"Sabar, Mas. Ingat, jangan saling menyalahkan. Toh belum tentu juga jika Mas Cahyo mengantar, lalu masih hidup. Ini tentang takdir, Mas. Perkara hidup dan mati itu urusan Allah."Aku mengangguk, membenarkan apa yang Mas Lian ucapkan tadi. "Sudah, aku mau urus administrasi dulu. Kamu hubungi Mbak Ratih. Suruh persiapkan rumah untuk menyambut jenazah Bapak." Aku mengangguk. Rasa sesak melanda. Apalagi Ibu, ia kini tengah terisak di pelukan Mas Helmi. Hatiku teriris melihatnya. Bahkan keluarga kami baru saj mereguk manisnya bersama. Namun kenapa secepat ini Allah ambil Bapak dari sisi kami? "Halo, Mbak," ucapku begitu panggilan tersambung. "Iya, Dek. Gimana Bapak?' "M-mbak," ucapanku terpotong karena aku terisak. Ya Allah, sesak sekali rasanya. "Loh, kenapa menangis? Bapak baik-baik saja, kan?""Mbak, tolong rapihin rumah, ya. Sekalian minjem kursi di Pak RT. Sebentar lagi Bapak pulang," ucapku. "Loh, kenapa pakai kursi segala?""Bapak, Mbak. Beliau sudah meninggal." Terdengar me
Setelah empat puluh hari meninggalnya Bapak, rumah seakan masih diliputi kesedihan. Terutama Ibu dan juga Mas Helmi. Kakak laki-lakiku itu, terlihat sangat tertekan. "Mas berasa sangat bersalah karena telah menyusahkan Bapak di sepanjang hidupnya, Fir. Apakah Bapak sudah mengampuni semua kesalahanku?" tanyanya pagi ini, saat aku tengah duduk di depan warung bersama Ataya. "Insya Allah, Mas. Nggak ada yang nggak mungkin. Jangan lupa untuk mengirim do'a selalu untuk Bapak, ya, Mas. Kita semua sayang sama Bapak. Semoga almarhum di terima amal baiknya di sisi Allah," ucapku. "Aamiin." Mas Helmi masuk ke dalam rumah, sementara aku menjemur Ataya karena matahari sudah menampakkan sinarnya. Kulihat Mas Lian tengah membuka bengkel. Setelah pertengkaran kami waktu itu, aku selalu membawa Ataya ke mana pun aku pergi, meskipun hanya di warung.Kemarin, Mas Lian juga membelikan anak kami stroller, agar memudahkanku menaruh Ataya. Aku bersyukur, karena ia mengertiku. "Assalamu'alaikum," ucap
"Besok kita ke rumah Mas Cahyo, Bu?" tawar Mas Lian saat kami tengah makan malam. Kali ini Mbak Ambar memasakkan sop ayam khas klaten, segar. "Boleh. Apa tidak merepotkan?""Nggak, Bu. Ibu pasti kangen sama cucu-cucu Ibu, kan?" Ibu mengangguk."Makasih ya, Lian, Fira. Kalian selalu baik sama Ibu, maaf kalau selalu merepotkan kalian." "Untuk apa Ibu minta maaf? Ibu kan ibu kandung kami, nggak ada kata merepotkan. Justru kami bangga, karena bisa merawat Ibu di usia senja," ucapan Mas Lian membuatku terharu. Ibu tersenyum, lalu kami melanjutkan makan. "Ibu ke kamar dulu ya, Fir." "Iya, Bu." Aku membereskan meja makan, sementara Mas Lian duduk di depan televisi bersama Ataya. Bayi berusia tiga bulan itu tiba-tiba bangun. "Ke kamar yuk, Mas," ucapku. Mas Lian mengangguk, lalu mematikan televisi. Kuambil Ataya agar memudahkan Mas Lian untuk mengunci seluruh pintu. "Anak cantik, bobo lagi, yuk?" ucapku pada Ataya yang hanya mampu tersenyum itu. Kubaringkan tubuhnya di atas kasur,
"Loh, Riska?"Aku menoleh pada Mas Lian, dan sedikit terkejut karena wanita itu langsung mengajak pelukan dengan suamiku itu. Mas Lian buru-buru melepas pelukannya, sementara wanita itu terlihat sedikit cemberut. "Lian, apa kabar? Ngapain di sini? Ya ampun, sudah lama banget nggak ketemu." Aku masih terus memandangi Mas Lian dan perempuan yang ternyata bernama Riska itu. Bahkan jika perlu, akan kutendang wanita itu karena telah berani-beraninya memeluk suamiku. "Perkenalkan, Ris, ini Fira, istriku," ucap Mas Lian sambil merangkulku yang tengah menggendong Ataya. "Oh, kamu sudah menikah? Aku baru minggu kemarin pulang, jadi nggak tahu kalau kamu sudah menikah. Yah, sayang banget, ya. Aku telat. Padahal-""Kami masuk dulu," potong Mas Lian. Sementara aku masih sedikit terkejut dan tak percaya jika wanita itu berbicara seperti itu. Kenapa? Apa dia dan Mas Lian pernah memiliki masa lalu bersama? Apa sangatlah indah masa lalu di antara mereka sehingga dia menyayangkan Mas Lian yang te
"Aduh-aduh, anak kesayangan dipeluk-peluk," ucap Mas Helmi sambil mengangkat kardus, sementara Mbak Ambar ada di belakang mereka bersama Naura. "Kalian dah lama?" tanya Mbak Ambar sambil duduk di hadapanku. "Baru aja, tapi udah dihadapkan ular betina.""Ada ular, Tante?" tanya Naura dengan polosnya. "Eh? Nggak, tadi ada ular di jalan. Untung lagi di mobil." "Wah, alhamdulillah ya, Tante," ucapnya menggemaskan. "Iya, Naura sama Ayah dulu, ya?" Naura pun menuruti dan bergabung dengan ayahnya yang tengah merapikan halaman belakang. "Emang ada apa?" tanya Mbak Ambar. "Tadi, ada teman masa kecilnya Mas Lian. Namanya Riska, dateng-dateng langsung meluk. Untung saja Ibu sudah masuk ke dalam," ucapku sambil berbisik di telinga Mbak Ambar. "Apaaa?!!! Gila!" Ssmya orang terkejut mendengar teriakannya, lalu kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing. Kak Ratih datang sambil membawakan sepiring buah untuk kami. "Apanya yang gila, sih?" tanya Kak Ratih. "Tadi ada orang gila yang meluk
"Mau ngapain, Mbak?" tanyaku."Mau ikutan acaranya, lah. Sebagai tetangga yang baik, aku bawain ayam, nih. Nggak tanggung-tanggung, aku bawain tiga ekor. Baik, kan?" ucapnya sambil meletakkan baskom berisi ayam.Ia berjalan mendekati Mas Lian dan duduk di sampingnya. Mas Lian, dia tak menghindar, juga tak menanggapi."Bu, saya ini dulu teman akrabnya Lian dari kecil sampai SMA. Bahkan banyak yang mengira kami bakal menikah dulu, saking ke mana-mana selalu berdua," ucapnya sambil menjawil tangan Ibu."Oh, iya, Neng.""Ya gimana orang nggak salah paham ya, Bu? Keluarga kami ini sangat dekat, bahkan kami sering nginep, loh. Saya nginep di rumah Lian, Lian nginep di rumah saya."Dadaku bergemuruh mendengarnya. Bukan karena terlalu cemburu, tapi untuk apa dia menceritakan pada Ibu? Aku tadi menahan agar tak ketahuan tentang ini oleh beliau setengah mati, kini ia malah seenak jidatnya bercerita?"Lalu, hubungannya apa sama Ibu saya?" tanyaku sambil mendorongnya hingga dia terjatuh."Eh, Mba
"Mbak Imah jadi nyusul, Dek?" tanya Mas Lian."Bentar, aku kirim pesan."Kubuka ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Imah.[Jadi nyusul, Mbak?][Jadi, ini lagi di jalan.]"Jadi katanya, Mas.""Mama juga mau datang," ucapnya sambil menunjukkan pesan yang dikirimkan oleh Mama mertua.Aku tersenyum, setelah kejadian waktu itu memang kami belum pernah bertemu lagi. Aku ingin meminta maaf, juga ingin mengucapkan terima kasih karena sudah memberikan wejangan dan juga pengertian pada Mas Lian. Andai saat itu Mama adalah tipikal mertua tukang ngerusuh, mungkin aku dan Mas Lian sudah tak bersama sekarang. Na'udzubillah.Kami pun pulang, lalu melewati hari ini dengan canda tawa penuh dengan kebahagiaan. Sudah lama kami tak kumpul begini. Meskipun rumah berdekatan, tapi tetap saja ada kesibukan masing-masing yang kadang hanya sekedar datang lalu langsung pulang.--Esok hari.Aku sudah mulai membuka warung seperti biasa. Ataya kutaruh di stroller agar memudahkanku menjaga warung sambil memperhati
"Saya Dodi, dan ini Ridin, kami dulu teman setongkrongan Helmi. Jadi, Helminya ada?" Aku dan Mas Lian saling tatap, begitupun Ibu yang menatapku penuh arti. Aku sendiri belum pernah melihat mereka berdua. "Kami mau menagih hutang pada Helmi." Alisku bertaut. Hutang? Hutang mana lagi yang dimaksud? "Kalau boleh tahu, berapa jumlahnya?" "Sekitar seratus tiga puluh juta." Jantungku seakan berhenti berdetak kala mendengar nominalnya. Seratus tiga puluh juta, katanya?"Yang betul, Pak?" tanya Mas Lian. "Ini, kami punya bukti dan juga kesaksian dari teman-teman tongkrongan kami. Mulanya Helmi hanya meminjam lima puluh juta, alasannya untuk merenovasi rumah, lalu meminjam lagi dengan nominal yang sedikit demi sedikit, mulai dari sepuluh juta, delapan juta, hingga akhirnya berjumlah semuanya tiga puluh juta." Kuterima selembar kertas yang berisi rincian hutang Mas Helmi. Benar, ini adalah tanda tangan kakakku itu. Kuelus dada, baru saja ia bertobat, kenapa masalah seperti ini datang l