Share

BAB 4

Penulis: Kenong Auliya Zhafira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

WANITA KEDUA 4

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Mencintai milik orang memang kerap dianggap sebagai kesalahan. Akan tetapi, rasa itu tetaplah anugerah Tuhan yang akan memberi pelajaran akan arti ketulusan dalam hidup. Sekuat apa logika menyalahkan perasaan, hati akan selalu kalah melawan.

Wanita yang terjebak cinta terlarang itu menarik napasnya dalam. Thifa berucap sendiri mempertanyakan hal yang sama setiap hari tentang hatinya. Terkadang ambisi menyelimuti hati untuk bisa memiliki sang pria seutuhnya, tetapi kenyataan begitu kejam menghentikan.

“Kepalaku pusing jika harus membahas tentang rasa ini terus menerus. Maafkan aku jika cinta yang ada mulai mengubahku menjadi wanita egois, Mas ... sungguh, jika bisa, aku ingin pergi dari perasaan yang rumit ini. Tapi, aku benar-benar takut kehilanganmu. Lebih baik aku menahan lara daripada enggak bisa melihat Mas Aksa sama sekali," lirihnya sekali lagi sembari memegang kepala yang perlahan berdenyut.

Thifa mencoba beranjak, meninggalkan ruang tamu sembari membawa bungkus makanan yang tersisa setengah. Selera makan biasa menghilang jika pikiran terkepung keadaan sesungguhnya. Di mana duduk berdua dengan pria pujaan ibarat tangan menggapai rembulan. Tidak mungkin.

“Sayang sekali makanan ini jadi mubazir. Harusnya tadi aku bagi dua sama Yula. Apa aku ke sana aja ya? Ini lauk sengaja enggak aku acak-acak pas makan tadi.” Entah kenapa tiba-tiba terlintas bayangan Yula dalam kepala. Baginya, ia bukan hanya sekadar teman kerja dan tetangga, melainkan saudara perempuan. “Tapi, kepalaku pusing banget. Baiknya gimana ya? Apa aku telepon Yula aja suruh ke sini?” pikirnya lagi mengingat kondisi yang tiba-tiba tidak bersahabat. Mungkin karena terlalu memikirkan kejadian lalu membuat kepala memberontak lelah.

Wanita yang hatinya terbawa pria berpunya memilih duduk kembali di kursi. Jemarinya cepat mengambil ponsel dan menghubungi Yula dalam sekali sentuhan panggilan. Suara khas cemprengnya seketika menyapa telinga.

“Halo, Thifa ... ada apa? Enggak biasanya telepon malem? Aku beneran tadi enggak bawa apa pun dari rumahmu,” ujarnya berbicara tanpa jeda. Ia sedikit paham kalau seorang Thifa melakukan panggilan telepon pasti ada sesuatu yang penting.

Thifa menahan tawa, takut suara itu menambah pusing kepalanya. “Enggak, La ... ini, kamu udah makan belum? Tadi makanan dari Mas Aksa masih sisa lauknya. Mau enggak? Kalau iya ambil ke sini. Aku tunggu,” jawabnya memberi tawaran yang sama-sama saling menguntungkan. Yula dapat makanan, dirinya tidak harus pergi keluar agar kepala tidak bertambah pusing.

“Boleh deh ... sebenernya aku baru aja mau masak mi. Malam-malam gini lumayan cocok buat makan mi. Ya udah aku ke situ sekarang. Biar mi-nya buat besok aja.”

“Ya udah. Aku tunggu. Jangan kelamaan, aku mau tiduran.”

“Iya, Thifa cantik ... aku otewe nih. Ya udah.”

Sambungan telepon terputus. Thifa kembali memijat pelipisnya untuk sekadar menyamarkan sakit pada kepala yang terus menguat. Entah kenapa saat-saat seperti ini selalu merindukan sosok Aksa Gautama. Di mana kata-kata penyemangat menghujani hati yang kering tandus tanpa belaian kasih penuh kehangatan. Akan tetapi, bayangan tadi sore masih meninggalkan kekhawatiran. Ia tidak mau jika pria di sana terjebak keributan yang berarti, lalu berakhir menyakiti dan pergi. Sungguh, itu adalah hal yang tidak ingin terbayang apalagi terjadi.

Sebagai pengobat rindu yang semakin hari semakin membesar, ia hanya bisa menatap foto dan membaca pesan-pesan terdahulu. Hal itu cukup untuk mengisi setengah kerinduan dalam hatinya. Meskipun ujungnya semakin menambah perih karena tidak mampu memiliki raga sang pria.

“Aku kangen sama kamu, Mas ...,” rintihnya sembari mengusap layar ponsel. Bulir bening yang sejak tadi tertahan kini mulai lolos perlahan membasahi pipi. Rindu yang menghampiri setiap malam selalu menyesakkan dada. Bahkan, kerap menyita setengah napasnya hingga melemahkan raga.

Yula yang biasa datang tanpa suara hanya bisa menggeleng. Entah harus bagaimana lagi memberi tahu bahwa hubungan yang ada akan selalu memberi luka dan air mata. Namun, perasaan cinta itu tidak salah. Ia tidak mungkin menyalahkan terus menerus apa yang dirasakan oleh Thifa—sahabatnya.

“Ehem! Lauknya mana? Kata tadi nawarin lauk.” Wanita yang begitu ingin menampar pria bernama Aksa itu sengaja bertanya tanpa basa-basi untuk mengalihkan perhatian seorang Thifa yang tengah terkurung jeruji kegelisahan. Sebagai sahabat, ia hanya bisa menjadi teman yang selalu berada di sisi apa pun keadaannya.

Thifa sedkit terkejut, lalu bangkit dan duduk bersandar di punggung sofa. Rasa pusing itu memaksa raga lemahnya membutuhkan sandaran. Meskipun ia tahu kalau semua sakit yang ada adalah dari dirinya sendiri dengan tekad mendekati luka. Namun, itulah pilihan yang ia inginkan untuk menyambung hidup.

“Kamu cepet datengnya. Lauknya masih di meja. Tuuuhh ...,” tunjuk Thifa ke arah meja dengan dagunya. Entah kenapa rasanya begitu lelah dan lesu setelah kejadian tadi sore.

Wanita yang tahu seorang Athifa menatap meja penuh tanda tanya. Tidak biasanya ia makan dari restoran Aksa berakhir sisa. “Kamu kenapa? Tumben makan dari pria egois itu enggak habis. Nyisa lauk banyak pula. Diet?” tanya Yula pura-pura melupakan kejadian beberapa jam lalu.

Thifa tertawa getir, “Aku? Diet? Yang ada bukannya langsing, tapi kurus.”

“Ya, makanya makan yang banyak. Dan enggak usah mikirin Aksa terus. Biar aja dia sama istrinya. Udah cukup kamu nangisin pria seperti dia, Thifa ... apa kamu enggak sayang sama diri sendiri?” Yula sengaja mengembalikan pertanyaan agar wanita di depannya bisa menyadari bahwa cintanya adalah sebuah kesalahan. Meskipun itu akan serupa angin yang pergi menerbangkan dedauan.

Bukannya menjawab, Thifa justru menundukkan kepala dan menyembunyikannya di sela kedua kaki. Ada air mata yang siap tumpah selayaknya deras hujan.

“Yula ... apa segitu salahkah jika aku mencinta dia? Aku tahu dia udah punya istri. Tapi, aku juga enggak bisa menolak apa yang kurasa. Aku enggak pernah minta berada di posisi seperti ini. Jujur, iya, aku kadang sakit lihat dia begitu manis sama istrinya. Tapi, aku jauh lebih sakit jika harus tanpa dia,” tanyanya dengan kedua pipi yang banjir air mata.

Yula menarik napasnya dalam mendengar ucapan wanita yang terjebak pada raga berpunya. Memang benar kalau cinta itu bukan keslahan. Akan tetapi, jika hadir di waktu dan tempat yang salah hanya akan memberi sakit berkepanjangan. Bahkan bisa diibaratkan mendekati jurang kematian tanpa harus membawa sebilah pisau. Sebab melihatnya bersama orang yang lebih berhak rasanya sama dengan memegang bara api. Panas.

“Sst ... Thifa ... jangan nangis! Kamu enggak salah ... aku tahu kamu bukan tipe orang yang merusak rumah tangga orang. Udah, jangan nyalahin diri sendiri. Kalau kamu memang enggak bisa hidup tanpa dia, ya, udah jalani semampunya. Kalau kamu kuat, jalani. Kamu pasti paham resikonya seperti apa jika berhubungan dengan Aksa. Aku hanya minta kamu berhati-hati. Jangan sampai istrinya Aksa menyakitimu. Aku enggak rela jika kamu yang ditekan. Padahal di sini Aksa yang menginginkan kamu,” tutur Yula panjang lebar untuk menenangkan sahabatnya. Tangannya pun mengusap lembut punggung yang kerap berpura-pura kuat padahal sekarat.

Wanita pemilik mata kehitaman itu mengangkat kepala mendengar ucapan teman sekaligus tetangganya. Ada kebenaran dan penghakiman sekaligus peringatan di dalamnya. Punggung tangan lemahnya pun menghapus perlahan kedua pipi yang masih membasah sebab hujan begitu deras menghampiri hatinya.

“Udah ... sekarang jangan nangis lagi. Aku gemes sendiri lihat kamu begini. Mau aku nampar dan nyuruh kamu pergi dari pria itu ribuan kali pun, percuma! Sebab yang ada di kepala dan hatimu cuma Aksa, Aksa, Aksa, dan Aksa. Kamu ikuti aja jalan yang sedang Tuhan berikan sampai kamu lelah. Sekarang kamu tidur. Udah malem. Aku juga mau pulang. Makasih untuk lauknya,” ucap Yula sekali lagi tanpa memberi penghakiman dan pengadilan bertubi-tubi. Baginya, hukuman bagi wanita yang sadar menjadi bagian kedua adalah tersiksa jeruji rindu tanpa bisa memiliki dan kehilangan jalan untuk keluar. Itulah hukuman yang sesungguhnya. Sakit tanpa bisa menjerit.

Thifa merasakan ada kesejukan sedikit bisa bertemu Yula malam ini. Meski lauk menjadi alasannya untuk mencari tempat bicara. “Makasih, Yula ... aku jadi sedikit lebih tenang setelah bicara sama kamu. Dari tadi rasanya kepalaku pusing gara-gara kepikiran Mas Aksa," ungkap Thifa jujur.

“Enggak usah terima kasih. Kamu tidur, dan enggak usah mikirin kejadian tadi sore. Kamu doakan aja yang baik untuk diri kamu sendiri. Aku pulang," ucapnya lalu bangkit dan keluar rumah dengan perasaan setengah khawatir. Meski tahu Thifa tersesat di hati yang salah, tetapi ia mengakui kalau ada rona bahagia di wajahnya ketika tengah bersama pria pemilik dua hati. Ia tidak mungkin tega menjatuhkan lagi air mata lebih banyak untuk seorang Athifa Arsyana.

Sementara Thifa masih menatap pintu rumahnya yang terutup setelah kepergian sahabatnya. Meski ada sedikit kelegaan, tetapi bayangan pria di sana bertengkar masih saja menghantui. Bahkan pesan dari sang pria yang mengatakan baik-baik saja tidak cukup menenangkan hati dan pikiran.

Perlahan, ia beranjak menuju kamar untuk berdamai sejenak bersama malam. Melepaskan lelah yang semakin membuat hati lemah. Meski berusaha pasrah, tetapi nurani tetap saja kalah. Menyerah akan perasaan adalah keputusan yang sempat menggoyahkan langkah.

“Semoga kamu baik-baik aja ... karena jika kamu begitu, maka aku di sini pun akan baik-baik aja. Juga sebaliknya,” gumamnya dalam hati sebelum merayu kedua mata menutup. Akan tetapi, satu getaran ponsel berhasil mengalihkan perhatiannya.

Thifa mengerutkan dahi sejenak melihat pesan dari nomor tidak bernama. “Nomor baru? Siapa ya ...,” batinnya. Dengan sekali ketukan pesan itu terbaca jelas dan tertuju memang untuk dirinya.

08578xxxxxxx

[Malam, Thifa. Besok saya ingin bicara empat mata sama kamu tentang Mas Aksa. Saya tunggu kamu di area parkir swalayan. Saya benar-benar penasaran akan hubungan kedekatan kalian.]

Wanita yang merasa dunia telah menurunkan badai menggenggam erat ponselnya. Hal yang ia takutkan selama ini akhirnya benar-benar terjadi. Di mana wanita yang berhak atas diri Aksa Gautama mencium aroma kehadirannya. Resiko paling pahit pun mendadak menyedot setengah napasnya. Thifa belum mempersiapkan diri untuk hal ini jika harus kehilangan.

“Apa yang harus aku lakukan? Enggak mungkin aku menghindar dari Mbak Rena. Tapi untuk kehilangan pun aku belum sanggup ....”

-------***-------

Bersambung

Bab terkait

  • WANITA KEDUA   BAB 5

    WANITA KEDUA 5Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenghindar dari suatu pukulan yang datang tanpa pemberitahuan adalah hal sia-sia. Mau tidak mau, suka tidak suka tetap jalan satu-satunya adalah menghadapi. Entah nantinya akan seperti apa biarlah menjadi urusan Sang Pemberi Hidup. Meskipun ancaman kehilangan orang yang dicintai semakin besar. Thifa membaca pesan itu kedua kali dengan memasrahkan segala hubungan yang terjalin dengan sang pria. Mau ikatan itu terlepas dengan bebas atau tetap terjalin dengan setengah rasa yakin, biarlah menjadi keputusan Tuhan. Akan tetapi, rasa kehilangan memang begitu mudah mengubah perasaan tenang diselimuti gamang. “Balas enggak ya? Apa aku kasih tahu Mas Aksa dulu? Tapi, takut mereka lagi bareng. Kejadian tadi sore aja udah buat bertengkar, apalagi kalau tahu soal ini. Aku harus gimana? Apa aku temui Mbak Rena tanpa sepengetahuan Mas Aksa?” tanya Thifa tanpa pernah tahu siapa yang akan menjawab pertanyaannya.Wanita yang tidak tahu harus mengambil keputu

  • WANITA KEDUA   BAB 6

    WANITA KEDUA 6Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKejujuran memang bisa saja membawa pada kehancuran. Begitu juga kebohongan. Akan tetapi, ada satu keadaan yang membuat dua pilihan itu menjadi bentuk keselamatan perasaan. Ya, keselamatan dari jurang kehilangan orang yang memiliki tempat istimewa di hati. Meskipun harus menempatkan harga diri pada tempat paling dasar. Wanita yang masih berusaha menelan ludahnya sendiri terus memikirkan jawaban dengan perasaan entah. Ya, Thifa merasa kejadian sekarang terlalu cepat terjadi. Di mana hubungan yang beberapa bulan terjalin secara rahasia mulai menyebarkan aroma. “Em-mm ... gimana maksudnya, Mbak?” Thifa berusaha memperlambat waktu dengan berpura-pura bodoh. Ada harapan jika dirinya akan selamat dari puluhan pertanyaan apabila karyawan swalayan berdatangan. Karena wanita di depannya kemungkinan besar memilih pergi daripada malu terperih caci. “Kamu enggak usah berlagak bodoh! Aku bisa melihat dari tatapan kalian berdua. Kamu ada sesuatu sama Mas

  • WANITA KEDUA   BAB 7

    WANITA KEDUA 7Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKecerobohan bertindak atau berucap terkadang memang bisa menyisakan penyesalan. Apalagi jika sesal itu meninggalkan bekas luka dan rasa malu sebab menaruhkan harga diri. Bukan tidak bisa menjaga, tetapi keadaan mengalahkan kesabaran. Meskipun semua itu hanyalah sebuah pembelaan hati yang menggadaikan nurani demi satu ikatan tidak semestinya. Ya, Thifa melakukan kebodohan tanpa pernah memikirkan harga dirinya tercecer serupa sampah. Apalagi pria yang memiliki kuasa penuh akan pekerjaannya telah memberi peringatan. “Tenang, Thifa, tenang ... kamu hanya harus bisa menahan ego agar tidak mudah terpancing lagi jika Mbak Rena bicara. Kamu harus sadar, sekuat apa membela diri, kesalahan terbesar tetap jatuh padamu. Karena kamu memang salah. Benar yang dikatakan Pak Lian,” gumamnya sekali lagi meratapi kejadian beberapa menit lalu. Beruntung yang mengetahui hanya Pak Lian—sang pemilik swalayan. Ketika tengah meratapi nasib diri, satu tepukan lembu

  • WANITA KEDUA   BAB 8

    WANITA KEDUA 8Oleh: Kenong Auliya ZhafiraRasa bosan dan muak bisa saja menghampiri jika dihadapkan dengan pertanyaan yang berujung ancaman. Apalagi sengaja menjadikan janji masa lalu sebagai senjata. Meskipun langkah ingin sekali menjauh, tetapi keadaan justru masih terus menahan gerak kaki. Seandainya tidak pernah ada situasi yang mengikat layaknya janji sekerat, maka keraguan untuk pergi mungkin bisa saja tertanam kuat. Akan tetapi, keadaan justru membuat pertikaian hati dan akal kian panas membabat.Pria yang ingat betul ucapannya dulu akan berada di sisi seorang Serena dengan catatan membantu ekonomi keluarga seketika menarik napasnya dalam. Lalu mengembuskannya perlahan agar amarah dalam dada tidak ikut tersulut dan lekas padam. Aksa memberanikan diri menatap wanita yang memasang wajah penuh amarah. “Aku sama Thifa hanya saling peduli, Rena ... jadi tolong jangan ganggu dia dengan tingkah konyolmu seperti sekarang. Dan kalau kamu menyalahkan, jangan salahkan dia! Salahkan aku

  • WANITA KEDUA   BAB 9

    WANITA KEDUA 9 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraSabahat itu akan selalu dengan mudah merasakan perbedaan pada orang terdekat apabila telah terjadi sesuatu. Bukan hanya sekadar ingin tahu atau penasaran, tetapi memang ada kepedulian yang mendasari ikatan persahabatan. Apalagi jika semua pernyataan diri dibarengi kenyataan yang tepat di hadapan. Hal itu jelas semakin menambah pikiran berkelana lebih luas. Yula masih mencoba menerka apa yang kini tengah terjadi. Di mana pria yang memiliki kuasa penuh atas swalayan memberi peringatan kedua kali pada Thifa—sahabatnya. Rasa peduli dan takut hal buruk terjadi seakan berlomba memperebutkan siapa yang akan menjadi penguasa hati. “Thifa ... emangnya tadi pagi kamu kenapa? Kamu buat kesalahan tadi?” bisik Yula pada wanita yang masih memasang wajah setengah gugup. Akan tetapi, Thifa tidak menjawab dan hanya fokus pada pria yang menatapnya dengan wajah serius tapi tetap memiliki kharisma. Lian yang merasa butuh jawaban mengulangi pertanyaannya, “Ka

  • WANITA KEDUA   BAB 10

    WANITA KEDUA 10 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenjalin sebuah ikatan pada hati yang tidak semestinya memang dipastikan hanya mendapat luka dan air mata. Ancaman kehilangan atau pun ditinggalkan akan bisa seperti kematian yang mengintai nyawa di setiap ujung napas. Bahkan, muara yang kadang menjadi impian dari akhir sebuah hubungan bisa saja tidak pernah ada. Hanya hati terpilih dari Tuhan jika ada yang mampu menjalani kisah terlarang tanpa arah, tetapi tetap berserah dan tidak menyerah. Akan tetapi, rasa takut kehilangan akan selalu terbawa di setiap jejak langkah.Ya, Thifa pasti tahu semua kemungkinan terburuk untuk kisahnya sendiri yang menumbuhkan bunga di tempat tidak seharusnya. Rasa takut kehilangan pun memang selalu mengalir bersama aliran darah hingga urat nadi. Apabila seorang Aksa pergi bisa dipastikan hidupnya pun tidak akan baik-baik saja. Wanita yang tidak memungkiri rasa takut itu menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “La ... aku mencintai Mas Aksa dari hati. Ak

  • WANITA KEDUA   BAB 11 A

    WANITA KEDUA 11 A Oleh: Kenong Auliya ZhafiraTerkadang sebuah hubungan yang disembunyikan rapat tidak ingin membuatnya terbuka begitu mudah pada setiap orang. Ada keinginan besar untuk menyimpannya sendiri bersama segenap luka dan bahagia. Akan tetapi, waktu lebih menggunakan kuasanya kapan kejujuran kembali menjadi pegangan hidup. Karena sejatinya memang segala macam bentuk rahasia akan terkuak bersama waktu. Entah dengan hal-hal tidak terduga, atau hal-hal yang telah direncanakan oleh manusia itu sendiri. Wanita yang kemungkinan besar akan mengalami masa-masa itu hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Di mana dirinya mendapatkan lagi pertanyaan akan kisah yang dirahasiakan dengan sang pria. Ya, Thifa masih tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. “Em, anu, Bu ... bukan apa-apa, kok. Saya permisi dulu, waktu istirahat sudah hampir habis. Mari, saya duluan ...,” pamit Thifa yang memilih lari sebelum membuka siapa dirinya tanpa persiapan mental apa pun. Ia tidak ingin semakin ban

  • WANITA KEDUA   BAB 11 B

    WANITA KEDUA 11 BOleh: Kenong Auliya ZhafiraWanita yang tahu betul seperti apa rasanya hanya bisa menarik napas dalam dan mengembuskannya kasar. Ucapan sang pria memanglah benar adanya. Akan tetapi, seharusnya ada satu cara agar luka itu tidak semakin parah. Karena jika ia menjadi Thifa belum tentu sanggup menghadapi perasaan sendiri. “Kamu bener, Mas ... tapi, meski kamu tahu aku dulu wanita hina yang banyak dosa dan tidak terhormat, kamu tetap memilih mencintaiku. Meski tahu itu sakit. Mungkin Thifa juga meraskaan hal yang sama. Walaupun tahu hubungan yang ada membuatnya sakit, tapi tetap memilih menjalani bersama Aksa. Padahal udah sangat jelas kemungkinan bersama itu hanya 0,99 persen,” ujar Mayasha dengan senyum getir. Ia bisa membayangkan bagaimana rindu itu hadir setiap malam dengan membawa sebilah pisau di tangan kanan kirinya. Lian diam-diam mengiakan semua yang dikatakan oleh wanita pilihannya. Wanita yang dipilih karena hati dan perasaannya. Meskipun tahu ada banyak lar

Bab terbaru

  • WANITA KEDUA   BAB 47 B

    WANITA KEDUA 47 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Seketika wanita yang memang ingin berdamai dengan nasibnya sendiri terdiam tanpa kata. Meskipun tidak begitu mengingat seperti apa pria bernama Ezra itu, tetapi Athifa mencoba memahami tindakan sahabatnya memilki tujuan baik untuk dirinya. Hanya saja memang hatinya yang sedang mengalami masalah. "Aku tahu maksud kamu baik, Yula. Tapi, saat ini memang belum mau memikirkan tentang pria. Apalagi cinta. Entah kenapa rasanya semua hasrat itu padam," jawab Athifa sembari menatap Yula dengan pandangan hampa. "Tapi anehnya dia tahu tentang kamu menjalin hubungan dengan Aksa. Entah tahu dari mana, dia tidak mau mengaku. Cuma katanya bukan dari orang sembarangan," cerita Yula sedikit panjang dan melebar. Athifa hampir kesulitan menelan ludahnya sendiri mendengar ucapan sahabatnya. "Dia tahu kalau aku suka sama suami orang?" tanyanya dengan mata membulat. Yula mengangguk, "Iya. Tapi kamu tidak perlu cemas. Dia mau diam, kok." "S

  • WANITA KEDUA   BAB 47 A

    WANITA KEDUA 47 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Kata maaf memang tidak selamanya bisa menyembuhkan luka. Namun, setidaknya satu kata tersebut bisa sedikit menyamarkan perih. Selain itu juga mengajarkan hati untuk berlapang dada pada kejadian yang telah digariskan sang pemilik alam semesta. Wanita yang belum terlalu kuat berdamai dengan luka dan kata maaf itu menatap dua pria di hadapannya secara bergantian. Meskipun rasanya ingin berlari sejauh mungkin dari kenangan dan kenyataan, tetapi suka tidak suka tetap harus menghadapinya. "Kamu tidak perlu minta maaf, Mas. Sebab aku sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin juga sudah menjadi peran yang harus aku mainkan. Aku ingin berdamai dengan luka ini. Kalau kamu merasa bersalah, maka hiduplah dengan perasaan itu selamanya. Dan aku juga tidak menyesal pernah mengenal dan jatuh cinta padamu," jawab Athifa sembari mengepalkan kedua tangan untuk mengumpulkan segenggam kekuatan. "Aku tidak membencimu, Mas. Karena bagaima

  • WANITA KEDUA   BAB 46 B

    WANITA KEDUA 46 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Lagi. Aksa menatap wanita yang terlihat begitu mudah berbicara tanpa kegugupan sama sekali mengenai masalah dirinya. Meskipun ia menyadari jika ucapan Serena adalah benar adanya. "Aku akan mencoba mencari waktu yang tepat. Entah dia mau memaafkan atau tidak, itu haknya. Karena aku sendiri juga merasa tidak pantas mendapat kata maaf," jawabnya, lalu menunduk menatap kakinya yang terlalu lemah untuk mengambil keputusan. Ketika dua manusia itu sedang belajar menjadi pasangan yang sebenarnya, tiba-tiba orang tua Aksa berdiri di hadapan dengan wajah penuh ekspresi. "Kenapa kamu tidak pantas mendapat kata maaf?" tanya pria yang tidak lain adalah ayahnya Aksa. Aksa dan Serena seketika berdiri dan menyambut kedatangan orang tua yang jarang bertemu setelah acara pernikahan dulu. "Ayah? Kok, tidak bilang mau ke sini?" tanya pria yang sedikit terkejut melihat sang ayah. "Iya. Kalau bilang, kan, kita bisa menyiapkan sesuatu, Yah

  • WANITA KEDUA   BAB 46 A

    WANITA KEDUA 46 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Mengetahui suatu kabar yang berusaha dirahasiakan dari khalayak ramai ternyata melebar luas tentunya membuat khawatir dan gelisah. Bukan karena mereka tahu semuanya, tetapi ada kondisi hati yang harus dijaga sebisa mungkin. Pria bernama lengkap Aksa Gautama itu terus menatap heran. Ia terus berpikir bagaimana pria di sebelahnya bisa mengetahui kisahnya bersama wanita kedua yang berhasil membuat terjatuh dalam cinta. "Sebelumnya maaf ... bagaimana Anda bisa tahu tentang saya dan Athifa? Padahal sepertinya kita baru bertemu?" tanya Aksa dengan wajah bingung dan gelisah sekaligus. Ezra tersenyum getir mendapat pertanyaan yang menurutnya lucu. "Kita memang baru bertemu. Tapi, saya sudah sedikit tahu tentang masnya. Pria yang berhasil membuat seorang Athifa jatuh cinta. Ya, meskipun itu bukan cinta yang sebenarnya. Masnya pasti paham apa maksud saya," jawabnya tanpa keraguan sedikit pun. "Kalau kita baru pertama bertemu, baga

  • WANITA KEDUA   BAB 45 B

    WANITA KEDUA 45 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Aksa yang tiba-tiba bingung langsung mengulangi pertanyaannya. "Mas ... jadi pesan, enggak?" tanyanya sembari mengayunkan telapak tangannya di hadapan pria yang baru kali ini bertemu. Pria yang terjebak lamunannya sendiri pun tersadar. "Aku mau sayur kangkung sama ikan bakar.. "Siap. Sambil menunggu pesanan, Anda bisa duduk manis. Mau melihat pemandangan dari kaca jendela juga bagus," ujar Aksa, kemudian melangkah pergi menuju dapur untuk memberitahu ada pesanan baru. Aksa sendiri masih menatap lekat sampai pria itu menghilang dari pandangan. Ia juga melihat pemandangan sekeliling restoran yang cukup cantik dari segi konsep dan tatanannya. "Keren juga sih, konsep restorannya. Sederhana tapi unik. Apa aku buka restoran aja, ya? Trus bahannya ngambil di swalayannya Om Lian. Kayaknya masuk buat jadi rencana jangka panjang. Tapi aku enggak punya bakat apa pun di bidang kuliner," gumamnya dalam hati. Ketika tengah asyik merencanaka

  • WANITA KEDUA   BAB 45 A

    WANITA KEDUA 45 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Mengobati luka seseorang itu memang bukan hal mudah. Akan ada usaha dan niat yang harus seluas jagad raya. Apalagi jika ada tekad tersembunyi untuk menggantikan posisi tersebut. Tentunya membutuhkan banyak kesabaran dan pengorbanan. Pria yang memiliki tujuan tersebut menatap Yula sekali lagi. Ezra sadar jika jalannya untuk mendapatkan sang pujaan mungkin akan lebih sulit dari sebelumnya. Ya, wajah sahabatnya sudah menjelaskan semua tanpa harus menjawabnya. "Kok, diam, La? Apa kamu juga mengenal yang punya restoran itu?" tanya Ezra kedua kali sembari memancing wanita di depannya untuk bicara. Yula pun tersadar dan menjawab, "Kenal banget sih, enggak. Tapi cukup tahu. Mending jangan tanya soal itu dulu, ya? Aku lagi enggak mau bahas soalnya." "Emang kenapa? Apa karena pria itu ada hubungan dengan Thifa?" Ezra mencoba membuka inti obrolan yang sebenarnya. Kedua mata Yula seketika membulat. Rasanya tidak percaya jika pria di depann

  • WANITA KEDUA   BAB 44 B

    WANITA KEDUA 44 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Lian berpikir sejenak. Sebenarnya ia tidak begitu membutuhkan karyawan baru. Selain itu tabungan Ezra pun pasti masih banyak dan cukup untuk hidup juga membuka usaha."Kamu yakin? Uang kamu sudah habis, kah? Sampai minta bekerja di sini?" goda Lian yang membuat Ezra semakin lucu. "Ayolah, Om ... ini bukan masalah uang. Ini masa depan. Dan sekalian aku juga belajar mengelola swalayan sama Om. Siapa tahu nanti aku buka sendiri dan mengajak bersaing," ujar Ezra berusaha merayu. Lian seketika menarik napasnya dalam dan mengembuskannya kasar. Bagaimanapun hatinya tidak bisa menolak keinginan pria di depannya. Bukan hanya karena urusan ketidaktegaan, tetapi ada persaudaraan yang memang lebih dari segalanya. "Iya sudah. Besok kamu boleh mulai berangkat. Kalau mau, kamu juga boleh tinggal di rumah Om. Biar Mayasha ada teman ngobrol. Soalnya kadang Om pulangnya malam," jawabnya yang terdengar seperti suara malaikat tidak bersayap. "Wah, seriu

  • WANITA KEDUA   BAB 44 A

    WANITA KEDUA 44 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Melihat seseorang yang dulu pernah meluluhkan hati tentunya membuat gembira. Apalagi setelah waktu berhasil menahannya dengan mimpi. Mimpi di mana ingin berbenah diri dalam kelayakan dari segi mana pun. Meskipun harus melewati siksaan perasaan yang jelas terasa seperti goresan belati. Ya, pria bernama lengkap Ezra Rezky Avilla masih saja menatap wanita yang sedang berbicara dengan temannya dari kejauhan. Ia hampir tidak menyangka bisa bertemu di tempat seperti ini. "Ternyata benar kalau dunia ini tidak selebar daun kelor. Aku bisa melihat kamu di Swalayan Melati. Pasti ini bukan hanya sebuah kebetulan, kan?" gumamnya dalam hati dengan senyuman manis yang melebihi gula. Ketika sedang asyik dengan pemandangan pagi paling istimewa, tiba-tiba satu sapaan membuat Ezra terpaksa mengalihkan pandangan. "Maaf, Mas ... kalau berdiri jangan di tengah jalan. Bukannya tidak boleh, hanya mengganggu mereka yang akan beraktifitas." Lian berkata

  • WANITA KEDUA   BAB 43 B

    WANITA KEDUA 43 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira "Enggak. Sekali-kali tampil beda," kekeh Athifa yang berniat memakai hanya untuk hari ini. "Terserah kamu aja kalau gitu. Tapi, emang jadi beda, sih. Jadi tambah terlihat dewasa," puji wanita yang tengah menikmati sarapan paginya. Athifa merekahkan bibirnya menerima pujian dari sahabatnya. "Fokus makan aja. Biar cepat habis. Kalau telat nanti enggak enak sama Pak Lian." Yula yang mengerti langsung diam dan memakan sarapannya hingga suapan terakhir. Setelah sama-sama selesai, keduanya pun membayar dan melanjutkan perjalanan menuju swalayan. Jarak yang memang tidak terlalu jauh membuat mereka cepat sampai dalam waktu beberapa menit. "Parkir di tempat biasa aja, La ...," ujar Athifa saat melewati pintu masuk swalayan. "Oke," jawab Yula singkat, lalu menghentikan roda dua tepat di area sekitar pohon karsen. Ketika Athifa membuka pengait helm, karyawan-karyawan lain yang baru berangkat masih menatapnya dengan senyuman sini

DMCA.com Protection Status