Beranda / Pernikahan / WITHERED / MENABUR GARAM DALAM LUKA

Share

MENABUR GARAM DALAM LUKA

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-31 14:44:57

Rumah yang kumasuki masih sepi.

Aku yang akhirnya bisa menebus dua botol obat tidur setelah konsultasi pada dokter langsung membuka kulkas.

Meskipun tak memiliki selera makan, bagaimanapun juga aku harus makan bukan?

Kuambil apel yang langsung kugigit tanpa rasa. Lalu menyerah pada gado-gado yang baru kumakan tiga suap.

Aku merasa begitu lelah, meski saat memejamkan mata, kantukku tidak datang sama sekali.

Dengan sendal jepit yang kubeli di apotik, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelahnya langsung naik ke kasur dan meminum dua butir pil tidur yang membuatku mengangguk.

Tak butuh waktu lama, aku terlelap tanpa kemungkinan bangun seburuk apapun mimpiku.

'Tapi, setidaknya aku bisa tidur meski harus mengonsumsi pil terlebih dahulu, bukan?'

*

*

*

"Yang, aku pulang. Yang? Ri?"

Lelaki yang berlari masuk setelah melepas sepatunya cepat itu tertegun melihat ponsel sang istri di samping kotak makanan yang masih belum dibuka.

"Yang?"

Sepi, tak ada jawaban. Bahkan percuma jika ia ingin menghubungi Arini yang ponselnya tergeletak di atas meja.

Ken langsung membuka pintu kamarnya lebar. Ada perasaan lega saat mendapati istrinya lelap tertidur meski ini masih terlalu sore.

"Yang?" panggil Ken. Tapi, wanita mungil yang bahkan tak bergerak dalam tidurnya, sama sekali tak merespon.

"Aku pulang, nih. Kamu gak mau menyambutku seperti biasa?"

Arini tetap bergeming, bahkan saat Ken menariknya dalam pelukan.

"Kok, rasanya kamu jadi kurusan? Apa kamu makan dengan benar? Yang? Kamu gak lagi diet-dietankan? Kumohon jangan kurus-kurus. Mulai besok aku akan lebih memperhatikanmu, maaf Akhir-akhir ini aku jadi sibuk dengan urusanku sendiri ..., tapi, ini yang terakhir, Yang. Aku janji sama kamu, aku akan berusaha mencintai kamu, sungguh-sungguh mencintai kamu."

***

03:12

Aku bangun sendirian.

Sudah dini hari. Ranjangku terasa dingin. Sangat dingin sampai aku yang menarik selimut menutupi tubuh, sama sekali tak merasa hangat.

Ini bukan hari Minggu, ini sudah hari senin dan suamiku tak kembali ke rumah.

Ini pertama kalinya ia pergi ke rumah ibu di luar malam Minggu. Biasanya Ken sudah ada di rumah kami saat aku bangun.

'Sekarang Minggu dan senin, besok hari apa lagi ia akan pergi ke rumah ibu?'

Di kamar kami, aku duduk sendirian memeluk selimut yang penuh dengan aroma suamiku. Bantalnya pun begitu. seluruh ruangan mengeluarkan aroma Ken.

Namun, hanya aromanya saja. Tidak lebih dari itu.

Aku memilih keluar dari kamar, seluruh ruangan memancarkan kesunyian yang rasanya makin menyatu dengan diri.

Sepi, sunyi, dan terasa gelap meski lampu menyala pada tiap sudut ruangan.

Sejak kapan aku mulai merasa hal ini biasa? 'Ah, tidak.' Aku hanya membiasakan diri pada suasana rumahku yang jadi berbeda.

Tempat yang sudah kutinggali selama 3 tahun lebih 3 bulan dan 9 hari ini jadi terasa asing dan tidak menyambutku lagi.

Rumah ini, rumahku dan rumah suamiku terasa asing sejak tiga bulan lalu dan aku hanya membiasakan diri.

Ponselku masih tergeletak di tempat sama seperti saat kutinggalkan. Tapi, sudah tidak ada kotak makanan di atas meja. Makanan yang entah dikirim siapa, mungkin untuk menghiburku yang makan sendirian, sementara suamiku makan bersama keluarganya yang terlihat bahagia meski tanpa kehadiranku.

Apa hidupku akan terus seperti ini? Apa aku mampu hidup seperti ini seumur hidupku?

Membayangkan saja seluruh tubuhku kaku dalam bisu. Tapi, aku adalah istri yang mengizinkan suaminya berselingkuh sejak aku tahu ia sudah membagi tak hanya hati, namun juga tubuhnya di hotel mewah yang membuatku merasa kalah bahkan sebelum berperang.

Satu balasan chat dariku, seolah memberi izin untuk Ken menyakiti diriku yang terus mencari kesalahan diri sampai detik ini. Dan ini benar-benar membunuhku perlahan.

Aku bisa merasakan jati diriku mulai menghilang, seolah dimakan rasa buruk yang selalu bersarang dalam diri dan aku tak mampu berhenti.

Siapa diriku serasa dikaburkan.

Jati diriku dikikis perlahan namun pasti. Sampai rasanya, aku tak mengenali diriku sendiri juga semua yang ada di sekitarku.

Nyutt!!

Lagi, perutku seolah ditusuki. Rasa yang terasa semakin sakit jika aku fokus pada rasa sakitku.

Mungkin, seharusnya aku juga mengecekan diri saat konsul tadi. Tapi, kepalaku yang rasanya penuh namun kosong di saat yang sama, sibuk memikirkan hal lain, hal sama, hal yang menyangkut suamiku.

"Aku harus benar-benar makan walau sebagian besar keluar lagi. Kurasa, pasti ada yang tersisa untuk mengganjal perutku meski tak banyak."

Aku menghampiri kulkas. Kotak makanan itu ada di dalamnya.

'Apa aku sudah begitu pelupa sampai tak ingat memindahkan kotak ini ke kulkas?'

PING!!

Bunyi pesan membuatku terlonjak. Perasaanku buruk seketika, bahkan kupu-kupu terbang di perut saat aku berjalan mengambil ponsel.

Bukan suamiku yang mengirim pesan. Tapi, nomer tak terdaftar yang membuatku mengernyitkan dahi karena sang pengirim mengirimkan vidio.

Aku yang merasakan perasaan tak enak, tidak ingin melihat Vidio yang di kirim ke ponselku. Tapi, rasa penasaranku lebih besar.

Hanya saja akal sehatku lebih bisa diajak kompromi sampai aku hanya membaca sebaris kata maaf yang membuatku duduk di atas kakiku sendiri dalam beku.

PING : Apa kamu masih bersedia bicara denganku setelah melihat Vidio ini? Kamu pasti memiliki banyak pertanyaan dan aku akan menjawab semuanya besok. Kuharap kamu tak perlu berpikir karena rasanya aku tak akan mampu mengatakan apa yang akan kukatakan besok, Arini. Sungguh aku minta maaf harus sampai sejauh ini. Aku tak memiliki solusi lain karena Ken tak mau meninggalkanmu.

Aku bahkan tak bisa menangis lagi, rasanya lubang menganga yang tak akan tertutup lagi di dalam hatiku, malah makin besar dan tak hanya ada rasa sakit saja di sana kini.

---

----

-----

Aku duduk sendirian tak perduli pada nyamuk yang berpesta menunggu terang datang.

Kesibukan pagi makin terdengar dari segala penjuru. Bahkan, manusia-manusia pecinta tubuh sehat sudah berlari silih berganti dengan keringat membasahi kulit.

"Good morning, Onty."

Sapaan imut itu membuatku menoleh pada bocah kecil yang ternyata memang tak bisa berbahasa Indonesia.

Ia duduk menemaniku, berdua sang oma yang mencari kesegaran pagi dengan berjalan kaki menitipkan gadis kecil ini bersamaku.

"Onty, are you sad?"

Aku hanya bisa tersenyum menatapi gadis kecil berambut mangkuk yang begitu lucu dan suka bercoteh tentang sekolahnya, anjingnya, orang tuanya, Omanya, bukunya, game di ponselnya, dan masih banyak lagi dan itu semua terdengar menyenangkan.

"Am I look sad, Yuri?"

"He'em," Yuri mengangguk, ia berdiri di atas bangku besi yang kami duduki lalu memelukku, "it's ok, Onty, your sadness Will go away. It's ok to be sad, like my mommy said. If Onty want to cry, I won't tell anyone. I promise."

'Ah, setulus inikah anak-anak dengan ucapannya?'

Sampai aku yang menjulurkan tangan untuk memeluk Yuri, meneteskan airmata tanpa isak, tanpa syarat, tanpa beban yang selama ini kupikul sendiri?

'Ken, kita tidak baik-baik saja, bukan?'

'Aku dan kamu tidak baik-baik saja, bukan?'

'Aku tidak baik-baik saja, bukan?'

Aku tak bisa tidur tanpa dua butir pil kini, tidakkah itu satu dari sekian tanda aku tidak baik-baik saja?

Tapi, hanya itu yang kutahu.

Atau mungkin yang paling jelas kulihat.

Entahlah. Aku hanya tidak tahu sejauh apa diriku berubah. Dan sekarang, aku sedang menangis dalam pelukan gadis kecil berusia 4 tahun yang mengusapi punggungku, seolah ia sedang menenangkan anak kecil.

'Ken, kita bukan tak apa-apa, bukan?'

'Kurasa aku yang terlalu keras kepala, bukan?'

Ini semua menyakitkan, Ken. Sangat menyakitkan dan aku lelah menangis sendirian dalam sepi.

Aku lelah berpikir sendirian dalam bisu.

Aku lelah merasa sendirian meski kamu ada di dekatku.

Aku lelah mencari pembenaran akan sikapmu.

Aku lelah menemukan pembenaran dalam pilihanmu.

Dan aku lelah mencari salah pada diriku sendiri, Ken.

"Onty feel tired, Yuri. Really tired."

Aku yang merasa begitu lelah, makin memeluk erat tubuh kecil nan hangat yang terus mengusapi punggungku bahkan kepalaku sesekali ia cium.

Mungkin, aku harus bersyukur aku dan Ken belum dikaruniai putra ataupun putri. Atau mereka akan melihat selemah apa diriku yang bahkan hampir tak mampu menopang diriku sendiri. Apalagi menopang mereka?

Tuhan, apa ini saat bagiku untuk menyerah untuk kekeras kepalaanku? Dan gadis kecil ini yang kau datangkan untuk menolongku?

*

Aku membasuh wajahku di kamar mandi umum yang bersih dan terawat.

Apa aku merasa lega setelah menangis tadi? Entahlah. Aku sudah lama tak berpikir tentang apa yang kurasakan. Dan aku sedang lelah berpikir.

Saat keluar, Yuri sudah duduk dengan lelaki yang memberinya bakpao. Bukan lelaki jahat yang akan mengajaknya pergi dengan candy ataupun minuman, tapi tetanggaku yang tangannya melambai diikuti senyum lebar Yuri.

"Onty, come, come! Uncle Arga buy a lot of Bun for us!" seru Yuri semangat melambaikan tangannya untuk memanggilku yang berjalan lalu duduk di pinggir.

"Untuk sarapan, Nyonya."

"Terimakasih, Tuan," ucapku mengambil satu bakpao coklat yang terasa masih hangat di tangan.

Setelah menangis, aku merasa lapar meski masih tak berselera. Tapi, makan beramai-ramai terasa begitu berbeda dibandingkan makan sendirian di rumahku yang sepi.

"Lagi?"

Aku menggeleng karena perutku sudah terasa penuh. Sementara lelaki pemilik senyum ramah itu menawari Yuri yang dengan senang hati menerima bungkus bakpao yang ia peluk karena Arga berkata ia pun sudah kenyang.

Taman luas yang terletak di depan gedung apartemen makin ramai dengan pengunjung.

Yuri yang harus masuk sekolah bahkan sudah pulang dengan sang oma, sementara aku masih duduk di kursi sama dengan lelaki yang terlihat menikmati susanana di sekitarnya.

"Apa suami anda sudah berangkat kerja, Nyonya?"

Aku menoleh pada Arga sesaat lalu menggeleng.

"Oh, apa ia sedang tidak ada di rumah?"

Aku bisa merasakan tubuhku menegang.

"Maaf, karena setiap kita bertemu anda selalu terburu-buru pulang karena suami anda, Nyonya."

"Hari ini dia sedang tidak ada di rumah." Jawabku pelan meneliti jemariku yang bertautan.

"Oh, beruntungnya suami anda karena memiliki istri yang setia menunggu."

Aku menatap Arga dalam diam.

Bayangan Ken, rumahku yang kini terasa asing juga sepi, melintas dalam benak.

Aku yang rasanya bisa melihat diriku duduk membisu, menatapi pintu yang tak akan pernah terbuka saat Ken mengirimiku chat ia sedang di rumah ibu, pun terbayang begitu jelas.

Tawa Ken dan keluarganya juga wanita itu yang disambut begitu hangat, pun melekat tak ingin terhapus.

Rasanya, aku sedang menaburkan garam di atas lukaku yang tak akan tertutup.

Perih dan menyakitkan.

Namun, aku sama sekali tak berteriak. Aku justru mengunci suaraku, menekan diri dan seluruh rasa yang kumiliki.

Tapi ..., 'beruntung?'

Apa Ken beruntung memilikiku? Jika jawabannya iya, kenapa ia melakukan apa yang ia lakukan?

"Beruntung?" tanyaku lebih pada diriku sendiri.

Bab terkait

  • WITHERED   PUTRANYA MEMANJAKAN BENALU

    "Beruntung?" Tanyaku lebih pada diriku sendiri."Iya, Nyonya, suami anda sangat beruntung karena saat saya pulang tidak ada istri cantik yang menunggu saya di rumah. Hanya ada sepi dan bantal dingin."Aku tahu lelaki di sampingku bercanda. Tapi, aku bahkan tak bisa tertawa dan hanya mengamati tautan jemariku sendiri yang terlihat gelisah. Aku tak ingin berpikir apa yang sedang di pikirkan tetanggaku ini tentangku. Tapi, ia nampaknya bukan tipe manusia yang suka mencampuri urusan orang lain, ia juga tak keberatan aku hanya menjawab seperlunya. Ah, bukan begitu. Sejak dulu aku memang orang yang tak terlalu bisa bercengkrama dengan orang lain. Hanya bicara seperluku. Kurasa, aku hanya orang yang tidak menyenangkan untuk diajak bergosip."Apa anda sudah harus kembali?"Aku yang berdiri dari kursi besi bercat hijau mengangguk."Apa suami anda sudah pulang?"Aku menatap jajaran gigi rapinya yang terlihat menunggu jawabanku. Tapi, sekali lagi aku menggeleng, "saya hanya ingin bersiap kare

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • WITHERED   TUHAN KENAPA SESAKIT INI?

    Aku menarik nafasku dalam, berharap ucapan ibu tidak akan terlalu kupikirkan. Tapi, siapa yang sedang ku bohongi saat dalam tiap langkah kepalaku berkali-kali mengulang ucapan ibu. [Benalu...bercerai...lebih pantas untuk putraku]"Selamat datang," sambutan ramah dengan senyum komersil itu membuatku diam, aroma salon yang terasa berbeda begitupun suasananya membuatku ragu untuk masuk. "Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" tanya lelaki yang menyambutku setelah ia memperhatikan jemariku yang memakai cincin. Ramah. Itu kesanku untuk lelaki yang rambutnya dicat pink ini. Keramahan yang membuat seseorang merasa disambut, sampai aku yang tak terbiasa masuk ke dalam salon berani melangkah dan mengatakan apa yang ku mau. "Apa anda ada kencan, Nyonya?" Aku yang menutup mata saat wajahku dipoles menggeleng pelan, tidak ingin tangan yang sedang memoleskan lipstik di bibirku terganggu."Ataukah bertemu dengan selingkuhan suami?" Candanya dengan tawa tapi hanya bertahan sesaat ketika aku tanpa sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • WITHERED   SESAK DAN PEDIH

    Baju warna hijau yang ku kenakan terasa begitu dingin dan berat. Selang infus yang menancap pun, seakan menyatu dengan tanganku. Aku merasa begitu kosong. Meskipun, rasa menusuk yang kurasakan nyata adanya. Aku bahkan tak bisa menangis saat aku menyentuh perut rataku. Sesuatu yang seharusnya tumbuh sudah tidak ada lagi. Sesuatu yang kehadirannya sama sekali tak kusadari, sudah dikeluarkan saat aku tak sadarkan diri. Sesuatu yang seharusnya kusyukuri keberadaanya sudah menghilang karena dokter mengambilnya. 'Tidak! Bukan! Bukan dokter, tapi aku!'Aku yang bahkan tak menyadari kehadirannyalah yang membuat Tuhan mengambilnya lagi dariku. Aku yang membuatnya pergi. AKU! Bukan dokter ataupun stres yang selama tiga bulan terakhir ini kurasakan. Aku sudah membunuh darah daging yang bahkan kehadirannya tak kusadari. Aku sudah membunuh anakku sendiri karena kelalaianku. Dan aku, bahkan tak mampu mengeluarkan airmata untuknya yang keberadaanya sudah tak tersisa lagi di rahimku."An

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-03
  • WITHERED   MANUSIA BURUK

    Kehangatan tulus dari tubuh lain ternyata terasa begitu menenangkan.Tetapi, aku tak boleh berlama-lama membiarkan lelaki ini memelukku dan saat aku melepaskan peganganku dari kemejanya, Arga melepaskan pelukannya tanpa kuminta. Ia menatapiku yang menunduk."Maaf, Nyo-""Terimakasih," potongku cepat pada kalimat Arga. Ia diam lalu mengangguk."Apa anda harus segera pulang, Nyonya? kalau tidak, maukah menemani saya makan siang?"Wajah Ken langsung terbayang di pelupuk mataku, rumah kami pun melintas di pikiran. "Saya- ... saya harus pulang," jawabku singkat. Arga mengangguk, "kalau begitu bolehkah kita berjalan sampai parkiran? Rasanya saya sudah cukup menatapi anak jelek ini," ucap Arga yang senyumnya kembali, ia menatap bayi mungil yang terlihat memberi Arga tatapan protes dengan jemari menggenggam erat. Aku ingin menolak, apalagi aku harus membayar biaya perawatanku. Kurasa, aku bersyukur saat seorang pria memanggil Arga. "Ga!" Ia ayah dari bayi lelaki berambut lebat yang masih

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-03
  • WITHERED   AKU MIRA IMIGRAN GELAP

    Sebanyak apa waktu yang dibutuhkan sebuah hati untuk merasa lega? untuk merasa ringan? untuk merasa damai? Sedangkan diri, melarang untuk melupakan.--------------"Ha ha ha."Tawa bocah kecil yang wajahnya samar, membuatku diam membisu. Senyumnya yang lebar juga jemari mungilnya yang menyentuh pipiku terasa begitu hangat. Tapi, ada rasa menusuk yang bercokol begitu menyesakkan dalam hati juga seluruh diriku.Bibir merah nan mungil juga basah mengucapkan kalimat samar yang tidak pernah bisa kuartikan.Berat tubuh kecil yang terasa begitu nyata dalam dekapanku begitu nyata terasa.Namun, aku hanya diam menatapi bocah kecil yang kupangku dalam gendongan.Bocah kecil yang wajahnya bahkan tak pernah mampu kubayangkan, kecuali senyumnya yang lebar dan sentuhan jarinya yang mengusap pipiku, pipi basah yang rasanya tak akan pernah menjadi kering. ---------------Aku terbangun dengan airmata menggenang, tubuhku masih merasa lemah di atas kasur dingin yang selimutnya hangat. Plafon wa

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • WITHERED   SESAK YANG KUPERTAHANKAN

    "Come on, di sini hanya kamu yang bernama Mira, no one else, Darling." Aku hanya mengangguk. Ini bukan kali pertama aku bersikap seperti ini saat orang memanggilku. Rasanya, meski sudah lima tahun berlalu, aku belum terbiasa dengan panggilan 'Mira' sampai orang yang memanggilku bersikap seperti Muray atau yang parah, berteriak padaku."Kamu mau aku melakukan apa?"Muray langsung tersenyum lebar dan menyentuh bahuku. Aku sudah biasa dengan pinta Muray yang kadang menyuruhku menambah jam kerja, mengingat banyaknya lansia yang bekerja di hotel ini.Aku masih muda dan tenagaku pasti lebih besar dibanding kakek-kakek ataupun nenek-nenek yang gerakannya kadang lambat. Tapi, aku tahu mereka melakukan yang terbaik meski kadang menggerutu. "Aku tahu kau belum tidur. Tapi, bisakah kau kerja sampai siang hari? Mike dan Shanon tak enak badan. Kurasa musim dingin berpengaruh besar pada sendi tua mereka."Aku langsung mengangguk setuju dan tepukan lega tangan dingin Muray langsung mendarat di pun

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • WITHERED   TIDAK MEMILIKI ATAU TERIKAT

    "Mommy, I want my candy." Aku menoleh pada bocah yang terlihat begitu manja dan tak sabar melihat lolipopnya dikupas."Berikan ini pada adikmu dulu." Meski memutar bola matanya malas, bocah lelaki yang menerima lolipop warna ungu mengangguk lalu berlari menghampiri anak lain yang lebih kecil.Entah, apa yang keduanya bicarakan. Tapi, mataku tak ingin lepas memperhatikan dua anak kecil yang berdiri di samping boneka salju mereka dengan pose menggemaskan di bawah jepretan ponsel sang ibu sambil mengemut lolipop masing-masing. "!" aku terkejut saat wanita yang tertawa senang itu menoleh padaku yang berdiri diam, dan baru sadar rambutku sudah dipenuhi salju-salju halus yang langsung meleleh saat kuusap.Tak ingin dicurigai, aku melangkah pergi dan mengangkat tanganku kaku, saat ia melambai diikuti dua anak kecil yang semangat mengangkat tangan mereka yang memakai sarung tebal dengan senyum lebar nan lugu. Aku berusaha untuk tak berpikir apapun, saat melihat barisan gigi-gigi kecil ked

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • WITHERED   ENCAUNTER

    "Seolah kau tak ingin memiliki ataupun terikat dengan apapun, Mira."Aku tak memberi komentar pada ucapan Sidney yang lalu duduk di atas ranjangku yang selimutnya masih tersibak."Tapi, aku tak akan bertanya lebih jauh. But tell me, Mira, kenapa kamu memandangi lemari kosongmu sampai tak sadar aku masuk?"Aku menatap sekali lagi lemariku lalu menarik nafas, "aku butuh gaun, tapi ternyata aku tak punya satu pun." Mendengar itu Sidney tertawa, ia berdiri dan menarikku ke luar kamar lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri.Sidney membuka lebar lemari pakaiannya yang penuh terisi, tanpa ruang kosong.Ia memperhatikanku beberapa lama sebelum beralih lagi pada lemari yang isinya hanya diketahui yang punya. Sampai Sidney menarik satu potong pakaian yang ia buka lebar di hadapanku. "Kau tak akan kelihatan murahan dengan baju ini, percayalah. I know your a nun, Mira."Aku sadar maksud ucapan Sidney dan menatap gaun floral tanpa lengan yang akan benar-benar tertutup jika aku menggunakan kardigan

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05

Bab terbaru

  • WITHERED   210. APA MEREKA BAHAGIA?

    ***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia

  • WITHERED   209. WITHERED

    Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal

  • WITHERED   208. NILAINYA

    Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya

  • WITHERED   207. EPILOQUE

    PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany

  • WITHERED   206. MEREKA HARUS MENGENALMU

    Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem

  • WITHERED   205. TERTAWA BERSAMA

    ****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men

  • WITHERED   204. FORGET ME NOT

    "Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m

  • WITHERED   203. AKU HARUS MENGHILANG

    Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's

  • WITHERED   202. WARNING

    Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.

DMCA.com Protection Status