Sebuah tangan membekap mulutku, dan menarik tubuh mungilku ke arah rimbunnya semak belukar yang ada di kebun belakang rumah Simbah.
Suasana tengah hari yang sepi karena sebagain besar orang kampung kembali beraktivitas di kebun atau sawah serta simbahku yang tidur siang didalam rumah membuat tidak ada yang melihatku diperlakukan seperti itu."Kamu tidak bisa lari dariku anak manis, jika hanya pergi ke rumah ini aku masih bisa mendatangi dirimu," ucapnya sambil menyeringai.Lelaki yang menikahi ibuku itu, dengan beringas menggagahi diriku di antara rimbunnya semak-semak. Ternyata meskipun kabur dan tinggal bersama simbahku, dia tidak menyerah untuk bisa menikmati tubuhku. Apa mungkin tujuannya menikah dengan ibuku hanya untuk melakukan ini padaku.Aku hanya bisa menahan sakit dan meneteskan air mata menerima perbuatannya.Dering telepon mengagetkan diriku, menariku dari lamunan. Setelah mengakhiri kontrak dengan Alex, kenangan-kenangan masa laluku yang kelam dulu sering kali datang jika aku sedang sendirian.Kuraih smartphone milikku yang tergeletak diatas meja tidak jauh dari tempat tidurku. Benda pipih itu terus berdering sejak tadi. Siapa yang menelepon pagi-pagi begini.Sebuah panggilan dari nomer telpon yang tidak bernama masuk kedalam ponselku. Ponsel ini juga pemberian Alex di minggu pertama aku menjalin hubungan dengannya. Dia tidak suka melihat ponsel butut milikku, yang kala itu sangat susah dihubungi karena sinyalnya suka hilang-hilang.Tentu saja, handphoneku kala itu hanyalah android keluaran tahun jebot yang aku beli dengan harga murah. Sekedar untuk bisa berkomunikasi dengan Nayla, itupun sudah retak sana sini.Sampai sekarang setelah berpisah dengannya aku masih menggunakan smartphone pemberian Alex, karena masih bagus dan aku merasa tidak perlu juga menggantinya."Ini dengan Riri ya," sebuah suara yang begitu aku kenal menyapa indera pendengaranku."Iya bulek, benar. Apa kabar?" sahutku balik bertanya.Beliau adalah adiknya ibu, mereka berdua hanya dua bersaudara. Selain ibu, tidak ada yang tahu pasti kenapa aku pergi jauh ke ibukota ini. Yang mereka tahu, aku kesini untuk mengadu nasib. Tentu saja, hal yang terjadi padaku adalah aib yang harus di tutup rapat-rapat."Bulek baik, tapi ibumu sakit Nduk. Sejak kepergianmu, ibumu di ceraikan oleh bapak tirimu. Sepertinya ibumu merasa kesepian Nduk, kenapa sih kamu kok tidak pulang-pulang. Sudah dua tahun kamu pergi dan tidak pernah pulang, padahal cuma di Jakarta kok seperti kerja di luar negeri saja toh Nduk," ucap bulek panjang lebar.Aku memang tidak pernah pulang sama sekali, hanya uangku yang aku kirimkan ke ibu. Bagaimana aku harus pulang dan bertemu dengan lelaki durjana yang sudah mengambil kehormatanku itu. Bahkan aku tidak tahu jika ternyata lelaki itu sudah meninggalkan ibuku."Ibu sakit apa bulek?" tanyaku dengan nada cemas."Pulanglah dulu Nduk, ibu kamu ini sakit parah. Bisa sembuh jika di operasi, kita tidak akan punya uang sebanyak itu. Setidaknya jika tidak bisa disembuhkan, kamu ada disisinya saat-saat ibumu menghabiskan sisa waktunya."Tanganku bergetar mendengar perkataan bulek, apa ibu separah itu. Apa beliau sekarat saat ini. Operasi yang membutuhkan banyak uang? Aku memiliki uang banyak saat ini. Lebih baik aku kehilangan uang itu daripada kehilangan ibuku. Aku harus pulang dan mengobatinya. Urusan kuliah, akan aku cari lagi nanti uang untuk membayarnya. Jika aku memiliki ibu, maka semua akan baik-baik saja."Baik bulek, Riri akan segera pulang. Tolong jaga ibu untukku ya."Bulek adalah satu-satunya orang yang bisa dipercayai untuk menjaga ibu. Mereka berdua adalah dua bersaudara yang saling menyayangi.****Aku mengatakan pada Nayla jika diriku akan pulang kampung terlebih dahulu. Mungkin agak lama, namun aku berharap cukup satu minggu saja. Bagaimanapun caranya ibu harus di operasi, meskipun aku belum tahu apa penyakit yang dideritanya.Aku mengajukan cuti di mall tempatku bekerja, aku tidak ingin kehilangan pekerjaan itu. Begitu semua urusan selesai, aku segera memesan tiket bus untuk pulang ke kampung. Tempat yang tidak pernah aku kunjungi selama dua tahun terakhir ini.Udara pagi yang segar menyapaku begitu aku menjejakkan kaki di kampungku kembali. Aku memilih untuk berjalan kaki menuju rumahku meskipun cukup jauh dari tempat aku turun bus, di pinggir jalan besar tadi.Sebenarnya ada ojek yang mangkal di tempat itu namun aku memilih untuk berjalan kaki menikmati suasana pagi yang sejuk di desaku. Lagipula aku tidak membawa barang bawaan yang banyak hingga membuatku kesusahan untuk berjalan.Yang aku bawa hanyalah sebuah tas ransel berisi baju ganti dan oleh-oleh yang yang aku masukkan kedalam sebuah kardus. Aku tidak ingin terlihat mencolok setelah dua tahun tidak pernah pulang ke kampung halaman. Aku hanyalah lulusan Sekolah Menengah Atas tidak mungkin memiliki pekerjaan yang langsung bisa merubah kehidupanku begitu saja."Pulang juga kamu akhirnya," sebuah sapaan mengagetkanku, suara itu sangat aku kenal dan kubenci.Seketika aku berhenti dan menoleh ke arah datangnya suara, melihat wajahnya membuat mengingatkanku di mana masa-masa aku dilecehkan olehnya."Setelah pulang dari kota kamu tampak makin mulus dan berkilau," ucapnya terdengar menjijikkan di telingaku."Akhirnya kamu pulang juga saat tahu ibumu sekarat. Kupikir kamu tidak akan peduli pada wanita yang sudah melahirkanmu itu," ucapnya lagi."Aku juga berpikir tidak akan bertemu lagi dengan pria br*ngsek seperti dirimu. Aku sangat senang kamu berpisah dengan ibuku," sahutku tanpa rasa takut."Kamu masih terlalu muda untuk berbuat seberani ini. Meskipun kamu tinggal di kota bukan berarti kamu jadi lebih kuat dan bisa melawanku bukan. Sepertinya aku bisa memakai dirimu terlebih dahulu seperti dulu sebelum kamu sampai dirumah. Toh suasana masih sangat sepi, belum ada orang yang lewat disekitar sini," ujarnya dengan tatapan mesum dan buas itu.Tatapan yang dulu selama beberapa waktu mengintimidasi diriku. Membuatku merelakan tubuhku untuk dijamah olehnya setiap dia menginginkan dan ada kesempatan. Hingga suatu hari tanpa sengaja ibu melihatku menangis di kamarku setelah pria bej*t untuk mengg*uli diriku .Saat itu aku hampir lulus sekolah, ibu mencecarku dengan pertanyaan namun tidak aku jawab. Aku masih takut ancamannya, jika aku mengatakan pada ibu maka nyawa kami sebagai taruhannya.Setelah ibu memaksaku untuk mengatakan apa yang terjadi padaku saat itu, akhirnya aku mengatakan semuanya dan mengatakan ancaman pria yang menjadi ayah sambungku itu.Aku mengatakan pada ibu untuk tidak melakukan apapun pada suaminya itu dan menyuruhnya untuk pura-pura tidak tahu saja. Tapi hati ibu mana yang tega anaknya dijadikan pelampiasan nafsu oleh lelaki yang harusnya menjaganya.Akhirnya setelah itu ibu mengungsikan diriku ke rumah simbah dan setelah lulus SMA aku pun ijin untuk pergi ke kota. Aku beralasan ingin jauh dari lelaki itu sekaligus mengadu nasib. Karena meskipun aku di rumah simbah, lelaki itu masih memiliki kesempatan untuk melakukannya jika aku tetap di kampung ini. Dengan bekal uang yang di dapat dari menjual barang-barang berharga miliknya, ibu melepaskan kepergianku untuk menghindari pria itu. Sejak saat itu hingga sekarang, aku tidak pulang. Hanya kabar dan uang yang aku kirimkan pada ibu."Apa kamu bisa melakukan hal itu di tempat ini?" ucapku tidak percaya.Aku menatap sekeliling kami, hanya ada kebun-kebun singkong milik penduduk kampung."Tentu saja bisa, apalagi sudah dua tahun kita berpisah. Aku merindukan tubuhmu itu. Apa kamu tidak ingat, bahkan aku pernah menyeretmu ke kebun belakang rumah nenekmu untuk melakukan hal itu," ucapnya dengan senyum menjijikkan.Lelaki tidak perlu 0tak itu perlahan mendekat ke arahku. Dia benar-benar pria yang nekat.ššš"Kamu pikir aku takut denganmu? Sini maju jika kamu mau aku hajar," ucapku sambil memasang kuda-kuda. Aku memang sedikit belajar bela diri saat mulai mengenal dunia kelam itu. Aku pikir jika orang asing itu berbuat macam-macam atau memperlakukan diriku dengan buruk maka aku akan bisa membela diri. Ditambah lagi pengalamanku di lecehkan berulang-ulang membuatku ingin bisa menjaga diriku sendiri. Pria di depanku itu tertawa melihat apa yang aku lakukan, "Kamu pikir bisa melawanku?" tanyanya meremehkan. Meskipun aku juga tidak yakin, tapi disini bukan tentang tenaga siapa yang lebih besar, tapi tentang teknik. "Jangan meremehkan diriku yang sekarang, aku bukan Mentari yang dulu. Yang takut denganmu dan bisa kamu perlakuan dengan sesuka hatimu. Dan satu lagi, di kota sana aku juga kuliah, kamu pasti sudah dengar kan dari ibuku. Kamu tahu apa jurusan yang aku ambil? aku kuliah jurusan hukum biar bisa memasukkan orang-orang tidak beradab seperti dirimu kedalam penjara," ujarku mengancam
Tanpa banyak berpikir lagi, aku segera mendatangi rumah sakit tempat ibu di periksa dan di rawat dulu. Aku dan bulek mengecek kesehatan dan kecocokan organ ginjal kami. Semakin cepat melakukannya akan semakin baik, jika aku harus berbagi organ yang ada sepasang itu dengan ibu maka aku rela melakukannya. Setelah melakukan pemeriksaan yang cukup memakan waktu, kami bertiga tinggal menunggu hasilnya saja. Rasanya waktu berlalu dengan lamban, ada harapan dan kecemasan dalam diriku. Bagaimana jika diantar kami tidak ada yang cocok. Mencari donor untuk hal itu rasa-rasanya sangat mustahil bagi kami, melakukan cuci darah setiap saat pun sepertinya akan menyiksa ibuku. "Ya Allah, aku memang bukan hambaMu yang baik. Aku bahkan tidak pernah melakukan kewajibanku sebagai seorang muslim, tapi hanya padaMu lah hamba ini meminta jika dalam kesulitan. Hamba tidak ingin kehilangan ibu hamba," doaku dalam hati. Aku memang hamba yang tidak tahu diri, berdoa padaNya saat diambang keputusasaan. ****
Aku sudah membayar biaya kuliah satu semester ini, uang di tabunganku benar-benar terkuras habis. Usaha mencari pekerjaan yang layak terus aku lakukan, setiap hari keliling kota yang panas dan macet ini sekedar mencari pekerjaan. Makan seadanya, kadang kala Nayla dengan suka rela memberiku makanan yang dia beli. Aku benar-benar mengirit semua pengeluaran dan mengencangkan ikat pinggang. "Kamu jangan selalu membeli makanan dua porsi begini, Nay. Lama-lama kamu bisa bangkrut," ucapanku malam itu saat kami makan nasi goreng berdua di kamar kosanku. Temanku itu lagi-lagi membawa dua porsi makanan untukku dan dirinya. Padahal aku baru saja akan membuat mie instan. "Aku tidak akan bangkrut hanya dengan membelikan dirimu makanan begini, Mentari," sahut Nayla santai sambil mengunyah makanannya. "Kamu sudah dapat pekerjaan?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala dengan lemah sebagai jawaban atas perkataannya. Memang, mencari pekerjaan di kota ini tidak semudah membalikkan telapak tangan."
Mataku menatap nanar kearah benda pipih berlayar datar yang sedang aku pegang, baru saja bulek mengirim nominal uang yang harus dibayarkan untuk rawat inap ibu beserta obat-obatannya. Lima belas juta, uang sebesar itu dulu tidak ada apa-apa saat aku bersama Alex. Tapi sekarang dengan pekerjaanku yang hanya pelayan cafe, nominal itu sangat besar. Ditambah lagi aku baru bekerja enam bulan. Helaan nafas panjang, kuharap bisa membuat beban dihatiku sedikit berkurang. Di dalam rekeningku hanya ada lima juta, darimana aku akan mendapatkan kekurangannya? Bisakah meminjam pada tempatku bekerja ini padahal baru bekerja selama enam bulan. Ah, lebih baik aku coba terlebih dahulu. Akan kutemui Pak Bagas sebelum pulang. Segera kuderapkan langkah kakiku menuju ruangan atasanku itu. Aku mengetuk pintu begitu sampai didepan ruangan beliau. "Masuk!" terdengar suara berat dari dalam mempersilahkan aku masuk. Dadaku sudah berdebar-debar terlebih dahulu saat melangkah kaki menuju lelaki yang terliha
Mobil Pajero sport SUV berwarna putih membawa kami menjauh dari kota metropolitan. Entah ke mana atasanku ini hendak membawaku pergi saat ini, katanya dia sedang ada urusan di luar kota berkenaan dengan cabang cafe di sana. Sepertinya Pak Bagaskara memang memiliki usaha di bidang ini dengan banyak cabang di berbagai kota. "Bagaimana jika kamu menjadi sekretarisku saja," ucapnya sambil menggenggam tanganku.Apa-apaan ini, kenapa dia memperlakukanku seperti kami sepasang kekasih saja. Aku hanya diam tidak bisa menjawab perkataannya, bagaimana dengan karyawan yang lain. Aku takut mereka akan curiga jika tiba-tiba saja dari seorang pelayan menjadi seorang sekretaris. Lagi pula setahuku Pak Bagas tidak pernah memiliki sekretaris, dia selalu bekerja sendirian di tempat itu."Kamu bilang kuliah jurusan administrasi perkantoran bukan? Biasanya bidang profesi yang identik dengan jurusan itu adalah sekertaris. Itu bisa menjadi alasan untukku membuatmu menjadi sekretarisku," ucapnya tanpa mem
Dengan tubuh berpeluh, Pak Bagas mengurai penyatuan tubuh kami. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sampingku setelah mendapatkan kepuasan. Segera kuraih selimuti putih untuk menutupi tubuhku yang terbuka. "Sudah berapa laki-laki yang meniduri dirimu?" Tanya Pak Bagas datar. Pertanyaan yang tidak pernah aku sangka akan keluar dari mulutnya. Aku menghela nafas untuk menekan perasaanku. Seharusnya dia tidak menanyakan hal itu bukan, wanita yang bisa ditiduri sebagai wanita bayaran tentu saja bukan seorang wanita perawan. "Apa bapak perlu tahu soal itu?" Aku balik bertanya sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. "Tentu saja, aku mengeluarkan uang untukmu dan akan membayar mahal tubuhmu. Aku tidak ingin kamu membawa penyakit untukku." Ucapannya lagi-lagi menggores hatiku. "Saya memang bukan seorang perawan pak, tapi saya pastikan tidak akan menularkan penyakit buat bapak." Selama aku berhubungan dengan Alex, aku selalu memeriksakan kesehatan reproduksiku dan aku tida
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, Pak Bagas menyuruhku untuk ke kafe lebih pagi jadi aku harus bergegas pergi ke tempat kerjaku itu. Kafe buka jam setengah sembilan, jadi setidaknya harus datang satu jam sebelum itu. Perjalanan dari kosan ke kafe sekitar satu jam jika tidak macet. Kalau pergi pagi-pagi begini dipastikan kemacetan belum terjadi. Tepat jam setengah enam, aku sudah berada di halte busway. Menunggu bus yang di dominasi warna yang menuju kearah tempatku bekerja. Seperti yang diperkirakan, tidak ada kemacetan di jalan sehingga aku cepat sampai tujuan. Tidak sampai satu jam perjalanan aku sudah sampai di kafe. Papan yang bertuliskan close masih terpampang di pintu masuk karena memang belum waktunya buka. Aku dorong begitu saja pintu tersebut, kupikir karyawan yang biasa bersih-bersih dan beres-beres sudah datang terlebih dahulu. Ponselku berdering saat baru melangkahkan kakiku ke dalam tempatku bekerja itu. Sebuah panggilan telepon dari Nayla. "Ada apa Nay?" tanyaku beg
"Kenapa hah?!" Bentaknya."Kamu tidak mau, meskipun kafe ini milik Suamiku tapi aku yang berkuasa disini. Jika kamu tidak mau mengikut kemauanku, maka aku yang akan memecatmu sekarang juga." Ancaman bertubi-tubi keluar dari mulut wanita cantik yang ada di hadapanku itu. "Bukan begitu, Ibu. Saya hanya takut ketahuan sama Bapak Bagas. Saya tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman memata-matai orang," jawabku beralasan."Pilih dipecat atau mengikuti mauku!"Wanita ini begitu dominan, tapi kok bisa hamil dan ditinggal sama kekasihnya. Lalu apa Pak Bagas terlihat kurang kasih sayang karena Istrinya se-galak ini. Apakah wanita ini galak juga pada suaminya. "Kenapa malah bengong, jawab!" "I-iya Bu, saya pikirkan dulu ya," jawabku pasrah. Aku akan mengatakan ini pada Pak Bagas, meminta pendapatnya. "Tulis nomer handphonemu disini," titahnya sambil menyodorkan smartphone miliknya. Dengan enggan aku merima telepon pintar yang terlihat mahal itu dan mengetik nomerku disana. "Saya simpan
"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga
Segera kudorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dia kunci. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mematikan shower yang terus mengguyur tubuhnya. Aku perhatikan sejak tadi dia menggosok bagian tubuhnya yang sama dibawah guyuran air. Tidak ada jawaban darinya, tangannya tetap saja menggosok lehernya dengan kasar hingga kulitnya semakin terlihat memerah. "Kalau mandi kenapa bajunya tidak dibuka?" Lagi, aku bertanya sambil menahan tangannya agar tidak melakukan hal yang sama. "Lepaskan aku, mas! Aku sedang berusaha menghilangkan tanda ini dari tubuhku. Aku membencinya," sahutnya dengan berlinang air mata. Hatiku ikut nyeri melihat bulir bening itu meluncur melewati pipinya tanpa henti. "Mas yang akan membantumu menghilangkannya. Ganti bajumu dengan ini. Kamu sudah terlalu lama dikamar mandi," ucapku sambil meraih jubah mandi yang tergantung tidak jauh dari tempat kami berada. "Ini tidak akan hilang bahkan sampai satu minggu. Bagaimana kamu bisa menghilangkannya, aku benci
POV BagaskaraSiang itu setelah makan siang, aku dan Mentari langsung pergi ke cafe milikku yang di kelola oleh Galang, temanku. Sesampainya disana, Istriku itu pergi lagi ke hotel dengan alasan sakit perut dan mual. Padahal aku hendak mengenalkannya pada Galang. "Nyari siapa sih? kenapa panik begitu?" tanya Galang saat aku keluar lagi dari ruang kerjanya sambil menelpon Mentari dan mencarinya di luar cafe."Kamu lihat tadi wanita yang datang bersamaku? Dia balik lagi ke hotel karena sakit, aku ingin mengantarkannya terlebih dahulu tapi ternyata dia sudah naik taksi," tuturku panjang lebar. "Sudahlah, dia sudah naik taksi. Lagian kan bukan anak kecil, pasti sampai dengan selamat. Banyak yang harus kamu periksa di dalam sana, udah lama banget kamu gak datang kesini," sela Galang.Aku membenarkan perkataan temanku itu, lagi pula Mentari bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Setelah kembali lagi kedalam ruang kerja Galang, temanku itu langsung memberikan setumpuk file yang katany
Pak Galang semakin dekat denganku. Dan seperti kebanyakan lelaki jika menginginkan wanita dengan paksa, dia akan menarik tangannya dan memeluknya. Saat hal itu dilakukan pria itu padaku, dengan refleks yang aku pelajari, kubanting saja tubuhnya yang lebih besar dari badanku. Sepertinya hal yang aku pelajari selama ini memang sangat berguna untuk membela diri, tidak sia-sia aku meluangkan waktu dan uang untuk mempelajarinya. Lelaki dengan kemeja berwarna merah maroon itu terlihat terkejut dengan posisi masih telentang. "Wow, aku tidak menduga kamu bisa melakukannya. Tapi sepertinya ini akan jauh lebih menyenangkan, daripada wanita yang hanya menangis dan pasrah, aku lebih suka wanita yang melawan. Apa kamu juga sekuat itu di ranjang," ucapnya sambil berdiri. "Tadi aku memang tidak siap dengan apa yang akan kamu lakukan karena kupikir kamu seperti wanita pada umumnya. Sepertinya kamu tidak tahu jika menjadi asisten dan supir pribadi tuan Alex itu harus memiliki skill bela diri juga