“Ujang tidak kenapa-kenapa kan?” tanya Indah.
“Hmmm, iya, Ndah tidak kenapa-kenapa kok,” jawabku.
Aku berbalik melihat ke pasar malam tadi, tiba-tiba yang kulihat malah pemandangan yang berbeda. Yang di hadapanku ini hanyalah sebuah lahan kosong yang membentang luas disertai pohon-pohon besar di kedua sisinya, tidak ada tanda-tanda bahwa tempat tersebut adalah pasar malam yang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Hanya lahan kosong dengan ilalang yang dikelilingi pohon besar.
“Bukanya tadi di sini ada pasar malam Indah?” tanyaku kepada Indah.
“Itu memang pasar malam jang, tapi bukan pasar malam untuk manusia.”
Jawaban Indah begitu tenang, seperti sudah terbiasa dengan pasar malam yang menyeramkan itu, dan sepertinya dia pun sengaja datang untuk menjemputku keluar dari pasar malam karena dia tau aku akan terjebak di dalamnya.
“Ga baik membicarakan sesuatu hal yang tabu di tempatnya langsung, Jang, biar aku antar Ujang pulang ya, sambil aku beritahu tentang apa yang sebenarnya dengan pasar itu,”
Indah kemudian memegang tanganku dan mengajakku untuk pergi dari tempat itu. Aku Pun mengangguk berjalan bersama Indah. Berjalan melewati jalan setapak bersama dengan diterangi oleh sinar cahaya bulan purnama yang muncul di antara pepohonan yang rindang di kedua sisi jalan.
Meskipun jalan setapak itu disinari oleh sinar bulan tapi aku tetap menyalakan senter dari hp sebagai penerang jalan. Mengingat jalan setapak yang kulalui itu berbatu dan tak jarang berlumpur.
Aku berjalan bersama indah pada malam itu, tapi ada perasaan aneh ketika ku berjalan. Hatiku seperti tenang kali ini, tidak ada rasa takut yang muncul, tidak ada pikiran yang aneh yang mengganggu di kepala. Semuanya terasa tenang seolah-olah ada yang sedang menjagaku malam itu yang bisa membuatku tidak ketakutan lagi.
Meskipun aku merasa dibelakangku seperti ada yang mengikutiku terlihat beberapa kali aku melihat beberapa pasang mata dari sela sela pepohonan. Tapi makhluk itu seolah-olah tidak berani mendekat kepadaku.
Apakah karena ada Indah? atau mereka tidak mau menampakan diri di dekatku malam itu. Aku tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi, hanya yang aku ketahui aku merasa tenang meskipun jalan yang kulalui dengan Indah adalah jalan setapak dengan pohon besar dari kedua sisinya.
“Ujang pernah dengar, sewaktu kecil orang tua kita melarang buat kita main di kebun seberang warung ketika sore menjelang magrib, Jang?” tanya Indah kepadaku.
“Iya aku ingat Indah, tiap kita main dengan teman-teman sekampung jam 3 atau jam 4 kita pasti harus pulang, ketika jam 5 masih bermain terutama di kebun pasti orang tua kita datang dan mengajak kita untuk pulang,” jawabku.
“Aku pernah diceritakan suatu kisah dari Bapak, Jang,kenapa kita tidak boleh bermain hingga magrib jang dan itu ada hubunganya dengan pasar malam itu,”
Kemudian Indah Pun bercerita tentang Pasar malam itu.
PASAR JURIG
Adalah sebutan untuk orang kampung sepuh tentang pasar itu, yang berarti pasar hantu. Sebuah pasar Gaib yang muncul di waktu-waktu tertentu di sekitaran kampung sepuh. Pasar itu sengaja dibuat oleh para makhluk halus di sekitar kampung dan biasanya akan didatangi oleh para makhluk halus yang ada di gunung sepuh.
Mereka sengaja membuka pasar itu untuk pertukaran satu sama lain, karena banyak persembahan dan sesajen yang diberikan kepada manusia kepada para makhluk halus yang ada di hutan ketika para manusia mencari ilmu atau mencari kekayaan di gunung sepuh.
Sedangkan para makhluk di sekitaran kampung tidak mendapatkan itu mereka hanya bisa berkeliaran di sekitaran kampung. Hingga akhirnya ketika pasar itu ada terjadilah pertukaran antara para makhluk sekitaran kampung dan makhluk gunung sepuh sehingga menjadi pasar jurig.
Untuk masyarakat kampung sepuh. Sebagian dari mereka sudah mengetahui tentang adanya pasar malam itu, sehingga tak jarang samar-samar terdengar suara yang ramai dibarengi dengan suara pagelaran wayang.
Pada zaman dahulu masyarakat kampung sepuh mengira bahwa itu pasar malam itu adalah pasar malam yang muncul apabila ada yang sedang hajatan nikahan atau sunatan. Tapi ketika mereka masuk ke pasar malam itu, mereka akan tahu bahwa ada sesuatu yang aneh.
Mereka sengaja disesatkan terjebak di dalam pasar itu dan tidak bisa keluar. Biasanya warga yang terjebak akan hilang selama beberapa hari, hingga para warga kampung mencarinya.
Tak jarang mereka menemukan manusia yang hilang itu dalam keadaan linglung seperti tanpa jiwa. Karena jiwanya sendiri terjebak di pasar tersebut dan tidak bisa keluar, dan perlahan-lahan mereka jadi bagian dari pasar itu.
"Terus biasanya kalau ada yang hilang para warga kampung mencari kemana, Indah?" tanyaku.
"Biasanya para warga akan mencari di sekitaran kebun tak jarang mereka akan mencari hingga ke hutan gunung sepuh jang. Dan tak jarang, apabila ada yang terjebak masyarakat kampung suka meminta bantuan Bapak Ujang di warung untuk membantunya mengembalikan jiwanya, karena semakin lama dia terjebak semakin sulit mengembalikan jiwanya. Karena jiwanya seperti menyatu dalam pasar itu," jawab Indah
“Oleh Bapak,” jawabku kaget.
“Kenapa oleh Bapak, Ndah?" yang aku tau Bapak hanya orang yang punya usaha warung aja.
Indah terdiam sebenar mendengar jawabanku lalu dia pun melanjutkan bercerita.
“Sepertinya Ujang tidak tau pekerjaan Bapak selain di warung ya jang. Aku sebenarnya tidak berhak bercerita tentang Bapak Ujang, nanti saja kalau Ujang sudah sampai rumah Ujang bisa tanya ke Ibu jang. Karena perasaan seluruh kampung sudah tau apa pekerjaan Bapak Ujang,” jawab Indah.
Indah Pun melanjutkan bercerita.
“Mungkin Ujang pernah tau kejadian yang menimpa si Dasim anak kang Darman yang rumahnya dekat pos kamling, dia sewaktu SMA pernah hilang dan ketika ditemukan mendadak linglung karena mencari jamur hingga malam hari,” kata Indah.
Aku pun mengangguk tanpa memberikan jawaban. “Nah ternyata selama dia linglung jiwa dia terjebak dalam pasar itu jang.”
Aku Pun berpikir sejenak, berpikir tentang Bapak yang dahulu suka melarangku untuk bermain-main sekitaran kebun depan warung. Bapak berkata apabila main di kebun dan berjalan terlalu jauh ke dalam maka takut akan tembus ke hutan, dan terjebak di dalam hutan.
Mungkin ini yang tujuanya Bapak melarangku pada waktu kecil. Bukan semata-mata melarangku main karena takut terjebak di hutan tapi dia melarangku. Tapi karena Bapak tidak ingin aku tidak terjebak di pasar malam tadi.
Angin dingin mulai menusuk kepada sela-sela kulit pada malam itu, ditambah pepohonan yang lebat di kedua sisi dan suara-suara binatang malam yang tidak biasa aku dengar. Mungkin karena selama lebih dari 4 tahun aku hidup di kota Bandung, jadi aku belum terbiasa lagi berjalan di situasi yang sangat sepi seperti sekarang. Karena dulu sewaktu di Bandung selalu penuh dengan orang yang berlalu lalang dan tidak peduli semalam apapun itu.
Setelah berjalan akhirnya aku keluar dari kebun dan melihat warungku kembali yang dalam keadaan kosong. Aku Pun mengajak Indah ke warung untuk sekedar membawakanya memakan atau meminum sesuatu sebagai tanda terima kasih.
“Ndah, yu mampir dulu ke warung, pasti capek nganterin, tanggung tunggu aja sampe agak pagian ndah di warung. Takutnya kenapa-kenapa di jalan kalau pulang sendirian,” kataku sambil ku memegang tangan Indah. Indah hanya tersenyum dan pelan-pelan melepaskan tanganku.
“Ga bisa, Jang aku ga bisa ke warung, aku hanya bisa mengantarkan Ujang sampe sini,” jawab Indah.
“Bener nih ga akan tunggu pagi dulu,” kataku menyakinkan Indah.
Indah mengangguk menyakinkanku bahwa dia akan kembali lagi tanpa menunggu pagi.
Lalu aku pun berterima kasih kepada Indah karena sudah membantuku keluar dari pasar malam yang menakutkan itu dan dijawab oleh senyuman dari Indah. Akupun melangkahkan kaki menuju warung.
“Ah aku lupa, aku belum minta nomor HP nya dia,” pikirku.
Baru beberapa langkah aku berbalik dengan tujuan meminta nomor HP supaya bisa ku hubungi lagi tapi ketika aku berbalik. Sudah tidak ada jejak Indah di sana, walaupun dia pulang harusnya aku mendengar jejak kaki dan suara ranting-ranting pohon di kebun ketika Indah melangkah. Tapi tiba-tiba Indah seperti kehilangan jejaknya.
Aku hanya berpikiran positif pada saat itu. Mungkin Indah terburu-buru apalagi ketika melewati jalan itu lagi suasananya sangat menyeramkan apalagi Indah kembali sendirian.
“Ya sudah besok aja aku kembali lagi kesana,” pikirku. Akupun melangkahkan kaki kembali ke arah warung dan ketika kutiba.
Seluruh jajanan di etalase atas berantakan, dan kebanyakan jajanan anak-anak, permen, makanan ringan, lolipop semua berhamburan di sekitaran warung. Seperti dibawa oleh seseorang, dimakan serta dibuang begitu saja di sekitar warung.
Tapi anehnya selain bekas-bekas jajanan yang berantakan di bawahnya terdapat beberapa uang lembaran lima puluh ribu dan seratus ribuan yang berserakan juga yang tak terhitung jumlahnya.
“Ya tuhan kenapa lagi ini.”
Kondisi warung tampak tidak karuan, seluruh dagangan di atas etalase yang awalnya tertata rapi terlihat berantakan. Semua jajanan telah hilang dan berhamburan hingga keluar warung, seperti ada sesuatu yang datang dan memakan makanan yang ada di warung hingga dibawa keluar. Tetapi ada hal aneh, di lantai banyak berserakan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribuan. Uang tersebut berserakan di sekitaran warung. Aku mengambil salah satu uang yang tercecer di lantai tersebut. “Apa ada perampok yang mencoba mencuri warung?” pikirku. Aku pun berlari ke dalam warung dan mengecek rak uang, aku membuka perlahan rak tersebut untuk melihat dalamnya. Karena ditakutkan bahwa uang yang berserakan adalah uang yang ada di dalam ra
“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Tiba-tiba terdengar suara wanita itu memesan kopi kepadaku. “Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Wanita itu mengulang ucapannya kepadaku, tapi ketika wanita itu berbicara tiba-tiba badanku merinding. Seakan-akan ada aura mistis yang menakutkan terpancar dari wanita itu. Wanita duduk dan menghadap ke arah jalan sehingga aku hanya melihat punggung nya dengan rambut panjang yang hampir menyentuh lantai. Dengan baju putih yang lusuh dan rambut panjang yang kusut terlihat beberapa daun kering yang menempel di rambutnya semakin membuatku semakin yakin bahwa wanita itu bukan manusia. Wanita itu duduk terdiam tanpa sesekali menggerakan tanganya, s
"Jang, Jang bangun bangun bangun,” Ibuku mencoba membangunkanku. Aku yang pingsan di lantai pada waktu itu perlahan bangun, aku membuka mata secara perlahan dan aku melihat Ibuku yang sedang berusaha membangunkanku dengan wajah yang nampak panik. Aku perlahan-lahan bangun dan duduk di lantai, akupun melihat gelas kopi yang pecah di sisiku dan air kopi yang telah mengering menyisakan bubuk kopi yang berserakan di lantai tercampur dengan pecahan-pecahan gelas. “Ujang tidak apa-apa kan,” kata Ibuku. “Ibu tau akhirnya akan jadi seperti ini, makanya kemarin Ibu tidak yakin kalau Ujang ingin jaga warung di malam hari,” kata Ibuku s
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu sosok laki-laki tua berjubah putih yang duduk sambil memandang pemandangan di bawahnya. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali sepasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapapun yang menginjakan kaki di sana. Tapi yang dilakukan oleh kakek-kakek itu hanya terdiam duduk menyandarkan tubuhnya ke
Aku terbangun dari mimpiku siang itu, dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku dan belakang kepala yang panas seperti seseorang yang baru sembuh dari kesurupan. Kulihat mencoba duduk dan bersandar di dinding kamar, memikirkan arti dari mimpi itu. Semuanya terlihat sangat nyata seperti memutar waktu kembali ke masa lalu, masa di mana kampung ini masih hutan belantara. Aku kembali melihat sekeliling kamar yang tampak kosong pada siang itu, hanya angin berhembus dari jendela kamar menggerakan tirai jendela merah tua yang sudah lama dipasang. Aku lalu berdiri menuju ruang tengah mencoba mencari tahu sosok yang ada di mimpi itu dengan mencarinya di arsip-arsip keluargaku yang disimpan oleh almarhum Bapak di lemari kamarnya. Ketika aku keluar ternyata Ibuku sudah menungguku, dia duduk terdiam seperti menungguku bangun. Di sampingnya ada tas carrier yang sepe
Aki Karma sosok yang dituakan di Kampung Sepuh saat ini, dia adalah sosok yang sering diminta untuk menjadi penasehat apabila ada musyawarah di kampung. Selain itu Aki Karma adalah teman dekat Bapak. Sepeninggal Bapak, Aki Karma sering membantu Ibu apabila Ibu kehabisan stok dagangan. Dengan menyewakan satu-satunya kendaraan pick up miliknya dan berangkat ke kota untuk membeli barang dagangan untuk stock di warung. Aki Karma sebenarnya bukan penduduk asli Kampung Sepuh, dia adalah penduduk asli salah satu kampung di utara kota Bandung. dan ketika dia memutuskan untuk tinggal di Kampung Sepuh satu-satunya teman Aki Karma pada waktu itu adalah Bapak. Karena Bapak yang dulu membantunya dan akhirnya Aki Karma pun seperti mempunyai hutang budi kepada Bapak. Aki Karma dulunya adalah pemimpin salah satu kelompok pa
Rombongan itu berjalan dengan barang bawaan yang banyak, salah satunya adalah domba hidup. Beberapa ayam cemani berwarna hitam, serta tak lupa satu set lengkap perlengkapan wayang karena sebagai persyaratan ritual. Mereka berjalan diterangi senter sebagai penerangan perjalanan mereka. Mereka berjalan beriringan dengan posisi Aki Karma di depan dan anggota grupnya di belakangnya, Aki Karma sudah diberitahu oleh sahabatnya itu untuk rute dan jarak yang ditempuh dari kampung menuju tempat pelaksanaan ritual di atas gunung. Tak lupa sahabatnya juga memberi tahu mantra-mantra khusus untuk memanggil para makhluk gunung dan melakukan perjanjian dengan nya. Hingga akhirnya mereka sampai di ujung jalan kampung, disana terlihat dua pohon beringin rindang di kiri kanan jalan dan jalan setapak kecil di tengahnya. Pohon beringin itu menjulang tinggi di kiri dan kanan jala
Sore itu nampak ramai seperti biasanya di Kampung Sepuh, nampak beberapa orang berjalan pulang dari sawah menuju rumahnya. Terlihat dari pakaianya yang kotor dengan lumpur dan beberapa dari mereka membawa bekal yang nampak kosong, sebagian lagi membawa kerbau melewati jalan menuju kandang, dengan alat untuk membajak sawah yang dia panggul di pundaknya. Warung Bapak ramai seperti biasanya, Bapak terlihat sedang menyeduh kopi untuk para petani yang pulang dari sawah, biasanya para petani beristirahat sejenak di warung, sambil mengobrol tentang keseharian mereka di sawah. Tak jarang mereka membahas hal-hal mengenai kejadian-kejadian di kampung. Terutama apabila ada kejadian diluar nalar yang terjadi di kampung atau di Gunung Sepuh, karena hal tersebut adalah hal yang biasa bagi mereka. Membicarakan tentang mahluk-mahluk tersebut bukan menjadi hal-hal yang tabu.
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.Dan bagiku, itu adalah penga
Sebuah warung kecil, yang awalnya aku tuangkan dalam Kata-kata yang menjadi cerita hingga saat ini. Kini aku lihat sendiri bentuknya, sebuah warung yang dulunya hanya berada dalam imajinasiku sendiri. Kini, aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri.Bekas-bekas runtuhnya warung yang aku ceritakan masih tersisa, dengan banyaknya genteng-genteng yang rusak karena hangus terbakar disusun dan disimpan di rumah Ujang. Warung itu tampak baru, karena setelah kejadian yang menimpa Ujang. Pak Ardi dan para warga sepakat membangun kembali warung tersebut.Warung yang kini aku lihat ini, adalah salah satu point utama dalam ceritaku. Dimana, banyak kejadian yang silih berganti muncul dan harus di hadapi oleh Ujang dan warga Kampung Sepuh.“Kang!” Kataku sambil berdiri dan menyapa Ujang yang mendekatiku.Ujang hanya tersenyum, sifatnya yang agak pendiam terlihat jelas olehku. Ujang tidak setampan atau setinggi orang-orang yang menjadi karakter utama di da
“Dik, rumah orang tua kamu dimana sih, aku dah nungguin di Alf*mart deket rumah kamu. ” Sebuah text W* tiba-tiba muncul di HP ku pada pagi itu. Dan ketika aku baca, ternyata Iman sudah sampai di Ciwidey tempat dimana orang tua ku tinggal. Hari ini adalah hari minggu di akhir Februari. Dan pada hari ini, aku sengaja mengosongkan jadwalku untuk berkunjung ke Kampung Sepuh bersama dengan Iman, anak dari Mang Rusdi yang kini bekerja di tempat yang sama denganku. Aku berkunjung ke Kampung Sepuh, semata-mata untuk bersilaturahmi kepada semua warga yang ada disana. Karena sudah memberiku izin untuk membuat cerita tentang mereka, termasuk dengan segala yang terjadi di dalamnya. Iman dan Mang Rusdi adalah dua orang yang namanya sama dengan cerita yang aku buat. Sedangkan sisanya, aku sengaja memberi nama baru. Dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan mereka ketika aku membuat cerita ini. “Ok, tunggu nanti aku kesana, beli aja makanan ama minuman buat ol
Kini,Semuanya kembali normal, Tidak semua orang tahu akan cerita ini. Bahkan hanya beberapa orang yang aku percaya yang mengetahui tentang apa yang terjadi tentang pertarunganku dan Kala pada saat itu.Karena apabila aku bercerita kepada semua orang, pasti banyak orang yang tidak percaya. Karena menganggap itu hanyalah fantasi dan ilusi semata dari seseorang yang kehilangan kakinya di Gunung Sepuh.Namun, berbeda dengan Mang Rusdi dan Mang Darman. Yang kini sering kali menghabiskan waktunya untuk menemaniku di dalam warung, bahkan istri Mang Rusdi sering kali membantuku di rumah untuk sekedar membersihkan rumah dan memastikan aku bisa makan dengan lahap di hari itu.Karena mereka sadar, aku kini hanya sendirian di Kampung Sepuh. Sudah tidak ada lagi orang tua yang menjadi panutanku saat ini. Sehingga mereka secara sukarela membantuku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka yang tidak boleh mereka abaikan.“Mang, nongkrong wae di
Dua minggu kemudian.Warung yang sudah hancur akibat aku bakar, kini kembali berdiri. Lengkap dengan etalase yang sudah diperbaiki dan barang-barang yang dagangan yang mengisi penuh etalase dan rak-rak dagangan di warungku ini.Dan suasana sore hari yang penuh dengan hilir mudik warga kampung yang pulang dari sawah dan ladang terlihat olehku yang kini menjaga lagi warung yang sudah aku buat kembali bersama para warga dengan bantuan modal dari Pak Ardi.Aku seperti biasa kini sedang duduk dan bercengkrama dengan Mang Rusdi dan Mang Darman yang baru pulang dari berkeliling kampung untuk berdagang. Canda dan tawa menghiasi obrolan-obrolan tersebut karena sesekali Mang Darman berceloteh dan bercanda atas apa yang dia lakukan.Mereka berdua sudah mengetahui kejadian yang menimpaku di tempat itu, bahkan pertarungan ku dengan Kala di Gunung Sepuh. Dan itu membuat mereka tercengang karena mereka tidak mengetahui bahwa ada makhluk yang seperti itu di Gunung Sepuh.
Aku kembali berdiri, di tengah-tengah hamparan rerumputan yang luas. Dengan salah satu pohon besar yang ada di puncak yang terlihat olehku dari kejauhan. Rerumputan itu kini tampak lebih hijau dari sebelumnya, dan tidak terlihat lagi ilalang-ilalang yang tinggi menjulang hingga menutupi badanku saat itu. Panas yang terik, dengan angin segar yang berhembus dari pegunungan membuatku merasakan suatu perasaan yang sangat lega. Entah mengapa. Hatiku kini terasa sangat tenang ketika berada di tempat ini. Aku pun berjalan, melewati rerumputan tersebut dengan kakiku yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Mencoba untuk berjalan dan duduk kembali di pohon besar yang berdiri di tengah-tengah rerumputan di atas sana. Jalanan yang kulalui sangat begitu mulus, tidak ada serangga-serangga yang menggigit kakiku, tidak ada jalanan yang becek bercampur lumpur. Juga tidak ada lagi lubang yang membuatku terperosok. Semuanya sangatlah berbeda, aku seper
Pandangan ku tiba-tiba gelap, aku sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Aku yang sudah pasrah kini hanya bisa membiarkan tubuhku yang tertutup oleh tanah yang menimpaku seketika dari atas sana. Dan para warga yang menyaksikan hal itu secara langsung tiba-tiba panik dan langsung berteriak memanggilku. “UJANGGGGGGGG!!!” Mang Rusdi yang pertama berlari ke arah tanah longsoran tersebut dan memindahkan batu, ranting-ranting dan tanah untuk mencariku dengan kedua tangannya. Begitu juga dengan Aki Karma, Mang Dadang, dan Mang Uha serta warga-warga yang lainnya yang membantu memindahkan semua material longsor yang menutupi tubuhku, dan berharap aku masih bisa bertahan dengan tubuh yang tertutup oleh longsoran tanah tersebut. Sedangkan Pak Ardi, dia langsung menelpon anaknya dan Pak Caca untuk segera meminta bantuan. Karena kini situasinya sangat berbeda, Pak Ardi membutuhkan lebih banyak orang agar bisa lebih cepat menyelamatkan aku yang berada di d
Mereka semua berlari masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh yang masih terlihat gelap dan menyeramkan, dengan aura mistis yang kental dan terasa oleh semua warga Kampung Sepuh pada pagi itu.Meskipun waktu itu adalah waktu di mana pagi akan menjelang, namun tetap saja. aura-aura mistis yang terasa oleh para warga yang sedang berlari ke dalam sangatlah terasa.Apalagi dari mereka semua, hampir sebagian besar belum pernah keluar pada dalam gelap semasa hidupnya, mereka sudah terbuai oleh bantal dan selimut tebal dari mereka lahir hingga saat ini, dan mereka mematuhi larangan untuk keluar rumah hingga pagi tiba. Sehingga mereka tidak mengetahui rasanya masuk ke dalam hutan pada saat-saat seperti ini.“JANGGGG, UJANGGGG!!!!!”Mang Rusdi berteriak-teriak sambil berlari. Senternya di arahkan ke segala arah, mencoba mencariku di dalam gelapnya hutan Gunung Sepuh yang luas tersebut. Para warga lainnya juga melakukan hal yang sama, mereka berlari sambil men