"Masuklah," titahnya.
Aku yang sejak tadi hanya bengong didepan pintu langsung masuk kedalam kamar mengikuti perintahnya."Kamu masih saja terkesima saat melihatku, apa aku begitu menawan," ucapnya sambil memelukku dari belakang begitu aku sudah berada di dalam kamar tersebut."Tentu saja tuan Alex, siapa yang tidak akan terkesima saat melihatmu. Kamu terlihat sempurna di mata wanita Indonesia."Pria yang sedang memeluk erat tubuhku itu hanya tertawa menanggapi ucapanku. Bibirnya memberikan kecupan ringan di pundakku."Aku bilang tidak suka di panggil tuan, itu tampak seperti aku sudah tua," protesnya.Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Dia seperti tidak sadar diri jika memang usianya jauh lebih tua dariku meskipun wajahnya tetap tampan dan rupawan. Tentu saja, usia tiga puluh tujuh tahun memang bukan usia orang tua."Mandilah, dan berganti pakaian. Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu di dalam lemari," titahnya sambil mengurai pelukannya."Apa tubuhku bau keringat?" tanyaku sambil mengendus tubuhku sendiri."Tidak, aroma tubuhmu tetap menggugah hasratku. Aku hanya ingin badanmu lebih segar setelah mandi. Kamu pasti lelah kan sepulang dari kampus," ujarnya.Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban atas perkataannya. Pria itu langsung melepaskan pelukannya, dan membiarkan diriku untuk pergi ke kamar mandi. Akupun juga merasa tidak nyaman dengan badanku sendiri yang belum terkena air lagi sejak tadi pagi.Begitu selesai mandi, aku keluar dengan hanya memakai jubah mandi. Tadi aku lupa membawa baju yang katanya sudah di siapkan oleh Alex di dalam lemari.Aku berjalan menuju lemari untuk mengambil baju, namun belum sempat membuka lemari pakaian tersebut Alex sudah menarik tanganku dan membawaku ke sofa."Kita makan dulu," ujarnya sambil mendudukkan tubuhku di sofa tersebut.Di depan kami sudah terhidang makanan yang terlihat mengunggah selera. Sepertinya dia menggunakan jasa room service untuk mengantarkan makanan ke kamar saat aku mandi tadi."Aku belum memakai baju," ujarku sambil menengadahkan wajahnya kearahnya yang masih dalam posisi berdiri.Bahkan dia juga belum memakai bajunya. Dia masih seperti tadi saat aku datang ketempat ini."Sekali-kali bolehlah kita makan seperti ini," sahutnya sambil duduk di sampingku dan sekilas mengecup pipiku.Hari ini dia sepertinya nampak berbeda, dia memperlakukanku dengan kasih sayang. Walaupun sebenarnya tiap kali bertemu dia selalu memperlakukanku dengan baik tapi sepertinya hari ini dia sedikit berbeda."Bagaimana kuliahmu hari ini," tanyanya sambil menyuap makanan ke mulutnya."Seperti biasanya, tidak ada yang istimewa," jawabku asal.Mana ada yang istimewa jika kuliah sambil bekerja, yang dipikirkan hanya bagaimana bisa cepat lulus dan mendapatkan gelar. Lalu bisa bekerja di perusahaan yang keren seperti orang-orang pada umumnya.Dia memang mengetahui aku kuliah setelah beberapa bulan menjalin hubungan dengannya. Bahkan dia menambahkan uang bulanan untukku begitu dia mengetahui jika aku melanjutkan pendidikanku."Setelah kamu selesai dengan diriku, apa kamu akan tetap melakukan pekerjaan ini?" Alex bertanya sambil menatap kearahku.Tanpa melihatnya aku tahu dia sedang menatapku, aku bisa merasakan hembusan nafasnya menerpa pipiku karena kami duduk dengan posisi yang begitu dekat."Kamu pikir akan seperti apa? bukankah pekerjaan ini yang menjadi sumber penghasilanku," sahutku datar.Dia bukanlah orang yang bisa menjadi tempat curhat untukku, aku tidak akan mengatakan keinginanku padanya. Hubungan kami selama ini hanyalah hubungan saling menguntungkan. Tidak lebih dari itu."Aku tahu, diriku adalah yang pertama buatmu. Dan aku tahu kamu benar-benar tidak berkhianat dengan kontrak yang telah kamu tanda tangani. Bisa saja diluar sana kamu tetap melayani orang lain di belakangku, tapi nyatanya itu tidak kamu lakukan," tuturnya panjang lebar.Aku meletakan sendok yang sedari tadi aku pegang, aku menoleh dan menatap kearahnya."Apa kamu mencari tahu tentang diriku dan memata-matai aku selama ini? Kamu pikir aku akan mendustai dirimu?""Apa kamu marah?""Tidak, aku tidak berhak marah padamu. Siapalah aku, sejak saat kamu membayarku, maka sejak saat itu aku adalah wanita yang menjadi tawanamu," sahutku sambil tertawa."Apa kamu berpikir seperti itu?""Lalu apa yang bisa aku pikirkan selain itu?""Aku juga tahu kenapa kamu pergi dari desa dan meninggalkan ibumu. Itu karena kamu menghindari ayah tirimu kan, kamu di perlakukan tidak baik olehnya."Aku diam tidak menjawab pertanyaannya, kenapa dia mengorek diriku begitu jauh. Hingga dia tahu juga masa laluku, masa lalu yang tidak ingin aku ingat. Karena itu sangat menyakitkan.Mengingat hal itu, tiba-tiba mataku berembun. Pandanganku pada lelaki yang berumur jauh diatasku ini mengabur tertutupi oleh air mata. Sekali saja aku berkedip maka butir bening dari mataku pasti akan meluncur ke pipiku.Aku segera memalingkan wajahku agar dia tidak melihatku menangis, namun tanganku lebih cepat menangkup wajahku. Dia tidak membiarkan diriku berpaling darinya."Menangislah, kadang kala kamu perlu seseorang untuk berbagi perasaan denganmu," ujarnya pelan.Mataku berkedip hingga bulir bening itu akhirnya menetes di pipiku tanpa bisa di cegah lagi. Melihatku menangis, dia malah mendaratkan kecupan dibibirku. Entah kenapa kali ini aku merasakan hal yang berbeda, aku mulai terbawa perasaan. Mungkin karena aku melakukannya dalam keadaan menangis."Kamu bilang, hubungan kita tidak melibatkan perasaan. Untuk apa aku harus menangis di hadapanmu," ucapku dengan menahan sesak di dada."Aku menarik ucapku, sepertinya aku tertarik padamu. Aku menyukai wanita yang kuat dan penurut sepertimu," ujarnya sambil mengusap air mataku.Apa ini, kenapa dia seperti sedang merayuku. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini, padahal kami akan berpisah tapi kenapa dia tampak berubah.Aku tidak tahu kehidupan pribadi lelaki ini, aku hanya bertemu dengannya saat dia ingin. Lalu setelahnya akan kembali berpisah tanpa ada hal yang istimewa. Dia juga tidak pernah mengatakan kehidupan pribadinya padaku. Dia pria beristri atau lajang, tapi mengingat usianya bisa saja dia sudah beristri.Seperti perkataannya sejak awal kami bertemu, jika hubungan kami hanya hubungan saling menguntungkan saja. Dia butuh tubuhku dan aku butuh uangnya."Ikutlah denganku," ucapnya sambil menatapku dengan iris matanya yang biru."Ikut kemana?" tanyaku tidak mengerti."Ke negaraku, aku ingin kita selalu bersama," ucapnya lagi.Apa aku tidak salah dengar, dia ingin membawaku bersamanya. Sebagai apa, simpanan juga.***"Aku masih kuliah di sini, baru satu tahun. Untuk apa aku ikut denganmu, aku tidak memiliki keahlian apapun. Mana bisa aku bekerja di luar negeri." Aku berkata sambil menatap matanya yang biru. "Kamu tidak perlu bekerja, bekerja saja padamu. Apa kamu masih tidak yakin jika aku adalah orang yang bisa mengaji dirimu?" "Oh, kamu mau aku tetap menjadi wanita simpananmu?" Ya tentu saja dia hanya ingin tubuhku saja, orang sepertinya bisa memilih wanita yang seperti apapun untuk melayaninya maupun di jadikan pendamping hidupnya. Apa yang aku impikan, ingin menjadi wanita yang istimewa untuknya. "Aku akan menjadikan dirimu ratu di rumahku," desisnya dengan menempelkan ujung hidungnya yang panjang bak perosotan pada hidungku. Kugigit bibir bawahku, untuk menetralisir detak jantung yang tiba-tiba berdegup kencang. Dia benar-benar berbeda hari ini. Pria bermata biru itu memiringkan wajahnya dan menempelkan bibirnya pada milikku. "Jangan mengigitnya, atau kamu akan terluka." Bisa-bisanya d
Sebuah tangan membekap mulutku, dan menarik tubuh mungilku ke arah rimbunnya semak belukar yang ada di kebun belakang rumah Simbah. Suasana tengah hari yang sepi karena sebagain besar orang kampung kembali beraktivitas di kebun atau sawah serta simbahku yang tidur siang didalam rumah membuat tidak ada yang melihatku diperlakukan seperti itu. "Kamu tidak bisa lari dariku anak manis, jika hanya pergi ke rumah ini aku masih bisa mendatangi dirimu," ucapnya sambil menyeringai. Lelaki yang menikahi ibuku itu, dengan beringas menggagahi diriku di antara rimbunnya semak-semak. Ternyata meskipun kabur dan tinggal bersama simbahku, dia tidak menyerah untuk bisa menikmati tubuhku. Apa mungkin tujuannya menikah dengan ibuku hanya untuk melakukan ini padaku. Aku hanya bisa menahan sakit dan meneteskan air mata menerima perbuatannya. Dering telepon mengagetkan diriku, menariku dari lamunan. Setelah mengakhiri kontrak dengan Alex, kenangan-kenangan masa laluku yang kelam dulu sering kali datan
"Kamu pikir aku takut denganmu? Sini maju jika kamu mau aku hajar," ucapku sambil memasang kuda-kuda. Aku memang sedikit belajar bela diri saat mulai mengenal dunia kelam itu. Aku pikir jika orang asing itu berbuat macam-macam atau memperlakukan diriku dengan buruk maka aku akan bisa membela diri. Ditambah lagi pengalamanku di lecehkan berulang-ulang membuatku ingin bisa menjaga diriku sendiri. Pria di depanku itu tertawa melihat apa yang aku lakukan, "Kamu pikir bisa melawanku?" tanyanya meremehkan. Meskipun aku juga tidak yakin, tapi disini bukan tentang tenaga siapa yang lebih besar, tapi tentang teknik. "Jangan meremehkan diriku yang sekarang, aku bukan Mentari yang dulu. Yang takut denganmu dan bisa kamu perlakuan dengan sesuka hatimu. Dan satu lagi, di kota sana aku juga kuliah, kamu pasti sudah dengar kan dari ibuku. Kamu tahu apa jurusan yang aku ambil? aku kuliah jurusan hukum biar bisa memasukkan orang-orang tidak beradab seperti dirimu kedalam penjara," ujarku mengancam
Tanpa banyak berpikir lagi, aku segera mendatangi rumah sakit tempat ibu di periksa dan di rawat dulu. Aku dan bulek mengecek kesehatan dan kecocokan organ ginjal kami. Semakin cepat melakukannya akan semakin baik, jika aku harus berbagi organ yang ada sepasang itu dengan ibu maka aku rela melakukannya. Setelah melakukan pemeriksaan yang cukup memakan waktu, kami bertiga tinggal menunggu hasilnya saja. Rasanya waktu berlalu dengan lamban, ada harapan dan kecemasan dalam diriku. Bagaimana jika diantar kami tidak ada yang cocok. Mencari donor untuk hal itu rasa-rasanya sangat mustahil bagi kami, melakukan cuci darah setiap saat pun sepertinya akan menyiksa ibuku. "Ya Allah, aku memang bukan hambaMu yang baik. Aku bahkan tidak pernah melakukan kewajibanku sebagai seorang muslim, tapi hanya padaMu lah hamba ini meminta jika dalam kesulitan. Hamba tidak ingin kehilangan ibu hamba," doaku dalam hati. Aku memang hamba yang tidak tahu diri, berdoa padaNya saat diambang keputusasaan. ****
Aku sudah membayar biaya kuliah satu semester ini, uang di tabunganku benar-benar terkuras habis. Usaha mencari pekerjaan yang layak terus aku lakukan, setiap hari keliling kota yang panas dan macet ini sekedar mencari pekerjaan. Makan seadanya, kadang kala Nayla dengan suka rela memberiku makanan yang dia beli. Aku benar-benar mengirit semua pengeluaran dan mengencangkan ikat pinggang. "Kamu jangan selalu membeli makanan dua porsi begini, Nay. Lama-lama kamu bisa bangkrut," ucapanku malam itu saat kami makan nasi goreng berdua di kamar kosanku. Temanku itu lagi-lagi membawa dua porsi makanan untukku dan dirinya. Padahal aku baru saja akan membuat mie instan. "Aku tidak akan bangkrut hanya dengan membelikan dirimu makanan begini, Mentari," sahut Nayla santai sambil mengunyah makanannya. "Kamu sudah dapat pekerjaan?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala dengan lemah sebagai jawaban atas perkataannya. Memang, mencari pekerjaan di kota ini tidak semudah membalikkan telapak tangan."
Mataku menatap nanar kearah benda pipih berlayar datar yang sedang aku pegang, baru saja bulek mengirim nominal uang yang harus dibayarkan untuk rawat inap ibu beserta obat-obatannya. Lima belas juta, uang sebesar itu dulu tidak ada apa-apa saat aku bersama Alex. Tapi sekarang dengan pekerjaanku yang hanya pelayan cafe, nominal itu sangat besar. Ditambah lagi aku baru bekerja enam bulan. Helaan nafas panjang, kuharap bisa membuat beban dihatiku sedikit berkurang. Di dalam rekeningku hanya ada lima juta, darimana aku akan mendapatkan kekurangannya? Bisakah meminjam pada tempatku bekerja ini padahal baru bekerja selama enam bulan. Ah, lebih baik aku coba terlebih dahulu. Akan kutemui Pak Bagas sebelum pulang. Segera kuderapkan langkah kakiku menuju ruangan atasanku itu. Aku mengetuk pintu begitu sampai didepan ruangan beliau. "Masuk!" terdengar suara berat dari dalam mempersilahkan aku masuk. Dadaku sudah berdebar-debar terlebih dahulu saat melangkah kaki menuju lelaki yang terliha
Mobil Pajero sport SUV berwarna putih membawa kami menjauh dari kota metropolitan. Entah ke mana atasanku ini hendak membawaku pergi saat ini, katanya dia sedang ada urusan di luar kota berkenaan dengan cabang cafe di sana. Sepertinya Pak Bagaskara memang memiliki usaha di bidang ini dengan banyak cabang di berbagai kota. "Bagaimana jika kamu menjadi sekretarisku saja," ucapnya sambil menggenggam tanganku.Apa-apaan ini, kenapa dia memperlakukanku seperti kami sepasang kekasih saja. Aku hanya diam tidak bisa menjawab perkataannya, bagaimana dengan karyawan yang lain. Aku takut mereka akan curiga jika tiba-tiba saja dari seorang pelayan menjadi seorang sekretaris. Lagi pula setahuku Pak Bagas tidak pernah memiliki sekretaris, dia selalu bekerja sendirian di tempat itu."Kamu bilang kuliah jurusan administrasi perkantoran bukan? Biasanya bidang profesi yang identik dengan jurusan itu adalah sekertaris. Itu bisa menjadi alasan untukku membuatmu menjadi sekretarisku," ucapnya tanpa mem
Dengan tubuh berpeluh, Pak Bagas mengurai penyatuan tubuh kami. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sampingku setelah mendapatkan kepuasan. Segera kuraih selimuti putih untuk menutupi tubuhku yang terbuka. "Sudah berapa laki-laki yang meniduri dirimu?" Tanya Pak Bagas datar. Pertanyaan yang tidak pernah aku sangka akan keluar dari mulutnya. Aku menghela nafas untuk menekan perasaanku. Seharusnya dia tidak menanyakan hal itu bukan, wanita yang bisa ditiduri sebagai wanita bayaran tentu saja bukan seorang wanita perawan. "Apa bapak perlu tahu soal itu?" Aku balik bertanya sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. "Tentu saja, aku mengeluarkan uang untukmu dan akan membayar mahal tubuhmu. Aku tidak ingin kamu membawa penyakit untukku." Ucapannya lagi-lagi menggores hatiku. "Saya memang bukan seorang perawan pak, tapi saya pastikan tidak akan menularkan penyakit buat bapak." Selama aku berhubungan dengan Alex, aku selalu memeriksakan kesehatan reproduksiku dan aku tida
"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga
Segera kudorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dia kunci. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mematikan shower yang terus mengguyur tubuhnya. Aku perhatikan sejak tadi dia menggosok bagian tubuhnya yang sama dibawah guyuran air. Tidak ada jawaban darinya, tangannya tetap saja menggosok lehernya dengan kasar hingga kulitnya semakin terlihat memerah. "Kalau mandi kenapa bajunya tidak dibuka?" Lagi, aku bertanya sambil menahan tangannya agar tidak melakukan hal yang sama. "Lepaskan aku, mas! Aku sedang berusaha menghilangkan tanda ini dari tubuhku. Aku membencinya," sahutnya dengan berlinang air mata. Hatiku ikut nyeri melihat bulir bening itu meluncur melewati pipinya tanpa henti. "Mas yang akan membantumu menghilangkannya. Ganti bajumu dengan ini. Kamu sudah terlalu lama dikamar mandi," ucapku sambil meraih jubah mandi yang tergantung tidak jauh dari tempat kami berada. "Ini tidak akan hilang bahkan sampai satu minggu. Bagaimana kamu bisa menghilangkannya, aku benci
POV BagaskaraSiang itu setelah makan siang, aku dan Mentari langsung pergi ke cafe milikku yang di kelola oleh Galang, temanku. Sesampainya disana, Istriku itu pergi lagi ke hotel dengan alasan sakit perut dan mual. Padahal aku hendak mengenalkannya pada Galang. "Nyari siapa sih? kenapa panik begitu?" tanya Galang saat aku keluar lagi dari ruang kerjanya sambil menelpon Mentari dan mencarinya di luar cafe."Kamu lihat tadi wanita yang datang bersamaku? Dia balik lagi ke hotel karena sakit, aku ingin mengantarkannya terlebih dahulu tapi ternyata dia sudah naik taksi," tuturku panjang lebar. "Sudahlah, dia sudah naik taksi. Lagian kan bukan anak kecil, pasti sampai dengan selamat. Banyak yang harus kamu periksa di dalam sana, udah lama banget kamu gak datang kesini," sela Galang.Aku membenarkan perkataan temanku itu, lagi pula Mentari bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Setelah kembali lagi kedalam ruang kerja Galang, temanku itu langsung memberikan setumpuk file yang katany
Pak Galang semakin dekat denganku. Dan seperti kebanyakan lelaki jika menginginkan wanita dengan paksa, dia akan menarik tangannya dan memeluknya. Saat hal itu dilakukan pria itu padaku, dengan refleks yang aku pelajari, kubanting saja tubuhnya yang lebih besar dari badanku. Sepertinya hal yang aku pelajari selama ini memang sangat berguna untuk membela diri, tidak sia-sia aku meluangkan waktu dan uang untuk mempelajarinya. Lelaki dengan kemeja berwarna merah maroon itu terlihat terkejut dengan posisi masih telentang. "Wow, aku tidak menduga kamu bisa melakukannya. Tapi sepertinya ini akan jauh lebih menyenangkan, daripada wanita yang hanya menangis dan pasrah, aku lebih suka wanita yang melawan. Apa kamu juga sekuat itu di ranjang," ucapnya sambil berdiri. "Tadi aku memang tidak siap dengan apa yang akan kamu lakukan karena kupikir kamu seperti wanita pada umumnya. Sepertinya kamu tidak tahu jika menjadi asisten dan supir pribadi tuan Alex itu harus memiliki skill bela diri juga