Adrian sudah memasang perangkap untuk bisa menangkap Nurdin tanpa membuat Aira berada dalam bahaya. Benerapa orang yang ada di rumah Devina, terutama yang bertugas membantu pernikahannya bukanlah orang sembarangan. Memang bukan hanya Nurdin yang akan melancarkan aksi jahatnya, tapi dia juga meminta bantuan orang yang berada di rumah Devina. Orang yang rela melakukan apapun demi uang, dan sekarang wanita ini yang sedang memegang kendali atas Aira. "Kamu tenanglah, Aira pasti akan baik-baik saja." Adrian berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan Devina. "Aku bisa pastikan, asal kita harus tenang sebagai orang tuanya." lanjutnya. Devina langsung terdiam, tapi air mata terus mengalir dari matanya tanpa bisa dihentikan. "Aku minta Aira selamat. Aku yakin Mas pasti punya rencana di balik ini semua." lirihnya sambil menatap Adrian lembut. "Betul. Tunggulah sebentar lagi, jangan lupa untuk mendoakan, ya." Adrian mengusap puncak kepalanya lembut. Sengaja, ia tidak memberitahu kalau Azril
"Aku sudah jatuh cinta kepada wanita lain, jadi, mari kita bercerai, dan setelahnya, jangan ada pertemuan lagi!" hanya beberapa kata yang dikatakan Azril, tapi membuat Devina tak bisa berkutik. Tubuhnya mendadak tidak bisa digerakkan dan pendengaran serta penglihatan seperti tidak berfungsi lagi. Devina terhuyung ke arah sofa, tapi Azril sama sekali tidak melihatnya karena ia sedang berdiri di depan tangga membelakangi Devina. Selama tujuh tahun pernikahan, Devina belum diberikan kepercayaan untuk mempunyai anak, dan ini dijadikan alasan oleh Azril untuk berpisah. Ia sama sekali tidak tahu kalau wanita yang menjadi istrinya itu mencintainya. Bagi Devina, tentu saja cinta itu muncul tiba-tiba dengan seiring berjalannya waktu. Meksipun ia tahu Azril sama sekali tidak pernah mempunyai perasaan sedikit pun padanya, ia selalu percaya kalau pernikahannya akan langgeng sampai maut memisahkan. "Devi! Aku tidak mau mengulangi perkataanku lagi, semuanya sudah cukup sampai di sini." tegas A
"Bukankah hanya dengan ini Ibu masih bisa menjadi istrinya dan selalu ada di samping Pak Azril?" tanya Bu Naya dengan perasaan yang dibuat sesedih mungkin. Devina hanya terdiam, ia berusaha mencerna kata-kata Bu Naya yang menurutnya benar. Namun, apa hatinya akan sanggup jika ia melihat kemesraan suaminya dengan wanita lain? Apa ia tidak akan menitikkan air mata setiap saat? "Bu, saya tahu Ibu sangat mencintai Pak Azril, jadi berusahalah untuk selalu berada di sampingnya. Jika ibu menyerah begitu saja, bukankah pengorbanan ibu selama tujuh tahun ini akan sia-sia?" tanya Bu Naya lagi mencoba mengambil hati Devina yang sedang terombang-ambing. Devina mengusap air mata yang mengalir di wajahnya, menarik napas sedalam-dalamnya, dan mengembuskannya perlahan. "Akan saya pikirkan, Bu." Ia beringsut dan menjauh dari Bu Naya dan masuk ke kamar, bukan kamar yang selama ini menjadi saksi bisu dinginnya Azril, tapi kamar di lantai bawah yang biasa digunakan oleh tamu. Devina menyalakan ponse
"Bagaimana, kau sudah memikirkan apa yang aku katakan semalam?" tanya Azril dingin dan tajam, sama seperti sikapnya selama ini. Berbeda dengan sikap kepada Nafisah, padahal mereka baru kenal. "Ya." jawab Devina sambil tersenyum. Ia bersikap seolah semalam tidak mendengar dan tidak terjadi apapun. "Jangan selalu tersenyum begitu, aku muak!" ucap Azril tajam sambil memindahkan nasi ke piringnya. "Tidak apa-apa, Mas. Maaf, aku sudah terbiasa." Devina tidak mempedulikan perkataan Azril yang bagai torehan sembilu jika dengar oleh seorang istri. Ia malah menganggap perkataan Azril adalah ucapan semangat untuk menjalani hari. "Bodoh!" Azril mengeluarkan kata umpatan setelah mendengar suara wanita yang dibencinya mala selalu berbicara dengan tenang. "Makan yang banyak, Mas." Devina memberikan beberapa lauk kesukaan suaminya, tapi Azril menolak. "Apa motif di balik sikapmu selama ini?" tanya Azril yang selalu merasa kalau Devina selalu punya niat terselubung. Ketika masih bersahabat, me
Laki-laki lain? Kenapa membayangkannya saja membuatku marah? Tidak, mungkin ini karena aku sudah lama bersahabat dengan Devina, jadi aku tidak menginginkan dia bertemu dengan lelaki sembarangan. Ya, pasti begitu. "Benar kau tidak akan marah ketika hal itu terjadi?" Haris kembali melontarkan kata-kata seperti itu, padahal jelas sekali dia tahu jawabannya. "Untuk apa aku marah, aku hanya perlu menyeleksi laki-laki mana yang pantas bersanding dengan Vina!" tegasku tanpa menatapnya. "Menyeleksi pantas atau tidak, itu bukan urusanmu, tapi Devina sendiri. Karena kau juga tidak pantas untuk berada di sampingnya. Masa iya, tidak pantas, tapi menilai orang lain tidak pantas juga." Perkataannya kali ini bagai busur panah yang menusuk tiba-tiba ke arah jantung. Apa selama ini aku sudah memperlakukannya dengan buruk? Padahal aku selalu mencari cara agar bisa menjadi sahabat yang baik, tidak sebagai suami. Rasa jijik ketika dia menerima tawaran Mamaku untuk menjadi menantunya masih terasa. S
"Kau jangan coba-coba menyakiti Devina, ya!" kecam Randi sambil menatapku tajam. "Apaan, sih!" Aku menepis perkataannya. "Kau! Asal kau tahu, ya, memakai kerudung panjang belum tentu dia salehah, karena menutup aurat adalah kewajiban. Kalau Devina, sudah jelas dia istri yang penurut, tubuhnya pun tanpa cacat, tinggal kau bawa untuk dia mau menutup aurat!" jelasnya membuatku muak. Tentu saja aku tahu perbedaan di antara mereka, tetap saja Devina jauh dari lebih buruk. Aku akui, selama ini di antara kita belum pernah ada pertengkaran, tapi itu karena aku yang selalu meninggalkan dia. Entah mengapa, aku tidak ingin berlama-lama untuk terus berada satu ruangan dengannya. Untung saja selama beberapa hari ini dia tinggal di ruang tamu, jadi aku tidak perlu repot-repot untuk menjauh. "Iya, bawel." Daripada berdebat, aku memutuskan untuk diam. Dengan teliti, dia mengecek seluruh anggota tubuh, sayangnya hanya gelengan yang aku dapatkan. "Sebaiknya kau pergi ke dokter kandungan, dari s
Azril hanya bisa terdiam ketika Devina memperkenalkan dirinya. Sementara bagi Devina, saat ini dia hanya mengalah, dan mengalah bukan berarti kalah. Dia hanya menepi sejenak untuk menerima kemenangan yang sesungguhnya. "Jika aku menyerah begitu saja, tandanya aku mengaku kalah. Saat ini, aku ingin bermain sebentar sesuai isi hatiku, Mas. Ada saatnya kau akan menyesal dan memintaku untuk kembali, tapi saat itu tiba, jangankan kembali bersama, aku bahkan enggan untuk menoleh ke arahmu, Mas." batin Devina bermonolog. Bagi Devina, Azril memang segalanya. Tapi ... tapi semuanya hanya masa lalu. Ia bukan perempuan bodoh yang dibutakan cinta dan akan terus bersama orang yang dicintai tapi menyakitinya. Devina adalah gadis cerdas, selama tujuh tahun ini bertahan karena Azril masih setia terhadap pernikahannya. Dia tidak pernah abai terhadapnya, tapi akhir-akhir ini selalu merasa Azril berubah dan ternyata benar, ia kenal wanita lain, bahkan mengaku masih lajang. "Wah, kok ada pembantu ya
PoV Devi Aku meminta Mas Azril untuk menikah secepatnya bukan karena aku tidak punya harga diri atau tidak punya perasaan, tapi karena ingin menunjukkan padanya kalau aku sudah lelah dan menyerah untuk menjadi istrinya. Tidak ada penyesalan sedikit pun setelah menamainya selama tujuh tahun, setidaknya, Allah masih menginginkan aku untuk bahagia. "Maka makananku?" Mas Azril keluar dari kamar mandi dengan masih memakai baju handuk, padahal biasanya tidak pernah seperti ini. "Enggak ada!" jawabku singkat sambil meliriknya sekilas, lalu kembali fokus kepada gawai yang sedang kupegang. Wajahnya mendadak berubah menjadi merah, sudah pasti amarah sedang menghampirinya, tapi aku tidak peduli. Jika yang aku lakukan ini berdosa, maka aku hanya bisa meminta ampunan kepada Allah untuk mengampuni dosa dosaku. "Kamu itu gunanya apa?" protesnya tajam dengan tatapan menusuk. "Aku? Gunanya?" Aku menahan kata-kata yang ingin aku ucapkan dan menghampirinya dengan tatapan yang tenang, aku ingin di
Adrian sudah memasang perangkap untuk bisa menangkap Nurdin tanpa membuat Aira berada dalam bahaya. Benerapa orang yang ada di rumah Devina, terutama yang bertugas membantu pernikahannya bukanlah orang sembarangan. Memang bukan hanya Nurdin yang akan melancarkan aksi jahatnya, tapi dia juga meminta bantuan orang yang berada di rumah Devina. Orang yang rela melakukan apapun demi uang, dan sekarang wanita ini yang sedang memegang kendali atas Aira. "Kamu tenanglah, Aira pasti akan baik-baik saja." Adrian berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan Devina. "Aku bisa pastikan, asal kita harus tenang sebagai orang tuanya." lanjutnya. Devina langsung terdiam, tapi air mata terus mengalir dari matanya tanpa bisa dihentikan. "Aku minta Aira selamat. Aku yakin Mas pasti punya rencana di balik ini semua." lirihnya sambil menatap Adrian lembut. "Betul. Tunggulah sebentar lagi, jangan lupa untuk mendoakan, ya." Adrian mengusap puncak kepalanya lembut. Sengaja, ia tidak memberitahu kalau Azril
Azril terus aja mencari keberadaan di mana laki-laki yang bernama Nurdin itu di kota tempatnya kuliah, tapi tetap saja tidak ketemu. Banyak orang dia kerahkan, tapi tetap tidak membuahkan hasil. "Kira-kira di mana dia berada? Aku tidak ingin dia datang menyakiti keluargaku." Azril berucap lirih. Ia sudah faham betul jalan ceritanya. Jika ada Nurdin tahu kalau Pak Herman, laki-laki yang selama ini melindunginya itu sudah berada di tahanan, dia tidak mungkin akan diam saja. "Sepertinya belum ada pergerakan, ya." Haris menanggapi dengan biasa saja. "Terus bagaimana dengan bayimu, apa dia sudah ada pergerakan?" tanyanya lagi. Azril memilih diam daripada menjawab pertanyaan Haris. Ia tahu kalau sahabatnya itu pasti sudah mendengar kabar kelahiran Devina. "Apa kamu masih belum melihatnya?" tanya Haris lagi sambil menatap Azril bingung. "Aku tidak punya kesempatan untuk melihatnya." lirih Azril membuat Haris menatap kesal ke arahnya. "Alasan apa itu? Jika kamu memang cinta dan peduli
Azril memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap Herman dan juga Nafisah. Ia ingin mereka mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai dengan proses hukum. Terlebih lagi, Herman memang seorang mafia yang sudah berhasil menipu banyak orang dan perusahaan untuk kesenangannya sendiri. Melihat Azril jarang pulang ke rumah membuat Pak Halim dan Bu Ami bisa bernapas lega. Mereka sudah berjanji kepada Devina tidak akan mengatakan kalau bayinya sudah lahir dengan selamat dan sehat. Devina sementara waktu tidak ingin bertemu dengan Azril karena hatinya sedang membutuhkan pertolongan. "Darimana, Pa?" Suara yang terdengar seperti menodong membuat Bu Ami dan Pak Halim menghentikan langkah. Hari ini adalah hari kedua setelah putra Devina lahir dan mereka selalu pulang-pergi untuk melihat kondisi cucunya. "Dari luar dan kamu tidak perlu tahu hal itu!" tegas Bu Ami kemudian. Azril tersenyum kecut. Ada rasa sedih ketika melihat kedua orang tuanya lebih memilih berbohong daripada mengatakan y
”Tidak ada kata paling indah, selain aku mencintaimu karena Allah." ucap seorang laki-laki yang selalu dipanggil Ustaz Abdul oleh kelurga Pak Dean. "Namun kata-kata itu akan indah ketika diucapkan atau di katakan ketika orang yang menerimanya adalah pasangan halal kita. Karena apa? Karena tidak ada cinta karena Allah sebelum menikah. Semuanya pasti karena nafsu." jelasnya membuat Adrian dan yang lainnya menundukkan pandangan. "Jadi, maksud Nak Adrian ke sini benar untuk melamar sepupu saya, keponakan saya, sekaligus tetangga saya yang baik dan selalu mencintai orang lain dengan tulus?" tanyanya pada Adrian. Adrian hanya mengangguk. Matanya berusaha terlihat tegar, padahal ingin sekali dia menangis untuk mengungkapkan segala isi hatinya. Proses acara lamaran pun selesai. Meksipun keluarga Pak Dean dan keluarga Pak Halim bukan orang yang kolot, tapi tetap saja mereka menjalankan tradisi seperti dulu. Yaitu, yang mana laki-laki dan perempuan tidak boleh bersentuhan sebelum menikah. M
"Bagaimana bisa kau tahu tentang Devina?" Azril menatap Septi dingin. Suasana tiba-tiba menjadi berubah sepi karena Azril yang mengatakan tentang yang dialami Devina selama ini. Septi tersenyum menyeringai. "Siapa yang tidak kenal Devina? Bukan kampus yang selalu dingin kepada semua mahasiswa, kecuali padamu!" ucapnya geram sambil menatap Azril dengan penuh kebencian. Azril berdecih. "Oh, ternyata kau adalah salah satu laki-laki yang tertolak. Mau bagaimana lagi, hanya aku yang ada di matanya." "Aku tidak ditolak, karena memang tidak menyatakan perasaan. Hanya saja, sangat disayangkan perasaannya yang halus dirobek olehmu." Septi memilih untuk menjauh dari Azril dan mendekat ke arah Ayu. "Kupikir kau mencintaiku dengan setulus hati, nyatanya tidak. Mulai saat ini, kita bukan lagi hubungan suami-istri." tegasnya. Nafisah mulai tersenyum lebar. Jika Septi menalak Ayu, tandanya laki-laki masih punya perasaan padanya. Dengan penuh percaya diri, dia mendekat ke arah Septi. "Pasti kar
Azril sudah ada perasaan tidak enak ketika mendatangi rumah pakdenya Nafisah yang dulu pernah dia tinggali selama beberapa waktu itu. Sangat hening dan sepi. Sudah ada perasaan kalau penghuni rumahnya sedang tidak di tempat. Sementara Nafisah malah membuka setiap pintu kamar dengan tangis yang hampir pecah. "Jangan sampai kau menunjukkan rasa kasihanmu, karena aku tidak akan kasihan apapun keadaanmu," tegas Azril. Nafisah tidak bicara jelas kepada Azril, dari tadi dia hanya bergumam. "Sudahlah, tidak usah berteriak dengan sekuat tenaga. Keluargamu memang sudah meninggalkan rumah ini," jelas Azril membuat Nafisah geram. "Jangan sembarangan bicara kalau tidak tahu apapun!" teriaknya kepada Azril. Rasa panik pun semakin menjadi ketika tidak ada satu pun anggota keluarganya yang berada di rumah. Bahkan, baju-baju terbaik mereka pun sudah tidak ada lagi. "Kau memang tidak punya harapan!" lirih Azril. Dia memilih untuk duduk di teras sambil menunggu Nafisah melakukan apa yang ingin
Devina dan Bu Ani yang mendengar teriakan Azril pun langsung berlarian menghampiri. Namun, mereka sangat terkejut kalau Azril ternyata sudah mengetahui motif asli Nafisah. "Mama sudah tahu motif dia masuk ke keluarga ini lebih awal, kan? Kenapa Mama tidak memberitahu aku?" Azril kini menatap Bu Ami seolah menyalahkan. Adrian yang mendengar tuduhan Azril tertawa terbahak-bahak. Begitu pun Randi dan Pak Halim. Azril yang mendengar hal itu semakin diselimuti dengan kemarahan yang berlipat-lipat dan beberapa kali menatap tajam ke arah Nafisah. Ingi rasanya dia langsung melenyapkan wanita yang sudah dengan beraninya berbohong ini. Bahkan, Nafisah mengatakan kalau dirinya tidak bisa berhubungan dalam jangka waktu dua bulan, dikarenakan sakit. Ternyata, Nafisah memang tidak ingin berhubungan dengan semua laki-laki yang menjadi suaminya, kecuali Septi. Laki-laki yang dicintainya. "Kebenaran yang bagaimana yang kau inginkan?" Pak Halim memilih untuk mendekat ke anak laki-lakinya itu. Ad
Benar saja apa yang dikatakan Adrian, setelah pulang kembali ke rumahnya, mereka sama sekali tidak membicarakan tentang kejadian itu kepada siapapun. Bukan hanya karena takut Devina kembali kepada Azril, tapi juga takut Nafisah melukai orang-orang yang berada di rumah. Nafisah bukan gadis yang sederhana, dia sangat nekat. Bisa melakukan apapun bahkan dengan mata terbuka atau tanpa berkedip. "Kalau sedang di rumah, cukup awasi Devina. Aku takut dia menjadi sasaran wanita itu." pinta Adrian. "Kalau sibuk di rumah sakit, gapapa. Gak usah kepikiran juga. Biar masmu ini menyiapkan orang-orang terbaiknya." lanjutnya sambil menatap Devina dari kejauhan. Daripada rasa suka, Adrian lebih memperhatikan Devina untuk memastikan keselamatannya. Apalagi cinta yang sudah dipendamnya selama belasan tahun semakin lama semakin besar, seringkali ia merasa heran kepada Azril malah tidak mencintainya? Dari kejauhan, Adrian bisa melihat kalau Azril berulangkali mendekat ke arah Devina untuk mengajaknya
Ketika malam, Nafisah melihat asistennya Bu Ami sedang menyiapkan jus di dapur dan dia pun langsung membuat siasat. "Bu Dewi, ya." Nafisah pura-pura menyapa. "Iya, kenapa? Mau dibuatkan sesuatu?" Meksipun tahu kalau Nafisah bukanlah orang yang baik, Bu Dewi tetap saja bersikap baik padanya. Bagi wanita paruh baya yang sudah bekerja cukup lama di rumahnya Bu Ami itu, apapun masalah majikan, pekerja tidak perlu tahu. Apalagi mencari tahu dan terlibat. Nafisah menggeleng. "Tidak, saya hanya mau membuat minum saja." Sesuai dugaan Nafisah, Bu Dewi sudah membuat jus semangka yang sudah siap di dalam gelas. Tinggal di antarkan saja ke target Nafisah. Untunglah Bu Dewi sedang mengaduk sup yang sedang mendidih di atas kompor. Melihat asisten lengah, Nafisah langsung mengambil kesempatan untuk mencampurkan obat penghilang pusing dosis tinggi yang sudah dihaluskan ke dalam jusnya itu. Caranya melakukan kejahatan sangat apik. Siapapun yang melihatnya, pasti akan menyangka kalau Nafisah mema