Tak ada jawaban apapun darinya, ia malah langsung naik ke mobil dan meletakkan Ataya di jok kemudi. Ya Allah, ada apa dengan Mas Lian? "Itu si Ataya dibawa, gimana caranya ngebawanya, Fir? Kalian ada masalah?" tanya Mbak Ambar. Aku menggeleng. Masa iya Mas Lian marah padaku hanya karena meninggalkan Ataya sendirian. Memang bukan 'hanya' sih, apalagi kening ataya sampai benjol begitu. "Tadi, Ataya jatuh, Mbak." "Hah? Dari tempat tidurmu?" tanya Mbak Ambar. Ia pasti tengah mengira jika Ataya jatuh dari sana. "Bukan. Dari situ." Aku menunjuk kasur lipat tempat biasa kugunakan untuk mengganti baju Ataya. "Lah terus, Lian marah kaya tadi?" Aku mengangguk. "Walah, si Lian. Mbokya apa-apanya diselesaikan dengan kepala dingin gitu, loh. Sekarang, kalau Atayanya lapar dan haus gimana? Sedangkan pabrik susunya masih di sini?" Ah, iya, benar! Untuk apa aku berdiam diri? Ck, begitu saja kamu tak bisa berpikir, Fira! Dasar lamban! Aku segera berganti pakaian, lalu menyabet kunci motor da
Setelah mendapat telepon dari Mbak Ambar, aku segera pulang. Kuminta Mas Lian untuk segera mengemudikan mobilnya. "Ada apa memangnya, Dek?" tanyanya. "Nggak tahu, Mas. Mbak Ambar nelepon, katanya Bapak kenapa itu." Tanpa berkata lagi, Mas Lian segera mengemudikan mobilnya menuju rumah. Sepanjang perjalanan, hatiku rasanya tak tenang. Apalagi, bukan sehari dua hari aku mengurus beliau. Ckiit! Jantungku berdetak keras saat Mas Lian menginjak rem dadakan. Jantungku rasanya hendak melompat, begitupun dengan Ataya yang langsung menangis karena aku terdorong ke depan. "Ya Allah, maafin Mas, Dek!" "Hati-hati, Mas! Ada apa?" "Sepertinya ada kucing di depan." Mas Lian segera duduk, hatiku semakin dilanda rasa tak enak. Apalagi Bapak mengeluh tak enak badan tadi pagi. Kepalaku berdenyut seketika. "Gimana, Mas?" tanyaku begitu Mas Lian masuk lagi ke dalam mobil. "Gapapa, Dek. Untungnya si kucing nggak papa." "Alhamdulillah. Ya sudah, ayo cepetan nyalain mobilnya, Mas." Akhirnya mobi
"Sabar, Mas. Ingat, jangan saling menyalahkan. Toh belum tentu juga jika Mas Cahyo mengantar, lalu masih hidup. Ini tentang takdir, Mas. Perkara hidup dan mati itu urusan Allah."Aku mengangguk, membenarkan apa yang Mas Lian ucapkan tadi. "Sudah, aku mau urus administrasi dulu. Kamu hubungi Mbak Ratih. Suruh persiapkan rumah untuk menyambut jenazah Bapak." Aku mengangguk. Rasa sesak melanda. Apalagi Ibu, ia kini tengah terisak di pelukan Mas Helmi. Hatiku teriris melihatnya. Bahkan keluarga kami baru saj mereguk manisnya bersama. Namun kenapa secepat ini Allah ambil Bapak dari sisi kami? "Halo, Mbak," ucapku begitu panggilan tersambung. "Iya, Dek. Gimana Bapak?' "M-mbak," ucapanku terpotong karena aku terisak. Ya Allah, sesak sekali rasanya. "Loh, kenapa menangis? Bapak baik-baik saja, kan?""Mbak, tolong rapihin rumah, ya. Sekalian minjem kursi di Pak RT. Sebentar lagi Bapak pulang," ucapku. "Loh, kenapa pakai kursi segala?""Bapak, Mbak. Beliau sudah meninggal." Terdengar me
Setelah empat puluh hari meninggalnya Bapak, rumah seakan masih diliputi kesedihan. Terutama Ibu dan juga Mas Helmi. Kakak laki-lakiku itu, terlihat sangat tertekan. "Mas berasa sangat bersalah karena telah menyusahkan Bapak di sepanjang hidupnya, Fir. Apakah Bapak sudah mengampuni semua kesalahanku?" tanyanya pagi ini, saat aku tengah duduk di depan warung bersama Ataya. "Insya Allah, Mas. Nggak ada yang nggak mungkin. Jangan lupa untuk mengirim do'a selalu untuk Bapak, ya, Mas. Kita semua sayang sama Bapak. Semoga almarhum di terima amal baiknya di sisi Allah," ucapku. "Aamiin." Mas Helmi masuk ke dalam rumah, sementara aku menjemur Ataya karena matahari sudah menampakkan sinarnya. Kulihat Mas Lian tengah membuka bengkel. Setelah pertengkaran kami waktu itu, aku selalu membawa Ataya ke mana pun aku pergi, meskipun hanya di warung.Kemarin, Mas Lian juga membelikan anak kami stroller, agar memudahkanku menaruh Ataya. Aku bersyukur, karena ia mengertiku. "Assalamu'alaikum," ucap
"Besok kita ke rumah Mas Cahyo, Bu?" tawar Mas Lian saat kami tengah makan malam. Kali ini Mbak Ambar memasakkan sop ayam khas klaten, segar. "Boleh. Apa tidak merepotkan?""Nggak, Bu. Ibu pasti kangen sama cucu-cucu Ibu, kan?" Ibu mengangguk."Makasih ya, Lian, Fira. Kalian selalu baik sama Ibu, maaf kalau selalu merepotkan kalian." "Untuk apa Ibu minta maaf? Ibu kan ibu kandung kami, nggak ada kata merepotkan. Justru kami bangga, karena bisa merawat Ibu di usia senja," ucapan Mas Lian membuatku terharu. Ibu tersenyum, lalu kami melanjutkan makan. "Ibu ke kamar dulu ya, Fir." "Iya, Bu." Aku membereskan meja makan, sementara Mas Lian duduk di depan televisi bersama Ataya. Bayi berusia tiga bulan itu tiba-tiba bangun. "Ke kamar yuk, Mas," ucapku. Mas Lian mengangguk, lalu mematikan televisi. Kuambil Ataya agar memudahkan Mas Lian untuk mengunci seluruh pintu. "Anak cantik, bobo lagi, yuk?" ucapku pada Ataya yang hanya mampu tersenyum itu. Kubaringkan tubuhnya di atas kasur,
"Loh, Riska?"Aku menoleh pada Mas Lian, dan sedikit terkejut karena wanita itu langsung mengajak pelukan dengan suamiku itu. Mas Lian buru-buru melepas pelukannya, sementara wanita itu terlihat sedikit cemberut. "Lian, apa kabar? Ngapain di sini? Ya ampun, sudah lama banget nggak ketemu." Aku masih terus memandangi Mas Lian dan perempuan yang ternyata bernama Riska itu. Bahkan jika perlu, akan kutendang wanita itu karena telah berani-beraninya memeluk suamiku. "Perkenalkan, Ris, ini Fira, istriku," ucap Mas Lian sambil merangkulku yang tengah menggendong Ataya. "Oh, kamu sudah menikah? Aku baru minggu kemarin pulang, jadi nggak tahu kalau kamu sudah menikah. Yah, sayang banget, ya. Aku telat. Padahal-""Kami masuk dulu," potong Mas Lian. Sementara aku masih sedikit terkejut dan tak percaya jika wanita itu berbicara seperti itu. Kenapa? Apa dia dan Mas Lian pernah memiliki masa lalu bersama? Apa sangatlah indah masa lalu di antara mereka sehingga dia menyayangkan Mas Lian yang te
"Aduh-aduh, anak kesayangan dipeluk-peluk," ucap Mas Helmi sambil mengangkat kardus, sementara Mbak Ambar ada di belakang mereka bersama Naura. "Kalian dah lama?" tanya Mbak Ambar sambil duduk di hadapanku. "Baru aja, tapi udah dihadapkan ular betina.""Ada ular, Tante?" tanya Naura dengan polosnya. "Eh? Nggak, tadi ada ular di jalan. Untung lagi di mobil." "Wah, alhamdulillah ya, Tante," ucapnya menggemaskan. "Iya, Naura sama Ayah dulu, ya?" Naura pun menuruti dan bergabung dengan ayahnya yang tengah merapikan halaman belakang. "Emang ada apa?" tanya Mbak Ambar. "Tadi, ada teman masa kecilnya Mas Lian. Namanya Riska, dateng-dateng langsung meluk. Untung saja Ibu sudah masuk ke dalam," ucapku sambil berbisik di telinga Mbak Ambar. "Apaaa?!!! Gila!" Ssmya orang terkejut mendengar teriakannya, lalu kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing. Kak Ratih datang sambil membawakan sepiring buah untuk kami. "Apanya yang gila, sih?" tanya Kak Ratih. "Tadi ada orang gila yang meluk
"Mau ngapain, Mbak?" tanyaku."Mau ikutan acaranya, lah. Sebagai tetangga yang baik, aku bawain ayam, nih. Nggak tanggung-tanggung, aku bawain tiga ekor. Baik, kan?" ucapnya sambil meletakkan baskom berisi ayam.Ia berjalan mendekati Mas Lian dan duduk di sampingnya. Mas Lian, dia tak menghindar, juga tak menanggapi."Bu, saya ini dulu teman akrabnya Lian dari kecil sampai SMA. Bahkan banyak yang mengira kami bakal menikah dulu, saking ke mana-mana selalu berdua," ucapnya sambil menjawil tangan Ibu."Oh, iya, Neng.""Ya gimana orang nggak salah paham ya, Bu? Keluarga kami ini sangat dekat, bahkan kami sering nginep, loh. Saya nginep di rumah Lian, Lian nginep di rumah saya."Dadaku bergemuruh mendengarnya. Bukan karena terlalu cemburu, tapi untuk apa dia menceritakan pada Ibu? Aku tadi menahan agar tak ketahuan tentang ini oleh beliau setengah mati, kini ia malah seenak jidatnya bercerita?"Lalu, hubungannya apa sama Ibu saya?" tanyaku sambil mendorongnya hingga dia terjatuh."Eh, Mba
"Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah
"Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan
"Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh
"Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec
Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su
"Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si
"Nggak, Mas, aku cuma nanya doang kok." "Awas macem-macem." "Perasaan dulu yang ngejar kamu, Fir, kok sekarang yang bucin malah Mas Lian?" "Mau tau rahasianya?" "Iya, apa?" tanya Fitri sambil mencondongkan badannya demi mendengarkan jawabanku. Namun justru itu yang membuatku menahan tawa. "Pesonaku." "Njiiir!" Pletak! Aku malah dijitak oleh Fitri.--Esok hari. Aku mengantar Naura berangkat sekolah. Ia masih terlihat lemas, mungkin karena efek berjauhan dengan ibunya. "Apa kamu nggak curiga, kok Mbak Ambar tega ninggalin anaknya?" "Astaghfirullah, Fitri! Kalau mau gabung, panggil dulu, kek, jangan asal ngomong aja. Kaget!"Fitri hanya nyengir saja, namun aku kepikiran dengan kata-katanya. Benar, kenapa Mbak Ambar tega meninggalkan Naura? Apa benar, sekolah menjadi alasan utama, atau ada alasan yang lainnya? "Kenapa? Baru kepikiran?" Aku mengangguk, lalu membenarkan topi yang dikenakan oleh Aya. Cuaca sedang panas, jam setengah tujuh pagi saja matahari sudah menunjukkan si
Mbak Ambar menatap Mas Helmi, "Iya, sama Papa." Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari tatapan kakak iparku itu. Setelah berpamitan, mobil mulai melaju. Tangis Naura terus terdengar. Wajar, ia baru berusia sepuluh tahun dan juga begitu dimanja oleh Mbak Ambar, sehingga pasti sangat kehilangan. "Emangnya, jadwal Ambar lahiran, kapan, Hel?" tanya Mbak Imah. "Dua mingguan lagi, Mbak. Mungkin, dia masih takut apa-apanya sendiri, jadi mau lahiran di rumah Mama. Padahal dia sudah punya pengalaman. Tapi ya sudah lah, nggak papa, toh cuma dua mingguan ini. Nanti bisa ke sana pas Ambar mau melahirkan.""Lagian bukan kamu ikut ke sana, Hel," ucap Bu Romlah, entah kapan ia ada di sini. "Saya kan kerja, Bu. Kalau nggak kerja dan di sana cuma nganggur, ya ga enak. Meski mertua saya nggak kaya Bu Romlah, tetep aja ga enak, toh?" "Loh, memangnya saya kenapa?" tanya Bu Romlah. "Cerewet, bawel, tukang gosip!" jawab kami bersamaan lalu masuk ke dalam rumahku. --Pagi hari. Aku sedang sibuk
"Makanya, kalau nggak mau jadi bahan gosip mereka, nggak usah betingkah." "Siapa yang betingkah sih, Yang? Orang Riska ke sini sendiri, kok. Aku nggak mungkin lah, nolak pelanggan." "Pelanggan tapi nggak bayar!" ucapku, lalu keluar kamar, hendak mengambil Athaya di rumah Mbak Ambar, karena kata Ibu, tadi di bawa oleh Kak Ratih saat aku dan Mas Lian di kamar menuju rumah Mbak Ambar. Ketika di teras, aku terkejut melihat Riska masih di sini, bahkan duduk di teras warungku. Kuambil napas banyak, lalu menghampirinya. "Ada apa lagi?" "Aku bukan orang miskin, jadi mau bayar ongkos isi angin tadi. Nih," ucapnya sambil memberikan uang pada Mas Lian, padahal jelas-jelas aku yang lebih dekat dengan tempatnya berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil merebut uang itu dan meminta Mas Cahyo untuk menutup bengkel Mas Lian. Bener-bener si Riska, gak ada malunya meski ada aku, istri sahnya Mas Lian. "Yang, kamu jangan cemburu gitu, dong! Aku sama Riska itu nggak ada apa-apa. Masa kamu marah-marah