Share

Bab 60

Penulis: Jingga Rinjani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-16 14:50:08

"Mbak Imah jadi nyusul, Dek?" tanya Mas Lian.

"Bentar, aku kirim pesan."

Kubuka ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Imah.

[Jadi nyusul, Mbak?]

[Jadi, ini lagi di jalan.]

"Jadi katanya, Mas."

"Mama juga mau datang," ucapnya sambil menunjukkan pesan yang dikirimkan oleh Mama mertua.

Aku tersenyum, setelah kejadian waktu itu memang kami belum pernah bertemu lagi. Aku ingin meminta maaf, juga ingin mengucapkan terima kasih karena sudah memberikan wejangan dan juga pengertian pada Mas Lian. Andai saat itu Mama adalah tipikal mertua tukang ngerusuh, mungkin aku dan Mas Lian sudah tak bersama sekarang. Na'udzubillah.

Kami pun pulang, lalu melewati hari ini dengan canda tawa penuh dengan kebahagiaan. Sudah lama kami tak kumpul begini. Meskipun rumah berdekatan, tapi tetap saja ada kesibukan masing-masing yang kadang hanya sekedar datang lalu langsung pulang.

--

Esok hari.

Aku sudah mulai membuka warung seperti biasa. Ataya kutaruh di stroller agar memudahkanku menjaga warung sambil memperhati
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 61

    "Saya Dodi, dan ini Ridin, kami dulu teman setongkrongan Helmi. Jadi, Helminya ada?" Aku dan Mas Lian saling tatap, begitupun Ibu yang menatapku penuh arti. Aku sendiri belum pernah melihat mereka berdua. "Kami mau menagih hutang pada Helmi." Alisku bertaut. Hutang? Hutang mana lagi yang dimaksud? "Kalau boleh tahu, berapa jumlahnya?" "Sekitar seratus tiga puluh juta." Jantungku seakan berhenti berdetak kala mendengar nominalnya. Seratus tiga puluh juta, katanya?"Yang betul, Pak?" tanya Mas Lian. "Ini, kami punya bukti dan juga kesaksian dari teman-teman tongkrongan kami. Mulanya Helmi hanya meminjam lima puluh juta, alasannya untuk merenovasi rumah, lalu meminjam lagi dengan nominal yang sedikit demi sedikit, mulai dari sepuluh juta, delapan juta, hingga akhirnya berjumlah semuanya tiga puluh juta." Kuterima selembar kertas yang berisi rincian hutang Mas Helmi. Benar, ini adalah tanda tangan kakakku itu. Kuelus dada, baru saja ia bertobat, kenapa masalah seperti ini datang l

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 62

    Mas Lian buru-buru keluar sambil menggendong Ataya. Aku sendiri ingin sekali menangis, mengingat banyak sekali kejadian-kejadian yang kualami beberapa bulan terakhir ini. "Kenapa, Dek?" "Mas, Bu Romlah belanja totalnya empat puluh dua ribu, tapi ia cuma ngasih dua puluh lima ribu. Ngomongnya ga bakal ngutang, taunya ngibulin." "Ya sudah lah, Dek, besok tinggal ditagih aja. Jangan teriak-teriak, kasian Ataya tadi sudah mau tidur, jadi melek lagi, kan," ucapnya. Aku memicingkan mata, tak menyukai dengan omongan Mas Lian barusan. Apa dia membela Bu Romlah? "Kamu ngebela dia, Mas? Kenapa? Mau sama anaknya?" "Lah, kok gitu?" "Tau, ah!" Aku pun masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuh di atas ranjang. Kuhela napas seraya beristighfar. Kenapa aku jadi aneh begini? Kenapa aku jadi susah untuk mengendalikan emosi?--Sore hari. Aku melihat Mas Helmi datang dengan Mbak Ambar, mungkin untuk menjemput Naura karena memang seharian ini di sini. Kuambil ponsel dan mengirimkan pesan pada Mbak

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 63

    "Tolong, Fir." "Tapi, Mas, pemasukan kami terbesar hanya dari kebun buah. Itu pun tidak setiap bulan panen," ucap Mas Lian. Aku sudah tidak mampu berkata-kata lagi. "Ini urusanku dengan Fira, Li. Kamu nggak ada hubungannya," ketus Mas Helmi, membuatku seketika menoleh ke arahnya. "Jaga omongan Mas Helmi, ya. Seandainya tak ada modal dari Mas Lian, mungkin kebun itu hanya berisi semak belukar. Tapi berkat kerja kerasnya, kebun itu jadi ladang pemasukan kami." "Maaf, Fir. Mas nggak bermaksud. Mbak Imah, tolong aku, Mbak." "Kamu tahu sendiri, keuanganku ada di Mas Suryo. Kamu bilang sendiri saja." "Mas?" "Maaf, Hel, tapi emang kami pun tak ada. Rental mobil lagi sepi, begitupun dengan usaha sampinganku." Mas Helmi menghembuskan napas. Wajahnya terlihat bingung sekali. Sebenarnya, aku juga bingung sekarang, tapi bagaimana lagi? Jika terus-menerus dibantu, maka tak akan ada kemajuan dalam hidupnya. "Fira pikir, kepindahan Mas ke sini, sudah beres urusan di sana. Ternyata, malah ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 64

    "Iya, Dek. Tapi bagaimana lagi? Mas Cahyo kakak tertuamu, masa kamu yang bungsu, yang harus menanggung ini semua?""Iya, sih." Lalu kuhubungi Mas Cahyo lewat ponsel. Benar saja, Mas Cahyo terdengar geram mendengar penuturanku."Kapan sih, Helmi berhenti nyusahin kita, Fir? Dari dulu, dari Bapak masih hidup, ada saja kelakuannya. Padahal kita bertiga juga perasaan biasa aja!" "Biasa lah, Mas. Dalam satu darah memang terkadang ada saja yang beda. Jadi gimana?" "Besok Mas akan ke sana." "Iya, tapi Fira mohon jangan sambil emosi." "Kita lihat besok saja!" Pukul sebelas malam, kedua mata ini masih belum bisa terpejam. Sudah kucoba, namun tak bisa. Kuputuskan untuk ke luar kamar, lalu melihat foto kami sekeluarga yang diambil sebelum Bapak meninggal. Tak terasa, air mataku menetes. Jika diingat-ingat, kehidupan kami sedari dulu, ada saja tak enaknya. Apalagi sejak Ibu pergi, Mas Helmi semakin tak bisa diatur, dari rumah sekolah, ternyata malah ngeluyur dan akhirnya Bapak harus menangg

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 65

    "Besok aku mau pulang ke jakarta, Mas!" "Besok, ikutlah dulu ke bogor," ucapku. "Untuk apa? Itu urusanmu. Dalam hal ini aku dirugikan. Uang yang aku tabunt justru kamu embat dan entah di mana sekarang. Ingat, Mas, sampai mati aku nggak ridho uang itu kamu gunakan untuk judi dan mabok-mabokan!" teriak Ambar, ia sepertinya sudah tak mempedulikan Naura yang sudah berdiri di depan pintu kamar kami. Aku hanya diam tak menanggapi, untuk apa? Sekarang tak ada hal yang lebih baik kulakukan selain diam, karena jika aku berucap pastinya akan salah di matanya. --Pagi. Kulihat Ambar sudah berkemas, Naura pun sudah mandi begitu aku bangun. Aku sendiri gelagapan, bagaimana jika ia beneran pulang pada keluarganya? Masalahnya, keluarga Ambar terkenal garang, mantan preman dan juga emosian. Jika mereka mengetahui tentang masalah kami, bukan tidak mungkin esok aku sudah mati. "Mbar, tolong pikirkan lagi, ya?" "Untuk apa? Aku sendiri sudah cukup muak hidup denganmu, Mas! Setahun belakangan ini,

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 66

    Aku menoleh, ternyata Mbok Wati yang memanggilku. Tetangga sebelah rumah yang selalu baik pada kami. "Mbok." "Ya Allah, kalian ke mana saja? Mbok khawatir karena waktu itu banyak polisi yang datang," ucapnya. "Saya pulang, Mbok.""Lalu, kamu dipenjara?" Aku menggeleng, sebisa mungkin harus kujaga image diri. Bagaimana omongan orang jika mereka tahu bahwa aku pernah dipenjara? Bukan tidak mungkin itu akan mempengaruhi Ambar dan Naura nanti. Mereka pun akan terkena imbasnya. "Syukurlah. Mbok tahu, kamu orang baik. Fira ada?" "Ada, Mbok. Tapi lagi nyusui bayinya. Tadi di jalan nangis terus," ucapku. "Fira sudah punya anak? Alhamdulillah." Aku tersenyum, Fira memang cukup lama tak memiliki anak, itu sebabnya banyak yang bahagia kala ia hamil. "Kemarin ini ada si Dodi ke sini. Mbok bilang kamu sudah lama nggak pulang," ucap Mbok Wati. "Apa dia mencoba masuk, Mbok?" tanyaku. "Nggak, Mbok suruh dia pulang. Kabarnya, dia sekarang jadi preman lagi, Hel. Mbok denger dari suaminya Lar

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 67

    "Hasna?" "Mas Helmi?" Aku bisa merasakan keterkejutan dari Hasna. Mungkin ia tak menyangka akan bertemu denganku hari ini dan di tempat ini. "Ini, istrimu, Dod?" tanyaku pada Dodi. "Iya, Hel. Gimana?" "Gi-gimana apanya?" "Kamu pasti terkejut, kan? Apalagi-""Cepat bikinkan surat perjanjiannya, kami sekeluarga harus pulang karena belum istirahat. Fira yang membuat surat itu dan di bawahnya disertai tandatanganku dan Dodi serta materai 10000. Setelah selesai, kami pun berpamitan. Ada rasa bersalah saat tangan ini menjabat tangan Hasna. "Aku butuh penjelasanmu di rumah nanti, Mas!" Susah payah kutelan saliva, kenapa aku lupa jika Ambar ikut? Ia pasti sedari tadi mengawasiku, terlebih saat Hasna keluar dari dalam rumah. Apa yang harus kujelaskan. "Mas, terakhir, ya! Besok, kita minta Pak Wasim untuk mengukur tanah itu. Setelahnya, jangan licik untuk batas tanah kita," ucap Fira. "Pikirmu, Mas ini masih Helmi yang dulu?" tanyaku setengah kesal. Aku tahu jika semua ini kesalaha

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 68

    Aku menggeleng, meskipun nggak munafik, ada rasa ingin menenggaknya. "Dih, kenapa? Tobat, lu?" "Hehehe, ya gitu." "Jadi ustaz lu sekarang?" "Nggak harus jadi ustadz kali," jawabku. "Hahaha." "Kok lu udah keluar sih?" tanyaku ke si Dono."Gue cuma jadi saksi doang." "Kok bisa?" "Ya gitu deh, udah ah males bahas itu. Gue nyesel banget jadinya."Kami pun mengobrol banyak hal, hingga akhirnya aku tergoda lagi pada minuman itu. Ah, pers*tan! Keluargaku saja masih terus menaruh curiga, untuk apa aku benar-benar berubah? "Bini lu masih sama, kan?" tanya Aris. "Ya sama, lah. Masa iya beda?" "Ya kali, dia nggak mau hidup sama lu gara-gara kebanyakan masalah." Bug! Kutinju wajahnya dengan sekuat tenaga. Padahal, aku tak pernah menghina mereka, tapi kenapa mereka seakan mudah untuk menghinaku. Adu tinju pun tak terelakkan, hingga akhirnya aku tersungkir ke tanah. Emang dasarnya teman tak tahu diri, bukannya melerai malah justru menyoraki kami bak sedang adu ayam. "Ya Allah, Helmi,

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16

Bab terbaru

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 84

    "Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 83

    "Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 82

    "Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 81

    "Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 80

    Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 79

    "Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 78

    "Nggak, Mas, aku cuma nanya doang kok." "Awas macem-macem." "Perasaan dulu yang ngejar kamu, Fir, kok sekarang yang bucin malah Mas Lian?" "Mau tau rahasianya?" "Iya, apa?" tanya Fitri sambil mencondongkan badannya demi mendengarkan jawabanku. Namun justru itu yang membuatku menahan tawa. "Pesonaku." "Njiiir!" Pletak! Aku malah dijitak oleh Fitri.--Esok hari. Aku mengantar Naura berangkat sekolah. Ia masih terlihat lemas, mungkin karena efek berjauhan dengan ibunya. "Apa kamu nggak curiga, kok Mbak Ambar tega ninggalin anaknya?" "Astaghfirullah, Fitri! Kalau mau gabung, panggil dulu, kek, jangan asal ngomong aja. Kaget!"Fitri hanya nyengir saja, namun aku kepikiran dengan kata-katanya. Benar, kenapa Mbak Ambar tega meninggalkan Naura? Apa benar, sekolah menjadi alasan utama, atau ada alasan yang lainnya? "Kenapa? Baru kepikiran?" Aku mengangguk, lalu membenarkan topi yang dikenakan oleh Aya. Cuaca sedang panas, jam setengah tujuh pagi saja matahari sudah menunjukkan si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 77

    Mbak Ambar menatap Mas Helmi, "Iya, sama Papa." Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari tatapan kakak iparku itu. Setelah berpamitan, mobil mulai melaju. Tangis Naura terus terdengar. Wajar, ia baru berusia sepuluh tahun dan juga begitu dimanja oleh Mbak Ambar, sehingga pasti sangat kehilangan. "Emangnya, jadwal Ambar lahiran, kapan, Hel?" tanya Mbak Imah. "Dua mingguan lagi, Mbak. Mungkin, dia masih takut apa-apanya sendiri, jadi mau lahiran di rumah Mama. Padahal dia sudah punya pengalaman. Tapi ya sudah lah, nggak papa, toh cuma dua mingguan ini. Nanti bisa ke sana pas Ambar mau melahirkan.""Lagian bukan kamu ikut ke sana, Hel," ucap Bu Romlah, entah kapan ia ada di sini. "Saya kan kerja, Bu. Kalau nggak kerja dan di sana cuma nganggur, ya ga enak. Meski mertua saya nggak kaya Bu Romlah, tetep aja ga enak, toh?" "Loh, memangnya saya kenapa?" tanya Bu Romlah. "Cerewet, bawel, tukang gosip!" jawab kami bersamaan lalu masuk ke dalam rumahku. --Pagi hari. Aku sedang sibuk

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 76

    "Makanya, kalau nggak mau jadi bahan gosip mereka, nggak usah betingkah." "Siapa yang betingkah sih, Yang? Orang Riska ke sini sendiri, kok. Aku nggak mungkin lah, nolak pelanggan." "Pelanggan tapi nggak bayar!" ucapku, lalu keluar kamar, hendak mengambil Athaya di rumah Mbak Ambar, karena kata Ibu, tadi di bawa oleh Kak Ratih saat aku dan Mas Lian di kamar menuju rumah Mbak Ambar. Ketika di teras, aku terkejut melihat Riska masih di sini, bahkan duduk di teras warungku. Kuambil napas banyak, lalu menghampirinya. "Ada apa lagi?" "Aku bukan orang miskin, jadi mau bayar ongkos isi angin tadi. Nih," ucapnya sambil memberikan uang pada Mas Lian, padahal jelas-jelas aku yang lebih dekat dengan tempatnya berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil merebut uang itu dan meminta Mas Cahyo untuk menutup bengkel Mas Lian. Bener-bener si Riska, gak ada malunya meski ada aku, istri sahnya Mas Lian. "Yang, kamu jangan cemburu gitu, dong! Aku sama Riska itu nggak ada apa-apa. Masa kamu marah-marah

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status