Kondisi warung tampak tidak karuan, seluruh dagangan di atas etalase yang awalnya tertata rapi terlihat berantakan. Semua jajanan telah hilang dan berhamburan hingga keluar warung, seperti ada sesuatu yang datang dan memakan makanan yang ada di warung hingga dibawa keluar.
Tetapi ada hal aneh, di lantai banyak berserakan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribuan. Uang tersebut berserakan di sekitaran warung.
Aku mengambil salah satu uang yang tercecer di lantai tersebut.
“Apa ada perampok yang mencoba mencuri warung?” pikirku.
Aku pun berlari ke dalam warung dan mengecek rak uang, aku membuka perlahan rak tersebut untuk melihat dalamnya. Karena ditakutkan bahwa uang yang berserakan adalah uang yang ada di dalam rak. Dan ketika aku buka laci uang di rak, terlihat uang yang ada di dalam rak masih utuh bahkan terlihat belum tersentuh sama sekali.
“Ini jadi uang siapa?”
Semakin malam warung yang ku jaga ini semakin aneh dan bertambah aneh dari mulai kemunculan makhluk genderuwo, aku tersesat dan terjebak di pasar malam, hingga melihat keadaan warung yang kacau yang disertai uang yang berserakan di lantai.
Aku mencoba membereskan kembali semua kekacauan yang ada di warung. Uang yang tercecer aku kumpulkan kembali dan menyimpanya dengan amplop, karena takut ada yang datang dan membawa uang tersebut, karena itu bukan uang yang ada di warung.
Aku mengambil barang-barang yang berserakan di lantai, mengembalikanya barang-barang dagangan itu ke tempat semula. Nampaknya yang membuat warung berantakan kali ini hanya mengambil jajanan anak-anak, karena seperti rokok atau kebutuhan mandi bahkan rak uang di dalam warung tidak tersentuh sekalipun.
Aku mengambil sapu yang disimpan di pojokan warung, mencoba membersihkan sisa sisa bekas makanan yang tercecer di sekitar warung, membawa dus-dus kosong yang ada di lantai dan membuangnya ke tempat sampah.
Aku duduk di kursi depan warung setelah membersihkan dagangan yang tercecer di lantai dan membuang dus-dus kosong yang isinya habis dimakan, tak sengaja aku melihat bungkus-bungkus makanan anak-anak yang sudah dibuang berserakan di jalan sepertinya mereka datang ke warung membawa makanan, memakanya dan membuang bungkusnya sepanjang jalan.
Karena kulihat bungkus kosong itu mengarah ke jalan kecil di pinggir warung. Jalan setapak menuju sawah di belakang perkampungan.
Awalnya aku akan ingin menyusuri jalan setapak untuk mengetahui siapa yang membuat warung berantakan. Tapi aku mengurungkan niat karena aku tahu apabila aku meninggalkan warung lagi, aku takut ada hal yang aneh akan terjadi lagi sehingga aku lebih baik menunggu hingga dini hari dan mencari tahu ketika pagi datang.
Aku pun kembali ke dalam warung dan duduk di sana. Melihat ke arah luar warung yang kembali hening seperti tidak terjadi apa-apa. Badanku menyender ke arah tembok karena rasa kantuk mulai menyerang.
Mata ini sepertinya sudah lelah dengan keadaan pada malam itu, tubuhku juga sudah mulai merasa kecapean dan aku pun berpikir mungkin sedikit memejamkan mata menjadi obat atas rasa kantuk ini.
“Hahahahahaha, ahahahahaha!!!!”
Trak, trak ,trak
“Hayu kadieu hayu kadieu (yu kesini yu kesini),”
“Hayu urang neangan duit deui (ayo kita cari uang lagi),”
Aku yang terlelap tidur di warung kembali terbangun, mendengar suara gaduh dari luar warung. Seperti suara anak-anak yang sedang berlarian kesana kemari dan bermain dengan teman sebayanya. Mereka berlari sambil tertawa riang dan sesekali mengobrol dengan bahasa sunda.
Suaranya sangat berisik itu sangat menggangguku. Mereka berlarian kesana kemari dengan tertawa riangnya. Aku mencoba menghiraukanya karena rasa kantuk yang begitu kuat, akhirnya mencoba tidur kembali. Tapi itu tidak berhasil, karena suara anak-anak itu sangat berisik membuatku tidak bisa tidur.
Salah satu dari mereka mencoba mendekati warung melihat lihat dari jalan ke arah warung.
“Ah geus euweuh jajanan na (ah sudah tidak ada jajanan nya),”
“Aya dijero, hayu geura (ada di dalam, yuk ikutin cepet),”
Aku mendengar mereka berbicara tentang warung. Seketika aku berpikir, mungkin anak-anak ini yang menyebabkan warungku berantakan. Aku yang masih ngantuk waktu itu mencoba berdiri dan melihat ke arah luar warung.
Dengan tubuhku yang masih lemas karena dibangukan secara mendadak, aku mencoba membuka mataku dan melihat ke arah luar warung. Tapi aku seakan tidak percaya apa yang kulihat ini.
"Astaga..." aku seakan tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
Kulihat ternyata yang membuat warung berantakan adalah sosok makhluk kecil berjumlah lima makhluk yang berlarian di sekitar warung, dengan tubuh setengah dari tubuh bagian atas seperti orang dewasa berwarna putih, botak dan bertaring, serta memakai sempak warna putih yang sudah kotor dan bagian bawah seperti anak-anak pada umum nya dengan tinggi yang menyerupai anak-anak pula.
Mereka berlari-lari riang seperti sedang bermain dan dua diantaranya menuju ke arah warung, kulihat mereka tertawa-tertawa di ikuti oleh teman-temannya.
“Ahahahahahahaaha.”
“Tuh tinggali warungna aya anu ngajagaan ayeuna mah (tuh lihat warungnya ada yang jaga sekarang),” ujar salah satu dari mereka menunjuk tepat ke arahku yang sedang berdiri melihat mereka dari dalam warung.
Dengan muka yang buruk rupa mereka menunjuk tepat ke arahku, aku pun sontak kaget dan reflek untuk jongkok di bawah etalase. Aku langsung duduk dan berdiam di sudut etalase dekat rak uang mencoba menyembunyikan diri berharap mereka tidak mendekat dan melihatku.
“Itu tuyul kan, beneran itu tuyul kan?” pikiranku langsung membayangkan sosok makhluk yang diceritakan Ibu, tentang makhluk kecil yang suka mencuri uang yang deskripsinya cocok dengan apa yang Ibu ceritakan ketika aku kecil.
Badanku kembali merinding, ketakutanku kembali muncul. Aku duduk di sudut etalase berharap makhluk itu tidak menemukan ku yang sedang bersembunyi ini.
Sudah cukup aku melewati malam yang tidak aku perkirakan sebelumnya dengan kejadian menyeramkan sepanjang malam, sekarang di depan warung muncul sosok tuyul pula, sungguh malam ini terasa berat sekali rasanya ingin sekali segera dini hari.
Dua dari mereka mulai mendekati warung dengan tawa riang.
“Ahahahahaha, ahahahaha!!!”
“Jajan... Jajan.”
Rasa takutku semakin besar ketika mereka mendekat, keberanian ku sepertinya habis setelah bertemu banyak makhluk di malam ini. Tidak ada keberanian yang tersisa seperti kejadian yang sebelumnya.
Aku hanya bisa diam. Berharap mereka tidak menemukanku.
krotak, krotak
Makhluk itu sudah di depan etalase mencoba mengambil barang di atas etalase, kulihat dari sela-sela barang yang ditumpuk di dalam etalase mereka berusaha meraih barang dengan tubuh kecilnya, kulihat tubuhnya yang putih kusam dengan pusar yang menonjol dan wajah yang buruk rupa serta taring di mulutnya.
Membuatku tambah ketakutan, aku pun berpaling dan tidak ingin melihat mereka, aku hanya duduk diam di pojokan etalase berharap mereka tidak menemukanku.
Lalu tiba-tiba
Suara itu mendadak hilang, Hening seperti sebelumnya. Suara yang ketawa itu mendadak hilang. Aku mencoba melihat lagi dari dalam etalase dan mereka semua mendadak menghilang.
Aku menarik nafas panjang dan bersyukur mereka sudah hilang. Aku duduk dipojok dengan rasa kantuk yang menyerang tapi tubuhku ini menolak untuk tidur karena terganggu suara seram oleh tuyul tadi.
"Sepertinya sudah tidak ada," pikirku
Aku pada saat itu hanya ingin tidur dan berharap bangun pada dini hari karena sudah cukup malam ini banyak kejadian aneh yang menimpa diriku.
Tubuhku yang sedang duduk pun ku coba angkat tuk berdiri. Dan ketika ku berdiri dari kursi di depan warung kulihat ada sesosok wanita yang berbaju putih sedang duduk di sana.
“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Tiba-tiba terdengar suara wanita itu memesan kopi kepadaku. “Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Wanita itu mengulang ucapannya kepadaku, tapi ketika wanita itu berbicara tiba-tiba badanku merinding. Seakan-akan ada aura mistis yang menakutkan terpancar dari wanita itu. Wanita duduk dan menghadap ke arah jalan sehingga aku hanya melihat punggung nya dengan rambut panjang yang hampir menyentuh lantai. Dengan baju putih yang lusuh dan rambut panjang yang kusut terlihat beberapa daun kering yang menempel di rambutnya semakin membuatku semakin yakin bahwa wanita itu bukan manusia. Wanita itu duduk terdiam tanpa sesekali menggerakan tanganya, s
"Jang, Jang bangun bangun bangun,” Ibuku mencoba membangunkanku. Aku yang pingsan di lantai pada waktu itu perlahan bangun, aku membuka mata secara perlahan dan aku melihat Ibuku yang sedang berusaha membangunkanku dengan wajah yang nampak panik. Aku perlahan-lahan bangun dan duduk di lantai, akupun melihat gelas kopi yang pecah di sisiku dan air kopi yang telah mengering menyisakan bubuk kopi yang berserakan di lantai tercampur dengan pecahan-pecahan gelas. “Ujang tidak apa-apa kan,” kata Ibuku. “Ibu tau akhirnya akan jadi seperti ini, makanya kemarin Ibu tidak yakin kalau Ujang ingin jaga warung di malam hari,” kata Ibuku s
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu sosok laki-laki tua berjubah putih yang duduk sambil memandang pemandangan di bawahnya. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali sepasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapapun yang menginjakan kaki di sana. Tapi yang dilakukan oleh kakek-kakek itu hanya terdiam duduk menyandarkan tubuhnya ke
Aku terbangun dari mimpiku siang itu, dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku dan belakang kepala yang panas seperti seseorang yang baru sembuh dari kesurupan. Kulihat mencoba duduk dan bersandar di dinding kamar, memikirkan arti dari mimpi itu. Semuanya terlihat sangat nyata seperti memutar waktu kembali ke masa lalu, masa di mana kampung ini masih hutan belantara. Aku kembali melihat sekeliling kamar yang tampak kosong pada siang itu, hanya angin berhembus dari jendela kamar menggerakan tirai jendela merah tua yang sudah lama dipasang. Aku lalu berdiri menuju ruang tengah mencoba mencari tahu sosok yang ada di mimpi itu dengan mencarinya di arsip-arsip keluargaku yang disimpan oleh almarhum Bapak di lemari kamarnya. Ketika aku keluar ternyata Ibuku sudah menungguku, dia duduk terdiam seperti menungguku bangun. Di sampingnya ada tas carrier yang sepe
Aki Karma sosok yang dituakan di Kampung Sepuh saat ini, dia adalah sosok yang sering diminta untuk menjadi penasehat apabila ada musyawarah di kampung. Selain itu Aki Karma adalah teman dekat Bapak. Sepeninggal Bapak, Aki Karma sering membantu Ibu apabila Ibu kehabisan stok dagangan. Dengan menyewakan satu-satunya kendaraan pick up miliknya dan berangkat ke kota untuk membeli barang dagangan untuk stock di warung. Aki Karma sebenarnya bukan penduduk asli Kampung Sepuh, dia adalah penduduk asli salah satu kampung di utara kota Bandung. dan ketika dia memutuskan untuk tinggal di Kampung Sepuh satu-satunya teman Aki Karma pada waktu itu adalah Bapak. Karena Bapak yang dulu membantunya dan akhirnya Aki Karma pun seperti mempunyai hutang budi kepada Bapak. Aki Karma dulunya adalah pemimpin salah satu kelompok pa
Rombongan itu berjalan dengan barang bawaan yang banyak, salah satunya adalah domba hidup. Beberapa ayam cemani berwarna hitam, serta tak lupa satu set lengkap perlengkapan wayang karena sebagai persyaratan ritual. Mereka berjalan diterangi senter sebagai penerangan perjalanan mereka. Mereka berjalan beriringan dengan posisi Aki Karma di depan dan anggota grupnya di belakangnya, Aki Karma sudah diberitahu oleh sahabatnya itu untuk rute dan jarak yang ditempuh dari kampung menuju tempat pelaksanaan ritual di atas gunung. Tak lupa sahabatnya juga memberi tahu mantra-mantra khusus untuk memanggil para makhluk gunung dan melakukan perjanjian dengan nya. Hingga akhirnya mereka sampai di ujung jalan kampung, disana terlihat dua pohon beringin rindang di kiri kanan jalan dan jalan setapak kecil di tengahnya. Pohon beringin itu menjulang tinggi di kiri dan kanan jala
Sore itu nampak ramai seperti biasanya di Kampung Sepuh, nampak beberapa orang berjalan pulang dari sawah menuju rumahnya. Terlihat dari pakaianya yang kotor dengan lumpur dan beberapa dari mereka membawa bekal yang nampak kosong, sebagian lagi membawa kerbau melewati jalan menuju kandang, dengan alat untuk membajak sawah yang dia panggul di pundaknya. Warung Bapak ramai seperti biasanya, Bapak terlihat sedang menyeduh kopi untuk para petani yang pulang dari sawah, biasanya para petani beristirahat sejenak di warung, sambil mengobrol tentang keseharian mereka di sawah. Tak jarang mereka membahas hal-hal mengenai kejadian-kejadian di kampung. Terutama apabila ada kejadian diluar nalar yang terjadi di kampung atau di Gunung Sepuh, karena hal tersebut adalah hal yang biasa bagi mereka. Membicarakan tentang mahluk-mahluk tersebut bukan menjadi hal-hal yang tabu.
“Tok, tok, tok.” Dalang memukul kotak yang ada di sebelahnya sebanyak tiga kali, menandakan bahwa pertunjukan wayang akan dimulai. Tak lama para pemain gamelan memainkan musiknya, musik yang beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Terdengar juga riuh penonton yang sedang menonton pagelaran di malam itu mereka menonton pagelaran wayang itu dengan sangat antusias, karena sudah lama mereka tidak melihat pagelaran wayang. Sinden pun mulai menyanyi, menyanyi lagu-lagu sunda dengan nada tinggi. Nyanyian itu menggema ke setiap sudut, membuat para penonton terpana oleh nyanyian sinden itu. Pertunjukan wayang itu berlangsung meriah, para penonton yang hadir pun datang dari segala arah mereka sengaja datang untuk melihat pertunjukan. Sang dalang mengangkat wayang yang dia mainkan peran wayang dengan gagah
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.Dan bagiku, itu adalah penga
Sebuah warung kecil, yang awalnya aku tuangkan dalam Kata-kata yang menjadi cerita hingga saat ini. Kini aku lihat sendiri bentuknya, sebuah warung yang dulunya hanya berada dalam imajinasiku sendiri. Kini, aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri.Bekas-bekas runtuhnya warung yang aku ceritakan masih tersisa, dengan banyaknya genteng-genteng yang rusak karena hangus terbakar disusun dan disimpan di rumah Ujang. Warung itu tampak baru, karena setelah kejadian yang menimpa Ujang. Pak Ardi dan para warga sepakat membangun kembali warung tersebut.Warung yang kini aku lihat ini, adalah salah satu point utama dalam ceritaku. Dimana, banyak kejadian yang silih berganti muncul dan harus di hadapi oleh Ujang dan warga Kampung Sepuh.“Kang!” Kataku sambil berdiri dan menyapa Ujang yang mendekatiku.Ujang hanya tersenyum, sifatnya yang agak pendiam terlihat jelas olehku. Ujang tidak setampan atau setinggi orang-orang yang menjadi karakter utama di da
“Dik, rumah orang tua kamu dimana sih, aku dah nungguin di Alf*mart deket rumah kamu. ” Sebuah text W* tiba-tiba muncul di HP ku pada pagi itu. Dan ketika aku baca, ternyata Iman sudah sampai di Ciwidey tempat dimana orang tua ku tinggal. Hari ini adalah hari minggu di akhir Februari. Dan pada hari ini, aku sengaja mengosongkan jadwalku untuk berkunjung ke Kampung Sepuh bersama dengan Iman, anak dari Mang Rusdi yang kini bekerja di tempat yang sama denganku. Aku berkunjung ke Kampung Sepuh, semata-mata untuk bersilaturahmi kepada semua warga yang ada disana. Karena sudah memberiku izin untuk membuat cerita tentang mereka, termasuk dengan segala yang terjadi di dalamnya. Iman dan Mang Rusdi adalah dua orang yang namanya sama dengan cerita yang aku buat. Sedangkan sisanya, aku sengaja memberi nama baru. Dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan mereka ketika aku membuat cerita ini. “Ok, tunggu nanti aku kesana, beli aja makanan ama minuman buat ol
Kini,Semuanya kembali normal, Tidak semua orang tahu akan cerita ini. Bahkan hanya beberapa orang yang aku percaya yang mengetahui tentang apa yang terjadi tentang pertarunganku dan Kala pada saat itu.Karena apabila aku bercerita kepada semua orang, pasti banyak orang yang tidak percaya. Karena menganggap itu hanyalah fantasi dan ilusi semata dari seseorang yang kehilangan kakinya di Gunung Sepuh.Namun, berbeda dengan Mang Rusdi dan Mang Darman. Yang kini sering kali menghabiskan waktunya untuk menemaniku di dalam warung, bahkan istri Mang Rusdi sering kali membantuku di rumah untuk sekedar membersihkan rumah dan memastikan aku bisa makan dengan lahap di hari itu.Karena mereka sadar, aku kini hanya sendirian di Kampung Sepuh. Sudah tidak ada lagi orang tua yang menjadi panutanku saat ini. Sehingga mereka secara sukarela membantuku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka yang tidak boleh mereka abaikan.“Mang, nongkrong wae di
Dua minggu kemudian.Warung yang sudah hancur akibat aku bakar, kini kembali berdiri. Lengkap dengan etalase yang sudah diperbaiki dan barang-barang yang dagangan yang mengisi penuh etalase dan rak-rak dagangan di warungku ini.Dan suasana sore hari yang penuh dengan hilir mudik warga kampung yang pulang dari sawah dan ladang terlihat olehku yang kini menjaga lagi warung yang sudah aku buat kembali bersama para warga dengan bantuan modal dari Pak Ardi.Aku seperti biasa kini sedang duduk dan bercengkrama dengan Mang Rusdi dan Mang Darman yang baru pulang dari berkeliling kampung untuk berdagang. Canda dan tawa menghiasi obrolan-obrolan tersebut karena sesekali Mang Darman berceloteh dan bercanda atas apa yang dia lakukan.Mereka berdua sudah mengetahui kejadian yang menimpaku di tempat itu, bahkan pertarungan ku dengan Kala di Gunung Sepuh. Dan itu membuat mereka tercengang karena mereka tidak mengetahui bahwa ada makhluk yang seperti itu di Gunung Sepuh.
Aku kembali berdiri, di tengah-tengah hamparan rerumputan yang luas. Dengan salah satu pohon besar yang ada di puncak yang terlihat olehku dari kejauhan. Rerumputan itu kini tampak lebih hijau dari sebelumnya, dan tidak terlihat lagi ilalang-ilalang yang tinggi menjulang hingga menutupi badanku saat itu. Panas yang terik, dengan angin segar yang berhembus dari pegunungan membuatku merasakan suatu perasaan yang sangat lega. Entah mengapa. Hatiku kini terasa sangat tenang ketika berada di tempat ini. Aku pun berjalan, melewati rerumputan tersebut dengan kakiku yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Mencoba untuk berjalan dan duduk kembali di pohon besar yang berdiri di tengah-tengah rerumputan di atas sana. Jalanan yang kulalui sangat begitu mulus, tidak ada serangga-serangga yang menggigit kakiku, tidak ada jalanan yang becek bercampur lumpur. Juga tidak ada lagi lubang yang membuatku terperosok. Semuanya sangatlah berbeda, aku seper
Pandangan ku tiba-tiba gelap, aku sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Aku yang sudah pasrah kini hanya bisa membiarkan tubuhku yang tertutup oleh tanah yang menimpaku seketika dari atas sana. Dan para warga yang menyaksikan hal itu secara langsung tiba-tiba panik dan langsung berteriak memanggilku. “UJANGGGGGGGG!!!” Mang Rusdi yang pertama berlari ke arah tanah longsoran tersebut dan memindahkan batu, ranting-ranting dan tanah untuk mencariku dengan kedua tangannya. Begitu juga dengan Aki Karma, Mang Dadang, dan Mang Uha serta warga-warga yang lainnya yang membantu memindahkan semua material longsor yang menutupi tubuhku, dan berharap aku masih bisa bertahan dengan tubuh yang tertutup oleh longsoran tanah tersebut. Sedangkan Pak Ardi, dia langsung menelpon anaknya dan Pak Caca untuk segera meminta bantuan. Karena kini situasinya sangat berbeda, Pak Ardi membutuhkan lebih banyak orang agar bisa lebih cepat menyelamatkan aku yang berada di d
Mereka semua berlari masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh yang masih terlihat gelap dan menyeramkan, dengan aura mistis yang kental dan terasa oleh semua warga Kampung Sepuh pada pagi itu.Meskipun waktu itu adalah waktu di mana pagi akan menjelang, namun tetap saja. aura-aura mistis yang terasa oleh para warga yang sedang berlari ke dalam sangatlah terasa.Apalagi dari mereka semua, hampir sebagian besar belum pernah keluar pada dalam gelap semasa hidupnya, mereka sudah terbuai oleh bantal dan selimut tebal dari mereka lahir hingga saat ini, dan mereka mematuhi larangan untuk keluar rumah hingga pagi tiba. Sehingga mereka tidak mengetahui rasanya masuk ke dalam hutan pada saat-saat seperti ini.“JANGGGG, UJANGGGG!!!!!”Mang Rusdi berteriak-teriak sambil berlari. Senternya di arahkan ke segala arah, mencoba mencariku di dalam gelapnya hutan Gunung Sepuh yang luas tersebut. Para warga lainnya juga melakukan hal yang sama, mereka berlari sambil men