Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Aku tersentak kaget, terbangun dari tidurku saat merasakan sebuah sentuhan terasa di bagian dadaku. Reflek aku menepisnya sekuat tenaga. "Layani aku dengan tenang jika tidak mau pisau ini meng0r0k lehermu," suara berat itu terdengar mengintimidasi diriku. Dalam remang cahaya lampu kamarku, aku melihat sosok yang sedang menindih tubuhku adalah bapak sambungku. Pria yang berapa bulan lalu menikah dengan ibuku. "Ibumu sedang tidak ada di rumah kan, jadi percuma kamu berteriak. Selain itu kamu juga akan kehilangan nyawamu jika berteriak," bisiknya lagi. Aku merasakan benda dingin menempel di leherku, membuat tubuhku semakin ketakutan. Harusnya tadi aku ikut ibu pergi ke rumah simbah yang sedang sakit, daripada aku harus tinggal sendirian di rumah ini dengan lelaki yang tidak ada hubungan darah denganku. Tangan kasar itu mulai menjamah tubuhku kembali, aku hanya bisa diam ketakutan dibawah tekanannya. Bagaimanapun juga aku yang masih belia ini takut jika harus menghadapi kematian den
Nay, aku hari ini gak pulang ya. Harus menemani Alex hingga besok. Hari ini kontrakku dengannya berakhir," ucapku pada Nayla teman kosanku sekaligus orang yang tahu segalanya tentang diriku.Karena dari dirinya lah semua pekerjaan dan aktivitas yang aku lakukan saat ini berasal. Kami bekerja di tempat yang sama, pekerjaan yang dijadikan sampingan dari pekerjaan kami sesungguhnya. Agar kami terlihat bekerja normal seperti orang pada umumnya. "Wow, akhirnya berakhir juga kontrakmu dengan bule tampan itu. Setelah itu kamu bebas mau ngapain saja, tapi kalau aku lebih memilih hidup nyaman bersamanya. Terjamin materi dan segalanya," ujar Nayla sambil berbisik dan tertawaSaat ini kami sedang makan siang di kantin kampus. Aku dan Nayla sama-sama kuliah di kampus yang sama meskipun beda angkatan dan jurusan. Nayla lebih dulu masuk ke kampus ini, dan aku satu tahun setelahnya. Dia semester empat sedangkan aku baru semester dua. Kami sama-sama mengambil kuliah di hari Sabtu dan Minggu saat ka
"Masuklah," titahnya. Aku yang sejak tadi hanya bengong didepan pintu langsung masuk kedalam kamar mengikuti perintahnya. "Kamu masih saja terkesima saat melihatku, apa aku begitu menawan," ucapnya sambil memelukku dari belakang begitu aku sudah berada di dalam kamar tersebut. "Tentu saja tuan Alex, siapa yang tidak akan terkesima saat melihatmu. Kamu terlihat sempurna di mata wanita Indonesia." Pria yang sedang memeluk erat tubuhku itu hanya tertawa menanggapi ucapanku. Bibirnya memberikan kecupan ringan di pundakku."Aku bilang tidak suka di panggil tuan, itu tampak seperti aku sudah tua," protesnya. Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Dia seperti tidak sadar diri jika memang usianya jauh lebih tua dariku meskipun wajahnya tetap tampan dan rupawan. Tentu saja, usia tiga puluh tujuh tahun memang bukan usia orang tua. "Mandilah, dan berganti pakaian. Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu di dalam lemari," titahnya sambil mengurai pelukannya. "Apa tubuhku bau keringat?" tan
"Aku masih kuliah di sini, baru satu tahun. Untuk apa aku ikut denganmu, aku tidak memiliki keahlian apapun. Mana bisa aku bekerja di luar negeri." Aku berkata sambil menatap matanya yang biru. "Kamu tidak perlu bekerja, bekerja saja padamu. Apa kamu masih tidak yakin jika aku adalah orang yang bisa mengaji dirimu?" "Oh, kamu mau aku tetap menjadi wanita simpananmu?" Ya tentu saja dia hanya ingin tubuhku saja, orang sepertinya bisa memilih wanita yang seperti apapun untuk melayaninya maupun di jadikan pendamping hidupnya. Apa yang aku impikan, ingin menjadi wanita yang istimewa untuknya. "Aku akan menjadikan dirimu ratu di rumahku," desisnya dengan menempelkan ujung hidungnya yang panjang bak perosotan pada hidungku. Kugigit bibir bawahku, untuk menetralisir detak jantung yang tiba-tiba berdegup kencang. Dia benar-benar berbeda hari ini. Pria bermata biru itu memiringkan wajahnya dan menempelkan bibirnya pada milikku. "Jangan mengigitnya, atau kamu akan terluka." Bisa-bisanya d
Sebuah tangan membekap mulutku, dan menarik tubuh mungilku ke arah rimbunnya semak belukar yang ada di kebun belakang rumah Simbah. Suasana tengah hari yang sepi karena sebagain besar orang kampung kembali beraktivitas di kebun atau sawah serta simbahku yang tidur siang didalam rumah membuat tidak ada yang melihatku diperlakukan seperti itu. "Kamu tidak bisa lari dariku anak manis, jika hanya pergi ke rumah ini aku masih bisa mendatangi dirimu," ucapnya sambil menyeringai. Lelaki yang menikahi ibuku itu, dengan beringas menggagahi diriku di antara rimbunnya semak-semak. Ternyata meskipun kabur dan tinggal bersama simbahku, dia tidak menyerah untuk bisa menikmati tubuhku. Apa mungkin tujuannya menikah dengan ibuku hanya untuk melakukan ini padaku. Aku hanya bisa menahan sakit dan meneteskan air mata menerima perbuatannya. Dering telepon mengagetkan diriku, menariku dari lamunan. Setelah mengakhiri kontrak dengan Alex, kenangan-kenangan masa laluku yang kelam dulu sering kali datan
"Kamu pikir aku takut denganmu? Sini maju jika kamu mau aku hajar," ucapku sambil memasang kuda-kuda. Aku memang sedikit belajar bela diri saat mulai mengenal dunia kelam itu. Aku pikir jika orang asing itu berbuat macam-macam atau memperlakukan diriku dengan buruk maka aku akan bisa membela diri. Ditambah lagi pengalamanku di lecehkan berulang-ulang membuatku ingin bisa menjaga diriku sendiri. Pria di depanku itu tertawa melihat apa yang aku lakukan, "Kamu pikir bisa melawanku?" tanyanya meremehkan. Meskipun aku juga tidak yakin, tapi disini bukan tentang tenaga siapa yang lebih besar, tapi tentang teknik. "Jangan meremehkan diriku yang sekarang, aku bukan Mentari yang dulu. Yang takut denganmu dan bisa kamu perlakuan dengan sesuka hatimu. Dan satu lagi, di kota sana aku juga kuliah, kamu pasti sudah dengar kan dari ibuku. Kamu tahu apa jurusan yang aku ambil? aku kuliah jurusan hukum biar bisa memasukkan orang-orang tidak beradab seperti dirimu kedalam penjara," ujarku mengancam
"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga
Segera kudorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dia kunci. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mematikan shower yang terus mengguyur tubuhnya. Aku perhatikan sejak tadi dia menggosok bagian tubuhnya yang sama dibawah guyuran air. Tidak ada jawaban darinya, tangannya tetap saja menggosok lehernya dengan kasar hingga kulitnya semakin terlihat memerah. "Kalau mandi kenapa bajunya tidak dibuka?" Lagi, aku bertanya sambil menahan tangannya agar tidak melakukan hal yang sama. "Lepaskan aku, mas! Aku sedang berusaha menghilangkan tanda ini dari tubuhku. Aku membencinya," sahutnya dengan berlinang air mata. Hatiku ikut nyeri melihat bulir bening itu meluncur melewati pipinya tanpa henti. "Mas yang akan membantumu menghilangkannya. Ganti bajumu dengan ini. Kamu sudah terlalu lama dikamar mandi," ucapku sambil meraih jubah mandi yang tergantung tidak jauh dari tempat kami berada. "Ini tidak akan hilang bahkan sampai satu minggu. Bagaimana kamu bisa menghilangkannya, aku benci
POV BagaskaraSiang itu setelah makan siang, aku dan Mentari langsung pergi ke cafe milikku yang di kelola oleh Galang, temanku. Sesampainya disana, Istriku itu pergi lagi ke hotel dengan alasan sakit perut dan mual. Padahal aku hendak mengenalkannya pada Galang. "Nyari siapa sih? kenapa panik begitu?" tanya Galang saat aku keluar lagi dari ruang kerjanya sambil menelpon Mentari dan mencarinya di luar cafe."Kamu lihat tadi wanita yang datang bersamaku? Dia balik lagi ke hotel karena sakit, aku ingin mengantarkannya terlebih dahulu tapi ternyata dia sudah naik taksi," tuturku panjang lebar. "Sudahlah, dia sudah naik taksi. Lagian kan bukan anak kecil, pasti sampai dengan selamat. Banyak yang harus kamu periksa di dalam sana, udah lama banget kamu gak datang kesini," sela Galang.Aku membenarkan perkataan temanku itu, lagi pula Mentari bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Setelah kembali lagi kedalam ruang kerja Galang, temanku itu langsung memberikan setumpuk file yang katany
Pak Galang semakin dekat denganku. Dan seperti kebanyakan lelaki jika menginginkan wanita dengan paksa, dia akan menarik tangannya dan memeluknya. Saat hal itu dilakukan pria itu padaku, dengan refleks yang aku pelajari, kubanting saja tubuhnya yang lebih besar dari badanku. Sepertinya hal yang aku pelajari selama ini memang sangat berguna untuk membela diri, tidak sia-sia aku meluangkan waktu dan uang untuk mempelajarinya. Lelaki dengan kemeja berwarna merah maroon itu terlihat terkejut dengan posisi masih telentang. "Wow, aku tidak menduga kamu bisa melakukannya. Tapi sepertinya ini akan jauh lebih menyenangkan, daripada wanita yang hanya menangis dan pasrah, aku lebih suka wanita yang melawan. Apa kamu juga sekuat itu di ranjang," ucapnya sambil berdiri. "Tadi aku memang tidak siap dengan apa yang akan kamu lakukan karena kupikir kamu seperti wanita pada umumnya. Sepertinya kamu tidak tahu jika menjadi asisten dan supir pribadi tuan Alex itu harus memiliki skill bela diri juga