WANITA KEDUA 4
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Mencintai milik orang memang kerap dianggap sebagai kesalahan. Akan tetapi, rasa itu tetaplah anugerah Tuhan yang akan memberi pelajaran akan arti ketulusan dalam hidup. Sekuat apa logika menyalahkan perasaan, hati akan selalu kalah melawan.
Wanita yang terjebak cinta terlarang itu menarik napasnya dalam. Thifa berucap sendiri mempertanyakan hal yang sama setiap hari tentang hatinya. Terkadang ambisi menyelimuti hati untuk bisa memiliki sang pria seutuhnya, tetapi kenyataan begitu kejam menghentikan.
“Kepalaku pusing jika harus membahas tentang rasa ini terus menerus. Maafkan aku jika cinta yang ada mulai mengubahku menjadi wanita egois, Mas ... sungguh, jika bisa, aku ingin pergi dari perasaan yang rumit ini. Tapi, aku benar-benar takut kehilanganmu. Lebih baik aku menahan lara daripada enggak bisa melihat Mas Aksa sama sekali," lirihnya sekali lagi sembari memegang kepala yang perlahan berdenyut.
Thifa mencoba beranjak, meninggalkan ruang tamu sembari membawa bungkus makanan yang tersisa setengah. Selera makan biasa menghilang jika pikiran terkepung keadaan sesungguhnya. Di mana duduk berdua dengan pria pujaan ibarat tangan menggapai rembulan. Tidak mungkin.
“Sayang sekali makanan ini jadi mubazir. Harusnya tadi aku bagi dua sama Yula. Apa aku ke sana aja ya? Ini lauk sengaja enggak aku acak-acak pas makan tadi.” Entah kenapa tiba-tiba terlintas bayangan Yula dalam kepala. Baginya, ia bukan hanya sekadar teman kerja dan tetangga, melainkan saudara perempuan. “Tapi, kepalaku pusing banget. Baiknya gimana ya? Apa aku telepon Yula aja suruh ke sini?” pikirnya lagi mengingat kondisi yang tiba-tiba tidak bersahabat. Mungkin karena terlalu memikirkan kejadian lalu membuat kepala memberontak lelah.
Wanita yang hatinya terbawa pria berpunya memilih duduk kembali di kursi. Jemarinya cepat mengambil ponsel dan menghubungi Yula dalam sekali sentuhan panggilan. Suara khas cemprengnya seketika menyapa telinga.
“Halo, Thifa ... ada apa? Enggak biasanya telepon malem? Aku beneran tadi enggak bawa apa pun dari rumahmu,” ujarnya berbicara tanpa jeda. Ia sedikit paham kalau seorang Thifa melakukan panggilan telepon pasti ada sesuatu yang penting.
Thifa menahan tawa, takut suara itu menambah pusing kepalanya. “Enggak, La ... ini, kamu udah makan belum? Tadi makanan dari Mas Aksa masih sisa lauknya. Mau enggak? Kalau iya ambil ke sini. Aku tunggu,” jawabnya memberi tawaran yang sama-sama saling menguntungkan. Yula dapat makanan, dirinya tidak harus pergi keluar agar kepala tidak bertambah pusing.
“Boleh deh ... sebenernya aku baru aja mau masak mi. Malam-malam gini lumayan cocok buat makan mi. Ya udah aku ke situ sekarang. Biar mi-nya buat besok aja.”
“Ya udah. Aku tunggu. Jangan kelamaan, aku mau tiduran.”
“Iya, Thifa cantik ... aku otewe nih. Ya udah.”
Sambungan telepon terputus. Thifa kembali memijat pelipisnya untuk sekadar menyamarkan sakit pada kepala yang terus menguat. Entah kenapa saat-saat seperti ini selalu merindukan sosok Aksa Gautama. Di mana kata-kata penyemangat menghujani hati yang kering tandus tanpa belaian kasih penuh kehangatan. Akan tetapi, bayangan tadi sore masih meninggalkan kekhawatiran. Ia tidak mau jika pria di sana terjebak keributan yang berarti, lalu berakhir menyakiti dan pergi. Sungguh, itu adalah hal yang tidak ingin terbayang apalagi terjadi.
Sebagai pengobat rindu yang semakin hari semakin membesar, ia hanya bisa menatap foto dan membaca pesan-pesan terdahulu. Hal itu cukup untuk mengisi setengah kerinduan dalam hatinya. Meskipun ujungnya semakin menambah perih karena tidak mampu memiliki raga sang pria.
“Aku kangen sama kamu, Mas ...,” rintihnya sembari mengusap layar ponsel. Bulir bening yang sejak tadi tertahan kini mulai lolos perlahan membasahi pipi. Rindu yang menghampiri setiap malam selalu menyesakkan dada. Bahkan, kerap menyita setengah napasnya hingga melemahkan raga.
Yula yang biasa datang tanpa suara hanya bisa menggeleng. Entah harus bagaimana lagi memberi tahu bahwa hubungan yang ada akan selalu memberi luka dan air mata. Namun, perasaan cinta itu tidak salah. Ia tidak mungkin menyalahkan terus menerus apa yang dirasakan oleh Thifa—sahabatnya.
“Ehem! Lauknya mana? Kata tadi nawarin lauk.” Wanita yang begitu ingin menampar pria bernama Aksa itu sengaja bertanya tanpa basa-basi untuk mengalihkan perhatian seorang Thifa yang tengah terkurung jeruji kegelisahan. Sebagai sahabat, ia hanya bisa menjadi teman yang selalu berada di sisi apa pun keadaannya.
Thifa sedkit terkejut, lalu bangkit dan duduk bersandar di punggung sofa. Rasa pusing itu memaksa raga lemahnya membutuhkan sandaran. Meskipun ia tahu kalau semua sakit yang ada adalah dari dirinya sendiri dengan tekad mendekati luka. Namun, itulah pilihan yang ia inginkan untuk menyambung hidup.
“Kamu cepet datengnya. Lauknya masih di meja. Tuuuhh ...,” tunjuk Thifa ke arah meja dengan dagunya. Entah kenapa rasanya begitu lelah dan lesu setelah kejadian tadi sore.
Wanita yang tahu seorang Athifa menatap meja penuh tanda tanya. Tidak biasanya ia makan dari restoran Aksa berakhir sisa. “Kamu kenapa? Tumben makan dari pria egois itu enggak habis. Nyisa lauk banyak pula. Diet?” tanya Yula pura-pura melupakan kejadian beberapa jam lalu.
Thifa tertawa getir, “Aku? Diet? Yang ada bukannya langsing, tapi kurus.”
“Ya, makanya makan yang banyak. Dan enggak usah mikirin Aksa terus. Biar aja dia sama istrinya. Udah cukup kamu nangisin pria seperti dia, Thifa ... apa kamu enggak sayang sama diri sendiri?” Yula sengaja mengembalikan pertanyaan agar wanita di depannya bisa menyadari bahwa cintanya adalah sebuah kesalahan. Meskipun itu akan serupa angin yang pergi menerbangkan dedauan.
Bukannya menjawab, Thifa justru menundukkan kepala dan menyembunyikannya di sela kedua kaki. Ada air mata yang siap tumpah selayaknya deras hujan.
“Yula ... apa segitu salahkah jika aku mencinta dia? Aku tahu dia udah punya istri. Tapi, aku juga enggak bisa menolak apa yang kurasa. Aku enggak pernah minta berada di posisi seperti ini. Jujur, iya, aku kadang sakit lihat dia begitu manis sama istrinya. Tapi, aku jauh lebih sakit jika harus tanpa dia,” tanyanya dengan kedua pipi yang banjir air mata.
Yula menarik napasnya dalam mendengar ucapan wanita yang terjebak pada raga berpunya. Memang benar kalau cinta itu bukan keslahan. Akan tetapi, jika hadir di waktu dan tempat yang salah hanya akan memberi sakit berkepanjangan. Bahkan bisa diibaratkan mendekati jurang kematian tanpa harus membawa sebilah pisau. Sebab melihatnya bersama orang yang lebih berhak rasanya sama dengan memegang bara api. Panas.
“Sst ... Thifa ... jangan nangis! Kamu enggak salah ... aku tahu kamu bukan tipe orang yang merusak rumah tangga orang. Udah, jangan nyalahin diri sendiri. Kalau kamu memang enggak bisa hidup tanpa dia, ya, udah jalani semampunya. Kalau kamu kuat, jalani. Kamu pasti paham resikonya seperti apa jika berhubungan dengan Aksa. Aku hanya minta kamu berhati-hati. Jangan sampai istrinya Aksa menyakitimu. Aku enggak rela jika kamu yang ditekan. Padahal di sini Aksa yang menginginkan kamu,” tutur Yula panjang lebar untuk menenangkan sahabatnya. Tangannya pun mengusap lembut punggung yang kerap berpura-pura kuat padahal sekarat.
Wanita pemilik mata kehitaman itu mengangkat kepala mendengar ucapan teman sekaligus tetangganya. Ada kebenaran dan penghakiman sekaligus peringatan di dalamnya. Punggung tangan lemahnya pun menghapus perlahan kedua pipi yang masih membasah sebab hujan begitu deras menghampiri hatinya.
“Udah ... sekarang jangan nangis lagi. Aku gemes sendiri lihat kamu begini. Mau aku nampar dan nyuruh kamu pergi dari pria itu ribuan kali pun, percuma! Sebab yang ada di kepala dan hatimu cuma Aksa, Aksa, Aksa, dan Aksa. Kamu ikuti aja jalan yang sedang Tuhan berikan sampai kamu lelah. Sekarang kamu tidur. Udah malem. Aku juga mau pulang. Makasih untuk lauknya,” ucap Yula sekali lagi tanpa memberi penghakiman dan pengadilan bertubi-tubi. Baginya, hukuman bagi wanita yang sadar menjadi bagian kedua adalah tersiksa jeruji rindu tanpa bisa memiliki dan kehilangan jalan untuk keluar. Itulah hukuman yang sesungguhnya. Sakit tanpa bisa menjerit.
Thifa merasakan ada kesejukan sedikit bisa bertemu Yula malam ini. Meski lauk menjadi alasannya untuk mencari tempat bicara. “Makasih, Yula ... aku jadi sedikit lebih tenang setelah bicara sama kamu. Dari tadi rasanya kepalaku pusing gara-gara kepikiran Mas Aksa," ungkap Thifa jujur.
“Enggak usah terima kasih. Kamu tidur, dan enggak usah mikirin kejadian tadi sore. Kamu doakan aja yang baik untuk diri kamu sendiri. Aku pulang," ucapnya lalu bangkit dan keluar rumah dengan perasaan setengah khawatir. Meski tahu Thifa tersesat di hati yang salah, tetapi ia mengakui kalau ada rona bahagia di wajahnya ketika tengah bersama pria pemilik dua hati. Ia tidak mungkin tega menjatuhkan lagi air mata lebih banyak untuk seorang Athifa Arsyana.
Sementara Thifa masih menatap pintu rumahnya yang terutup setelah kepergian sahabatnya. Meski ada sedikit kelegaan, tetapi bayangan pria di sana bertengkar masih saja menghantui. Bahkan pesan dari sang pria yang mengatakan baik-baik saja tidak cukup menenangkan hati dan pikiran.
Perlahan, ia beranjak menuju kamar untuk berdamai sejenak bersama malam. Melepaskan lelah yang semakin membuat hati lemah. Meski berusaha pasrah, tetapi nurani tetap saja kalah. Menyerah akan perasaan adalah keputusan yang sempat menggoyahkan langkah.
“Semoga kamu baik-baik aja ... karena jika kamu begitu, maka aku di sini pun akan baik-baik aja. Juga sebaliknya,” gumamnya dalam hati sebelum merayu kedua mata menutup. Akan tetapi, satu getaran ponsel berhasil mengalihkan perhatiannya.
Thifa mengerutkan dahi sejenak melihat pesan dari nomor tidak bernama. “Nomor baru? Siapa ya ...,” batinnya. Dengan sekali ketukan pesan itu terbaca jelas dan tertuju memang untuk dirinya.
08578xxxxxxx
[Malam, Thifa. Besok saya ingin bicara empat mata sama kamu tentang Mas Aksa. Saya tunggu kamu di area parkir swalayan. Saya benar-benar penasaran akan hubungan kedekatan kalian.]Wanita yang merasa dunia telah menurunkan badai menggenggam erat ponselnya. Hal yang ia takutkan selama ini akhirnya benar-benar terjadi. Di mana wanita yang berhak atas diri Aksa Gautama mencium aroma kehadirannya. Resiko paling pahit pun mendadak menyedot setengah napasnya. Thifa belum mempersiapkan diri untuk hal ini jika harus kehilangan.
“Apa yang harus aku lakukan? Enggak mungkin aku menghindar dari Mbak Rena. Tapi untuk kehilangan pun aku belum sanggup ....”
-------***-------
BersambungWANITA KEDUA 5Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenghindar dari suatu pukulan yang datang tanpa pemberitahuan adalah hal sia-sia. Mau tidak mau, suka tidak suka tetap jalan satu-satunya adalah menghadapi. Entah nantinya akan seperti apa biarlah menjadi urusan Sang Pemberi Hidup. Meskipun ancaman kehilangan orang yang dicintai semakin besar. Thifa membaca pesan itu kedua kali dengan memasrahkan segala hubungan yang terjalin dengan sang pria. Mau ikatan itu terlepas dengan bebas atau tetap terjalin dengan setengah rasa yakin, biarlah menjadi keputusan Tuhan. Akan tetapi, rasa kehilangan memang begitu mudah mengubah perasaan tenang diselimuti gamang. “Balas enggak ya? Apa aku kasih tahu Mas Aksa dulu? Tapi, takut mereka lagi bareng. Kejadian tadi sore aja udah buat bertengkar, apalagi kalau tahu soal ini. Aku harus gimana? Apa aku temui Mbak Rena tanpa sepengetahuan Mas Aksa?” tanya Thifa tanpa pernah tahu siapa yang akan menjawab pertanyaannya.Wanita yang tidak tahu harus mengambil keputu
WANITA KEDUA 6Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKejujuran memang bisa saja membawa pada kehancuran. Begitu juga kebohongan. Akan tetapi, ada satu keadaan yang membuat dua pilihan itu menjadi bentuk keselamatan perasaan. Ya, keselamatan dari jurang kehilangan orang yang memiliki tempat istimewa di hati. Meskipun harus menempatkan harga diri pada tempat paling dasar. Wanita yang masih berusaha menelan ludahnya sendiri terus memikirkan jawaban dengan perasaan entah. Ya, Thifa merasa kejadian sekarang terlalu cepat terjadi. Di mana hubungan yang beberapa bulan terjalin secara rahasia mulai menyebarkan aroma. “Em-mm ... gimana maksudnya, Mbak?” Thifa berusaha memperlambat waktu dengan berpura-pura bodoh. Ada harapan jika dirinya akan selamat dari puluhan pertanyaan apabila karyawan swalayan berdatangan. Karena wanita di depannya kemungkinan besar memilih pergi daripada malu terperih caci. “Kamu enggak usah berlagak bodoh! Aku bisa melihat dari tatapan kalian berdua. Kamu ada sesuatu sama Mas
WANITA KEDUA 7Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKecerobohan bertindak atau berucap terkadang memang bisa menyisakan penyesalan. Apalagi jika sesal itu meninggalkan bekas luka dan rasa malu sebab menaruhkan harga diri. Bukan tidak bisa menjaga, tetapi keadaan mengalahkan kesabaran. Meskipun semua itu hanyalah sebuah pembelaan hati yang menggadaikan nurani demi satu ikatan tidak semestinya. Ya, Thifa melakukan kebodohan tanpa pernah memikirkan harga dirinya tercecer serupa sampah. Apalagi pria yang memiliki kuasa penuh akan pekerjaannya telah memberi peringatan. “Tenang, Thifa, tenang ... kamu hanya harus bisa menahan ego agar tidak mudah terpancing lagi jika Mbak Rena bicara. Kamu harus sadar, sekuat apa membela diri, kesalahan terbesar tetap jatuh padamu. Karena kamu memang salah. Benar yang dikatakan Pak Lian,” gumamnya sekali lagi meratapi kejadian beberapa menit lalu. Beruntung yang mengetahui hanya Pak Lian—sang pemilik swalayan. Ketika tengah meratapi nasib diri, satu tepukan lembu
WANITA KEDUA 8Oleh: Kenong Auliya ZhafiraRasa bosan dan muak bisa saja menghampiri jika dihadapkan dengan pertanyaan yang berujung ancaman. Apalagi sengaja menjadikan janji masa lalu sebagai senjata. Meskipun langkah ingin sekali menjauh, tetapi keadaan justru masih terus menahan gerak kaki. Seandainya tidak pernah ada situasi yang mengikat layaknya janji sekerat, maka keraguan untuk pergi mungkin bisa saja tertanam kuat. Akan tetapi, keadaan justru membuat pertikaian hati dan akal kian panas membabat.Pria yang ingat betul ucapannya dulu akan berada di sisi seorang Serena dengan catatan membantu ekonomi keluarga seketika menarik napasnya dalam. Lalu mengembuskannya perlahan agar amarah dalam dada tidak ikut tersulut dan lekas padam. Aksa memberanikan diri menatap wanita yang memasang wajah penuh amarah. “Aku sama Thifa hanya saling peduli, Rena ... jadi tolong jangan ganggu dia dengan tingkah konyolmu seperti sekarang. Dan kalau kamu menyalahkan, jangan salahkan dia! Salahkan aku
WANITA KEDUA 9 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraSabahat itu akan selalu dengan mudah merasakan perbedaan pada orang terdekat apabila telah terjadi sesuatu. Bukan hanya sekadar ingin tahu atau penasaran, tetapi memang ada kepedulian yang mendasari ikatan persahabatan. Apalagi jika semua pernyataan diri dibarengi kenyataan yang tepat di hadapan. Hal itu jelas semakin menambah pikiran berkelana lebih luas. Yula masih mencoba menerka apa yang kini tengah terjadi. Di mana pria yang memiliki kuasa penuh atas swalayan memberi peringatan kedua kali pada Thifa—sahabatnya. Rasa peduli dan takut hal buruk terjadi seakan berlomba memperebutkan siapa yang akan menjadi penguasa hati. “Thifa ... emangnya tadi pagi kamu kenapa? Kamu buat kesalahan tadi?” bisik Yula pada wanita yang masih memasang wajah setengah gugup. Akan tetapi, Thifa tidak menjawab dan hanya fokus pada pria yang menatapnya dengan wajah serius tapi tetap memiliki kharisma. Lian yang merasa butuh jawaban mengulangi pertanyaannya, “Ka
WANITA KEDUA 10 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenjalin sebuah ikatan pada hati yang tidak semestinya memang dipastikan hanya mendapat luka dan air mata. Ancaman kehilangan atau pun ditinggalkan akan bisa seperti kematian yang mengintai nyawa di setiap ujung napas. Bahkan, muara yang kadang menjadi impian dari akhir sebuah hubungan bisa saja tidak pernah ada. Hanya hati terpilih dari Tuhan jika ada yang mampu menjalani kisah terlarang tanpa arah, tetapi tetap berserah dan tidak menyerah. Akan tetapi, rasa takut kehilangan akan selalu terbawa di setiap jejak langkah.Ya, Thifa pasti tahu semua kemungkinan terburuk untuk kisahnya sendiri yang menumbuhkan bunga di tempat tidak seharusnya. Rasa takut kehilangan pun memang selalu mengalir bersama aliran darah hingga urat nadi. Apabila seorang Aksa pergi bisa dipastikan hidupnya pun tidak akan baik-baik saja. Wanita yang tidak memungkiri rasa takut itu menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “La ... aku mencintai Mas Aksa dari hati. Ak
WANITA KEDUA 11 A Oleh: Kenong Auliya ZhafiraTerkadang sebuah hubungan yang disembunyikan rapat tidak ingin membuatnya terbuka begitu mudah pada setiap orang. Ada keinginan besar untuk menyimpannya sendiri bersama segenap luka dan bahagia. Akan tetapi, waktu lebih menggunakan kuasanya kapan kejujuran kembali menjadi pegangan hidup. Karena sejatinya memang segala macam bentuk rahasia akan terkuak bersama waktu. Entah dengan hal-hal tidak terduga, atau hal-hal yang telah direncanakan oleh manusia itu sendiri. Wanita yang kemungkinan besar akan mengalami masa-masa itu hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Di mana dirinya mendapatkan lagi pertanyaan akan kisah yang dirahasiakan dengan sang pria. Ya, Thifa masih tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. “Em, anu, Bu ... bukan apa-apa, kok. Saya permisi dulu, waktu istirahat sudah hampir habis. Mari, saya duluan ...,” pamit Thifa yang memilih lari sebelum membuka siapa dirinya tanpa persiapan mental apa pun. Ia tidak ingin semakin ban
WANITA KEDUA 11 BOleh: Kenong Auliya ZhafiraWanita yang tahu betul seperti apa rasanya hanya bisa menarik napas dalam dan mengembuskannya kasar. Ucapan sang pria memanglah benar adanya. Akan tetapi, seharusnya ada satu cara agar luka itu tidak semakin parah. Karena jika ia menjadi Thifa belum tentu sanggup menghadapi perasaan sendiri. “Kamu bener, Mas ... tapi, meski kamu tahu aku dulu wanita hina yang banyak dosa dan tidak terhormat, kamu tetap memilih mencintaiku. Meski tahu itu sakit. Mungkin Thifa juga meraskaan hal yang sama. Walaupun tahu hubungan yang ada membuatnya sakit, tapi tetap memilih menjalani bersama Aksa. Padahal udah sangat jelas kemungkinan bersama itu hanya 0,99 persen,” ujar Mayasha dengan senyum getir. Ia bisa membayangkan bagaimana rindu itu hadir setiap malam dengan membawa sebilah pisau di tangan kanan kirinya. Lian diam-diam mengiakan semua yang dikatakan oleh wanita pilihannya. Wanita yang dipilih karena hati dan perasaannya. Meskipun tahu ada banyak lar
WANITA KEDUA 56 B LAST EPISODE Oleh: Kenong Auliya Zhafira Ketika tengah menatap layar ponsel, tiba-tiba satu notifikasi pesan membuat hati menjadi riang gembira. Tanpa sadar, ia juga membaca dan membalas pesan tersebut dalam hitungan detik. Ezra [Sebentar, ya? Aku pasti ke sana jemput kamu.Tunggu dan jangan ke mana-mana.] Athifa tidak bisa menyembunyikan keindahan bulan sabit di kedua sudut bibirnya saat membaca pesan balasan sang pria. Entah kenapa rasanya ada sesuatu yang berdesir dalam dadanya. Mungkin bunga-bunga cinta itu mulai tumbuh di taman hatinya tanpa disadari. "Kenapa jadi deg-degan begini? Padahal sebelumnya juga biasa saja saat bertukar pesan dan mengobrol dengan Ezra. Tapi kali ini seperti banyak kupu-kupu di dalam perut," ujar wanita yang sudah mengusap dadanya berkali-kali. "Aku tunggu Ezra di ruang tamu aja lah. Sekalian aku mau bawa tas dan kadonya. Biar kalau dia datang bisa langsung berangkat," ujarnya lagi, lalu keluar kamar menuju ruang tamu. Sa
WANITA KEDUA 56 A LAST EPISODE Oleh: Kenong Auliya Zhafira Berhadapan dengan dua pilihan yang cukup menentukan sebuah jalinan memang terkadang membuat dilema. Bahkan, ada ketakutan yang memaksa hati berada di ambang kegelisahan. Ya, takut akan kesakitan dulu terulang lagi dan takut menyesal karena salah membuat keputusan. Wanita yang belum bisa membuat pilihan tersebut mencoba menatap sekeliling. Akan tetapi, hal itu justru membuat pikiran bertambah bingung. "A-aku tidak tahu harus menjawab apa. Entah besok aku berangkat sendiri atau meminta kamu datang menjemput, aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia. Kalau begitu, aku masuk dulu. Sepertinya kita sudah cukup lama bicara. Kamu hati-hati pulangnya," ujar Athifa, lalu melangkah pergi meninggalkan pria yang tidak pernah lelah meminta dirinya. "Pokoknya besok aku menunggu keputusanmu," ucap Ezra setengah berteriak, membuat orang-orang sekitar sedikit terkejut. Kemudian meninggalkan swalayan untuk menuju rumah barunya. At
WANITA KEDUA 55 B 2 LAST EPISODE Oleh: Kenong Auliya Zhafira Bukannya menjawab, Athifa justru hanya berbalik menatap sang pria dan kemudian masuk ke rumah tanpa sepatah kata. Sedangkan sang pria terus mengumpulkan kesabaran hingga sampai seluas jagad raya. Dari balik pintu, wanita yang belum bisa memberikan jawaban menatap kepergian Ezra hingga menghilang dari pandangan. Setelahnya, ia membersihkan diri dan menunaikan kewajiban empat rakaatnya. Athifa tidak pernah lupa menyelipkan doa untuk orang-orang tercintanya dan juga dirinya sendiri. "Ya Tuhan, berikan hamba kerelaan seluas samudera untuk semua keadaan yang Engkau takdirkan. Tolong jadikan hamba menjadi jiwa yang bisa memaafkan orang lain. Dan berikan kedua orang tua hamba tempat yang terbaik di sisi-Mu," doanya dalam hati, lalu mengisi tenaganya yang seharian terkuras karena pekerjaan. Ezra sendiri juga melakukan hal yang sama setelah sampai di rumah. Pesanan Om Lian pun tidak lupa diberikan pada pemilik rumah.
WANITA KEDUA 55 A 2 LAST EPISODE Oleh: Kenong Auliya Zhafira Menerima dan menjalin ikatan baru akan terasa lebih sulit saat keadaan hati sedang tidak baik-baik saja. Apalagi jika ada luka yang menggores dalam hingga menumbuhkan trauma. Hal itu tentunya membuat hati akan semakin tertutup dan enggan menerima penawaran rasa dalam bentuk apa pun. Wanita yang sedang merasakan hal tersebut memilih diam dan mendengarkan ucapan sahabatnya. Athifa merasa tidak perlu memberikan jawaban untuk membela perasaannya sendiri. "Mending kita fokus kerja saja, Yula. Tapi, aku berterima kasih untuk semua kata-katamu barusan," ujar Athifa yang mencoba menghindar dari pembahasan perasaan dan pria. "Aku mohon pikirkan sekali lagi tentang Ezra," ujar Yula seakan memohon sahabatnya bisa lekas bangkit dan berbahagia. Athifa tidak menjawab. Ia terus memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Sebab hanya itulah satu-satunya kegiatan yang ia miliki saat ini untuk terlihat kuat dan baik-baik
WANITA KEDUA 54 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Seketika Aksa tersenyum getir. Ia sendiri sebenarnya tidak tahu apakah benar-benar merelakan atau hanya berpura mendukung karena ada perasaan bersalah dalam hatinya. Namun, ia juga tidak dapat memungkiri ingin melihat Athifa bahagia. "Entah rela atau tidak, aku hanya ingin menebus semua kesalahan yang ada. Seandainya memilih tetap saling menjalin ikatan pun, pasti ujungnya dia akan tetap terluka. Karena aku terlalu pengecut mengambil keputusan. Tapi, setelah kenyataan menampar begitu keras, aku benar-benar ingin melihatnya bahagia. Meskipun itu bukan denganku," jawab pria yang sengaja menyembunyikan kesakitan hatinya. "Jadi, aku minta sama kamu. Tolong jaga dan pastikan dia aman bekerja di swalayan. Kadang aku merasa berdosa jika mendengar orang-orang membicarakan dia begitu buruk. Dan aku juga berharap Ezra bisa melindungi dan memberinya banyak cinta," lanjutnya lagi sembari berusaha tersenyum. "Tanpa kamu minta pun, aku akan menj
WANITA KEDUA 54 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Perasaan bersalah mungkin tidak akan mudah hilang meski waktu telah berlalu. Apalagi jika ada sebuah luka yang tergores di dalamnya. Hal itu tentunya semakin membuat hati terperangkap dosa yang tidak tahu pasti kapan bisa terbebas lepas. Meskipun kata maaf sudah terucap, belum tentu diri bisa mengecap bahagia dengan mudah. Pria yang mendadak mengingat semua kesalahannya pada seorang Athifa berusaha menarik napasnya dalam. Ya, Aksa ingin mencoba membuang sesaknya dada yang dipenuhi rasa bersalah. Namun, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. "Aku minta maaf sebanyak-banyaknya untuk semua hal yang sudah terjadi. Terutama Athifa. Jujur, aku juga tidak tahu harus apalagi agar dia tidak terlalu terluka. Sekarang aku hanya bisa membiarkan dia melakukan apa pun yang membuatnya merasa lega. Termasuk hidup dengan perasaan bersalah untuk selamanya. Mungkin memastikan keadaannya dari jauh dan menerima apa pun yang dikatakan adal
WANITA KEDUA 53 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Athifa pun menatap pria di depannya tanpa berkedip. Selama ini ia juga tidak pernah berhenti menyelipkan doa untuk mereka. Akan tetapi, rasa perih sebab kehilangan justru lebih sakit saat malam menjelang jika keadaan sedang tidak bersahabat. "Maaf, untuk saat ini aku benar-benar tidak ingin bertemu apalagi mengunjunginya. Aku masih butuh waktu lebih lama. Dan tentang doa memang benar akan menjadi hadiah terindah, tapi bukan berarti membuat semua luka sembuh. Sebab pada kenyataannya perih itu telah mencederai kenangan dan kepercayaan ini," jawab wanita yang memang masih berusaha merangkak di titik terendahnya. "Kalau kamu ingin makan siang di sana dengan Pak Lian, silakan. Tapi, aku minta maaf tidak bisa ikut bergabung," lanjutnya lagi, lalu berbalik dan meneruskan langkah kakinya menuju musala swalayan. Sebagai sahabat yang sudah mengenal lama, Yula mencoba menerima keputusan Athifa. Ia menyadari jika memaksa bukanlah hal yan
WANITA KEDUA 53 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Bersikap baik-baik saja untuk terlihat kuat dan merelakan yang bukan milik kita pastinya membutuhkan tekad luar biasa. Apalagi jika kenyataan yang ada membuat diri seakan berusaha sendirian. Hal itu tentunya memaksa pikiran menjadi dipenuhi banyak pertanyaan. Pria yang masih menatap seorang Athifa Arsyana dari kejauhan semakin terjebak dengan kesimpulannya sendiri. Bahkan, keakraban mereka berhasil menyadarkan bahwa wanita di sana memang bukan ditakdirkan untuk dirinya. "Meski aku tidak tahu apakah kamu juga berusaha keras melupakan dan merelakan atau tidak, tapi aku meyakini satu hal. Aku yakin kalau kamu adalah wanita kuat yang tetap berdiri meski diterpa banyak ujian hidup," ujar Aksa dalam hati sembari menahan dadanya yang perlahan penuh sesak. "Mungkin kita dipertemukan untuk saling memberi pembelajaran tentang kehidupan, bukan untuk berbalas perasaan dan hidup bersama seperti pasangan," gumamnya lagi, lalu menatap ke ar
WANITA KEDUA 52 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Serena yang tidak sengaja memperhatikan gerak prianya langsung mendekat dan mencari tahu. "Kamu kenapa? Biasanya selalu berpura sibuk, tumben sekarang melamun. Apa ada sesuatu yang terjadi? Atau masih kepikiran dia setelah meminta maaf kemarin?" tanya wanita yang masih belum bisa menimbang kadar cemburu dalam amarahnya. Aksa pun mendongak, menatap wanita yang memiliki setengah takdirnya tanpa berkedip. Akan tetapi, setelahnya menyunggingkan senyuman getir. "Aku tidak apa, Rena. Dan kamu tidak perlu terlalu kentara membahas dia. Aku tidak mau jika nanti berujung perdebatan. Padahal keadaan sudah sepenuhnya seperti harapanmu," jawabnya asal. "Aku cuma ingin tahu aja. Meski sekarang kamu masih memikirkannya, aku tidak masalah. Karena mau bagaimanapun, kalian berdua memang bukan ditakdirkan bersama. Jadi, kalau boleh tahu, kamu sedang mikir apa? Kenapa sampai terlihat muram wajahnya?" tanya Serena yang selalu to the point.