WANITA KEDUA 5
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Menghindar dari suatu pukulan yang datang tanpa pemberitahuan adalah hal sia-sia. Mau tidak mau, suka tidak suka tetap jalan satu-satunya adalah menghadapi. Entah nantinya akan seperti apa biarlah menjadi urusan Sang Pemberi Hidup. Meskipun ancaman kehilangan orang yang dicintai semakin besar.
Thifa membaca pesan itu kedua kali dengan memasrahkan segala hubungan yang terjalin dengan sang pria. Mau ikatan itu terlepas dengan bebas atau tetap terjalin dengan setengah rasa yakin, biarlah menjadi keputusan Tuhan. Akan tetapi, rasa kehilangan memang begitu mudah mengubah perasaan tenang diselimuti gamang.
“Balas enggak ya? Apa aku kasih tahu Mas Aksa dulu? Tapi, takut mereka lagi bareng. Kejadian tadi sore aja udah buat bertengkar, apalagi kalau tahu soal ini. Aku harus gimana? Apa aku temui Mbak Rena tanpa sepengetahuan Mas Aksa?” tanya Thifa tanpa pernah tahu siapa yang akan menjawab pertanyaannya.
Wanita yang tidak tahu harus mengambil keputusan seperti apa menggigit kuku-kukunya untuk menyamarkan rasa gugup bercampur ragu. “Baiknya aku kasih tahu Mas Aksa biar dia enggak khawatir. Seperti selama ini pun selalu terbuka tentang keadaan hati,” ujarnya dengan menimbang hubungan yang ada.
Setelah memutuskan memberi tahu akan pesan Mbak Rena, Thifa gesit mencari kontak sang pria. Jemarinya pun tidak lupa mengirim pesan singkat akan kehadirannya.
Thifa
[?]
Aksa
[Ya ... kenapa, Sayang? Tumben pakai tanda tanya aja? Ada apa? Kan, tadi tak suruh tidur. Masih melek aja.]
Thifa mengelus dadanya. Lega. Ternyata pesan itu berbalas begitu cepat dan dari pria yang membawa setengah hatinya. Ada seulas senyum terbit di antara mendung yang berkerudung resah. Tanpa menunggu lama, ia membalas pesan dengan hati bahagia. Karena hanya berbalas pesan sederhana seperti ini cukup mampu menyulap luka menjadi bahagia. Meskipun ada puluhan nyeri menyayat hati.
Thifa
[Tadi udah mau tidur. Tapi ... anu. Mbak Rena chat. Apa dia tahu nomor hapeku?]
Aksa
[Entah sih ... mungkin tahu. Karena soal hape kadang aku membiarkan aja di meja misal kalau lagi mandi atau apa. Tadi kayaknya pas habis mandi memang posisi hape berubah. Dia chat apa?]
Thifa
[Dia besok pengin ketemu. Apa boleh? Aku belum bales sih. Gimana?]
Aksa
[Kalau kamu enggak apa-apa, ya, silakan. Tapi, usahakan jangan di tempat sepi. Biar kalau ada apa-apa sama kamu, ada orang yang melihat. Nanti aku akan pantau kalian dari jauh untuk memastikan keadaan kamu. Sikapnya nanti biasa aja. Inget, jangan merendahkan diri di hadapan Rena. Karena di sini aku yang salah dan egois.]
Lagi. Thifa akan selalu meneteskan air mata jika pria di sana memikul semua kesalahan hubungan yang ada di pundaknya. Meksipun ia sendiri tahu bahwa di sini perannya yang memberi respons akan sikap sang pria adalah paling utama. Thifa tahu dan sadar jika dulu tidak membalas senyum manis itu mungkin hubungan yang ada tidaklah sedalam sekarang. Akan tetapi, semua sudah terlanjur terjadi. Ia pun tidak mampu menampik ada benih bunga yang terus tumbuh dan tumbuh bersemi di taman hatinya.
“Kenapa kamu selalu yang merasa bersalah, Mas ...? Harusnya aku yang salah karena merespons senyummu waktu dulu. Hingga tanpa sadar aku mulai jatuh dan semakin jatuh padamu,” lirih wanita yang masih saja membaca pesan Aksa dengan derai air mata. Namun, sedetik kemudian punggung tangannya menghapus kedua pipi yang basah agar mampu melihat rangkaian huruf untuk membalas pesan pria di sana.
Thifa
[Kamu enggak usah berlebihan begitu, Mas. Aku bisa jaga diri. Lagian Mbak Rena sepertinya bukan tipe wanita bar-bar yang suka hajar mental orang di depan umum. Ya udah. Aku cuma mau kasih tahu itu aja. Kamu jangan lagi nyalahin diri sendiri karena hubungan kita. Aku yang salah di sini. Aku yang menanggapi.]
Aksa
[Ya udah, iya .... Pokoknya kamu hati-hati. Kalau ada apa-apa, langsung kabari. Ya udah, tidur sana. Udah malem.]
Thifa
[Ya udah. Kalau kamu ada apa-apa, jangan lupa kasih tahu. Daaah ....]
Aksa
[Iya ... Sayang ... iya.]
Lima emoji kiss kali ini berjejer di akhir pesan sebagai ucapan selamat tidur.
Thifa menarik sedikit kedua ujung bibir mendapat perlakuan yang masih terus sama meski berbentuk pesan. Hal inilah yang terkadang membuat langkahnya bertahan di antara duri-duri kesalahan dari sebuah hubungan tanpa nama. Aksa Gautama—pria yang selalu bisa memberikan ketenangan dan kenyamanan tanpa pernah menghilangkan perasaan. Sisi itu jugalah yang menenggelamkan dirinya semakin dalam atas dasar cinta.
“Makasih, Mas ... kamu masih mau menjalani ini meski sulit. Sikapmu pun enggak berubah meski Mbak Rena mulai curiga. Dan karena ini, aku yakin besok akan menghadapinya,” lirihnya, lalu memejam untuk memeluk malam. Bermimpi sejenak akan impian yang mungkin jauh dari kenyataan.
~
Tepat jam setengah lima pagi, wanita yang akan menghadapi badai sudah terbangun. Thifa tidak lupa menunaikan dua rekaatnya sebagai bentuk betapa kecil manusia pendosa seperti dirinya di hadapan Tuhan. Ia sadar ribuan maaf dan sesal mungkin tidak akan mampu menghapus kesalahannya yang menjalin ikatan terlarang dengan kepunyaan orang. Namun, sekuat apa pun berusaha menghindar dari rasa yang ada justru keadaan hati semakin sakit dan terbakar debar. Thifa memilih menyerah. Pasrah akan segala rasa yang digariskan Sang Pemilik Hati.
“Aku harus bersiap lebih awal untuk bertemu Mbak Rena. Baiknya aku membalas pesannya dulu. Aku lupa,” ujarnya setelah selesai menghadap kiblat.
Thifa
[Maaf sebelumnya baru balas. Saya akan menemui Mbak Rena sesuai permintaan.]
Pesan terkirim. Bahkan, balasan pesan pun datang lebih cepat.
Mbak Rena
[Bagus. Saya tunggu jam enam pagi. Jujur saja, saya enggak mau nantinya kita jadi tontonan.]
Thifa
[Iya, Mbak. Saya paham.]
Pesan berhenti. Thifa memilih mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja lebih awal. Entah kenapa ketenangan yang semalam hadir tiba-tiba menghilang saat Mbak Rena begitu serius menulis pesan.
“Aku pasti bisa! Meski nanti dihina atau dicaci sekali pun, itu udah resiko karena berani menjalin hubungan dengan Maa Aksa. Mau enggak mau tetap hal ini akan tetap terjadi. Hanya tinggal menunggu waktu. Dan mungkin inilah waktunya,” ujarnya memberi semangat pada diri sendiri.
Wanita penyuka kesendirian itu pun bergegas memakai pakaian kerja. Wajah tidak lupa diberi sentuhan make-up tipis agar tidak terlalu pucat. Karena memang bekerja di swalayan dituntut untuk berdandan meski sederhana. Thifa sendiri tidak begitu pandai berdandan. Wajahnya hanya tersapu bedak dan polesan lipstik seadanya.
“Oke, siap!” ucapnya pada bayang diri di cermin lemari pakaian.
Thifa langsung keluar rumah dengan roda dua yang selama ini setia menemaninya. Tentang Yula biarlah kali ini tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Ia tidak mau membuat jiwa esmosional seorang Yula naik.
“Maafkan aku, Yula ... kali ini aku enggak ingin membagi apa yang terjadi nanti," gumamnya sesaat melihat rumah teman yang selalu ada untuknya. Setelah itu ia melajukan roda duanya menuju swalayan.
Dari dalam rumah, teman sekaligus partner kerja justru tanpa sengaja melihat Thifa berangkat begitu pagi. Beberapa tanda tanya mendadak menari di kepala.
“Thifa tumben berangkat pagi banget ... jam kerja pun mulai jam tujuh. Ini baru jam enak kurang. Apa dia ada perlu? Biasanya jua bilang. Tapi, ini ...,” tanya Yula pada diri sendiri. “Kenapa perasaan jadi enggak enak gini ...,” imbuhnya lagi dengan segala prasangka, lalu berbalik untuk bersiap berangkat juga. Biarlah itu akan ia tanyakan setelah bertemu.
Sementara di tempat lain, wanita yang berangkat begitu pagi tengah memilih area parkir swalayan. Keadaan masih sepi. Hanya beberapa karyawan bagian kebersihan yang biasa berangkat lebih awal untuk mempersiapkan area swalayan dalam keadaan bersih dan wangi sebelum kedatangan pengunjung.
Thifa melihat sekeliling mencari keberadaan wanita yang berhak penuh atas raga Aksa Gautama. Di ujung pintu masuk terlihat wanita tengah berjalan ke arahnya. Perlahan wanita yang tidak lain Mbak Rena sudah berdiri di hadapan. Sorot matanya terlihat menyimpan ketidaksukaan.
“Thifa, langsung saja! Saya tidak ingin basa-basi jika menyangkut Mas Aksa. Jujur selama ini saya memperhatikan kedatanganmu ke restoran. Bahkan, tatapan kalian yang menurut saya begitu berbeda. Bukan sebagai pemilik restoran pada pelanggan. Apalagi kemarin sore. Apa kamu ada hubungan khusus dengan suami saya?” terang Serena tanpa mengalihkan pandangan.
Wanita yang tidak tahu harus menjawab jujur atau bohong hanya bisa menelan ludahnya kasar. Thifa tahu ada resiko besar dari dua jawaban yang ada. Antara dicaci-maki di tempat juga kehilangan tanpa ada salam perpisahan.
“Aku harus jawab apa? Aku enggak mungkin membuat Mas Aksa menjadi penjahat karena menyimpan dua wanita di satu hati. Tapi, mengakui hubungan pun tetap enggak mengubah kalau aku memang wanita kedua. Apa aku harus memohon untuk tetap bisa melihat Mas Aksa?”
-------***-------
Bersambung
WANITA KEDUA 6Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKejujuran memang bisa saja membawa pada kehancuran. Begitu juga kebohongan. Akan tetapi, ada satu keadaan yang membuat dua pilihan itu menjadi bentuk keselamatan perasaan. Ya, keselamatan dari jurang kehilangan orang yang memiliki tempat istimewa di hati. Meskipun harus menempatkan harga diri pada tempat paling dasar. Wanita yang masih berusaha menelan ludahnya sendiri terus memikirkan jawaban dengan perasaan entah. Ya, Thifa merasa kejadian sekarang terlalu cepat terjadi. Di mana hubungan yang beberapa bulan terjalin secara rahasia mulai menyebarkan aroma. “Em-mm ... gimana maksudnya, Mbak?” Thifa berusaha memperlambat waktu dengan berpura-pura bodoh. Ada harapan jika dirinya akan selamat dari puluhan pertanyaan apabila karyawan swalayan berdatangan. Karena wanita di depannya kemungkinan besar memilih pergi daripada malu terperih caci. “Kamu enggak usah berlagak bodoh! Aku bisa melihat dari tatapan kalian berdua. Kamu ada sesuatu sama Mas
WANITA KEDUA 7Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKecerobohan bertindak atau berucap terkadang memang bisa menyisakan penyesalan. Apalagi jika sesal itu meninggalkan bekas luka dan rasa malu sebab menaruhkan harga diri. Bukan tidak bisa menjaga, tetapi keadaan mengalahkan kesabaran. Meskipun semua itu hanyalah sebuah pembelaan hati yang menggadaikan nurani demi satu ikatan tidak semestinya. Ya, Thifa melakukan kebodohan tanpa pernah memikirkan harga dirinya tercecer serupa sampah. Apalagi pria yang memiliki kuasa penuh akan pekerjaannya telah memberi peringatan. “Tenang, Thifa, tenang ... kamu hanya harus bisa menahan ego agar tidak mudah terpancing lagi jika Mbak Rena bicara. Kamu harus sadar, sekuat apa membela diri, kesalahan terbesar tetap jatuh padamu. Karena kamu memang salah. Benar yang dikatakan Pak Lian,” gumamnya sekali lagi meratapi kejadian beberapa menit lalu. Beruntung yang mengetahui hanya Pak Lian—sang pemilik swalayan. Ketika tengah meratapi nasib diri, satu tepukan lembu
WANITA KEDUA 8Oleh: Kenong Auliya ZhafiraRasa bosan dan muak bisa saja menghampiri jika dihadapkan dengan pertanyaan yang berujung ancaman. Apalagi sengaja menjadikan janji masa lalu sebagai senjata. Meskipun langkah ingin sekali menjauh, tetapi keadaan justru masih terus menahan gerak kaki. Seandainya tidak pernah ada situasi yang mengikat layaknya janji sekerat, maka keraguan untuk pergi mungkin bisa saja tertanam kuat. Akan tetapi, keadaan justru membuat pertikaian hati dan akal kian panas membabat.Pria yang ingat betul ucapannya dulu akan berada di sisi seorang Serena dengan catatan membantu ekonomi keluarga seketika menarik napasnya dalam. Lalu mengembuskannya perlahan agar amarah dalam dada tidak ikut tersulut dan lekas padam. Aksa memberanikan diri menatap wanita yang memasang wajah penuh amarah. “Aku sama Thifa hanya saling peduli, Rena ... jadi tolong jangan ganggu dia dengan tingkah konyolmu seperti sekarang. Dan kalau kamu menyalahkan, jangan salahkan dia! Salahkan aku
WANITA KEDUA 9 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraSabahat itu akan selalu dengan mudah merasakan perbedaan pada orang terdekat apabila telah terjadi sesuatu. Bukan hanya sekadar ingin tahu atau penasaran, tetapi memang ada kepedulian yang mendasari ikatan persahabatan. Apalagi jika semua pernyataan diri dibarengi kenyataan yang tepat di hadapan. Hal itu jelas semakin menambah pikiran berkelana lebih luas. Yula masih mencoba menerka apa yang kini tengah terjadi. Di mana pria yang memiliki kuasa penuh atas swalayan memberi peringatan kedua kali pada Thifa—sahabatnya. Rasa peduli dan takut hal buruk terjadi seakan berlomba memperebutkan siapa yang akan menjadi penguasa hati. “Thifa ... emangnya tadi pagi kamu kenapa? Kamu buat kesalahan tadi?” bisik Yula pada wanita yang masih memasang wajah setengah gugup. Akan tetapi, Thifa tidak menjawab dan hanya fokus pada pria yang menatapnya dengan wajah serius tapi tetap memiliki kharisma. Lian yang merasa butuh jawaban mengulangi pertanyaannya, “Ka
WANITA KEDUA 10 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenjalin sebuah ikatan pada hati yang tidak semestinya memang dipastikan hanya mendapat luka dan air mata. Ancaman kehilangan atau pun ditinggalkan akan bisa seperti kematian yang mengintai nyawa di setiap ujung napas. Bahkan, muara yang kadang menjadi impian dari akhir sebuah hubungan bisa saja tidak pernah ada. Hanya hati terpilih dari Tuhan jika ada yang mampu menjalani kisah terlarang tanpa arah, tetapi tetap berserah dan tidak menyerah. Akan tetapi, rasa takut kehilangan akan selalu terbawa di setiap jejak langkah.Ya, Thifa pasti tahu semua kemungkinan terburuk untuk kisahnya sendiri yang menumbuhkan bunga di tempat tidak seharusnya. Rasa takut kehilangan pun memang selalu mengalir bersama aliran darah hingga urat nadi. Apabila seorang Aksa pergi bisa dipastikan hidupnya pun tidak akan baik-baik saja. Wanita yang tidak memungkiri rasa takut itu menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “La ... aku mencintai Mas Aksa dari hati. Ak
WANITA KEDUA 11 A Oleh: Kenong Auliya ZhafiraTerkadang sebuah hubungan yang disembunyikan rapat tidak ingin membuatnya terbuka begitu mudah pada setiap orang. Ada keinginan besar untuk menyimpannya sendiri bersama segenap luka dan bahagia. Akan tetapi, waktu lebih menggunakan kuasanya kapan kejujuran kembali menjadi pegangan hidup. Karena sejatinya memang segala macam bentuk rahasia akan terkuak bersama waktu. Entah dengan hal-hal tidak terduga, atau hal-hal yang telah direncanakan oleh manusia itu sendiri. Wanita yang kemungkinan besar akan mengalami masa-masa itu hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Di mana dirinya mendapatkan lagi pertanyaan akan kisah yang dirahasiakan dengan sang pria. Ya, Thifa masih tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. “Em, anu, Bu ... bukan apa-apa, kok. Saya permisi dulu, waktu istirahat sudah hampir habis. Mari, saya duluan ...,” pamit Thifa yang memilih lari sebelum membuka siapa dirinya tanpa persiapan mental apa pun. Ia tidak ingin semakin ban
WANITA KEDUA 11 BOleh: Kenong Auliya ZhafiraWanita yang tahu betul seperti apa rasanya hanya bisa menarik napas dalam dan mengembuskannya kasar. Ucapan sang pria memanglah benar adanya. Akan tetapi, seharusnya ada satu cara agar luka itu tidak semakin parah. Karena jika ia menjadi Thifa belum tentu sanggup menghadapi perasaan sendiri. “Kamu bener, Mas ... tapi, meski kamu tahu aku dulu wanita hina yang banyak dosa dan tidak terhormat, kamu tetap memilih mencintaiku. Meski tahu itu sakit. Mungkin Thifa juga meraskaan hal yang sama. Walaupun tahu hubungan yang ada membuatnya sakit, tapi tetap memilih menjalani bersama Aksa. Padahal udah sangat jelas kemungkinan bersama itu hanya 0,99 persen,” ujar Mayasha dengan senyum getir. Ia bisa membayangkan bagaimana rindu itu hadir setiap malam dengan membawa sebilah pisau di tangan kanan kirinya. Lian diam-diam mengiakan semua yang dikatakan oleh wanita pilihannya. Wanita yang dipilih karena hati dan perasaannya. Meskipun tahu ada banyak lar
WANITA KEDUA 12 AOleh: Kenong Auliya ZhafiraTerkadang tidak memberi tahu apa yang kita rasa dan lalui bukan berarti tidak menganggap orang itu berarti. Justru karena terlalu berarti hingga ada keinginan untuk tidak membagi segala luka. Bukan berkurangnya perasaan, melainkan tidak ingin membagi sebuah kesakitan. Sebab cinta bisa mengubah diri sekuat baja demi orang terkasih. Bahkan, rela merasakan sakit perih dalam diam tanpa ingin membuatnya ikut merasakan apa yang kita rasa. Ya, hanya itu yang bisa dipikirkan oleh seorang Aksa. Meskipun ada kecewa, tetapi ia tahu betul jika Thifa bisa melakukannya. Akan tetapi, diri seolah menjadi pria tidak berguna karena membiarkan hal itu terjadi tanpa bisa mencegahnya. Aksa menatap pria yang kini mengetahui hubungan rahasianya dengan salah satu karyawannya. Dengan wajah bingung ia berkata, “Sebelummya aku minta maaf, Li ... aku enggak tahu kalau apa yang dilakukan Rena membuat Thifa mendapat peringatan darimu. Dan tentang Thifa ... aku bukan
WANITA KEDUA 56 B LAST EPISODE Oleh: Kenong Auliya Zhafira Ketika tengah menatap layar ponsel, tiba-tiba satu notifikasi pesan membuat hati menjadi riang gembira. Tanpa sadar, ia juga membaca dan membalas pesan tersebut dalam hitungan detik. Ezra [Sebentar, ya? Aku pasti ke sana jemput kamu.Tunggu dan jangan ke mana-mana.] Athifa tidak bisa menyembunyikan keindahan bulan sabit di kedua sudut bibirnya saat membaca pesan balasan sang pria. Entah kenapa rasanya ada sesuatu yang berdesir dalam dadanya. Mungkin bunga-bunga cinta itu mulai tumbuh di taman hatinya tanpa disadari. "Kenapa jadi deg-degan begini? Padahal sebelumnya juga biasa saja saat bertukar pesan dan mengobrol dengan Ezra. Tapi kali ini seperti banyak kupu-kupu di dalam perut," ujar wanita yang sudah mengusap dadanya berkali-kali. "Aku tunggu Ezra di ruang tamu aja lah. Sekalian aku mau bawa tas dan kadonya. Biar kalau dia datang bisa langsung berangkat," ujarnya lagi, lalu keluar kamar menuju ruang tamu. Sa
WANITA KEDUA 56 A LAST EPISODE Oleh: Kenong Auliya Zhafira Berhadapan dengan dua pilihan yang cukup menentukan sebuah jalinan memang terkadang membuat dilema. Bahkan, ada ketakutan yang memaksa hati berada di ambang kegelisahan. Ya, takut akan kesakitan dulu terulang lagi dan takut menyesal karena salah membuat keputusan. Wanita yang belum bisa membuat pilihan tersebut mencoba menatap sekeliling. Akan tetapi, hal itu justru membuat pikiran bertambah bingung. "A-aku tidak tahu harus menjawab apa. Entah besok aku berangkat sendiri atau meminta kamu datang menjemput, aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia. Kalau begitu, aku masuk dulu. Sepertinya kita sudah cukup lama bicara. Kamu hati-hati pulangnya," ujar Athifa, lalu melangkah pergi meninggalkan pria yang tidak pernah lelah meminta dirinya. "Pokoknya besok aku menunggu keputusanmu," ucap Ezra setengah berteriak, membuat orang-orang sekitar sedikit terkejut. Kemudian meninggalkan swalayan untuk menuju rumah barunya. At
WANITA KEDUA 55 B 2 LAST EPISODE Oleh: Kenong Auliya Zhafira Bukannya menjawab, Athifa justru hanya berbalik menatap sang pria dan kemudian masuk ke rumah tanpa sepatah kata. Sedangkan sang pria terus mengumpulkan kesabaran hingga sampai seluas jagad raya. Dari balik pintu, wanita yang belum bisa memberikan jawaban menatap kepergian Ezra hingga menghilang dari pandangan. Setelahnya, ia membersihkan diri dan menunaikan kewajiban empat rakaatnya. Athifa tidak pernah lupa menyelipkan doa untuk orang-orang tercintanya dan juga dirinya sendiri. "Ya Tuhan, berikan hamba kerelaan seluas samudera untuk semua keadaan yang Engkau takdirkan. Tolong jadikan hamba menjadi jiwa yang bisa memaafkan orang lain. Dan berikan kedua orang tua hamba tempat yang terbaik di sisi-Mu," doanya dalam hati, lalu mengisi tenaganya yang seharian terkuras karena pekerjaan. Ezra sendiri juga melakukan hal yang sama setelah sampai di rumah. Pesanan Om Lian pun tidak lupa diberikan pada pemilik rumah.
WANITA KEDUA 55 A 2 LAST EPISODE Oleh: Kenong Auliya Zhafira Menerima dan menjalin ikatan baru akan terasa lebih sulit saat keadaan hati sedang tidak baik-baik saja. Apalagi jika ada luka yang menggores dalam hingga menumbuhkan trauma. Hal itu tentunya membuat hati akan semakin tertutup dan enggan menerima penawaran rasa dalam bentuk apa pun. Wanita yang sedang merasakan hal tersebut memilih diam dan mendengarkan ucapan sahabatnya. Athifa merasa tidak perlu memberikan jawaban untuk membela perasaannya sendiri. "Mending kita fokus kerja saja, Yula. Tapi, aku berterima kasih untuk semua kata-katamu barusan," ujar Athifa yang mencoba menghindar dari pembahasan perasaan dan pria. "Aku mohon pikirkan sekali lagi tentang Ezra," ujar Yula seakan memohon sahabatnya bisa lekas bangkit dan berbahagia. Athifa tidak menjawab. Ia terus memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Sebab hanya itulah satu-satunya kegiatan yang ia miliki saat ini untuk terlihat kuat dan baik-baik
WANITA KEDUA 54 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Seketika Aksa tersenyum getir. Ia sendiri sebenarnya tidak tahu apakah benar-benar merelakan atau hanya berpura mendukung karena ada perasaan bersalah dalam hatinya. Namun, ia juga tidak dapat memungkiri ingin melihat Athifa bahagia. "Entah rela atau tidak, aku hanya ingin menebus semua kesalahan yang ada. Seandainya memilih tetap saling menjalin ikatan pun, pasti ujungnya dia akan tetap terluka. Karena aku terlalu pengecut mengambil keputusan. Tapi, setelah kenyataan menampar begitu keras, aku benar-benar ingin melihatnya bahagia. Meskipun itu bukan denganku," jawab pria yang sengaja menyembunyikan kesakitan hatinya. "Jadi, aku minta sama kamu. Tolong jaga dan pastikan dia aman bekerja di swalayan. Kadang aku merasa berdosa jika mendengar orang-orang membicarakan dia begitu buruk. Dan aku juga berharap Ezra bisa melindungi dan memberinya banyak cinta," lanjutnya lagi sembari berusaha tersenyum. "Tanpa kamu minta pun, aku akan menj
WANITA KEDUA 54 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Perasaan bersalah mungkin tidak akan mudah hilang meski waktu telah berlalu. Apalagi jika ada sebuah luka yang tergores di dalamnya. Hal itu tentunya semakin membuat hati terperangkap dosa yang tidak tahu pasti kapan bisa terbebas lepas. Meskipun kata maaf sudah terucap, belum tentu diri bisa mengecap bahagia dengan mudah. Pria yang mendadak mengingat semua kesalahannya pada seorang Athifa berusaha menarik napasnya dalam. Ya, Aksa ingin mencoba membuang sesaknya dada yang dipenuhi rasa bersalah. Namun, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. "Aku minta maaf sebanyak-banyaknya untuk semua hal yang sudah terjadi. Terutama Athifa. Jujur, aku juga tidak tahu harus apalagi agar dia tidak terlalu terluka. Sekarang aku hanya bisa membiarkan dia melakukan apa pun yang membuatnya merasa lega. Termasuk hidup dengan perasaan bersalah untuk selamanya. Mungkin memastikan keadaannya dari jauh dan menerima apa pun yang dikatakan adal
WANITA KEDUA 53 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Athifa pun menatap pria di depannya tanpa berkedip. Selama ini ia juga tidak pernah berhenti menyelipkan doa untuk mereka. Akan tetapi, rasa perih sebab kehilangan justru lebih sakit saat malam menjelang jika keadaan sedang tidak bersahabat. "Maaf, untuk saat ini aku benar-benar tidak ingin bertemu apalagi mengunjunginya. Aku masih butuh waktu lebih lama. Dan tentang doa memang benar akan menjadi hadiah terindah, tapi bukan berarti membuat semua luka sembuh. Sebab pada kenyataannya perih itu telah mencederai kenangan dan kepercayaan ini," jawab wanita yang memang masih berusaha merangkak di titik terendahnya. "Kalau kamu ingin makan siang di sana dengan Pak Lian, silakan. Tapi, aku minta maaf tidak bisa ikut bergabung," lanjutnya lagi, lalu berbalik dan meneruskan langkah kakinya menuju musala swalayan. Sebagai sahabat yang sudah mengenal lama, Yula mencoba menerima keputusan Athifa. Ia menyadari jika memaksa bukanlah hal yan
WANITA KEDUA 53 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Bersikap baik-baik saja untuk terlihat kuat dan merelakan yang bukan milik kita pastinya membutuhkan tekad luar biasa. Apalagi jika kenyataan yang ada membuat diri seakan berusaha sendirian. Hal itu tentunya memaksa pikiran menjadi dipenuhi banyak pertanyaan. Pria yang masih menatap seorang Athifa Arsyana dari kejauhan semakin terjebak dengan kesimpulannya sendiri. Bahkan, keakraban mereka berhasil menyadarkan bahwa wanita di sana memang bukan ditakdirkan untuk dirinya. "Meski aku tidak tahu apakah kamu juga berusaha keras melupakan dan merelakan atau tidak, tapi aku meyakini satu hal. Aku yakin kalau kamu adalah wanita kuat yang tetap berdiri meski diterpa banyak ujian hidup," ujar Aksa dalam hati sembari menahan dadanya yang perlahan penuh sesak. "Mungkin kita dipertemukan untuk saling memberi pembelajaran tentang kehidupan, bukan untuk berbalas perasaan dan hidup bersama seperti pasangan," gumamnya lagi, lalu menatap ke ar
WANITA KEDUA 52 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Serena yang tidak sengaja memperhatikan gerak prianya langsung mendekat dan mencari tahu. "Kamu kenapa? Biasanya selalu berpura sibuk, tumben sekarang melamun. Apa ada sesuatu yang terjadi? Atau masih kepikiran dia setelah meminta maaf kemarin?" tanya wanita yang masih belum bisa menimbang kadar cemburu dalam amarahnya. Aksa pun mendongak, menatap wanita yang memiliki setengah takdirnya tanpa berkedip. Akan tetapi, setelahnya menyunggingkan senyuman getir. "Aku tidak apa, Rena. Dan kamu tidak perlu terlalu kentara membahas dia. Aku tidak mau jika nanti berujung perdebatan. Padahal keadaan sudah sepenuhnya seperti harapanmu," jawabnya asal. "Aku cuma ingin tahu aja. Meski sekarang kamu masih memikirkannya, aku tidak masalah. Karena mau bagaimanapun, kalian berdua memang bukan ditakdirkan bersama. Jadi, kalau boleh tahu, kamu sedang mikir apa? Kenapa sampai terlihat muram wajahnya?" tanya Serena yang selalu to the point.