"Aduh-aduh, anak kesayangan dipeluk-peluk," ucap Mas Helmi sambil mengangkat kardus, sementara Mbak Ambar ada di belakang mereka bersama Naura. "Kalian dah lama?" tanya Mbak Ambar sambil duduk di hadapanku. "Baru aja, tapi udah dihadapkan ular betina.""Ada ular, Tante?" tanya Naura dengan polosnya. "Eh? Nggak, tadi ada ular di jalan. Untung lagi di mobil." "Wah, alhamdulillah ya, Tante," ucapnya menggemaskan. "Iya, Naura sama Ayah dulu, ya?" Naura pun menuruti dan bergabung dengan ayahnya yang tengah merapikan halaman belakang. "Emang ada apa?" tanya Mbak Ambar. "Tadi, ada teman masa kecilnya Mas Lian. Namanya Riska, dateng-dateng langsung meluk. Untung saja Ibu sudah masuk ke dalam," ucapku sambil berbisik di telinga Mbak Ambar. "Apaaa?!!! Gila!" Ssmya orang terkejut mendengar teriakannya, lalu kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing. Kak Ratih datang sambil membawakan sepiring buah untuk kami. "Apanya yang gila, sih?" tanya Kak Ratih. "Tadi ada orang gila yang meluk
"Mau ngapain, Mbak?" tanyaku."Mau ikutan acaranya, lah. Sebagai tetangga yang baik, aku bawain ayam, nih. Nggak tanggung-tanggung, aku bawain tiga ekor. Baik, kan?" ucapnya sambil meletakkan baskom berisi ayam.Ia berjalan mendekati Mas Lian dan duduk di sampingnya. Mas Lian, dia tak menghindar, juga tak menanggapi."Bu, saya ini dulu teman akrabnya Lian dari kecil sampai SMA. Bahkan banyak yang mengira kami bakal menikah dulu, saking ke mana-mana selalu berdua," ucapnya sambil menjawil tangan Ibu."Oh, iya, Neng.""Ya gimana orang nggak salah paham ya, Bu? Keluarga kami ini sangat dekat, bahkan kami sering nginep, loh. Saya nginep di rumah Lian, Lian nginep di rumah saya."Dadaku bergemuruh mendengarnya. Bukan karena terlalu cemburu, tapi untuk apa dia menceritakan pada Ibu? Aku tadi menahan agar tak ketahuan tentang ini oleh beliau setengah mati, kini ia malah seenak jidatnya bercerita?"Lalu, hubungannya apa sama Ibu saya?" tanyaku sambil mendorongnya hingga dia terjatuh."Eh, Mba
"Mbak Imah jadi nyusul, Dek?" tanya Mas Lian."Bentar, aku kirim pesan."Kubuka ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Imah.[Jadi nyusul, Mbak?][Jadi, ini lagi di jalan.]"Jadi katanya, Mas.""Mama juga mau datang," ucapnya sambil menunjukkan pesan yang dikirimkan oleh Mama mertua.Aku tersenyum, setelah kejadian waktu itu memang kami belum pernah bertemu lagi. Aku ingin meminta maaf, juga ingin mengucapkan terima kasih karena sudah memberikan wejangan dan juga pengertian pada Mas Lian. Andai saat itu Mama adalah tipikal mertua tukang ngerusuh, mungkin aku dan Mas Lian sudah tak bersama sekarang. Na'udzubillah.Kami pun pulang, lalu melewati hari ini dengan canda tawa penuh dengan kebahagiaan. Sudah lama kami tak kumpul begini. Meskipun rumah berdekatan, tapi tetap saja ada kesibukan masing-masing yang kadang hanya sekedar datang lalu langsung pulang.--Esok hari.Aku sudah mulai membuka warung seperti biasa. Ataya kutaruh di stroller agar memudahkanku menjaga warung sambil memperhati
"Saya Dodi, dan ini Ridin, kami dulu teman setongkrongan Helmi. Jadi, Helminya ada?" Aku dan Mas Lian saling tatap, begitupun Ibu yang menatapku penuh arti. Aku sendiri belum pernah melihat mereka berdua. "Kami mau menagih hutang pada Helmi." Alisku bertaut. Hutang? Hutang mana lagi yang dimaksud? "Kalau boleh tahu, berapa jumlahnya?" "Sekitar seratus tiga puluh juta." Jantungku seakan berhenti berdetak kala mendengar nominalnya. Seratus tiga puluh juta, katanya?"Yang betul, Pak?" tanya Mas Lian. "Ini, kami punya bukti dan juga kesaksian dari teman-teman tongkrongan kami. Mulanya Helmi hanya meminjam lima puluh juta, alasannya untuk merenovasi rumah, lalu meminjam lagi dengan nominal yang sedikit demi sedikit, mulai dari sepuluh juta, delapan juta, hingga akhirnya berjumlah semuanya tiga puluh juta." Kuterima selembar kertas yang berisi rincian hutang Mas Helmi. Benar, ini adalah tanda tangan kakakku itu. Kuelus dada, baru saja ia bertobat, kenapa masalah seperti ini datang l
Mas Lian buru-buru keluar sambil menggendong Ataya. Aku sendiri ingin sekali menangis, mengingat banyak sekali kejadian-kejadian yang kualami beberapa bulan terakhir ini. "Kenapa, Dek?" "Mas, Bu Romlah belanja totalnya empat puluh dua ribu, tapi ia cuma ngasih dua puluh lima ribu. Ngomongnya ga bakal ngutang, taunya ngibulin." "Ya sudah lah, Dek, besok tinggal ditagih aja. Jangan teriak-teriak, kasian Ataya tadi sudah mau tidur, jadi melek lagi, kan," ucapnya. Aku memicingkan mata, tak menyukai dengan omongan Mas Lian barusan. Apa dia membela Bu Romlah? "Kamu ngebela dia, Mas? Kenapa? Mau sama anaknya?" "Lah, kok gitu?" "Tau, ah!" Aku pun masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuh di atas ranjang. Kuhela napas seraya beristighfar. Kenapa aku jadi aneh begini? Kenapa aku jadi susah untuk mengendalikan emosi?--Sore hari. Aku melihat Mas Helmi datang dengan Mbak Ambar, mungkin untuk menjemput Naura karena memang seharian ini di sini. Kuambil ponsel dan mengirimkan pesan pada Mbak
"Tolong, Fir." "Tapi, Mas, pemasukan kami terbesar hanya dari kebun buah. Itu pun tidak setiap bulan panen," ucap Mas Lian. Aku sudah tidak mampu berkata-kata lagi. "Ini urusanku dengan Fira, Li. Kamu nggak ada hubungannya," ketus Mas Helmi, membuatku seketika menoleh ke arahnya. "Jaga omongan Mas Helmi, ya. Seandainya tak ada modal dari Mas Lian, mungkin kebun itu hanya berisi semak belukar. Tapi berkat kerja kerasnya, kebun itu jadi ladang pemasukan kami." "Maaf, Fir. Mas nggak bermaksud. Mbak Imah, tolong aku, Mbak." "Kamu tahu sendiri, keuanganku ada di Mas Suryo. Kamu bilang sendiri saja." "Mas?" "Maaf, Hel, tapi emang kami pun tak ada. Rental mobil lagi sepi, begitupun dengan usaha sampinganku." Mas Helmi menghembuskan napas. Wajahnya terlihat bingung sekali. Sebenarnya, aku juga bingung sekarang, tapi bagaimana lagi? Jika terus-menerus dibantu, maka tak akan ada kemajuan dalam hidupnya. "Fira pikir, kepindahan Mas ke sini, sudah beres urusan di sana. Ternyata, malah ma
"Iya, Dek. Tapi bagaimana lagi? Mas Cahyo kakak tertuamu, masa kamu yang bungsu, yang harus menanggung ini semua?""Iya, sih." Lalu kuhubungi Mas Cahyo lewat ponsel. Benar saja, Mas Cahyo terdengar geram mendengar penuturanku."Kapan sih, Helmi berhenti nyusahin kita, Fir? Dari dulu, dari Bapak masih hidup, ada saja kelakuannya. Padahal kita bertiga juga perasaan biasa aja!" "Biasa lah, Mas. Dalam satu darah memang terkadang ada saja yang beda. Jadi gimana?" "Besok Mas akan ke sana." "Iya, tapi Fira mohon jangan sambil emosi." "Kita lihat besok saja!" Pukul sebelas malam, kedua mata ini masih belum bisa terpejam. Sudah kucoba, namun tak bisa. Kuputuskan untuk ke luar kamar, lalu melihat foto kami sekeluarga yang diambil sebelum Bapak meninggal. Tak terasa, air mataku menetes. Jika diingat-ingat, kehidupan kami sedari dulu, ada saja tak enaknya. Apalagi sejak Ibu pergi, Mas Helmi semakin tak bisa diatur, dari rumah sekolah, ternyata malah ngeluyur dan akhirnya Bapak harus menangg
"Besok aku mau pulang ke jakarta, Mas!" "Besok, ikutlah dulu ke bogor," ucapku. "Untuk apa? Itu urusanmu. Dalam hal ini aku dirugikan. Uang yang aku tabunt justru kamu embat dan entah di mana sekarang. Ingat, Mas, sampai mati aku nggak ridho uang itu kamu gunakan untuk judi dan mabok-mabokan!" teriak Ambar, ia sepertinya sudah tak mempedulikan Naura yang sudah berdiri di depan pintu kamar kami. Aku hanya diam tak menanggapi, untuk apa? Sekarang tak ada hal yang lebih baik kulakukan selain diam, karena jika aku berucap pastinya akan salah di matanya. --Pagi. Kulihat Ambar sudah berkemas, Naura pun sudah mandi begitu aku bangun. Aku sendiri gelagapan, bagaimana jika ia beneran pulang pada keluarganya? Masalahnya, keluarga Ambar terkenal garang, mantan preman dan juga emosian. Jika mereka mengetahui tentang masalah kami, bukan tidak mungkin esok aku sudah mati. "Mbar, tolong pikirkan lagi, ya?" "Untuk apa? Aku sendiri sudah cukup muak hidup denganmu, Mas! Setahun belakangan ini,