"Saya Dodi, dan ini Ridin, kami dulu teman setongkrongan Helmi. Jadi, Helminya ada?" Aku dan Mas Lian saling tatap, begitupun Ibu yang menatapku penuh arti. Aku sendiri belum pernah melihat mereka berdua. "Kami mau menagih hutang pada Helmi." Alisku bertaut. Hutang? Hutang mana lagi yang dimaksud? "Kalau boleh tahu, berapa jumlahnya?" "Sekitar seratus tiga puluh juta." Jantungku seakan berhenti berdetak kala mendengar nominalnya. Seratus tiga puluh juta, katanya?"Yang betul, Pak?" tanya Mas Lian. "Ini, kami punya bukti dan juga kesaksian dari teman-teman tongkrongan kami. Mulanya Helmi hanya meminjam lima puluh juta, alasannya untuk merenovasi rumah, lalu meminjam lagi dengan nominal yang sedikit demi sedikit, mulai dari sepuluh juta, delapan juta, hingga akhirnya berjumlah semuanya tiga puluh juta." Kuterima selembar kertas yang berisi rincian hutang Mas Helmi. Benar, ini adalah tanda tangan kakakku itu. Kuelus dada, baru saja ia bertobat, kenapa masalah seperti ini datang l
Mas Lian buru-buru keluar sambil menggendong Ataya. Aku sendiri ingin sekali menangis, mengingat banyak sekali kejadian-kejadian yang kualami beberapa bulan terakhir ini. "Kenapa, Dek?" "Mas, Bu Romlah belanja totalnya empat puluh dua ribu, tapi ia cuma ngasih dua puluh lima ribu. Ngomongnya ga bakal ngutang, taunya ngibulin." "Ya sudah lah, Dek, besok tinggal ditagih aja. Jangan teriak-teriak, kasian Ataya tadi sudah mau tidur, jadi melek lagi, kan," ucapnya. Aku memicingkan mata, tak menyukai dengan omongan Mas Lian barusan. Apa dia membela Bu Romlah? "Kamu ngebela dia, Mas? Kenapa? Mau sama anaknya?" "Lah, kok gitu?" "Tau, ah!" Aku pun masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuh di atas ranjang. Kuhela napas seraya beristighfar. Kenapa aku jadi aneh begini? Kenapa aku jadi susah untuk mengendalikan emosi?--Sore hari. Aku melihat Mas Helmi datang dengan Mbak Ambar, mungkin untuk menjemput Naura karena memang seharian ini di sini. Kuambil ponsel dan mengirimkan pesan pada Mbak
"Tolong, Fir." "Tapi, Mas, pemasukan kami terbesar hanya dari kebun buah. Itu pun tidak setiap bulan panen," ucap Mas Lian. Aku sudah tidak mampu berkata-kata lagi. "Ini urusanku dengan Fira, Li. Kamu nggak ada hubungannya," ketus Mas Helmi, membuatku seketika menoleh ke arahnya. "Jaga omongan Mas Helmi, ya. Seandainya tak ada modal dari Mas Lian, mungkin kebun itu hanya berisi semak belukar. Tapi berkat kerja kerasnya, kebun itu jadi ladang pemasukan kami." "Maaf, Fir. Mas nggak bermaksud. Mbak Imah, tolong aku, Mbak." "Kamu tahu sendiri, keuanganku ada di Mas Suryo. Kamu bilang sendiri saja." "Mas?" "Maaf, Hel, tapi emang kami pun tak ada. Rental mobil lagi sepi, begitupun dengan usaha sampinganku." Mas Helmi menghembuskan napas. Wajahnya terlihat bingung sekali. Sebenarnya, aku juga bingung sekarang, tapi bagaimana lagi? Jika terus-menerus dibantu, maka tak akan ada kemajuan dalam hidupnya. "Fira pikir, kepindahan Mas ke sini, sudah beres urusan di sana. Ternyata, malah ma
"Iya, Dek. Tapi bagaimana lagi? Mas Cahyo kakak tertuamu, masa kamu yang bungsu, yang harus menanggung ini semua?""Iya, sih." Lalu kuhubungi Mas Cahyo lewat ponsel. Benar saja, Mas Cahyo terdengar geram mendengar penuturanku."Kapan sih, Helmi berhenti nyusahin kita, Fir? Dari dulu, dari Bapak masih hidup, ada saja kelakuannya. Padahal kita bertiga juga perasaan biasa aja!" "Biasa lah, Mas. Dalam satu darah memang terkadang ada saja yang beda. Jadi gimana?" "Besok Mas akan ke sana." "Iya, tapi Fira mohon jangan sambil emosi." "Kita lihat besok saja!" Pukul sebelas malam, kedua mata ini masih belum bisa terpejam. Sudah kucoba, namun tak bisa. Kuputuskan untuk ke luar kamar, lalu melihat foto kami sekeluarga yang diambil sebelum Bapak meninggal. Tak terasa, air mataku menetes. Jika diingat-ingat, kehidupan kami sedari dulu, ada saja tak enaknya. Apalagi sejak Ibu pergi, Mas Helmi semakin tak bisa diatur, dari rumah sekolah, ternyata malah ngeluyur dan akhirnya Bapak harus menangg
"Besok aku mau pulang ke jakarta, Mas!" "Besok, ikutlah dulu ke bogor," ucapku. "Untuk apa? Itu urusanmu. Dalam hal ini aku dirugikan. Uang yang aku tabunt justru kamu embat dan entah di mana sekarang. Ingat, Mas, sampai mati aku nggak ridho uang itu kamu gunakan untuk judi dan mabok-mabokan!" teriak Ambar, ia sepertinya sudah tak mempedulikan Naura yang sudah berdiri di depan pintu kamar kami. Aku hanya diam tak menanggapi, untuk apa? Sekarang tak ada hal yang lebih baik kulakukan selain diam, karena jika aku berucap pastinya akan salah di matanya. --Pagi. Kulihat Ambar sudah berkemas, Naura pun sudah mandi begitu aku bangun. Aku sendiri gelagapan, bagaimana jika ia beneran pulang pada keluarganya? Masalahnya, keluarga Ambar terkenal garang, mantan preman dan juga emosian. Jika mereka mengetahui tentang masalah kami, bukan tidak mungkin esok aku sudah mati. "Mbar, tolong pikirkan lagi, ya?" "Untuk apa? Aku sendiri sudah cukup muak hidup denganmu, Mas! Setahun belakangan ini,
Aku menoleh, ternyata Mbok Wati yang memanggilku. Tetangga sebelah rumah yang selalu baik pada kami. "Mbok." "Ya Allah, kalian ke mana saja? Mbok khawatir karena waktu itu banyak polisi yang datang," ucapnya. "Saya pulang, Mbok.""Lalu, kamu dipenjara?" Aku menggeleng, sebisa mungkin harus kujaga image diri. Bagaimana omongan orang jika mereka tahu bahwa aku pernah dipenjara? Bukan tidak mungkin itu akan mempengaruhi Ambar dan Naura nanti. Mereka pun akan terkena imbasnya. "Syukurlah. Mbok tahu, kamu orang baik. Fira ada?" "Ada, Mbok. Tapi lagi nyusui bayinya. Tadi di jalan nangis terus," ucapku. "Fira sudah punya anak? Alhamdulillah." Aku tersenyum, Fira memang cukup lama tak memiliki anak, itu sebabnya banyak yang bahagia kala ia hamil. "Kemarin ini ada si Dodi ke sini. Mbok bilang kamu sudah lama nggak pulang," ucap Mbok Wati. "Apa dia mencoba masuk, Mbok?" tanyaku. "Nggak, Mbok suruh dia pulang. Kabarnya, dia sekarang jadi preman lagi, Hel. Mbok denger dari suaminya Lar
"Hasna?" "Mas Helmi?" Aku bisa merasakan keterkejutan dari Hasna. Mungkin ia tak menyangka akan bertemu denganku hari ini dan di tempat ini. "Ini, istrimu, Dod?" tanyaku pada Dodi. "Iya, Hel. Gimana?" "Gi-gimana apanya?" "Kamu pasti terkejut, kan? Apalagi-""Cepat bikinkan surat perjanjiannya, kami sekeluarga harus pulang karena belum istirahat. Fira yang membuat surat itu dan di bawahnya disertai tandatanganku dan Dodi serta materai 10000. Setelah selesai, kami pun berpamitan. Ada rasa bersalah saat tangan ini menjabat tangan Hasna. "Aku butuh penjelasanmu di rumah nanti, Mas!" Susah payah kutelan saliva, kenapa aku lupa jika Ambar ikut? Ia pasti sedari tadi mengawasiku, terlebih saat Hasna keluar dari dalam rumah. Apa yang harus kujelaskan. "Mas, terakhir, ya! Besok, kita minta Pak Wasim untuk mengukur tanah itu. Setelahnya, jangan licik untuk batas tanah kita," ucap Fira. "Pikirmu, Mas ini masih Helmi yang dulu?" tanyaku setengah kesal. Aku tahu jika semua ini kesalaha
Aku menggeleng, meskipun nggak munafik, ada rasa ingin menenggaknya. "Dih, kenapa? Tobat, lu?" "Hehehe, ya gitu." "Jadi ustaz lu sekarang?" "Nggak harus jadi ustadz kali," jawabku. "Hahaha." "Kok lu udah keluar sih?" tanyaku ke si Dono."Gue cuma jadi saksi doang." "Kok bisa?" "Ya gitu deh, udah ah males bahas itu. Gue nyesel banget jadinya."Kami pun mengobrol banyak hal, hingga akhirnya aku tergoda lagi pada minuman itu. Ah, pers*tan! Keluargaku saja masih terus menaruh curiga, untuk apa aku benar-benar berubah? "Bini lu masih sama, kan?" tanya Aris. "Ya sama, lah. Masa iya beda?" "Ya kali, dia nggak mau hidup sama lu gara-gara kebanyakan masalah." Bug! Kutinju wajahnya dengan sekuat tenaga. Padahal, aku tak pernah menghina mereka, tapi kenapa mereka seakan mudah untuk menghinaku. Adu tinju pun tak terelakkan, hingga akhirnya aku tersungkir ke tanah. Emang dasarnya teman tak tahu diri, bukannya melerai malah justru menyoraki kami bak sedang adu ayam. "Ya Allah, Helmi,