"Aku sudah jatuh cinta kepada wanita lain, jadi, mari kita bercerai, dan setelahnya, jangan ada pertemuan lagi!" hanya beberapa kata yang dikatakan Azril, tapi membuat Devina tak bisa berkutik. Tubuhnya mendadak tidak bisa digerakkan dan pendengaran serta penglihatan seperti tidak berfungsi lagi.
Devina terhuyung ke arah sofa, tapi Azril sama sekali tidak melihatnya karena ia sedang berdiri di depan tangga membelakangi Devina. Selama tujuh tahun pernikahan, Devina belum diberikan kepercayaan untuk mempunyai anak, dan ini dijadikan alasan oleh Azril untuk berpisah. Ia sama sekali tidak tahu kalau wanita yang menjadi istrinya itu mencintainya. Bagi Devina, tentu saja cinta itu muncul tiba-tiba dengan seiring berjalannya waktu. Meksipun ia tahu Azril sama sekali tidak pernah mempunyai perasaan sedikit pun padanya, ia selalu percaya kalau pernikahannya akan langgeng sampai maut memisahkan. "Devi! Aku tidak mau mengulangi perkataanku lagi, semuanya sudah cukup sampai di sini." tegas Azril tanpa menoleh sedikit pun ke arah Devina yang sedang memukul-mukul dadanya dan terjatuh. "Ibu!" Bu Naya--asisiten rumah tangga yang selama ini membantu Devi mengerjakan semua pekerjaan rumah itu berlari ke arah majikannya. "Ya Allah, Bu. Ini kenapa?" Bu Naya membantu Devina untuk duduk di sofa dan memberikannya segelas air minum. Setelah menguasai diri, Devina menangis. Air mata dan rasa sakit selama ini selalu ditutupinya dengan senyuman sudah meluap, tidak bisa lagi ditahan, ataupun ditutupi lagi. "Sabar, ya, Bu. Saya sudah mendengar apa yang dikatakan Bapak barusan." Bu Naya mengusap lembut pundak Devina yang saat ini sedang terguncang. "Bukan kata sabar yang ingin saya dengar, Bu. Karena buktinya, saya tak bisa sabar lagi ketika Mas Azril mengibarkan bendera perpisahan." ucap Devina di sela tangis. "Saya hanya butuh orang yang mau mendengarkan segala keluh kesah dan membuat sedikit ketenangan tercipta, Bu. Bukan hanya mengatakan sabar, karena saya yang mengalami hal ini." lanjutnya membuat Bu Naya merasa bersalah. Devina adalah perempuan yang terang-terangan, dia akan mengatakan apapun yang mengganjal di hatinya. Tapi tidak ketika berhadapan dengan Azril, dia selalu memendam apa yang ingin dikatakannya, takut akan membuat suaminya itu tidak nyaman. Pernikahan ini memang dijodohkan, tapi Devina memang mencintai Azril dari dulu sampai tidak peduli kalau laki-laki yang akan menjadi suaminya itu punya pacar atau tidak. Karena baginya, menjadi istri Azril saja sudah cukup. Nyatanya, ia hanya disentuh tanpa cinta selama tujuh tahun ini. Namun semua itu tetap tidak membuatnya mundur, Devina selalu meyakinkan dirinya sendiri, kalau Azril bukan tidak mencintainya, tapi rasa cinta itu belum hadir pada hatinya. Bagi Devina, Azril tidak mengatakan berpisah pun sudah sangat bagus untuk posisinya. Kini semuanya hancur begitu saja. "Saya harus apa, Bu? Apa saya harus mengikutinya begitu saja? Tapi hatiku mungkin akan semakin sakit?" Devina terus saja memukul datanya sambil menangis di dalam pelukan Bu Naya. "Ya ampun, Bu. Ibu itu orang kaya yang sukses, tapi kenapa bisa mencintai laki-laki dingin seperti Pak Azril?" Bu Naya hanya bisa mengusap punggung Devina. "Entahlah, Bu. Dari dulu, aku tak bisa menghilangkan rasa cinta ini. Aku akan semakin terluka kalau jauh darinya, Bu." Devina masih menangis. Ia memang punya penyakit lambung, meksipun tidak terlalu parah, tapi akan menjadi kalau ia jauh dari orang yang dicintainya dari dulu itu, Azril. Hanya dia yang Devina inginkan. "Apa Ibu sanggup kalau Mas Azril menikah lagi?" tanya Bu Naya membuat Devina menatapnya. "Apa maksud Ibu?" "Maksud saya, izinkan Pak Azril menikah lagi, tapi Ibu tetap menjadi istrinya. Katakan pada Bapak, kalau Ibu rela dan ikhlas dimadu," jelas Bu Naya membuat Devina terbelalak."Bukankah hanya dengan ini Ibu masih bisa menjadi istrinya dan selalu ada di samping Pak Azril?" tanya Bu Naya dengan perasaan yang dibuat sesedih mungkin. Devina hanya terdiam, ia berusaha mencerna kata-kata Bu Naya yang menurutnya benar. Namun, apa hatinya akan sanggup jika ia melihat kemesraan suaminya dengan wanita lain? Apa ia tidak akan menitikkan air mata setiap saat? "Bu, saya tahu Ibu sangat mencintai Pak Azril, jadi berusahalah untuk selalu berada di sampingnya. Jika ibu menyerah begitu saja, bukankah pengorbanan ibu selama tujuh tahun ini akan sia-sia?" tanya Bu Naya lagi mencoba mengambil hati Devina yang sedang terombang-ambing. Devina mengusap air mata yang mengalir di wajahnya, menarik napas sedalam-dalamnya, dan mengembuskannya perlahan. "Akan saya pikirkan, Bu." Ia beringsut dan menjauh dari Bu Naya dan masuk ke kamar, bukan kamar yang selama ini menjadi saksi bisu dinginnya Azril, tapi kamar di lantai bawah yang biasa digunakan oleh tamu. Devina menyalakan ponse
"Bagaimana, kau sudah memikirkan apa yang aku katakan semalam?" tanya Azril dingin dan tajam, sama seperti sikapnya selama ini. Berbeda dengan sikap kepada Nafisah, padahal mereka baru kenal. "Ya." jawab Devina sambil tersenyum. Ia bersikap seolah semalam tidak mendengar dan tidak terjadi apapun. "Jangan selalu tersenyum begitu, aku muak!" ucap Azril tajam sambil memindahkan nasi ke piringnya. "Tidak apa-apa, Mas. Maaf, aku sudah terbiasa." Devina tidak mempedulikan perkataan Azril yang bagai torehan sembilu jika dengar oleh seorang istri. Ia malah menganggap perkataan Azril adalah ucapan semangat untuk menjalani hari. "Bodoh!" Azril mengeluarkan kata umpatan setelah mendengar suara wanita yang dibencinya mala selalu berbicara dengan tenang. "Makan yang banyak, Mas." Devina memberikan beberapa lauk kesukaan suaminya, tapi Azril menolak. "Apa motif di balik sikapmu selama ini?" tanya Azril yang selalu merasa kalau Devina selalu punya niat terselubung. Ketika masih bersahabat, me
Laki-laki lain? Kenapa membayangkannya saja membuatku marah? Tidak, mungkin ini karena aku sudah lama bersahabat dengan Devina, jadi aku tidak menginginkan dia bertemu dengan lelaki sembarangan. Ya, pasti begitu. "Benar kau tidak akan marah ketika hal itu terjadi?" Haris kembali melontarkan kata-kata seperti itu, padahal jelas sekali dia tahu jawabannya. "Untuk apa aku marah, aku hanya perlu menyeleksi laki-laki mana yang pantas bersanding dengan Vina!" tegasku tanpa menatapnya. "Menyeleksi pantas atau tidak, itu bukan urusanmu, tapi Devina sendiri. Karena kau juga tidak pantas untuk berada di sampingnya. Masa iya, tidak pantas, tapi menilai orang lain tidak pantas juga." Perkataannya kali ini bagai busur panah yang menusuk tiba-tiba ke arah jantung. Apa selama ini aku sudah memperlakukannya dengan buruk? Padahal aku selalu mencari cara agar bisa menjadi sahabat yang baik, tidak sebagai suami. Rasa jijik ketika dia menerima tawaran Mamaku untuk menjadi menantunya masih terasa. S
"Kau jangan coba-coba menyakiti Devina, ya!" kecam Randi sambil menatapku tajam. "Apaan, sih!" Aku menepis perkataannya. "Kau! Asal kau tahu, ya, memakai kerudung panjang belum tentu dia salehah, karena menutup aurat adalah kewajiban. Kalau Devina, sudah jelas dia istri yang penurut, tubuhnya pun tanpa cacat, tinggal kau bawa untuk dia mau menutup aurat!" jelasnya membuatku muak. Tentu saja aku tahu perbedaan di antara mereka, tetap saja Devina jauh dari lebih buruk. Aku akui, selama ini di antara kita belum pernah ada pertengkaran, tapi itu karena aku yang selalu meninggalkan dia. Entah mengapa, aku tidak ingin berlama-lama untuk terus berada satu ruangan dengannya. Untung saja selama beberapa hari ini dia tinggal di ruang tamu, jadi aku tidak perlu repot-repot untuk menjauh. "Iya, bawel." Daripada berdebat, aku memutuskan untuk diam. Dengan teliti, dia mengecek seluruh anggota tubuh, sayangnya hanya gelengan yang aku dapatkan. "Sebaiknya kau pergi ke dokter kandungan, dari s
Azril hanya bisa terdiam ketika Devina memperkenalkan dirinya. Sementara bagi Devina, saat ini dia hanya mengalah, dan mengalah bukan berarti kalah. Dia hanya menepi sejenak untuk menerima kemenangan yang sesungguhnya. "Jika aku menyerah begitu saja, tandanya aku mengaku kalah. Saat ini, aku ingin bermain sebentar sesuai isi hatiku, Mas. Ada saatnya kau akan menyesal dan memintaku untuk kembali, tapi saat itu tiba, jangankan kembali bersama, aku bahkan enggan untuk menoleh ke arahmu, Mas." batin Devina bermonolog. Bagi Devina, Azril memang segalanya. Tapi ... tapi semuanya hanya masa lalu. Ia bukan perempuan bodoh yang dibutakan cinta dan akan terus bersama orang yang dicintai tapi menyakitinya. Devina adalah gadis cerdas, selama tujuh tahun ini bertahan karena Azril masih setia terhadap pernikahannya. Dia tidak pernah abai terhadapnya, tapi akhir-akhir ini selalu merasa Azril berubah dan ternyata benar, ia kenal wanita lain, bahkan mengaku masih lajang. "Wah, kok ada pembantu ya
PoV Devi Aku meminta Mas Azril untuk menikah secepatnya bukan karena aku tidak punya harga diri atau tidak punya perasaan, tapi karena ingin menunjukkan padanya kalau aku sudah lelah dan menyerah untuk menjadi istrinya. Tidak ada penyesalan sedikit pun setelah menamainya selama tujuh tahun, setidaknya, Allah masih menginginkan aku untuk bahagia. "Maka makananku?" Mas Azril keluar dari kamar mandi dengan masih memakai baju handuk, padahal biasanya tidak pernah seperti ini. "Enggak ada!" jawabku singkat sambil meliriknya sekilas, lalu kembali fokus kepada gawai yang sedang kupegang. Wajahnya mendadak berubah menjadi merah, sudah pasti amarah sedang menghampirinya, tapi aku tidak peduli. Jika yang aku lakukan ini berdosa, maka aku hanya bisa meminta ampunan kepada Allah untuk mengampuni dosa dosaku. "Kamu itu gunanya apa?" protesnya tajam dengan tatapan menusuk. "Aku? Gunanya?" Aku menahan kata-kata yang ingin aku ucapkan dan menghampirinya dengan tatapan yang tenang, aku ingin di
"Siapa Nafis?" tanya wanita itu lagi dengan penuh penekanan. Beliau adalah ibu mertuaku, mamanya Mas Azril. "Em, bukan siapa-siapa, Ma." Aku langsung berjalan ke arahnya dengan senyuman yang mengembang. Aku memang kurang suka kedatangan Mama saat ini, karena akan menghambat pernikahan Mas Azril dan Nafisah. Namun, di sisi lain aku juga bahagia, karena Mas Azril tidak akan bisa berkutik di depan Mama. Enggak akan pernah. Jadi saat ini, aku sudah bisa lebih tenang menjalani hidup ini seperti keluarga normal dalam beberapa hari ke depan, dan akan kupastikan kalau Mas Azril tidak akan bisa berkutik. "Anak Mama gak nakal kan?" tanya Mama dengan kepanikan yang sangat terlihat di wajahnya. "Mama bisa tanyakan langsung pada orangnya." Aku tersenyum menyeringai ketika melihat Mas Azril yang tidak bisa bicara,hanya menggeleng saja. "Kau bisu?" Mama menatap anaknya tajam. "Perasaan di keluarga kita semuanya normal?" Mama lagi-lagi mengeluarkan kata-kata yang membuat mental Mas Azril terlem
Azril menatap tajam Devina ketika mendengar apa yang dikatakannya. Tadinya, hati kecilnya berharap kalau istri yang tidak dianggapnya itu akan membantu, seperti biasa yang dulu dia lakukan. Namun ternyata kali ini tidak, Devina malah mengatakan kata-kata yang sangat menyakiti hati dan perasaannya. Jauh dari harapan. "Kenapa, Mas? Mau marah?" tantang Devina sambil membawa buah kesukaan Azril, konyolknya dia malah berharap buah itu akan diberikan padanya. "Itu buatku, kan?" tanya Azril sambil menatap binar anggur hijau yang ada di tangan Devina. "Oh, kamu mau?" Devina tertawa kecil. "Apa maksudmu? Tentu saja aku mau!" Azril menggosok peralatan makan dengan penuh amarah, seperti ada dendam pribadi. "Kenapa kamu melotot gitu sama anak Mama?" tanya Bu Andin--mamanya Azril, tapi lebih menyayangi Devina--menantunya. "Em, enggak, Ma. Mungkin Mama salah lihat." kilahnya berbohong, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. "Awas kalau Mama menangkap kamu bersikap seperti ini lagi, Mama bis
Ketika Azril sedang melakukan rapat, ponselnya berdering. Setelah beberapa puluh menit, ia baru bisa melihat ponselnya dan siapa yang mengirimkan pesan. Azril tersenyum kecut ketika melihat pesan itu dari Adrian. Namun, untung saja Haris melihat hal itu, jadi dia akan membantu Adrian agar Azril mau melihat videonya. "Siapa? Kok wajahnya ditekuk begitu?" Harus berpura-pura tidak tahu. "Bukan orang penting, malas kalau orang ini mulai melewati batas." Azril handak mematikan ponselnya, tetapi Haris segera merebutnya. "Dari siapa sih ini? Jangan-jangan Devina?" Harus berusaha untuk mengalihkan."Bukan dia!" Azril menggeleng cepat. Belum sempat Azril mengatakan siapa yang menelponnya, Haris sudah lebih dulu membukanya. "Wah, sebuah video. Siapa tahu ini penting." Haris langsung menyimpan ponsel itu di depan Azril di sandarkan ke tumpukan berkas dan dia pun duduk di sampingnya. Mereka menonton video tentang Nafisah dengan suara yang jelas terdengar. "Apa? Tidak mungkin kalau ini a
Sesuai pesan Adrian, Azril mulai mencari tahu latar belakang Nafisah dari beberapa orang yang bisa dia hubungan. Namun, sampai beberapa hari masih tidak ada hasilnya. "Bagaimana?" Adrian menatapnya lekat. "Kau harus segera bertindak sebelum Nafisah membuatmu lebih menderita lagi." pesannya. "Kau tidak perlu pedulikan aku, lagipula kita adalah lawan. Tidak usah saling mengingatkan." Azril tersenyum sinis. Semenjak melihat kedekatan sepupunya itu dengan Devina, Azril menjadi lebih sensitif. Dia juga tidak begitu menyukai Adrian yang memang sedari dulu Adrian selalu lebih unggul darinya. "Aku hanya mengingatkan, apalagi Nafisah terlihat seperti orang yang mudah dihadapi." Adrian tetap tenang. "Aku tidak butuh. Dia hanya seorang wanita, jadi tidak akan begitu membahayakan." Azril berucap dengan percaya diri. "Baiklah, aku tidak akan bicara lagi. Kelak, aku hanya bisa berharap kalau kau bisa lebih dulu mengetahui siapa ia sebelum orang itu bertindak lebih jauh lagi." Adian keluar dari
Semenjak Adrian datang ke rumah ini, Devina tidak jadi pergi. Kini, Azril dan Devina sudah tidak terikat lagi. Baik secara hukum negara ataupun agama dan bisa menikah lagi dengan orang lain. Hal ini, menjadi sebuah kebahagiaan tertinggi yang membuat hati Adrian menghangat. Menyia-nyiakan orang yang selama ini membantu kehidupan kita adalah cara yang salah, apalagi jika kita tidak sadar tentang hati kita. Karena jika dilakukan, maka kita akan beras di penyesalan paling bawah yang tidak bisa melakukan apa-apa. "Mas, istrimu ada di sini!" Nafisah menggoyangkan tubuh Azril yang hanya fokus menatap ke arah Devina, tetapi yang digoyangkan tidak terpengaruh sama sekali. Azril bahkan tidak bisa melepaskan tatapan matanya dari Devina. Hatinya sakit seperti diremas sampai tidak ada sari ketika melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu sedang berbincang-bincang santai dengan laki-laki lain. Pak Halim yang lewat di depan anaknya itu batuk kecil. "Kalau sudah tiada, baru terasa. Bahws ke
"Untuk apa kamu tanya lagi, perempuan itu memang pandai berbohong dan menutupi kebohongannya!" Bu Ami menatap Nafisah sinis. Sementara yang ditatapnya hanya mengeluarkan air mata. Ya, saat ini yang bisa menjadi senjatanya hanyalah menangis. "Lihatlah! Dia adalah wanita lemah. Memang wanita kuat itu bukan berarti tidak mengeluarkan air mata, tetapi coba kamu bayangkan kalau Nafisah yang berada di posisi Devina. Menjadi istri seorang lelaki selama tujuh tahun, tetapi laki-laki itu sangat tidak tahu malu. Dia malah membahas masalah perceraian setiap waktunya. Bagaimana perasaannya?" Penjelasan Bu Ami membuat semua orang terdiam. Sementara Devina hanya tersenyum kecut melihat Nafisah yang tiba-tiba mengeluarkan begitu banyak air mata. Azril merasa sangat bersalah, beberapa hari ini ia selalu dihantui rasa bersalah. Akan tetapi tetap saja Devina enggan untuk menatapnya kembali. Ada rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. "Enggak bisa disamakan dong, Bu. Mungkin Mbak
Ketika Nafkah sedang berada di bawah kendali Bu Ami, Azril masih mendatangi beberapa toko untuk menemukan Randi dan juga istrinya--Devina. Namun, setelah satu jam mencari, dia tidak menemukan kedua orang itu. Terlalu lelah, Azril duduk di salah satu kursi kafe yang berada di sebelah taman yang dulu sering mereka datangi sewaktu belum pada menikah. Azril memesan segelas kopi cappuccino sambil merenungi apa saja kesalahan yang sudah dibuatnya kepada Devina. Ketika yang diingatnya semakin banyak, maka rasa bersalahnya pun meningkat. Azril memilih duduk di sudut cafe sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. "Aku merindukanmu!" Dua kata yang baru saja terdengar di telinga Azril membuatnya mengedarkan pandangan. Dia melihat dan memperhatikan setiap orang yang ada di cafe itu dan pandangannya jatuh kepada kedua orang yang sedang dicarinya. Namun, ada seseorang yang terasa tidak asing sedang menemani mereka berdua. Seorang laki-laki yang sedari dulu memang selalu melindungi
Karena Nafisah sangat enggan untuk berpisah dengan Azril, Randi memutuskan untuk menginap selama beberapa hari, dan membuat Azril cemburu. Meski dia tahu kalau Devina tidak akan goyah dengan keputusannya, Randi tetap akan melakukan itu. Randi ingin tahu apa di hati Devina masih ada Azril, atau ingin mencoba membuka hati untuk orang baru. "Tumben kamu mau menginap? Beberapa hari, lagi." Bu Ami merapikan kamar yang akan ditempati oleh Randi. Dari dulu, Bu Ami memang suka melakukan hal ini sendiri. Menurutnya beberapa pekerja memang harus punya, tetapi tetap saja kalau masalah pribadi tidak ada yang boleh menyentuhnya. Bahkan, Nafisah saja tidak diizinkan untuk berada di dapur sendirian. Bu Ami takut, kalau Nafisah akan menaruh sesuatu yang berbahaya seperti racun. Apalagi di sini sedang ada Randi, Devina, dan juga buah hatinya. Sementara Azril, tidak termasuk daftar yang dikhawatirkan. Randi memutar badannya setelah mengambil selembar foto dari saku kemejanya untuk ditunjukkan ke
"Apaan sih kamu, Mas. Berisik!" Devina terpaksa bicara, dia benar-benar sangat geram dengan sikap Azril yang seolah masih peduli padanya. Padahal, selama tujuh tahun ini Azril hanya menganggap dirinya sebagai pajangan. Tidak lebih. Bagi Devina perkataan Randi hanyalah candaan, dia sudah menyangka kalau percakapan ini sengaja direncanakan oleh mertuanya dan juga Randi sendiri. Sementara Devina sama sekali tidak terusik. "Kamu kok bicaranya emosi gitu, sih, Mas. Biar saja kali babu ini nikah, biar dia naik derajat." celetuk Nafisah membuat Randi menatap Azril tajam. "Kita perlu bicara!" Randi langsung berbicara to the point kalau dia perlu meluruskan apa yang baru saja dibilang istri yang selalu dibanggakan Azril. Bagi Randi, bukan hanya Azril yang penting, tapi juga Devina. Dia ingin orang-orang yang dicintainya hidup dengan bahagia. Terutama wanita yang selama ini mencintai Azril dengan tulus, tetapi tiba-tiba menginginkan perpisahan. "Tentu saja!" Azril langsung setuju. Sementar
Setelah perbincangan malam itu, Azril menjadi sering memerhatikan gerak-gerik Nafisah yang seringkali melanggar syariat. Seperti langsung membukakan pintu ketika ada tamu laki-laki, padahal sudah ada orang khusus yang bekerja untuk membuka pintu. "Nafis, kamu sedang sibuk tidak?" Bu Ami sengaja mendatangi kamar Azril untuk mengusik ketenangan mereka berdua. Ada amarah dalam diri Bu Ami ketika anaknya selalu saja membela wanita berkedok itu. Bahkan, beliau sampai menghubungi Randi, sahabatnya Azril yang bertugas di rumah sakit yang menyediakan kantin tempat Nafisah membantu budenya untuk bertemu dan membicarakan hal ini. "Sibuk, Bu." jawabnya tanpa menatap lawan bicara sedikit pun. Bu Ami semakin menatapnya tajam, Nafis telah berbohong. Ia hanya duduk di samping Azril yang sibuk dengan benda empat belas incinya sambil memainkan ponsel. "Sibuk apa?" Bu Ami mengambil langkah besar dan duduk di hadapan Azril juga Nafis yang tidak kunjung menjawab. "Katakan pada Mama, istri yang kau
Mata Bu Ami membulat sempurna ketika melihat apa yang dilakukan Nafisah, ribuan pertanyaan muncul di benaknya, dan telah lahar panas yang ada di tubuhnya telah siap untuk menghancurkan orang yang menganggap putrinya sebagai pembantu. Sementara Devina menatap Azril dengan tatapan merendahkan. Jika bukan karena pamannya, ia sangat enggan untuk berada di satu ruangan yang sama dengan laki-laki pengkhianat ini. Apalagi harus kembali mencoba untuk memperbaiki pernikahan yang sudah terpecah menjadi beberapa keping. Azril hanya bisa menundukkan kepalanya ketika melihat apa yang dilakukan Nafisah, ia sedang berada di dalam dilema yang besar. Jika ia memberitahu Nafisah kalau Devina adalah istrinya, dia takut Nafis akan meminta cerai. Akan tetapi jika ia tidak mengenalkannya, tentu saja orang tuanya akan langsung memutuskan hubungan di antara mereka. Di pikirannya sedang terjadi perang yang membuat perasannya semakin gelisah dan gundah gulana. Devina pun menjelaskan singkat sambil berbisik