Malam sudah semakin larut di Kampung Sepuh, bintang-bintang dan bulan kini menyinari kampung yang tampak berbeda dari malam-malam sebelumnya. Suasana tampak berubah, keheningan yang biasanya menemani malam para warga kampung ketika menemani mereka yang tertidur lelap di rumahnya masing-masing, kini harus membuat mereka terjaga.
Terutama bagi beberapa orang yang kini sedang menjaga kampung dari kemunculan para makhluk yang datang secara tiba-tiba, sesaat setelah warung yang aku jaga terbakar hebat hingga tidak bersisa sama sekali.
Banyak pasang mata yang masih belum terpejam dan senantiasa mengawasi gerak-gerik sesuatu yang terjadi di luar rumah-rumah mereka, mereka yang tidak menjaga kampung diluar rumah pada malam ini, sengaja membiarkan tubuhnya tetap terjaga di dalam rumah. Meskipun Mang Dadang dan Mang Uha sudah mengikat beberapa bambu kuning sebagai penangkal para makhluk yang mungkin saja akan muncul di dalam rumah.
Namun tetap saja, para warga yang tid
terima kasih sudah menjadi pembaca setia warung tengah malam kemungkinan saya hanya bisa upload 1 bab terlebih dahulu sampe dengan waktu yang tidak bisa saya tentukan karena keluarga saat ini sedang sakit ketika saya baru selesai pulih, jadi waktu yang ada saya habiskan untuk jaga keluarga terlebih dahulu tetap kasih vote dan komen ya agar saya masih tetap semangat nulis dan bisa tetap upload setiap harinya terima kasih
Kampung Sepuh pada dasarnya terdiri dari jalanan yang membentang lurus ketika kita masuk dari gapura selamat datang, dan warung adalah bangunan terakhir yang berada di kampung ketika kita menyusuri jalanan tersebut hingga akhirnya jalanan tersebut akan terputus dengan sendirinya dan berakhir dengan jalanan setapak menuju Gunung Sepuh. Sedangkan di kiri dan kanan jalanan utama itu, terdapat rumah rumah warga yang saing berdempetan satu sama lain, dengan gang-gang yang masih berupa tanah yang mungkin saja becek dan berdebu apabila kita melewatinya. Untuk rumah-rumah yang berada di jalur kiri jalan, apabila kita melihatnya dari arah warung menuju ke gapura selamat datang. Itu bisa menembus ke arah persawahan yang luas tempat dimana persawahan tersebut menjadi pembatas dan jalan pintas apabila kita akan ke Kampung Parigi dengan berjalan kaki melewati persawahan yang membentang dan membelah kedua kampung. Sedangkan untuk rumah-rumah yang berada di jalur kanan jala
“Punteun Kang! ” Seseorang dengan memakai baju jaket tebal berwarna kuning cerah dengan obor yang dia bawa sebagai penerang jalan mengucap kata punteun atau permisi kepada Mang Darman yang berdiri di depan gang. “Eh iya kang silahkan,” kata Mang Darman yang memberikan jalan kepada orang yang membawa obor tersebut. Tidak ada hal yang aneh tentang orang-orang yang lewat ini, mereka dengan santainya melewati Mang Darman yang masih tidak percaya akan apa yang dia lihat sekarang. Dan Mang Darman pun hanya bisa mengangguk dan tersenyum kepada orang-orang yang melintasinya dengan perasaan yang tidak percaya. Karena, baru kali ini dia melihat banyak sekali orang yang melintas di jalanan Kampung Sepuh dengan membawa obor sebagai penerang jalan. “Mereka ini siapa, aku baru lihat mereka, ” Pikir Mang Darman sambil merasa keheranan melihat mereka yang lewat begitu saja. Orang-orang ini muncul dan berjalan secara berbondong-bondong, dengan pakaian
“Hah Pasar Jurig?” Kata Mang Darman. Seketika dia teringat anaknya si Dasim ketika berbicara tentang Pasar Jurig, yang terjebak di dalam pasar tersebut dan tidak bisa kembali, sebelum akhirnya bapak membantunya dan menemukan Dasim di dalam kebun di depan warung. Mang Darman memikirkan hal tersebut sambil melihat ke sekeliling dan melihat rumah-rumah yang kini tampak berbeda dengan Kampung Sepuh, dan setelah di pikir-pikir, apa yang dia lihat ternyata sama dengan apa yang diceritakan si Dasim ketika dia menghilang. Rumah-rumah yang beratapkan rumbia dengan tiang-tiang yang di ikat tanpa memakai paku, juga obor-obor yang menyala di depan rumah yang berjejer rapi hingga ke ujung, juga orang-orang yang datang dan berbondong-bondong menuju ke suatu tempat. Semuanya persis sama dengan apa yang dikatakan si Dasim ketika dia menghilang beberapa hari hingga akhirnya di temukan di kebun depan warung. Rasa takut yang tadi dia rasakan ketika ada sosok kun
Suasana bintang-bintang tanpa awan pada malam itu menghiasi Kampung Sepuh dengan indahnya, apalagi bintang-bintang tersebut terlihat sangat jelas sekali bertaburan di langit malam dan akan membuat siapapun takjub melihatnya. Angin dingin mulai terasa dari arah Gunung Sepuh, apalagi waktu sekarang sudah mulai mendekati subuh, waktu dimana ayam-ayam yang berada di Kampung Sepuh berkokok untuk menandakan bahwa waktu sudah mulai berganti, dan para manusia yang tinggal di kampung sudah diperbolehkan untuk kembali beraktivitas. Terlihat, dua buah cahaya senter saling beriringan yang berjalan ke arah warung. Mereka terlihat berjalan dengan santainya seperti tidak terjadi apa-apa ketika sedang berkeliling kampung pada malam ini. Cahaya senter itu semakin lama semakin dekat, dan terlihat secara perlahan bahwa asal dari cahaya senter itu adalah senter dari Mang Rusdi dan Mang Uha yang berjalan kembali setelah berkeliling kampung hingga saat ini. “Mang, merasa a
Jurig Jarian, adalah salah satu makhluk yang suka berdiam diri di tempat-tempat yang kotor. Mereka biasanya menyukai tempat-tempat yang jorok ataupun tempat lembab, berbau busuk dan penuh dengan sampah atau tempat-tempat yang sunyi dan tidak terkena sinar matahari. Sangat jarang sekali para manusia bertemu dengan jurig jarian dalam hidup mereka, karena jurig jarian ini jarang sekali menampakan dirinya kepada manusia. Dan dari bentuknya, jurig jarian banyak sekali versi menurut orang yang melihat mereka secara langsung. Ada yang berbentuk anak kecil, nenek-nenek, kakek-kakek, atau wanita buruk rupa, bahkan ada juga yang melihat mereka yang mewujudkan dirinya seperti yang Pak Ardi dan Mang Dadang lihat. Namun semuanya mempunyai ciri khas yang sama, yaitu badan yang penuh dengan benjolan-benjolan yang berbau busuk di sekujur tubuhnya, juga beberapa dari benjolan itu keluar nanah, bahkan terlihat banyak belatung-belatung yang hidup dari benjolan-benjolan tersebut
Tubuh Mang Darman serasa terjebak, dia sekarang tidak bisa berbuat apa-apa dengan keadaannya yang sekarang. Tubuhnya terikat dengan erat oleh akar pohon yang sangat kuat sehingga dia tidak bisa bergerak sama sekali. Meskipun begitu, Mang Darman tetap berusaha untuk bisa melepaskan diri dari jeratan akar tersebut dengan sekuat tenaga. Karena dirinya tidak mau menjadi santapan para makhluk yang sebentar lagi akan mencabut jiwanya dan menyantap tubuhnya yang terjebak di tempat ini. Mang Darman baru mengetahui bahwa makhluk-makhluk seperti itu ternyata bisa berbuat hal-hal semacam ini, dia jadi berpikir apa yang akan anaknya lakukan ketika dulu dia terjebak di situasi seperti dirinya saat ini. Hahahahaha Hihihihihihi Hihihihihihi “Aya Jelema euy. (Ada manusia nih. )” “Hayu urang dahar, potong keun leungeun jeung sukuna meh teu bisa kabur. (Ayo kita makan, potong tangan dan kakinya biar tidak bisa kabur.)” Sua
Banyak yang tidak bisa kita jelaskan apabila kita masuk ke alam yang berbeda, makhluk-makhluk yang hanya bisa kita dengar dan kita baca dari cerita-cerita yang tersebar di internet saat ini, semuanya tampak seperti palsu dan hanya cerita belaka, apalagi menyangkut dengan suatu suasana yang berbeda ketika kita terjebak di suatu tempat yang tidak bisa kita jelaskan secara gamblang di depan banyak orang. Banyak orang yang menganggap bahwa Gunung Sepuh adalah gunung biasa dengan semua keanehan di dalamnya, namun banyak pula yang berkata bahwa Gunung Sepuh adalah gunung yang dikeramatkan karena banyak sekali makhluk-makhluk yang menghasut dan menjebak manusia untuk masuk di dalamnya. Dan Kampung Sepuh sendiri adalah salah satu bagian dari Gunung Sepuh ketika wilayah tersebut masih berupa hutan belantara dengan banyaknya manusia yang datang ke Gunung Sepuh dengan segala kepercayaannya pada saat itu. Sehingga meskipun kini hutan tersebut sudah menjadi sebuah kampung
ARGGGGGGHHH Trakkkk Nyi Bodas seketika menghentakan ekornya dengan sekuat tenaga tepat di depan Mang Darman, sehingga terlihat bekas dari hentakan tersebut yang membentuk sebuah retakan-retakan kayu di atas panggung. Nyi Bodas akhirnya meninggalkan Mang Darman dan berbalik ke belakang, bersamaan dengan beberapa makhluk yang masih berkumpul di dekat panggung. “SAHA ETA ANU WAWANIANAN NGAGANGGU PARA MAKHLUK ANU AYA DIDIEU? (SIAPA ITU YANG BERANI MENGGANGGU PARA MAKHLUK YANG ADA DI SINI? )” “MANEH! (KAMU! )” Kata Nyi Bodas yang menunjuk ke arah makhluk yang masih berdiri di pinggir panggung dengan tangannya yang berupa akar pohon yang masih mengikat Mang Darman dengan sangat erat. “JAGAAN IEU JELEMA, ULAH NEPIKA LEUPAS, URANG EREK KATUKANG HEULA JANG NEANGAN ANU NGA GANGGU DIDIEU! (JAGA MANUSIA INI, JANGAN SAMPAI LEPAS, AKU AKAN KEBELAKANG DAHULU UNTUK MENCARI YANG MENGGANGGU DI SINI! )” Nyi Bodas tampak sangat marah, sisik-sisik
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.Dan bagiku, itu adalah penga
Sebuah warung kecil, yang awalnya aku tuangkan dalam Kata-kata yang menjadi cerita hingga saat ini. Kini aku lihat sendiri bentuknya, sebuah warung yang dulunya hanya berada dalam imajinasiku sendiri. Kini, aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri.Bekas-bekas runtuhnya warung yang aku ceritakan masih tersisa, dengan banyaknya genteng-genteng yang rusak karena hangus terbakar disusun dan disimpan di rumah Ujang. Warung itu tampak baru, karena setelah kejadian yang menimpa Ujang. Pak Ardi dan para warga sepakat membangun kembali warung tersebut.Warung yang kini aku lihat ini, adalah salah satu point utama dalam ceritaku. Dimana, banyak kejadian yang silih berganti muncul dan harus di hadapi oleh Ujang dan warga Kampung Sepuh.“Kang!” Kataku sambil berdiri dan menyapa Ujang yang mendekatiku.Ujang hanya tersenyum, sifatnya yang agak pendiam terlihat jelas olehku. Ujang tidak setampan atau setinggi orang-orang yang menjadi karakter utama di da
“Dik, rumah orang tua kamu dimana sih, aku dah nungguin di Alf*mart deket rumah kamu. ” Sebuah text W* tiba-tiba muncul di HP ku pada pagi itu. Dan ketika aku baca, ternyata Iman sudah sampai di Ciwidey tempat dimana orang tua ku tinggal. Hari ini adalah hari minggu di akhir Februari. Dan pada hari ini, aku sengaja mengosongkan jadwalku untuk berkunjung ke Kampung Sepuh bersama dengan Iman, anak dari Mang Rusdi yang kini bekerja di tempat yang sama denganku. Aku berkunjung ke Kampung Sepuh, semata-mata untuk bersilaturahmi kepada semua warga yang ada disana. Karena sudah memberiku izin untuk membuat cerita tentang mereka, termasuk dengan segala yang terjadi di dalamnya. Iman dan Mang Rusdi adalah dua orang yang namanya sama dengan cerita yang aku buat. Sedangkan sisanya, aku sengaja memberi nama baru. Dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan mereka ketika aku membuat cerita ini. “Ok, tunggu nanti aku kesana, beli aja makanan ama minuman buat ol
Kini,Semuanya kembali normal, Tidak semua orang tahu akan cerita ini. Bahkan hanya beberapa orang yang aku percaya yang mengetahui tentang apa yang terjadi tentang pertarunganku dan Kala pada saat itu.Karena apabila aku bercerita kepada semua orang, pasti banyak orang yang tidak percaya. Karena menganggap itu hanyalah fantasi dan ilusi semata dari seseorang yang kehilangan kakinya di Gunung Sepuh.Namun, berbeda dengan Mang Rusdi dan Mang Darman. Yang kini sering kali menghabiskan waktunya untuk menemaniku di dalam warung, bahkan istri Mang Rusdi sering kali membantuku di rumah untuk sekedar membersihkan rumah dan memastikan aku bisa makan dengan lahap di hari itu.Karena mereka sadar, aku kini hanya sendirian di Kampung Sepuh. Sudah tidak ada lagi orang tua yang menjadi panutanku saat ini. Sehingga mereka secara sukarela membantuku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka yang tidak boleh mereka abaikan.“Mang, nongkrong wae di
Dua minggu kemudian.Warung yang sudah hancur akibat aku bakar, kini kembali berdiri. Lengkap dengan etalase yang sudah diperbaiki dan barang-barang yang dagangan yang mengisi penuh etalase dan rak-rak dagangan di warungku ini.Dan suasana sore hari yang penuh dengan hilir mudik warga kampung yang pulang dari sawah dan ladang terlihat olehku yang kini menjaga lagi warung yang sudah aku buat kembali bersama para warga dengan bantuan modal dari Pak Ardi.Aku seperti biasa kini sedang duduk dan bercengkrama dengan Mang Rusdi dan Mang Darman yang baru pulang dari berkeliling kampung untuk berdagang. Canda dan tawa menghiasi obrolan-obrolan tersebut karena sesekali Mang Darman berceloteh dan bercanda atas apa yang dia lakukan.Mereka berdua sudah mengetahui kejadian yang menimpaku di tempat itu, bahkan pertarungan ku dengan Kala di Gunung Sepuh. Dan itu membuat mereka tercengang karena mereka tidak mengetahui bahwa ada makhluk yang seperti itu di Gunung Sepuh.
Aku kembali berdiri, di tengah-tengah hamparan rerumputan yang luas. Dengan salah satu pohon besar yang ada di puncak yang terlihat olehku dari kejauhan. Rerumputan itu kini tampak lebih hijau dari sebelumnya, dan tidak terlihat lagi ilalang-ilalang yang tinggi menjulang hingga menutupi badanku saat itu. Panas yang terik, dengan angin segar yang berhembus dari pegunungan membuatku merasakan suatu perasaan yang sangat lega. Entah mengapa. Hatiku kini terasa sangat tenang ketika berada di tempat ini. Aku pun berjalan, melewati rerumputan tersebut dengan kakiku yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Mencoba untuk berjalan dan duduk kembali di pohon besar yang berdiri di tengah-tengah rerumputan di atas sana. Jalanan yang kulalui sangat begitu mulus, tidak ada serangga-serangga yang menggigit kakiku, tidak ada jalanan yang becek bercampur lumpur. Juga tidak ada lagi lubang yang membuatku terperosok. Semuanya sangatlah berbeda, aku seper
Pandangan ku tiba-tiba gelap, aku sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Aku yang sudah pasrah kini hanya bisa membiarkan tubuhku yang tertutup oleh tanah yang menimpaku seketika dari atas sana. Dan para warga yang menyaksikan hal itu secara langsung tiba-tiba panik dan langsung berteriak memanggilku. “UJANGGGGGGGG!!!” Mang Rusdi yang pertama berlari ke arah tanah longsoran tersebut dan memindahkan batu, ranting-ranting dan tanah untuk mencariku dengan kedua tangannya. Begitu juga dengan Aki Karma, Mang Dadang, dan Mang Uha serta warga-warga yang lainnya yang membantu memindahkan semua material longsor yang menutupi tubuhku, dan berharap aku masih bisa bertahan dengan tubuh yang tertutup oleh longsoran tanah tersebut. Sedangkan Pak Ardi, dia langsung menelpon anaknya dan Pak Caca untuk segera meminta bantuan. Karena kini situasinya sangat berbeda, Pak Ardi membutuhkan lebih banyak orang agar bisa lebih cepat menyelamatkan aku yang berada di d
Mereka semua berlari masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh yang masih terlihat gelap dan menyeramkan, dengan aura mistis yang kental dan terasa oleh semua warga Kampung Sepuh pada pagi itu.Meskipun waktu itu adalah waktu di mana pagi akan menjelang, namun tetap saja. aura-aura mistis yang terasa oleh para warga yang sedang berlari ke dalam sangatlah terasa.Apalagi dari mereka semua, hampir sebagian besar belum pernah keluar pada dalam gelap semasa hidupnya, mereka sudah terbuai oleh bantal dan selimut tebal dari mereka lahir hingga saat ini, dan mereka mematuhi larangan untuk keluar rumah hingga pagi tiba. Sehingga mereka tidak mengetahui rasanya masuk ke dalam hutan pada saat-saat seperti ini.“JANGGGG, UJANGGGG!!!!!”Mang Rusdi berteriak-teriak sambil berlari. Senternya di arahkan ke segala arah, mencoba mencariku di dalam gelapnya hutan Gunung Sepuh yang luas tersebut. Para warga lainnya juga melakukan hal yang sama, mereka berlari sambil men