WANITA KEDUA 3
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Janji orang yang tidak bisa dimiliki mungkin ibarat pasir dalam genggaman. Semakin kuat tergenggam, maka semakin sakit. Bahkan, semakin melemah genggaman, maka segalanya semakin jatuh berserakan. Dua keadaan yang sama-sama tidak bisa menjamin kebahagiaan. Akan tetapi, keyakinan terkadang menyala layaknya temaram untuk hati yang terlanjur tenggelam akan cinta berselimut cerita kelam.
Thifa sekuat mungkin berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ucapan pria di sana itu adalah sebuah kesungguhan, bukan semata sekadar rayuan. Meski hubungan yang tersulam tidak wajar, tetapi perasaan justru semakin membesar. Bahkan, gejolak rindu itu mampu terus membara setelah lima bulan berlalu. Namun, ketakutan-ketakutan kecil hingga besar masih menghampiri jika mendengar cintanya sebuah kesalahan. Sementara ia hanya bermodalkan perhatian dan ketulusan.
“Aku percaya sama Mas Aksa tidak akan pergi begitu saja. Aku yakin dia pasti menepati janjinya untuk selalu ada.” Thifa meyakinkan diri sendiri kedua kali. Menghibur dengan kata-kata 'tidak akan' kerap membuat hati menjadi lebih baik. Namun, hati tidak bisa berbohong kalau gelisah akan hal itu sering datang mengganggu.
Sebagai sahabat yang tahu persis kisah cinta rumit itu, Yula sering mengingatkan sebab akibat dan sebisa mungkin tetap menemani apa pun kondisi Thifa—wanita yang rela terluka untuk seorang Aksa Gautama. Ia sendiri sadar bahwa hati tidak bisa meminta kepada siapa akan berlabuh. Semua telah digariskan oleh Sang Pemilik Hati. Manusia hanya bisa berserah dan menjalani sebagai ujian dan pembelajaran, atau bisa juga serupa pencarian jati diri.
Seperti sekarang, ia mencoba menyadarkan akal yang terlanjur terisi cinta pria beristri tanpa ingin menyudutkan atau pun menghakimi. Akan tetapi, tentang hati itu memang tidak bisa dipaksa.
“Thifa ... kamu denger aku, kan?” ujar Yula sembari mengusap lembut punggung yang menurutnya begitu kuat karena bisa memikul beban mencintai milik orang.
Thifa bergegas mengusap bulir bening yang tanpa disadari menetes begitu saja membasahi pipi. “Aku enggak apa-apa, La ... aku hanya yakin kalau Mas Aksa adalah pria yang baik terlepas dari hubungan terlarang ini. Kalau dia jahat, dia pasti udah ngapa-ngapain aku. Tapi, nyatanya dia bisa menjaga semuanya. Mencium bibir ini aja bisa hanya sesekali, itu pun kalau rindu terasa mencekik leher. Aku ingin percaya kata-katanya, La ... aku mencintai dia dari sini,” jawabnya sembari menunjuk dadanya. Di mana semua rasa bersemayam penuh di satu tempat.
“Ya udah. Aku cuma mengingatkan aja kalau resiko dari hubungan yang kamu jalani itu enggak sembarangan. Banyak yang harus disimpan di sini. Terutama keadaan hatimu sendiri yang berpura-pura kuat. Kalau kamu ingin menangis, menangis aja. Kalau begitu, aku pulang. Jangan lupa itu makanan dimakan. Kasian, entar mubazir.” Yula mengusap punggung yang berpura-pura kuat itu sekali lagi, lalu beranjak meninggalkan sahabatnya sendiri.
“Makasih, La ... kamu memang sahabat sejati. Maaf, kalau aku sering bikin kamu marah dan repot,” ucapnya sebelum langkah Yula menjauh.
”Sama-sama. Enggak usah berterima kasih terus. Kita ini teman, udah keharusan saling bantu.” Yula memamerkan senyum manisnya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan.
Wanita yang masih merasa cemas itu memaksa kedua sudut bibir membentuk lesung pipi. Setelahnya kembali menatap bungkusan makanan di meja dengan hati tidak karuan. Ia masih tidak menyangka kalau kisah asmaranya akan sepelik dan serumit sekarang. Memang banyak pria single di luaran, tetapi entah kenapa justru terjatuh pada pria istimewa yang telah berpunya. Ingin menyalahkan seseorang pun tidak tahu harus kepada siapa. Karena tentang rasa tidak ada yang kuasa membaliknya kecuali Tuhan.
“Mungkin lebih baik aku mandi lebih dulu. Lepas itu makan. Bener kata Yula, entar mubazir makanannya,” katanya pada diri sendiri, lalu bangkit untuk membersihkan diri.
Sebagai wanita yang bekerja di salah satu swalayan besar dengan pergantian jam kerja, Thifa kerap membersihkan diri pada waktu seadanya. Ia hanya mengandalkan air hangat sebagai penyegar raga setelah seharian lelah bekerja. Tentunya ditambah pesan-pesan mesra dari sang pria. Baginya, Aksa adalah penyemangat hidup setelah kedua orang tuanya pergi untuk selamanya.
Bersama Aksa, ia mampu menemukan sosok Ayah sekaligus Ibu yang kerap menghujani harinya dengan cinta dan kasih sayang. Bahkan, perlahan kejadian yang merenggut nyawa orang tuanya mulai samar dari ingatan. Ya, kecelakaan itu membuat hidup seorang Thifa Arsyana mau tidak mau harus tetap bertahan. Meski perih itu terus mengoyak, raga sebisa mungkin bertahan hidup. Ia rela melepas impiannya menjadi sarjana dan memilih bekerja setelah kepergian orang terkasih.
“Kenapa aku jadi inget mereka lagi? Padahal udah lima tahun lebih berlalu,” batinnya saat baru selesai membersihkan diri. Tawa kecil terlepas begitu saja membayangkan nasibnya yang jauh dari kata sempurna. Saat-saat seperti ini selalu menumbuhkan rindu teramat sangat pada pria di sana. Apalagi setelah mendapat kejadian seperti tadi sore. Rindu dan khawatir tertumpuk menjadi satu.
“Apa Mas Aksa baik-baik saja? Kenapa belum kasih kabar juga? Apa jangan-jangan ucapan Yula itu benar? Aku belum siap jika harus kehilangan dia saat ini,” ujarnya sembari menyisir rambut yang hanya sepanjang bahu. Akan tetapi, satu notifikasi pesan menghentikan geraknya.
Satu pesan yang sejak tadi ditunggu akhirnya mampu melenyapkan segala ketakutan. Pria di sana masih mengingat untuk tetap dan akan selalu ada. Dengan segenap perasaan takut dan rindu, Thifa membaca pesan itu disertai debaran dada.
Aksa
[Malam, Sayang ... kamu enggak apa-apa, kan? Maafkan kejadian tadi sore ya? Aku enggak bisa belain kamu. Kamu baik-baik di situ. Aku di sini enggak apa-apa. Kamu enggak usah terlalu mikirin. Biar aku aja. Jangan lupa makan. Pasti belum makan, kan? Kamu harus sehat, enggak boleh sakit.]
Pesan-pesan sederhana seperti inilah yang membuat Thifa bertekuk lutut dan tidak bisa berpaling. Meskipun hanya sebuah hubungan tanpa nama, tetapi membuat hati merasa tenteram. Bahkan, impian bisa bersama suatu saat ini tidak pernah karam. Saling mengkhawatirkan seperti ini yang menumbuhkan perasaan semakin dalam. Dengan cepat, jemari lentik itu menari di layar ponsel merangkai pesan balasan.
Thifa
[Malam juga, Mas ... aku enggak apa-apa. Mas enggak apa-apa? Aku takut kalian berantem tadi. Mbak Rena sepertinya marah. Maaf, Mas ... aku enggak ada niat buat kalian bertengkar. Mas enggak perlu khawatirin aku. Di sini aku baik-baik saja. Aku juga pasti makan. Aku hanya takut kalau hubungan ini hilang dan Mas milih pergi. Aku enggak tahu harus ke mana kalau sendiri.]
Aksa
[Bertengkar sedikit tadi. Kamu enggak usah khawatir. Rena biar menjadi urusanku. Kamu enggak salah ngapain minta maaf? Dan kamu juga enggak usah mikir macam-macam. Aku enggak akan pergi dan enggak akan ada yang hilang. Ya udah, kamu makan gih ... love you.]
Thifa
[Iya. Habis ini makan. Love you more.]
Aksa
[Emoji kiss berjajar rapi seperti kereta.]
Pesan sengaja dibiarkan tidak lagi berbalas. Thifa merasa tenang mengetahui pria yang membawa hatinya di waktu kurang tepat tidak akan pergi. Ia bisa merasakan setiap kata yang tertulis adalah kesungguhan. Oleh sebab itu percik-percik api harapan untuk bersama kerap menyala begitu saja. Meskipun tahu hubungan yang ada tidak akan pernah bermuara.
“Apakah aku salah jika mulai serakah dengan menginginkan dia? Aku tahu cinta itu tidak selalu harus bersama. Tapi, aku juga sadar bahwa itu tidak mungkin aku pinta pada Tuhan. Kenapa cinta ini harus datang di waktu yang kurang tepat?”
--------***--------
Bersambung
WANITA KEDUA 4Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMencintai milik orang memang kerap dianggap sebagai kesalahan. Akan tetapi, rasa itu tetaplah anugerah Tuhan yang akan memberi pelajaran akan arti ketulusan dalam hidup. Sekuat apa logika menyalahkan perasaan, hati akan selalu kalah melawan.Wanita yang terjebak cinta terlarang itu menarik napasnya dalam. Thifa berucap sendiri mempertanyakan hal yang sama setiap hari tentang hatinya. Terkadang ambisi menyelimuti hati untuk bisa memiliki sang pria seutuhnya, tetapi kenyataan begitu kejam menghentikan.“Kepalaku pusing jika harus membahas tentang rasa ini terus menerus. Maafkan aku jika cinta yang ada mulai mengubahku menjadi wanita egois, Mas ... sungguh, jika bisa, aku ingin pergi dari perasaan yang rumit ini. Tapi, aku benar-benar takut kehilanganmu. Lebih baik aku menahan lara daripada enggak bisa melihat Mas Aksa sama sekali," lirihnya sekali lagi sembari memegang kepala yang perlahan berdenyut.Thifa mencoba beranjak, meninggalkan ruang t
WANITA KEDUA 5Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenghindar dari suatu pukulan yang datang tanpa pemberitahuan adalah hal sia-sia. Mau tidak mau, suka tidak suka tetap jalan satu-satunya adalah menghadapi. Entah nantinya akan seperti apa biarlah menjadi urusan Sang Pemberi Hidup. Meskipun ancaman kehilangan orang yang dicintai semakin besar. Thifa membaca pesan itu kedua kali dengan memasrahkan segala hubungan yang terjalin dengan sang pria. Mau ikatan itu terlepas dengan bebas atau tetap terjalin dengan setengah rasa yakin, biarlah menjadi keputusan Tuhan. Akan tetapi, rasa kehilangan memang begitu mudah mengubah perasaan tenang diselimuti gamang. “Balas enggak ya? Apa aku kasih tahu Mas Aksa dulu? Tapi, takut mereka lagi bareng. Kejadian tadi sore aja udah buat bertengkar, apalagi kalau tahu soal ini. Aku harus gimana? Apa aku temui Mbak Rena tanpa sepengetahuan Mas Aksa?” tanya Thifa tanpa pernah tahu siapa yang akan menjawab pertanyaannya.Wanita yang tidak tahu harus mengambil keputu
WANITA KEDUA 6Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKejujuran memang bisa saja membawa pada kehancuran. Begitu juga kebohongan. Akan tetapi, ada satu keadaan yang membuat dua pilihan itu menjadi bentuk keselamatan perasaan. Ya, keselamatan dari jurang kehilangan orang yang memiliki tempat istimewa di hati. Meskipun harus menempatkan harga diri pada tempat paling dasar. Wanita yang masih berusaha menelan ludahnya sendiri terus memikirkan jawaban dengan perasaan entah. Ya, Thifa merasa kejadian sekarang terlalu cepat terjadi. Di mana hubungan yang beberapa bulan terjalin secara rahasia mulai menyebarkan aroma. “Em-mm ... gimana maksudnya, Mbak?” Thifa berusaha memperlambat waktu dengan berpura-pura bodoh. Ada harapan jika dirinya akan selamat dari puluhan pertanyaan apabila karyawan swalayan berdatangan. Karena wanita di depannya kemungkinan besar memilih pergi daripada malu terperih caci. “Kamu enggak usah berlagak bodoh! Aku bisa melihat dari tatapan kalian berdua. Kamu ada sesuatu sama Mas
WANITA KEDUA 7Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKecerobohan bertindak atau berucap terkadang memang bisa menyisakan penyesalan. Apalagi jika sesal itu meninggalkan bekas luka dan rasa malu sebab menaruhkan harga diri. Bukan tidak bisa menjaga, tetapi keadaan mengalahkan kesabaran. Meskipun semua itu hanyalah sebuah pembelaan hati yang menggadaikan nurani demi satu ikatan tidak semestinya. Ya, Thifa melakukan kebodohan tanpa pernah memikirkan harga dirinya tercecer serupa sampah. Apalagi pria yang memiliki kuasa penuh akan pekerjaannya telah memberi peringatan. “Tenang, Thifa, tenang ... kamu hanya harus bisa menahan ego agar tidak mudah terpancing lagi jika Mbak Rena bicara. Kamu harus sadar, sekuat apa membela diri, kesalahan terbesar tetap jatuh padamu. Karena kamu memang salah. Benar yang dikatakan Pak Lian,” gumamnya sekali lagi meratapi kejadian beberapa menit lalu. Beruntung yang mengetahui hanya Pak Lian—sang pemilik swalayan. Ketika tengah meratapi nasib diri, satu tepukan lembu
WANITA KEDUA 8Oleh: Kenong Auliya ZhafiraRasa bosan dan muak bisa saja menghampiri jika dihadapkan dengan pertanyaan yang berujung ancaman. Apalagi sengaja menjadikan janji masa lalu sebagai senjata. Meskipun langkah ingin sekali menjauh, tetapi keadaan justru masih terus menahan gerak kaki. Seandainya tidak pernah ada situasi yang mengikat layaknya janji sekerat, maka keraguan untuk pergi mungkin bisa saja tertanam kuat. Akan tetapi, keadaan justru membuat pertikaian hati dan akal kian panas membabat.Pria yang ingat betul ucapannya dulu akan berada di sisi seorang Serena dengan catatan membantu ekonomi keluarga seketika menarik napasnya dalam. Lalu mengembuskannya perlahan agar amarah dalam dada tidak ikut tersulut dan lekas padam. Aksa memberanikan diri menatap wanita yang memasang wajah penuh amarah. “Aku sama Thifa hanya saling peduli, Rena ... jadi tolong jangan ganggu dia dengan tingkah konyolmu seperti sekarang. Dan kalau kamu menyalahkan, jangan salahkan dia! Salahkan aku
WANITA KEDUA 9 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraSabahat itu akan selalu dengan mudah merasakan perbedaan pada orang terdekat apabila telah terjadi sesuatu. Bukan hanya sekadar ingin tahu atau penasaran, tetapi memang ada kepedulian yang mendasari ikatan persahabatan. Apalagi jika semua pernyataan diri dibarengi kenyataan yang tepat di hadapan. Hal itu jelas semakin menambah pikiran berkelana lebih luas. Yula masih mencoba menerka apa yang kini tengah terjadi. Di mana pria yang memiliki kuasa penuh atas swalayan memberi peringatan kedua kali pada Thifa—sahabatnya. Rasa peduli dan takut hal buruk terjadi seakan berlomba memperebutkan siapa yang akan menjadi penguasa hati. “Thifa ... emangnya tadi pagi kamu kenapa? Kamu buat kesalahan tadi?” bisik Yula pada wanita yang masih memasang wajah setengah gugup. Akan tetapi, Thifa tidak menjawab dan hanya fokus pada pria yang menatapnya dengan wajah serius tapi tetap memiliki kharisma. Lian yang merasa butuh jawaban mengulangi pertanyaannya, “Ka
WANITA KEDUA 10 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenjalin sebuah ikatan pada hati yang tidak semestinya memang dipastikan hanya mendapat luka dan air mata. Ancaman kehilangan atau pun ditinggalkan akan bisa seperti kematian yang mengintai nyawa di setiap ujung napas. Bahkan, muara yang kadang menjadi impian dari akhir sebuah hubungan bisa saja tidak pernah ada. Hanya hati terpilih dari Tuhan jika ada yang mampu menjalani kisah terlarang tanpa arah, tetapi tetap berserah dan tidak menyerah. Akan tetapi, rasa takut kehilangan akan selalu terbawa di setiap jejak langkah.Ya, Thifa pasti tahu semua kemungkinan terburuk untuk kisahnya sendiri yang menumbuhkan bunga di tempat tidak seharusnya. Rasa takut kehilangan pun memang selalu mengalir bersama aliran darah hingga urat nadi. Apabila seorang Aksa pergi bisa dipastikan hidupnya pun tidak akan baik-baik saja. Wanita yang tidak memungkiri rasa takut itu menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “La ... aku mencintai Mas Aksa dari hati. Ak
WANITA KEDUA 11 A Oleh: Kenong Auliya ZhafiraTerkadang sebuah hubungan yang disembunyikan rapat tidak ingin membuatnya terbuka begitu mudah pada setiap orang. Ada keinginan besar untuk menyimpannya sendiri bersama segenap luka dan bahagia. Akan tetapi, waktu lebih menggunakan kuasanya kapan kejujuran kembali menjadi pegangan hidup. Karena sejatinya memang segala macam bentuk rahasia akan terkuak bersama waktu. Entah dengan hal-hal tidak terduga, atau hal-hal yang telah direncanakan oleh manusia itu sendiri. Wanita yang kemungkinan besar akan mengalami masa-masa itu hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Di mana dirinya mendapatkan lagi pertanyaan akan kisah yang dirahasiakan dengan sang pria. Ya, Thifa masih tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. “Em, anu, Bu ... bukan apa-apa, kok. Saya permisi dulu, waktu istirahat sudah hampir habis. Mari, saya duluan ...,” pamit Thifa yang memilih lari sebelum membuka siapa dirinya tanpa persiapan mental apa pun. Ia tidak ingin semakin ban
WANITA KEDUA 47 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Seketika wanita yang memang ingin berdamai dengan nasibnya sendiri terdiam tanpa kata. Meskipun tidak begitu mengingat seperti apa pria bernama Ezra itu, tetapi Athifa mencoba memahami tindakan sahabatnya memilki tujuan baik untuk dirinya. Hanya saja memang hatinya yang sedang mengalami masalah. "Aku tahu maksud kamu baik, Yula. Tapi, saat ini memang belum mau memikirkan tentang pria. Apalagi cinta. Entah kenapa rasanya semua hasrat itu padam," jawab Athifa sembari menatap Yula dengan pandangan hampa. "Tapi anehnya dia tahu tentang kamu menjalin hubungan dengan Aksa. Entah tahu dari mana, dia tidak mau mengaku. Cuma katanya bukan dari orang sembarangan," cerita Yula sedikit panjang dan melebar. Athifa hampir kesulitan menelan ludahnya sendiri mendengar ucapan sahabatnya. "Dia tahu kalau aku suka sama suami orang?" tanyanya dengan mata membulat. Yula mengangguk, "Iya. Tapi kamu tidak perlu cemas. Dia mau diam, kok." "S
WANITA KEDUA 47 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Kata maaf memang tidak selamanya bisa menyembuhkan luka. Namun, setidaknya satu kata tersebut bisa sedikit menyamarkan perih. Selain itu juga mengajarkan hati untuk berlapang dada pada kejadian yang telah digariskan sang pemilik alam semesta. Wanita yang belum terlalu kuat berdamai dengan luka dan kata maaf itu menatap dua pria di hadapannya secara bergantian. Meskipun rasanya ingin berlari sejauh mungkin dari kenangan dan kenyataan, tetapi suka tidak suka tetap harus menghadapinya. "Kamu tidak perlu minta maaf, Mas. Sebab aku sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin juga sudah menjadi peran yang harus aku mainkan. Aku ingin berdamai dengan luka ini. Kalau kamu merasa bersalah, maka hiduplah dengan perasaan itu selamanya. Dan aku juga tidak menyesal pernah mengenal dan jatuh cinta padamu," jawab Athifa sembari mengepalkan kedua tangan untuk mengumpulkan segenggam kekuatan. "Aku tidak membencimu, Mas. Karena bagaima
WANITA KEDUA 46 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Lagi. Aksa menatap wanita yang terlihat begitu mudah berbicara tanpa kegugupan sama sekali mengenai masalah dirinya. Meskipun ia menyadari jika ucapan Serena adalah benar adanya. "Aku akan mencoba mencari waktu yang tepat. Entah dia mau memaafkan atau tidak, itu haknya. Karena aku sendiri juga merasa tidak pantas mendapat kata maaf," jawabnya, lalu menunduk menatap kakinya yang terlalu lemah untuk mengambil keputusan. Ketika dua manusia itu sedang belajar menjadi pasangan yang sebenarnya, tiba-tiba orang tua Aksa berdiri di hadapan dengan wajah penuh ekspresi. "Kenapa kamu tidak pantas mendapat kata maaf?" tanya pria yang tidak lain adalah ayahnya Aksa. Aksa dan Serena seketika berdiri dan menyambut kedatangan orang tua yang jarang bertemu setelah acara pernikahan dulu. "Ayah? Kok, tidak bilang mau ke sini?" tanya pria yang sedikit terkejut melihat sang ayah. "Iya. Kalau bilang, kan, kita bisa menyiapkan sesuatu, Yah
WANITA KEDUA 46 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Mengetahui suatu kabar yang berusaha dirahasiakan dari khalayak ramai ternyata melebar luas tentunya membuat khawatir dan gelisah. Bukan karena mereka tahu semuanya, tetapi ada kondisi hati yang harus dijaga sebisa mungkin. Pria bernama lengkap Aksa Gautama itu terus menatap heran. Ia terus berpikir bagaimana pria di sebelahnya bisa mengetahui kisahnya bersama wanita kedua yang berhasil membuat terjatuh dalam cinta. "Sebelumnya maaf ... bagaimana Anda bisa tahu tentang saya dan Athifa? Padahal sepertinya kita baru bertemu?" tanya Aksa dengan wajah bingung dan gelisah sekaligus. Ezra tersenyum getir mendapat pertanyaan yang menurutnya lucu. "Kita memang baru bertemu. Tapi, saya sudah sedikit tahu tentang masnya. Pria yang berhasil membuat seorang Athifa jatuh cinta. Ya, meskipun itu bukan cinta yang sebenarnya. Masnya pasti paham apa maksud saya," jawabnya tanpa keraguan sedikit pun. "Kalau kita baru pertama bertemu, baga
WANITA KEDUA 45 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Aksa yang tiba-tiba bingung langsung mengulangi pertanyaannya. "Mas ... jadi pesan, enggak?" tanyanya sembari mengayunkan telapak tangannya di hadapan pria yang baru kali ini bertemu. Pria yang terjebak lamunannya sendiri pun tersadar. "Aku mau sayur kangkung sama ikan bakar.. "Siap. Sambil menunggu pesanan, Anda bisa duduk manis. Mau melihat pemandangan dari kaca jendela juga bagus," ujar Aksa, kemudian melangkah pergi menuju dapur untuk memberitahu ada pesanan baru. Aksa sendiri masih menatap lekat sampai pria itu menghilang dari pandangan. Ia juga melihat pemandangan sekeliling restoran yang cukup cantik dari segi konsep dan tatanannya. "Keren juga sih, konsep restorannya. Sederhana tapi unik. Apa aku buka restoran aja, ya? Trus bahannya ngambil di swalayannya Om Lian. Kayaknya masuk buat jadi rencana jangka panjang. Tapi aku enggak punya bakat apa pun di bidang kuliner," gumamnya dalam hati. Ketika tengah asyik merencanaka
WANITA KEDUA 45 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Mengobati luka seseorang itu memang bukan hal mudah. Akan ada usaha dan niat yang harus seluas jagad raya. Apalagi jika ada tekad tersembunyi untuk menggantikan posisi tersebut. Tentunya membutuhkan banyak kesabaran dan pengorbanan. Pria yang memiliki tujuan tersebut menatap Yula sekali lagi. Ezra sadar jika jalannya untuk mendapatkan sang pujaan mungkin akan lebih sulit dari sebelumnya. Ya, wajah sahabatnya sudah menjelaskan semua tanpa harus menjawabnya. "Kok, diam, La? Apa kamu juga mengenal yang punya restoran itu?" tanya Ezra kedua kali sembari memancing wanita di depannya untuk bicara. Yula pun tersadar dan menjawab, "Kenal banget sih, enggak. Tapi cukup tahu. Mending jangan tanya soal itu dulu, ya? Aku lagi enggak mau bahas soalnya." "Emang kenapa? Apa karena pria itu ada hubungan dengan Thifa?" Ezra mencoba membuka inti obrolan yang sebenarnya. Kedua mata Yula seketika membulat. Rasanya tidak percaya jika pria di depann
WANITA KEDUA 44 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Lian berpikir sejenak. Sebenarnya ia tidak begitu membutuhkan karyawan baru. Selain itu tabungan Ezra pun pasti masih banyak dan cukup untuk hidup juga membuka usaha."Kamu yakin? Uang kamu sudah habis, kah? Sampai minta bekerja di sini?" goda Lian yang membuat Ezra semakin lucu. "Ayolah, Om ... ini bukan masalah uang. Ini masa depan. Dan sekalian aku juga belajar mengelola swalayan sama Om. Siapa tahu nanti aku buka sendiri dan mengajak bersaing," ujar Ezra berusaha merayu. Lian seketika menarik napasnya dalam dan mengembuskannya kasar. Bagaimanapun hatinya tidak bisa menolak keinginan pria di depannya. Bukan hanya karena urusan ketidaktegaan, tetapi ada persaudaraan yang memang lebih dari segalanya. "Iya sudah. Besok kamu boleh mulai berangkat. Kalau mau, kamu juga boleh tinggal di rumah Om. Biar Mayasha ada teman ngobrol. Soalnya kadang Om pulangnya malam," jawabnya yang terdengar seperti suara malaikat tidak bersayap. "Wah, seriu
WANITA KEDUA 44 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Melihat seseorang yang dulu pernah meluluhkan hati tentunya membuat gembira. Apalagi setelah waktu berhasil menahannya dengan mimpi. Mimpi di mana ingin berbenah diri dalam kelayakan dari segi mana pun. Meskipun harus melewati siksaan perasaan yang jelas terasa seperti goresan belati. Ya, pria bernama lengkap Ezra Rezky Avilla masih saja menatap wanita yang sedang berbicara dengan temannya dari kejauhan. Ia hampir tidak menyangka bisa bertemu di tempat seperti ini. "Ternyata benar kalau dunia ini tidak selebar daun kelor. Aku bisa melihat kamu di Swalayan Melati. Pasti ini bukan hanya sebuah kebetulan, kan?" gumamnya dalam hati dengan senyuman manis yang melebihi gula. Ketika sedang asyik dengan pemandangan pagi paling istimewa, tiba-tiba satu sapaan membuat Ezra terpaksa mengalihkan pandangan. "Maaf, Mas ... kalau berdiri jangan di tengah jalan. Bukannya tidak boleh, hanya mengganggu mereka yang akan beraktifitas." Lian berkata
WANITA KEDUA 43 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira "Enggak. Sekali-kali tampil beda," kekeh Athifa yang berniat memakai hanya untuk hari ini. "Terserah kamu aja kalau gitu. Tapi, emang jadi beda, sih. Jadi tambah terlihat dewasa," puji wanita yang tengah menikmati sarapan paginya. Athifa merekahkan bibirnya menerima pujian dari sahabatnya. "Fokus makan aja. Biar cepat habis. Kalau telat nanti enggak enak sama Pak Lian." Yula yang mengerti langsung diam dan memakan sarapannya hingga suapan terakhir. Setelah sama-sama selesai, keduanya pun membayar dan melanjutkan perjalanan menuju swalayan. Jarak yang memang tidak terlalu jauh membuat mereka cepat sampai dalam waktu beberapa menit. "Parkir di tempat biasa aja, La ...," ujar Athifa saat melewati pintu masuk swalayan. "Oke," jawab Yula singkat, lalu menghentikan roda dua tepat di area sekitar pohon karsen. Ketika Athifa membuka pengait helm, karyawan-karyawan lain yang baru berangkat masih menatapnya dengan senyuman sini