Azril hanya bisa terdiam ketika Devina memperkenalkan dirinya. Sementara bagi Devina, saat ini dia hanya mengalah, dan mengalah bukan berarti kalah. Dia hanya menepi sejenak untuk menerima kemenangan yang sesungguhnya. "Jika aku menyerah begitu saja, tandanya aku mengaku kalah. Saat ini, aku ingin bermain sebentar sesuai isi hatiku, Mas. Ada saatnya kau akan menyesal dan memintaku untuk kembali, tapi saat itu tiba, jangankan kembali bersama, aku bahkan enggan untuk menoleh ke arahmu, Mas." batin Devina bermonolog. Bagi Devina, Azril memang segalanya. Tapi ... tapi semuanya hanya masa lalu. Ia bukan perempuan bodoh yang dibutakan cinta dan akan terus bersama orang yang dicintai tapi menyakitinya. Devina adalah gadis cerdas, selama tujuh tahun ini bertahan karena Azril masih setia terhadap pernikahannya. Dia tidak pernah abai terhadapnya, tapi akhir-akhir ini selalu merasa Azril berubah dan ternyata benar, ia kenal wanita lain, bahkan mengaku masih lajang. "Wah, kok ada pembantu ya
PoV Devi Aku meminta Mas Azril untuk menikah secepatnya bukan karena aku tidak punya harga diri atau tidak punya perasaan, tapi karena ingin menunjukkan padanya kalau aku sudah lelah dan menyerah untuk menjadi istrinya. Tidak ada penyesalan sedikit pun setelah menamainya selama tujuh tahun, setidaknya, Allah masih menginginkan aku untuk bahagia. "Maka makananku?" Mas Azril keluar dari kamar mandi dengan masih memakai baju handuk, padahal biasanya tidak pernah seperti ini. "Enggak ada!" jawabku singkat sambil meliriknya sekilas, lalu kembali fokus kepada gawai yang sedang kupegang. Wajahnya mendadak berubah menjadi merah, sudah pasti amarah sedang menghampirinya, tapi aku tidak peduli. Jika yang aku lakukan ini berdosa, maka aku hanya bisa meminta ampunan kepada Allah untuk mengampuni dosa dosaku. "Kamu itu gunanya apa?" protesnya tajam dengan tatapan menusuk. "Aku? Gunanya?" Aku menahan kata-kata yang ingin aku ucapkan dan menghampirinya dengan tatapan yang tenang, aku ingin di
"Siapa Nafis?" tanya wanita itu lagi dengan penuh penekanan. Beliau adalah ibu mertuaku, mamanya Mas Azril. "Em, bukan siapa-siapa, Ma." Aku langsung berjalan ke arahnya dengan senyuman yang mengembang. Aku memang kurang suka kedatangan Mama saat ini, karena akan menghambat pernikahan Mas Azril dan Nafisah. Namun, di sisi lain aku juga bahagia, karena Mas Azril tidak akan bisa berkutik di depan Mama. Enggak akan pernah. Jadi saat ini, aku sudah bisa lebih tenang menjalani hidup ini seperti keluarga normal dalam beberapa hari ke depan, dan akan kupastikan kalau Mas Azril tidak akan bisa berkutik. "Anak Mama gak nakal kan?" tanya Mama dengan kepanikan yang sangat terlihat di wajahnya. "Mama bisa tanyakan langsung pada orangnya." Aku tersenyum menyeringai ketika melihat Mas Azril yang tidak bisa bicara,hanya menggeleng saja. "Kau bisu?" Mama menatap anaknya tajam. "Perasaan di keluarga kita semuanya normal?" Mama lagi-lagi mengeluarkan kata-kata yang membuat mental Mas Azril terlem
Azril menatap tajam Devina ketika mendengar apa yang dikatakannya. Tadinya, hati kecilnya berharap kalau istri yang tidak dianggapnya itu akan membantu, seperti biasa yang dulu dia lakukan. Namun ternyata kali ini tidak, Devina malah mengatakan kata-kata yang sangat menyakiti hati dan perasaannya. Jauh dari harapan. "Kenapa, Mas? Mau marah?" tantang Devina sambil membawa buah kesukaan Azril, konyolknya dia malah berharap buah itu akan diberikan padanya. "Itu buatku, kan?" tanya Azril sambil menatap binar anggur hijau yang ada di tangan Devina. "Oh, kamu mau?" Devina tertawa kecil. "Apa maksudmu? Tentu saja aku mau!" Azril menggosok peralatan makan dengan penuh amarah, seperti ada dendam pribadi. "Kenapa kamu melotot gitu sama anak Mama?" tanya Bu Andin--mamanya Azril, tapi lebih menyayangi Devina--menantunya. "Em, enggak, Ma. Mungkin Mama salah lihat." kilahnya berbohong, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. "Awas kalau Mama menangkap kamu bersikap seperti ini lagi, Mama bis
PoV Azril Kedatangan Mama benar-benar membuatku kelimpungan. Bukan aku tidak tahu sifat Mama yang sangat menyayangi Devina, tentu saja aku sangat tahu, hanya saja aku takut kalau Devina memberitahu Mama tentang Nafisah. Semoga saja tidak dan hanya itu yang aku harapkan. Bukan masalah jika aku hanya membersihkan cucian piring sepanjang malam atau menyapu halaman sampai tidak peduli pada kantor, asalkan Devina tidak memberitahu tentang Nafis. Itu saja yang aku inginkan. Bisa bahaya kalah Mama sampai tahu tentang Nafis, bulan hanya masa depanku yang tidak akan terjamin lagi, tapi akan mendapatkan kebencian dari seluruh anggota keluarga. "Kamu gak bilang, kan?" tanyaku mengintrogasi Devina yang sedang tersenyum sinis. "Tentang?" "Tentu saja Nafisah!" "Kenapa?" tanyanya menentang, pakai tanya kenapa segala lagi. "Di sini kan ada Mama, kau kan tahu sendiri kalau Mama yang menegang kendali di keluarga besarku!" ucapku geram dengan nada pelan, takut Mama dengar. "Ya, terus?" tanyany
"Jangan dulu ditandatangani!" cegahku mengambil berkas yang setan dipegangnya itu. "Loh, kenapa Mas? Bukankah ini yang kau inginkan dari dulu?" tanyanya menatapku lekat, mungkin mencari jawaban atas laranganku. Entah kenapa, hati ini memang agar berat jika membahas masalah pernikahan. Apa mungkin karena Devina terlalu mengulur waktu sampai aku berniat untuk mengundur perceraian ini? Benar, ini pasti tujuan dari rencananya yang terselubung. "Gapapa, pokoknya kamu boleh tanda tangannya nanti, setelah aku dan Nafisah berhasil mendapatkan restu Mama." kilahku berbohong, untuk saat ini aku hanya bisa mengulur waktu, sama seperti yang dia lakukan padaku. Bedanya, kini aku merasa tertekan, sementara dulu dia melakukannya dengan senang hati. "Ngapain?" Ia menatapku lekat. "Dengar ya, Mas, aku bisa mendapatkan laki-laki sepertimu dengan mudah, jadi untuk apa terikat hubungan dengan laki-laki yang tidak mencintaiku, kayak gak waras saja." tegas Devina sambil meneguk segelas air putih. Na
Detak jantungku meningkat cepat ketika mendengar apa yang baru saja Mama katakan. Enggak, gak mungkin dia pergi begitu saja, aku tak percaya. "Mungkin dia sedang di kamar mandi, Ma." Aku berusaha untuk menenangkan. "Benar juga." ucapnya yang kembali terdengar ceria. "Awas saja kalau kamu melukai anak perempuan Mama satu-satunya itu, Mama coret nama kamu dari KK," ancamnya membuatku lemas seketika. Semoga saja Devina ada di rumah dan tidak melakukan hal-hal yang membuatkan naik darah, apalagi jika sampai pergi beneran. Aku akan mencari dan memarahinya. "Iy—" Tut.... Panggilan langsung terputus sebelum aku menjawabnya, dasar Mama. "Kenapa, Mas?" Nafisah tiba-tiba muncul di hadapanku. Wah, bisa gawat kalau dia tahu aslinya aku sudah punya istri. "Kok kayaknya penting, sih?" Untung saja sepertinya Nafisah tidak mendengar apa yang aku bicarakan dengan Mama. "Enggak ada apa-apa, nanti Mas tinggal pulang dulu, ya?" Nafisah menggeleng kuat. "Setelah menikah, tradisi di sini si peng
"Apa kau tahu apa saja yang mereka lakukan?" Aku kembali mengintrogasi Haris. "Makan!" jawabnya cepat. Aku sungguh ingin memakinya ketika "Maksudku apa saja yang mereka lakukan? Kenapa kamu jadi bodoh begini, sih?" tanyaku geram. "Mana kutahu, aku bukan seorang mata-mata." ucapnya semakin membuatku dongkol. "Tapi kan kamu bisa cari tah—" Tut ... sambungan terputus. Sial*n! Kenapa orang-orang yang nelpon hari ini pada seenaknya matikan sambungan telpon, sih. Mana pada gak bisa dihubungi lagi, huh. Kucoba kembali menghubungi Devina, tapi lagi-lagi jawabannya sama. "Nomor yang ada tuju tidak dapat dihubungi." "Mas, sepertinya dari tadi gelisah terus?" Nafisah menatapku heran. Melihatnya lembut seperti ini membuatku tersadar, kalau saat ini istriku tidak hanya Devina, tapi juga Nafisah, atau mungkin memang hanya Nafisah. "Iya, masih kepikiran kemana perginya Devina." Aku berucap jujur. "Ngapain sampe kepikiran, Mas? Lagian kan dia juga bukan orang penting." Nafisah menekuk wa
Adrian sudah memasang perangkap untuk bisa menangkap Nurdin tanpa membuat Aira berada dalam bahaya. Benerapa orang yang ada di rumah Devina, terutama yang bertugas membantu pernikahannya bukanlah orang sembarangan. Memang bukan hanya Nurdin yang akan melancarkan aksi jahatnya, tapi dia juga meminta bantuan orang yang berada di rumah Devina. Orang yang rela melakukan apapun demi uang, dan sekarang wanita ini yang sedang memegang kendali atas Aira. "Kamu tenanglah, Aira pasti akan baik-baik saja." Adrian berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan Devina. "Aku bisa pastikan, asal kita harus tenang sebagai orang tuanya." lanjutnya. Devina langsung terdiam, tapi air mata terus mengalir dari matanya tanpa bisa dihentikan. "Aku minta Aira selamat. Aku yakin Mas pasti punya rencana di balik ini semua." lirihnya sambil menatap Adrian lembut. "Betul. Tunggulah sebentar lagi, jangan lupa untuk mendoakan, ya." Adrian mengusap puncak kepalanya lembut. Sengaja, ia tidak memberitahu kalau Azril
Azril terus aja mencari keberadaan di mana laki-laki yang bernama Nurdin itu di kota tempatnya kuliah, tapi tetap saja tidak ketemu. Banyak orang dia kerahkan, tapi tetap tidak membuahkan hasil. "Kira-kira di mana dia berada? Aku tidak ingin dia datang menyakiti keluargaku." Azril berucap lirih. Ia sudah faham betul jalan ceritanya. Jika ada Nurdin tahu kalau Pak Herman, laki-laki yang selama ini melindunginya itu sudah berada di tahanan, dia tidak mungkin akan diam saja. "Sepertinya belum ada pergerakan, ya." Haris menanggapi dengan biasa saja. "Terus bagaimana dengan bayimu, apa dia sudah ada pergerakan?" tanyanya lagi. Azril memilih diam daripada menjawab pertanyaan Haris. Ia tahu kalau sahabatnya itu pasti sudah mendengar kabar kelahiran Devina. "Apa kamu masih belum melihatnya?" tanya Haris lagi sambil menatap Azril bingung. "Aku tidak punya kesempatan untuk melihatnya." lirih Azril membuat Haris menatap kesal ke arahnya. "Alasan apa itu? Jika kamu memang cinta dan peduli
Azril memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap Herman dan juga Nafisah. Ia ingin mereka mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai dengan proses hukum. Terlebih lagi, Herman memang seorang mafia yang sudah berhasil menipu banyak orang dan perusahaan untuk kesenangannya sendiri. Melihat Azril jarang pulang ke rumah membuat Pak Halim dan Bu Ami bisa bernapas lega. Mereka sudah berjanji kepada Devina tidak akan mengatakan kalau bayinya sudah lahir dengan selamat dan sehat. Devina sementara waktu tidak ingin bertemu dengan Azril karena hatinya sedang membutuhkan pertolongan. "Darimana, Pa?" Suara yang terdengar seperti menodong membuat Bu Ami dan Pak Halim menghentikan langkah. Hari ini adalah hari kedua setelah putra Devina lahir dan mereka selalu pulang-pergi untuk melihat kondisi cucunya. "Dari luar dan kamu tidak perlu tahu hal itu!" tegas Bu Ami kemudian. Azril tersenyum kecut. Ada rasa sedih ketika melihat kedua orang tuanya lebih memilih berbohong daripada mengatakan y
”Tidak ada kata paling indah, selain aku mencintaimu karena Allah." ucap seorang laki-laki yang selalu dipanggil Ustaz Abdul oleh kelurga Pak Dean. "Namun kata-kata itu akan indah ketika diucapkan atau di katakan ketika orang yang menerimanya adalah pasangan halal kita. Karena apa? Karena tidak ada cinta karena Allah sebelum menikah. Semuanya pasti karena nafsu." jelasnya membuat Adrian dan yang lainnya menundukkan pandangan. "Jadi, maksud Nak Adrian ke sini benar untuk melamar sepupu saya, keponakan saya, sekaligus tetangga saya yang baik dan selalu mencintai orang lain dengan tulus?" tanyanya pada Adrian. Adrian hanya mengangguk. Matanya berusaha terlihat tegar, padahal ingin sekali dia menangis untuk mengungkapkan segala isi hatinya. Proses acara lamaran pun selesai. Meksipun keluarga Pak Dean dan keluarga Pak Halim bukan orang yang kolot, tapi tetap saja mereka menjalankan tradisi seperti dulu. Yaitu, yang mana laki-laki dan perempuan tidak boleh bersentuhan sebelum menikah. M
"Bagaimana bisa kau tahu tentang Devina?" Azril menatap Septi dingin. Suasana tiba-tiba menjadi berubah sepi karena Azril yang mengatakan tentang yang dialami Devina selama ini. Septi tersenyum menyeringai. "Siapa yang tidak kenal Devina? Bukan kampus yang selalu dingin kepada semua mahasiswa, kecuali padamu!" ucapnya geram sambil menatap Azril dengan penuh kebencian. Azril berdecih. "Oh, ternyata kau adalah salah satu laki-laki yang tertolak. Mau bagaimana lagi, hanya aku yang ada di matanya." "Aku tidak ditolak, karena memang tidak menyatakan perasaan. Hanya saja, sangat disayangkan perasaannya yang halus dirobek olehmu." Septi memilih untuk menjauh dari Azril dan mendekat ke arah Ayu. "Kupikir kau mencintaiku dengan setulus hati, nyatanya tidak. Mulai saat ini, kita bukan lagi hubungan suami-istri." tegasnya. Nafisah mulai tersenyum lebar. Jika Septi menalak Ayu, tandanya laki-laki masih punya perasaan padanya. Dengan penuh percaya diri, dia mendekat ke arah Septi. "Pasti kar
Azril sudah ada perasaan tidak enak ketika mendatangi rumah pakdenya Nafisah yang dulu pernah dia tinggali selama beberapa waktu itu. Sangat hening dan sepi. Sudah ada perasaan kalau penghuni rumahnya sedang tidak di tempat. Sementara Nafisah malah membuka setiap pintu kamar dengan tangis yang hampir pecah. "Jangan sampai kau menunjukkan rasa kasihanmu, karena aku tidak akan kasihan apapun keadaanmu," tegas Azril. Nafisah tidak bicara jelas kepada Azril, dari tadi dia hanya bergumam. "Sudahlah, tidak usah berteriak dengan sekuat tenaga. Keluargamu memang sudah meninggalkan rumah ini," jelas Azril membuat Nafisah geram. "Jangan sembarangan bicara kalau tidak tahu apapun!" teriaknya kepada Azril. Rasa panik pun semakin menjadi ketika tidak ada satu pun anggota keluarganya yang berada di rumah. Bahkan, baju-baju terbaik mereka pun sudah tidak ada lagi. "Kau memang tidak punya harapan!" lirih Azril. Dia memilih untuk duduk di teras sambil menunggu Nafisah melakukan apa yang ingin
Devina dan Bu Ani yang mendengar teriakan Azril pun langsung berlarian menghampiri. Namun, mereka sangat terkejut kalau Azril ternyata sudah mengetahui motif asli Nafisah. "Mama sudah tahu motif dia masuk ke keluarga ini lebih awal, kan? Kenapa Mama tidak memberitahu aku?" Azril kini menatap Bu Ami seolah menyalahkan. Adrian yang mendengar tuduhan Azril tertawa terbahak-bahak. Begitu pun Randi dan Pak Halim. Azril yang mendengar hal itu semakin diselimuti dengan kemarahan yang berlipat-lipat dan beberapa kali menatap tajam ke arah Nafisah. Ingi rasanya dia langsung melenyapkan wanita yang sudah dengan beraninya berbohong ini. Bahkan, Nafisah mengatakan kalau dirinya tidak bisa berhubungan dalam jangka waktu dua bulan, dikarenakan sakit. Ternyata, Nafisah memang tidak ingin berhubungan dengan semua laki-laki yang menjadi suaminya, kecuali Septi. Laki-laki yang dicintainya. "Kebenaran yang bagaimana yang kau inginkan?" Pak Halim memilih untuk mendekat ke anak laki-lakinya itu. Ad
Benar saja apa yang dikatakan Adrian, setelah pulang kembali ke rumahnya, mereka sama sekali tidak membicarakan tentang kejadian itu kepada siapapun. Bukan hanya karena takut Devina kembali kepada Azril, tapi juga takut Nafisah melukai orang-orang yang berada di rumah. Nafisah bukan gadis yang sederhana, dia sangat nekat. Bisa melakukan apapun bahkan dengan mata terbuka atau tanpa berkedip. "Kalau sedang di rumah, cukup awasi Devina. Aku takut dia menjadi sasaran wanita itu." pinta Adrian. "Kalau sibuk di rumah sakit, gapapa. Gak usah kepikiran juga. Biar masmu ini menyiapkan orang-orang terbaiknya." lanjutnya sambil menatap Devina dari kejauhan. Daripada rasa suka, Adrian lebih memperhatikan Devina untuk memastikan keselamatannya. Apalagi cinta yang sudah dipendamnya selama belasan tahun semakin lama semakin besar, seringkali ia merasa heran kepada Azril malah tidak mencintainya? Dari kejauhan, Adrian bisa melihat kalau Azril berulangkali mendekat ke arah Devina untuk mengajaknya
Ketika malam, Nafisah melihat asistennya Bu Ami sedang menyiapkan jus di dapur dan dia pun langsung membuat siasat. "Bu Dewi, ya." Nafisah pura-pura menyapa. "Iya, kenapa? Mau dibuatkan sesuatu?" Meksipun tahu kalau Nafisah bukanlah orang yang baik, Bu Dewi tetap saja bersikap baik padanya. Bagi wanita paruh baya yang sudah bekerja cukup lama di rumahnya Bu Ami itu, apapun masalah majikan, pekerja tidak perlu tahu. Apalagi mencari tahu dan terlibat. Nafisah menggeleng. "Tidak, saya hanya mau membuat minum saja." Sesuai dugaan Nafisah, Bu Dewi sudah membuat jus semangka yang sudah siap di dalam gelas. Tinggal di antarkan saja ke target Nafisah. Untunglah Bu Dewi sedang mengaduk sup yang sedang mendidih di atas kompor. Melihat asisten lengah, Nafisah langsung mengambil kesempatan untuk mencampurkan obat penghilang pusing dosis tinggi yang sudah dihaluskan ke dalam jusnya itu. Caranya melakukan kejahatan sangat apik. Siapapun yang melihatnya, pasti akan menyangka kalau Nafisah mema