu. Sejak dulu aku memang orang yang tak terlalu bisa bercengkrama dengan orang lain. Hanya bicara seperluku. Kurasa, aku hanya orang yang tidak menyenangkan untuk diajak bergosip."Apa anda sudah harus kembali?"Aku yang berdiri dari kursi besi bercat hijau mengangguk."Apa suami anda sudah pulang?"Aku menatap jajaran gigi rapinya yang terlihat menunggu jawabanku. Tapi, sekali lagi aku menggeleng, "saya hanya ingin bersiap kare

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • WITHERED   TUHAN KENAPA SESAKIT INI?

    Aku menarik nafasku dalam, berharap ucapan ibu tidak akan terlalu kupikirkan. Tapi, siapa yang sedang ku bohongi saat dalam tiap langkah kepalaku berkali-kali mengulang ucapan ibu. [Benalu...bercerai...lebih pantas untuk putraku]"Selamat datang," sambutan ramah dengan senyum komersil itu membuatku diam, aroma salon yang terasa berbeda begitupun suasananya membuatku ragu untuk masuk. "Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" tanya lelaki yang menyambutku setelah ia memperhatikan jemariku yang memakai cincin. Ramah. Itu kesanku untuk lelaki yang rambutnya dicat pink ini. Keramahan yang membuat seseorang merasa disambut, sampai aku yang tak terbiasa masuk ke dalam salon berani melangkah dan mengatakan apa yang ku mau. "Apa anda ada kencan, Nyonya?" Aku yang menutup mata saat wajahku dipoles menggeleng pelan, tidak ingin tangan yang sedang memoleskan lipstik di bibirku terganggu."Ataukah bertemu dengan selingkuhan suami?" Candanya dengan tawa tapi hanya bertahan sesaat ketika aku tanpa sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • WITHERED   SESAK DAN PEDIH

    Baju warna hijau yang ku kenakan terasa begitu dingin dan berat. Selang infus yang menancap pun, seakan menyatu dengan tanganku. Aku merasa begitu kosong. Meskipun, rasa menusuk yang kurasakan nyata adanya. Aku bahkan tak bisa menangis saat aku menyentuh perut rataku. Sesuatu yang seharusnya tumbuh sudah tidak ada lagi. Sesuatu yang kehadirannya sama sekali tak kusadari, sudah dikeluarkan saat aku tak sadarkan diri. Sesuatu yang seharusnya kusyukuri keberadaanya sudah menghilang karena dokter mengambilnya. 'Tidak! Bukan! Bukan dokter, tapi aku!'Aku yang bahkan tak menyadari kehadirannyalah yang membuat Tuhan mengambilnya lagi dariku. Aku yang membuatnya pergi. AKU! Bukan dokter ataupun stres yang selama tiga bulan terakhir ini kurasakan. Aku sudah membunuh darah daging yang bahkan kehadirannya tak kusadari. Aku sudah membunuh anakku sendiri karena kelalaianku. Dan aku, bahkan tak mampu mengeluarkan airmata untuknya yang keberadaanya sudah tak tersisa lagi di rahimku."An

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-03
  • WITHERED   MANUSIA BURUK

    Kehangatan tulus dari tubuh lain ternyata terasa begitu menenangkan.Tetapi, aku tak boleh berlama-lama membiarkan lelaki ini memelukku dan saat aku melepaskan peganganku dari kemejanya, Arga melepaskan pelukannya tanpa kuminta. Ia menatapiku yang menunduk."Maaf, Nyo-""Terimakasih," potongku cepat pada kalimat Arga. Ia diam lalu mengangguk."Apa anda harus segera pulang, Nyonya? kalau tidak, maukah menemani saya makan siang?"Wajah Ken langsung terbayang di pelupuk mataku, rumah kami pun melintas di pikiran. "Saya- ... saya harus pulang," jawabku singkat. Arga mengangguk, "kalau begitu bolehkah kita berjalan sampai parkiran? Rasanya saya sudah cukup menatapi anak jelek ini," ucap Arga yang senyumnya kembali, ia menatap bayi mungil yang terlihat memberi Arga tatapan protes dengan jemari menggenggam erat. Aku ingin menolak, apalagi aku harus membayar biaya perawatanku. Kurasa, aku bersyukur saat seorang pria memanggil Arga. "Ga!" Ia ayah dari bayi lelaki berambut lebat yang masih

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-03
  • WITHERED   AKU MIRA IMIGRAN GELAP

    Sebanyak apa waktu yang dibutuhkan sebuah hati untuk merasa lega? untuk merasa ringan? untuk merasa damai? Sedangkan diri, melarang untuk melupakan.--------------"Ha ha ha."Tawa bocah kecil yang wajahnya samar, membuatku diam membisu. Senyumnya yang lebar juga jemari mungilnya yang menyentuh pipiku terasa begitu hangat. Tapi, ada rasa menusuk yang bercokol begitu menyesakkan dalam hati juga seluruh diriku.Bibir merah nan mungil juga basah mengucapkan kalimat samar yang tidak pernah bisa kuartikan.Berat tubuh kecil yang terasa begitu nyata dalam dekapanku begitu nyata terasa.Namun, aku hanya diam menatapi bocah kecil yang kupangku dalam gendongan.Bocah kecil yang wajahnya bahkan tak pernah mampu kubayangkan, kecuali senyumnya yang lebar dan sentuhan jarinya yang mengusap pipiku, pipi basah yang rasanya tak akan pernah menjadi kering. ---------------Aku terbangun dengan airmata menggenang, tubuhku masih merasa lemah di atas kasur dingin yang selimutnya hangat. Plafon wa

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • WITHERED   SESAK YANG KUPERTAHANKAN

    "Come on, di sini hanya kamu yang bernama Mira, no one else, Darling." Aku hanya mengangguk. Ini bukan kali pertama aku bersikap seperti ini saat orang memanggilku. Rasanya, meski sudah lima tahun berlalu, aku belum terbiasa dengan panggilan 'Mira' sampai orang yang memanggilku bersikap seperti Muray atau yang parah, berteriak padaku."Kamu mau aku melakukan apa?"Muray langsung tersenyum lebar dan menyentuh bahuku. Aku sudah biasa dengan pinta Muray yang kadang menyuruhku menambah jam kerja, mengingat banyaknya lansia yang bekerja di hotel ini.Aku masih muda dan tenagaku pasti lebih besar dibanding kakek-kakek ataupun nenek-nenek yang gerakannya kadang lambat. Tapi, aku tahu mereka melakukan yang terbaik meski kadang menggerutu. "Aku tahu kau belum tidur. Tapi, bisakah kau kerja sampai siang hari? Mike dan Shanon tak enak badan. Kurasa musim dingin berpengaruh besar pada sendi tua mereka."Aku langsung mengangguk setuju dan tepukan lega tangan dingin Muray langsung mendarat di pun

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • WITHERED   TIDAK MEMILIKI ATAU TERIKAT

    "Mommy, I want my candy." Aku menoleh pada bocah yang terlihat begitu manja dan tak sabar melihat lolipopnya dikupas."Berikan ini pada adikmu dulu." Meski memutar bola matanya malas, bocah lelaki yang menerima lolipop warna ungu mengangguk lalu berlari menghampiri anak lain yang lebih kecil.Entah, apa yang keduanya bicarakan. Tapi, mataku tak ingin lepas memperhatikan dua anak kecil yang berdiri di samping boneka salju mereka dengan pose menggemaskan di bawah jepretan ponsel sang ibu sambil mengemut lolipop masing-masing. "!" aku terkejut saat wanita yang tertawa senang itu menoleh padaku yang berdiri diam, dan baru sadar rambutku sudah dipenuhi salju-salju halus yang langsung meleleh saat kuusap.Tak ingin dicurigai, aku melangkah pergi dan mengangkat tanganku kaku, saat ia melambai diikuti dua anak kecil yang semangat mengangkat tangan mereka yang memakai sarung tebal dengan senyum lebar nan lugu. Aku berusaha untuk tak berpikir apapun, saat melihat barisan gigi-gigi kecil ked

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05

Bab terbaru

  • WITHERED   210. APA MEREKA BAHAGIA?

    ***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia

  • WITHERED   209. WITHERED

    Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal

  • WITHERED   208. NILAINYA

    Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya

  • WITHERED   207. EPILOQUE

    PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany

  • WITHERED   206. MEREKA HARUS MENGENALMU

    Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem

  • WITHERED   205. TERTAWA BERSAMA

    ****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men

  • WITHERED   204. FORGET ME NOT

    "Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m

  • WITHERED   203. AKU HARUS MENGHILANG

    Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's

  • WITHERED   202. WARNING

    Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.

DMCA.com Protection Status