Rombongan itu berjalan dengan barang bawaan yang banyak, salah satunya adalah domba hidup. Beberapa ayam cemani berwarna hitam, serta tak lupa satu set lengkap perlengkapan wayang karena sebagai persyaratan ritual. Mereka berjalan diterangi senter sebagai penerangan perjalanan mereka.
Mereka berjalan beriringan dengan posisi Aki Karma di depan dan anggota grupnya di belakangnya, Aki Karma sudah diberitahu oleh sahabatnya itu untuk rute dan jarak yang ditempuh dari kampung menuju tempat pelaksanaan ritual di atas gunung. Tak lupa sahabatnya juga memberi tahu mantra-mantra khusus untuk memanggil para makhluk gunung dan melakukan perjanjian dengan nya.
Hingga akhirnya mereka sampai di ujung jalan kampung, disana terlihat dua pohon beringin rindang di kiri kanan jalan dan jalan setapak kecil di tengahnya. Pohon beringin itu menjulang tinggi di kiri dan kanan jala
Sore itu nampak ramai seperti biasanya di Kampung Sepuh, nampak beberapa orang berjalan pulang dari sawah menuju rumahnya. Terlihat dari pakaianya yang kotor dengan lumpur dan beberapa dari mereka membawa bekal yang nampak kosong, sebagian lagi membawa kerbau melewati jalan menuju kandang, dengan alat untuk membajak sawah yang dia panggul di pundaknya. Warung Bapak ramai seperti biasanya, Bapak terlihat sedang menyeduh kopi untuk para petani yang pulang dari sawah, biasanya para petani beristirahat sejenak di warung, sambil mengobrol tentang keseharian mereka di sawah. Tak jarang mereka membahas hal-hal mengenai kejadian-kejadian di kampung. Terutama apabila ada kejadian diluar nalar yang terjadi di kampung atau di Gunung Sepuh, karena hal tersebut adalah hal yang biasa bagi mereka. Membicarakan tentang mahluk-mahluk tersebut bukan menjadi hal-hal yang tabu.
“Tok, tok, tok.” Dalang memukul kotak yang ada di sebelahnya sebanyak tiga kali, menandakan bahwa pertunjukan wayang akan dimulai. Tak lama para pemain gamelan memainkan musiknya, musik yang beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Terdengar juga riuh penonton yang sedang menonton pagelaran di malam itu mereka menonton pagelaran wayang itu dengan sangat antusias, karena sudah lama mereka tidak melihat pagelaran wayang. Sinden pun mulai menyanyi, menyanyi lagu-lagu sunda dengan nada tinggi. Nyanyian itu menggema ke setiap sudut, membuat para penonton terpana oleh nyanyian sinden itu. Pertunjukan wayang itu berlangsung meriah, para penonton yang hadir pun datang dari segala arah mereka sengaja datang untuk melihat pertunjukan. Sang dalang mengangkat wayang yang dia mainkan peran wayang dengan gagah
Hamparan lapangan yang diisi oleh makam-makam yang berjajar rapi dengan pohon beringin di tengahnya membuat suasana tenang untuk para manusia yang berbaring untuk beristirahat selamanya disana. Angin yang berhembus di sekitar pepohonan makam membuat suasana semakin sejuk, terlihat daun-daun yang berguguran diterpa angin, dan daun itu turun ke atas makam-makam yang terlihat usang maupun makam yang masih baru. Terlihat disana dua orang yang sedang bercengkrama satu sama lain di sebuah makam, sesosok paruh baya dan seorang pemuda. Sesosok paruh baya itu Aki Karma dan sesosok pemuda itu adalah Ujang. Di depan makam Bapak Aki Karma bercerita tentang dirinya dan Bapak ketika hidup, dia juga menceritakan awal mula dia bertemu dengan Bapak hingga akhirnya Aki Karma menetap di Kampung Sepuh. Aki Karma mengambil dompet di saku belakang nya, dompet yang terlihat lusuh.
Beberapa orang terlihat berjalan menyusuri hutan tanpa diterangi oleh satu pun penerangan, mereka berjalan beriringan yang dipandu oleh cahaya bulan. Di dalam rombongan itu terdapat satu wanita cantik dengan pakaian layakna penari. Dia terlihat sangat cantik dengan selendang yang berwarna merah terang yang dipakai di pinggangnya dan baju berwarna hijau gelap dengan sarung batik berwarna kecoklatan. Wanita itu berangkat bersama beberapa orang lainya di tengah hutan, menyelusuri setiap langkahnya dengan hanya ditemani oleh cahaya bulan. Di kiri kanan nya terdapat beberapa sosok mata yang mengawasi mereka, dengan mata merah menyala dan sesekali mereka menyeringai seakan-akan yang mereka lihat adalah makanan yang siap untuk disantap. Rombongan itu kemudian tiba di salah satu mulut gua, mulut gua yang terlihat besar menganga ditengah hutan. Mereka kemudian menghentikan langkahnya, dan mulai berunding antara satu dan lainya. Akhirnya ada dua orang yang memberanikan
Mbrummm.... Terdengar suara mobil yang mendekati Kampung Sepuh di malam ini, mobil mini van berwarna hitam dengan tulisan MISTERI MALAM CHANNEL di body mobilnya. Mobil itu berhenti di gerbang masuk kampung, terlihat empat orang di mobil dan mereka turun dari mobilnya untuk mengambil gambar gerbang masuk yang bertuliskan WILUJENG SUMPING DI KAMPUNG SEPUH. “Mas, coba lu shoot gerbang itu dan suasana kampung ya, mau gua jadiin bahan buat nanti editing,” kata salah seorang dari mereka. “Iye, iye gue juga ngerti,” jawabnya sambil dia memegang kamera untuk mengambil gambar gebrang masuk dan suasana kampung. “Yu, Coba lu sorot dengan senter tulisan di gerbangnya, biar jelas gua ambil gambar,” katanya sambil memegang kamera Terlihat mereka mulai merekam suasana di depan gerbang masuk itu. Hanya bertiga yang terlihat sibuk dengan paralatanya, sedangkan salah seorang dari mereka terlihat hanya
PSSSTTT PSSSTTT “Ayu masuk Ayu,” Martin berbicara dengan Handy Talky (HT) ditanganya, memastikan bahwa HT tersebut berfungsi dengan normal untuk bisa berkomunikasi dengan baik. “Ayu hadir, jelas ga suara gue? ” terdengar suara Ayu membalas ucapan martin dari HT. “Ok, Sip jelas, gimana syutingnya lancar? ” kata Martin. “Sepi,Tin, belum ada penampakan satupun disini, ga ada yang bisa dibuatin konten,” kata Ayu membalas via HT. “Coba ke Kang Parta cari lokasi yang lebih serem Yu, supaya ada penampakan,” kata Martin. “Ini juga lagi jalan ko mencari lokasi yang lebih serem, ya udah nanti di hubungi lagi ya,” PSSSTTT PSSSTTT Martin kembali menutup HT nya dan pandanganya kembali fokus ke layar laptop, sesekali Martin mengambil makanan ringan di warung untuk pengganjal
Dari gelapnya kebun di seberang jalan terlihat beberapa puluh pasang mata yang menatap tajam ke arah Martin yang sedang berteriak, menantang para mahluk yang ada di kampung sepuh. Aku un terbangun dengan kegaduhan yang Martin perbuat. Terlihat Martin berteriak-teriak dengan pecaya diri sambil karena dia percaya jimat yang di berikan oleh kang Parta, yang membuat para mahluk itu tidak bisa mendekatinya. Martin seperti sedang menantang para Makhluk yang berada di kebun seberang warung. Akupun segera menghampiri Martin dan bertanya, “Ada apa ini kang?” “Eh Kang warung, biasa kang ada mahluk yang mau mengganggu, tapi tenang selama ada saya akang tidak usah khawatir” jawab Martin dengan percaya diri. “GA BERANI KAN LOE PADA, LOE SEMUA G`A AKAN BISA MASUK KESINI, UDAH LIATIN AJA DARI SANA!!!” Martin kembali berteriak ke arah kebun seberang jalan, dengan kamera HP yang masih merekam, dia yakin kondisi seperti ini akan menjadi hal yang
Sinar mentari tidak muncul di pagi ini, hanya hujan rintik-rintik yang membasahi kampung Sepuh. Namun terlihat kerumunan warga sekitar yang mengelilingi warung. Para petani yang hendak pergi ke sawah ataupun akan beraktifitas di pagi yang mendung itu terlihat berkumpul dan membantu membalikan mobil van hitam yang bertuliskan MISTERI MALAM CHANNEL. Mobil tersebut terlihat tidak berbentuk lagi, kondisinya terlihat terbalik dibawah pohon besar di seberang warung, terlihat juga beberapa koper-koper dan peralatan-peralatan yang berserakan di jalan yang bersatu dengan lumpur akibat hujan. Para warga kampung Sepuh bahu membahu membalikan mobil van hitam itu ke posisi semula, beberapa dari mereka membantu membawakan peralatan yang berserakan di jalan. Kamera, tripod, lampu, laptop, semuanya dalam kondisi rusak parah, seperti membentur benda keras dan terinjak oleh sesuatu. Di dalam warung terlihat Dimas, Ayu dan Parta yang terlihat shock akan keadaan yang terjadi. Me
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.Dan bagiku, itu adalah penga
Sebuah warung kecil, yang awalnya aku tuangkan dalam Kata-kata yang menjadi cerita hingga saat ini. Kini aku lihat sendiri bentuknya, sebuah warung yang dulunya hanya berada dalam imajinasiku sendiri. Kini, aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri.Bekas-bekas runtuhnya warung yang aku ceritakan masih tersisa, dengan banyaknya genteng-genteng yang rusak karena hangus terbakar disusun dan disimpan di rumah Ujang. Warung itu tampak baru, karena setelah kejadian yang menimpa Ujang. Pak Ardi dan para warga sepakat membangun kembali warung tersebut.Warung yang kini aku lihat ini, adalah salah satu point utama dalam ceritaku. Dimana, banyak kejadian yang silih berganti muncul dan harus di hadapi oleh Ujang dan warga Kampung Sepuh.“Kang!” Kataku sambil berdiri dan menyapa Ujang yang mendekatiku.Ujang hanya tersenyum, sifatnya yang agak pendiam terlihat jelas olehku. Ujang tidak setampan atau setinggi orang-orang yang menjadi karakter utama di da
“Dik, rumah orang tua kamu dimana sih, aku dah nungguin di Alf*mart deket rumah kamu. ” Sebuah text W* tiba-tiba muncul di HP ku pada pagi itu. Dan ketika aku baca, ternyata Iman sudah sampai di Ciwidey tempat dimana orang tua ku tinggal. Hari ini adalah hari minggu di akhir Februari. Dan pada hari ini, aku sengaja mengosongkan jadwalku untuk berkunjung ke Kampung Sepuh bersama dengan Iman, anak dari Mang Rusdi yang kini bekerja di tempat yang sama denganku. Aku berkunjung ke Kampung Sepuh, semata-mata untuk bersilaturahmi kepada semua warga yang ada disana. Karena sudah memberiku izin untuk membuat cerita tentang mereka, termasuk dengan segala yang terjadi di dalamnya. Iman dan Mang Rusdi adalah dua orang yang namanya sama dengan cerita yang aku buat. Sedangkan sisanya, aku sengaja memberi nama baru. Dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan mereka ketika aku membuat cerita ini. “Ok, tunggu nanti aku kesana, beli aja makanan ama minuman buat ol
Kini,Semuanya kembali normal, Tidak semua orang tahu akan cerita ini. Bahkan hanya beberapa orang yang aku percaya yang mengetahui tentang apa yang terjadi tentang pertarunganku dan Kala pada saat itu.Karena apabila aku bercerita kepada semua orang, pasti banyak orang yang tidak percaya. Karena menganggap itu hanyalah fantasi dan ilusi semata dari seseorang yang kehilangan kakinya di Gunung Sepuh.Namun, berbeda dengan Mang Rusdi dan Mang Darman. Yang kini sering kali menghabiskan waktunya untuk menemaniku di dalam warung, bahkan istri Mang Rusdi sering kali membantuku di rumah untuk sekedar membersihkan rumah dan memastikan aku bisa makan dengan lahap di hari itu.Karena mereka sadar, aku kini hanya sendirian di Kampung Sepuh. Sudah tidak ada lagi orang tua yang menjadi panutanku saat ini. Sehingga mereka secara sukarela membantuku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka yang tidak boleh mereka abaikan.“Mang, nongkrong wae di
Dua minggu kemudian.Warung yang sudah hancur akibat aku bakar, kini kembali berdiri. Lengkap dengan etalase yang sudah diperbaiki dan barang-barang yang dagangan yang mengisi penuh etalase dan rak-rak dagangan di warungku ini.Dan suasana sore hari yang penuh dengan hilir mudik warga kampung yang pulang dari sawah dan ladang terlihat olehku yang kini menjaga lagi warung yang sudah aku buat kembali bersama para warga dengan bantuan modal dari Pak Ardi.Aku seperti biasa kini sedang duduk dan bercengkrama dengan Mang Rusdi dan Mang Darman yang baru pulang dari berkeliling kampung untuk berdagang. Canda dan tawa menghiasi obrolan-obrolan tersebut karena sesekali Mang Darman berceloteh dan bercanda atas apa yang dia lakukan.Mereka berdua sudah mengetahui kejadian yang menimpaku di tempat itu, bahkan pertarungan ku dengan Kala di Gunung Sepuh. Dan itu membuat mereka tercengang karena mereka tidak mengetahui bahwa ada makhluk yang seperti itu di Gunung Sepuh.
Aku kembali berdiri, di tengah-tengah hamparan rerumputan yang luas. Dengan salah satu pohon besar yang ada di puncak yang terlihat olehku dari kejauhan. Rerumputan itu kini tampak lebih hijau dari sebelumnya, dan tidak terlihat lagi ilalang-ilalang yang tinggi menjulang hingga menutupi badanku saat itu. Panas yang terik, dengan angin segar yang berhembus dari pegunungan membuatku merasakan suatu perasaan yang sangat lega. Entah mengapa. Hatiku kini terasa sangat tenang ketika berada di tempat ini. Aku pun berjalan, melewati rerumputan tersebut dengan kakiku yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Mencoba untuk berjalan dan duduk kembali di pohon besar yang berdiri di tengah-tengah rerumputan di atas sana. Jalanan yang kulalui sangat begitu mulus, tidak ada serangga-serangga yang menggigit kakiku, tidak ada jalanan yang becek bercampur lumpur. Juga tidak ada lagi lubang yang membuatku terperosok. Semuanya sangatlah berbeda, aku seper
Pandangan ku tiba-tiba gelap, aku sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Aku yang sudah pasrah kini hanya bisa membiarkan tubuhku yang tertutup oleh tanah yang menimpaku seketika dari atas sana. Dan para warga yang menyaksikan hal itu secara langsung tiba-tiba panik dan langsung berteriak memanggilku. “UJANGGGGGGGG!!!” Mang Rusdi yang pertama berlari ke arah tanah longsoran tersebut dan memindahkan batu, ranting-ranting dan tanah untuk mencariku dengan kedua tangannya. Begitu juga dengan Aki Karma, Mang Dadang, dan Mang Uha serta warga-warga yang lainnya yang membantu memindahkan semua material longsor yang menutupi tubuhku, dan berharap aku masih bisa bertahan dengan tubuh yang tertutup oleh longsoran tanah tersebut. Sedangkan Pak Ardi, dia langsung menelpon anaknya dan Pak Caca untuk segera meminta bantuan. Karena kini situasinya sangat berbeda, Pak Ardi membutuhkan lebih banyak orang agar bisa lebih cepat menyelamatkan aku yang berada di d
Mereka semua berlari masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh yang masih terlihat gelap dan menyeramkan, dengan aura mistis yang kental dan terasa oleh semua warga Kampung Sepuh pada pagi itu.Meskipun waktu itu adalah waktu di mana pagi akan menjelang, namun tetap saja. aura-aura mistis yang terasa oleh para warga yang sedang berlari ke dalam sangatlah terasa.Apalagi dari mereka semua, hampir sebagian besar belum pernah keluar pada dalam gelap semasa hidupnya, mereka sudah terbuai oleh bantal dan selimut tebal dari mereka lahir hingga saat ini, dan mereka mematuhi larangan untuk keluar rumah hingga pagi tiba. Sehingga mereka tidak mengetahui rasanya masuk ke dalam hutan pada saat-saat seperti ini.“JANGGGG, UJANGGGG!!!!!”Mang Rusdi berteriak-teriak sambil berlari. Senternya di arahkan ke segala arah, mencoba mencariku di dalam gelapnya hutan Gunung Sepuh yang luas tersebut. Para warga lainnya juga melakukan hal yang sama, mereka berlari sambil men