WANITA KEDUA 2
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Terkadang kecurigaan yang tertumpuk karena pengamatan kerap memunculkan tanda tanya yang jawabannya mendekati kebenaran. Apalagi firasat seorang wanita pada pasangan. Kemungkinan benar pasti nyaris seratus persen.
Serena bergegas mendekat untuk menuntaskan rasa penasarannya. Wajah prianya begitu kentara berbinar penuh bahagia. Senyum itu seakan mewakili bahasa tubuh yang jujur.
“Mas ... kok, pembelinya tidak disuruh masuk? Kenapa hanya di depan pintu begitu? Tidak sopan menyambut pembeli seperti itu,” ucap Rena tiba-tiba yang sudah berada di antara mereka. Membuat ketiga orang di depannya menoleh secara bersamaan.
Thifa memaksa bibirnya tersenyum untuk menyembunyikan perasaan takut sekaligus cemas. Ya, ia takut apabila hatinya harus kehilangan dan tidak bisa melihat pria di depannya jika hubungannya terbuka. Ia sengaja menatap arah lain untuk menghindari tatapan Mbak Rena yang selalu terlihat penuh bahagia bisa memiliki Mas Aksa sepenuhnya. Berbeda dengan dirinya yang hanya memiliki setengah hati dan perhatiannya.
Sementara pria yang diam-diam memiliki wanita kedua dalam hatinya berusaha menelan ludah pelan untuk menetralkan debaran jantungnya akan kehadiran sang istri.
“Bukannya tidak sopan, Dek ... tapi, Thifa yang buru-buru karena hari udah terlalu sore. Dan mungkin juga dia merasa lelah dan ingin segera pulang setelah bekerja,” jawabnya sengaja berbohong diselipi senyum manis.
Wanita yang mendengar ucapan sang pria tanpa nada tinggi membuat api cemburu perlahan menyala dan memanaskan dada. Karena kata-kata manis itu bukan ditujukan untuk dirinya. Meski kerap berpikiran seperti demikian, Thifa langsung menyadari bahwa bukan haknya untuk cemburu. Tanpa diberi kode seperti ini pun, ia bisa tahu kalau sebenarnya Mbak Rena menginginkan segera pergi dan pulang ke rumah.
Kesadaran posisi dan siapa yang lebih berhak atas Aksa Gautama sering kali menjatuhkan hati dan harga dirinya sebagai wanita. Akan tetapi, perasaan yang ada mengalahkan tanpa tapi. Ia akan memilih diam merasakan segala perih dari segala resiko memberikan setengah hatinya pada pria yang menurutnya sempurna.
“Ya udah, Mas Aksa dan Mbak Rena ... saya mau pulang dulu karena udah mendapat pesanan,” pamit Thifa sembari menarik tangan Yula—sahabatnya. Biarlah cemburu yang ada ia redam sendiri tanpa harus membuat pria di sana merasa bersalah.
Rena yang sengaja mendekat, memperhatikan wanita bernama Thifa dan suaminya secara bergantian. Thifa yang melangkah tanpa menoleh, sang suami yang menatap punggung itu menjauh dengan wajah berbinar tanpa beralih sedikit pun.
“Lihatnya begitu banget, Mas? Suka sama Thifa?” Satu pertanyaan yang sejak tadi mencekik leher meluncur begitu saja dari bibirnya.
Aksa menoleh, “Kalau ngomong jangan sembarangan. Entar jadi beneran.”
“Emang itu beneran, kan? Kamu suka sama Thifa, kan? Kamu ada apa-apa dengan wanita itu, kan? Dasar wanita murahan. Di luar aja banyak pria yang single, kenapa harus menggoda pria beristri,” tuduhnya dengan rasa begitu menggebu. Sorot mata sang pria sudah cukup memberi bukti.
Mendengar tuduhan yang jauh dari kenyataan tentang seorang Thifa Arsyana membuat kesabaran Aksa berkurang. Memilih dirinya sebagai pelengkap setengah hati bukanlah tentang murah mahalnya seorang wanita. Ini tentang hati dan perasaan yang tidak mengenal perbedaan tanpa harus saling memaksakan.
“Serena Jasmin ... aku tahu kamu adalah wanita terhormat dengan segudang harta yang tidak akan pernah habis. Kenapa mulai ke sini, pikiranmu selalu negatif tentang orang lain? Belum tentu Thifa itu sesuai apa yang kamu tuduhkan. Murah mahalnya seorang wanita itu bukan dari kisah asmaranya, melainkan dari cara bersikap dan berkata. Kamu paham, kan?” jelas pria yang merasa ikut terhina oleh perkataan sang istri. Bukan niat membelanya, tetapi ia melakukan itu untuk menjaga harga diri Serena agar tidak ikut terjatuh oleh tutur katanya sendiri yang tidak bisa terjaga. Bukankah ucapan pun bisa setajam belati? Bisa melukai tanpa harus terluka menganga dan berdarah.
Wanita yang kembali merasakan nalurinya benar langsung tersulut emosi mendapati Aksa berkata tanpa memikirkan perasaannya. Ada cemburu menyeruak karena pria yang selama ini terlihat begitu setia ternyata berani membela wanita lain selain dirinya.
“Kamu belain, Thifa, Mas?! Jadi, bener kalian bermain di belakangku?" tanyanya lagi dan lagi dengan tuduhan yang kian menjadi.
Aksa menunduk, menurunkan amarah sebisa mungkin. Pelan, ia mengangkat kepalanya seraya menatap wanita yang selama ini menemani hidup. Bukan seperti ini kehidupan yang ia inginkan. Perkataan Serena yang kadang bisa tidak terkendali pelan-pelan meredupkan cinta. Bersama Thifa, ia menemukan hati yang tidak pernah memaki dan terus memberi meski tahu tidak akan ada harapan apa pun dalam menjalani hubungan.
“Oke, jika kamu hanya diam, Mas ... aku akan menganggap jawaban kamu adalah iya. Aku enggak nyangka kamu tega melakukan ini padaku. Aku yang selama ini di sisimu, tapi sekarang dengan mudahnya membagi hatimu pada wanita lain. Lebih muda lagi. Kalau sudah bosan, bilang, Mas ... enggak perlu begini,” ujarnya lagi tanpa meninggikan suara. Rasa kecewa tidak mungkin bisa lagi disembunyikan.
Pria yang merasa kini disudutkan menarik napasnya dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aksa tahu betul tabiat Serena yang kerap mengubah emosi dalam satu waktu mampu menggoyahkan mental sekaligus hati dan berakhir dengan perasaan bersalah. Namun, sikapnya kali ini pada Thifa sungguh keterlaluan.
“Bukankah mau aku diam atau menjawab, bibirmu akan selalu menuduhku begitu, Dek? Jadi, buat apa lagi menjelaskan. Aku mau kembali ke dalam, enggak enak dilihat mereka, " jawab sang pria sembari memperlihatkan tatapan orang-orang yang lewat di sekitar restoran. Kemudian pergi begitu saja, meninggalkan wanita yang mungkin mencari arti tatapan yang entah.
Sungguh, hatinya mendadak tidak rela apabila Thifa dianggap wanita murahan oleh istrinya sendiri. Bukan tanpa sebab rasa itu mendadak ada, Aksa menyadari sendiri sekuat apa wanita itu bertahan menahan harapannya untuk ego dalam hubungan yang ada.
Rena seketika mengedarkan pandang ke sekeliling. Tatapan orang-orang malah seakan menghakimi sikapnya, padahal di sini ia menjadi wanita yang tersakiti.
“Apa lihat-lihat? Enggak pernah lihat pasangan bertengkar?” ucapnya ketus pada orang-orang yang berseliweran di depan restoran. “Awas aja kamu, Mas ... kamu udah menyangkal ucapanku dan membuat harga diriku tercoreng,” ujarnya lagi sembari tangannya meremas ujung baju, lalu masuk restoran dengan bibir membentuk kerucut. Umpatan dalam hati masih terus menggema tanpa ingin berhenti sebagai bentuk rasa kecewa.
~
Sementara di rumah, wanita yang masih merasa deg-degan karena kecurigaan Mbak Rena akan kehadirannya membuat pikiran tidak tenang. Thifa mengkhawatirkan keadaan pria di sana. Hanya itu yang bisa ia berikan selama menjalani hubungan rumit ini.
“Semoga kamu enggak apa-apa, Mas ... aku jadi khawatir begini setelah tahu tatapan Mbak Rena yang terlihat penuh curiga," ucapnya pada diri sendiri sembari menatap bungkusan makanan dari sang pujaan.
Entah kenapa selera makan mendadak hilang. Pikiran yang selalu tertuju sosok Aksa Gautama perlahan menurunkan segala hasrat, termasuk makan. Mungkinkah efek samping dari cinta begitu besar, hingga mampu mengubah sikap manusia? Semua itu pastinya tergantung ketahanan mental masing-masing.
“Ehem! Sayang amat, tuh, makanan cuma dilihatin? Buat aku aja kalau kamu enggak doyan.” Yula sengaja menghampiri rumah sahabat sekaligus tetangga untuk menemani sebentar setelah kejadian tadi sore. Bahkan, ia datang tanpa memberi pesan dan langsung menggoda pada pemberian sang pria yang dengan tidak sopan membawa setengah hati untuk cinta.
Thifa menoleh ke arah sumber suara, “Tumben main malam-malam? Ada yang ketinggalan di rumahku?”
“Iya. Aku ketinggalan rasa cemas. Kamu enggak apa-apa?” tanyanya lagi memastikan keadaan Thifa setelah kejadian tadi sore.
Wanita yang masih saja merasa cemas hanya menanggapi dengan senyum gerir. “Aku enggak apa-apa, La ... selama Mas Aksa tidak meminta pergi, aku tidak akan berhenti dalam hubungan ini.”
Yula membuang napas kasar saat mendapati sahabatnya selalu terlihat baik-baik saja. Padahal dalam hatinya pasti menahan banyak rasa. Apalagi ditambah kejadian tadi sore.
“Kamu kenapa selalu berpura-pura sih, Thifa? Kalau kamu sakit, bilang sakit! Kalau mau nangis, ya, nangis aja! Kamu enggak perlu selalu baik-baik saja, sedangkan pria di sana mungkin sedang mencari banyak alasan untuk menutupi kebohongannya! Kalau bisa, sudahi, Thifa ... Aku enggak mau kalau istrinya Aksa nekat dan melakukan hal yang di luar kendali,” ujar wanita yang hafal sikap sahabatnya.
Wanita yang terjebak dengan perasaannya sendiri seketika terdiam. Bayangan istri sah memperlakukan wanita kedua para suami yang mendua mendadak melemahkan raga. Thifa sadar kejadian demikian kemungkinan cepat atau lambat akan menghampiri dirinya.
“Aku yakin kalau Mas Aksa akan melindungi seperti janjinya selama ini yang tidak akan pergi. Dia bukan tipe orang yang munafik. Tapi, tatapan Mbak Rena tadi sore terlihat penuh curiga dan menyimpan amarah. Gimana kalau ucapan Yula beneran terjadi? Apa Mas Aksa akan tetap menggenggam tanganku? Atau malah memutuskan pergi?”
--------***--------
Bersambung
WANITA KEDUA 3Oleh: Kenong Auliya ZhafiraJanji orang yang tidak bisa dimiliki mungkin ibarat pasir dalam genggaman. Semakin kuat tergenggam, maka semakin sakit. Bahkan, semakin melemah genggaman, maka segalanya semakin jatuh berserakan. Dua keadaan yang sama-sama tidak bisa menjamin kebahagiaan. Akan tetapi, keyakinan terkadang menyala layaknya temaram untuk hati yang terlanjur tenggelam akan cinta berselimut cerita kelam. Thifa sekuat mungkin berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ucapan pria di sana itu adalah sebuah kesungguhan, bukan semata sekadar rayuan. Meski hubungan yang tersulam tidak wajar, tetapi perasaan justru semakin membesar. Bahkan, gejolak rindu itu mampu terus membara setelah lima bulan berlalu. Namun, ketakutan-ketakutan kecil hingga besar masih menghampiri jika mendengar cintanya sebuah kesalahan. Sementara ia hanya bermodalkan perhatian dan ketulusan. “Aku percaya sama Mas Aksa tidak akan pergi begitu saja. Aku yakin dia pasti menepati janjinya untuk selalu
WANITA KEDUA 4Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMencintai milik orang memang kerap dianggap sebagai kesalahan. Akan tetapi, rasa itu tetaplah anugerah Tuhan yang akan memberi pelajaran akan arti ketulusan dalam hidup. Sekuat apa logika menyalahkan perasaan, hati akan selalu kalah melawan.Wanita yang terjebak cinta terlarang itu menarik napasnya dalam. Thifa berucap sendiri mempertanyakan hal yang sama setiap hari tentang hatinya. Terkadang ambisi menyelimuti hati untuk bisa memiliki sang pria seutuhnya, tetapi kenyataan begitu kejam menghentikan.“Kepalaku pusing jika harus membahas tentang rasa ini terus menerus. Maafkan aku jika cinta yang ada mulai mengubahku menjadi wanita egois, Mas ... sungguh, jika bisa, aku ingin pergi dari perasaan yang rumit ini. Tapi, aku benar-benar takut kehilanganmu. Lebih baik aku menahan lara daripada enggak bisa melihat Mas Aksa sama sekali," lirihnya sekali lagi sembari memegang kepala yang perlahan berdenyut.Thifa mencoba beranjak, meninggalkan ruang t
WANITA KEDUA 5Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenghindar dari suatu pukulan yang datang tanpa pemberitahuan adalah hal sia-sia. Mau tidak mau, suka tidak suka tetap jalan satu-satunya adalah menghadapi. Entah nantinya akan seperti apa biarlah menjadi urusan Sang Pemberi Hidup. Meskipun ancaman kehilangan orang yang dicintai semakin besar. Thifa membaca pesan itu kedua kali dengan memasrahkan segala hubungan yang terjalin dengan sang pria. Mau ikatan itu terlepas dengan bebas atau tetap terjalin dengan setengah rasa yakin, biarlah menjadi keputusan Tuhan. Akan tetapi, rasa kehilangan memang begitu mudah mengubah perasaan tenang diselimuti gamang. “Balas enggak ya? Apa aku kasih tahu Mas Aksa dulu? Tapi, takut mereka lagi bareng. Kejadian tadi sore aja udah buat bertengkar, apalagi kalau tahu soal ini. Aku harus gimana? Apa aku temui Mbak Rena tanpa sepengetahuan Mas Aksa?” tanya Thifa tanpa pernah tahu siapa yang akan menjawab pertanyaannya.Wanita yang tidak tahu harus mengambil keputu
WANITA KEDUA 6Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKejujuran memang bisa saja membawa pada kehancuran. Begitu juga kebohongan. Akan tetapi, ada satu keadaan yang membuat dua pilihan itu menjadi bentuk keselamatan perasaan. Ya, keselamatan dari jurang kehilangan orang yang memiliki tempat istimewa di hati. Meskipun harus menempatkan harga diri pada tempat paling dasar. Wanita yang masih berusaha menelan ludahnya sendiri terus memikirkan jawaban dengan perasaan entah. Ya, Thifa merasa kejadian sekarang terlalu cepat terjadi. Di mana hubungan yang beberapa bulan terjalin secara rahasia mulai menyebarkan aroma. “Em-mm ... gimana maksudnya, Mbak?” Thifa berusaha memperlambat waktu dengan berpura-pura bodoh. Ada harapan jika dirinya akan selamat dari puluhan pertanyaan apabila karyawan swalayan berdatangan. Karena wanita di depannya kemungkinan besar memilih pergi daripada malu terperih caci. “Kamu enggak usah berlagak bodoh! Aku bisa melihat dari tatapan kalian berdua. Kamu ada sesuatu sama Mas
WANITA KEDUA 7Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKecerobohan bertindak atau berucap terkadang memang bisa menyisakan penyesalan. Apalagi jika sesal itu meninggalkan bekas luka dan rasa malu sebab menaruhkan harga diri. Bukan tidak bisa menjaga, tetapi keadaan mengalahkan kesabaran. Meskipun semua itu hanyalah sebuah pembelaan hati yang menggadaikan nurani demi satu ikatan tidak semestinya. Ya, Thifa melakukan kebodohan tanpa pernah memikirkan harga dirinya tercecer serupa sampah. Apalagi pria yang memiliki kuasa penuh akan pekerjaannya telah memberi peringatan. “Tenang, Thifa, tenang ... kamu hanya harus bisa menahan ego agar tidak mudah terpancing lagi jika Mbak Rena bicara. Kamu harus sadar, sekuat apa membela diri, kesalahan terbesar tetap jatuh padamu. Karena kamu memang salah. Benar yang dikatakan Pak Lian,” gumamnya sekali lagi meratapi kejadian beberapa menit lalu. Beruntung yang mengetahui hanya Pak Lian—sang pemilik swalayan. Ketika tengah meratapi nasib diri, satu tepukan lembu
WANITA KEDUA 8Oleh: Kenong Auliya ZhafiraRasa bosan dan muak bisa saja menghampiri jika dihadapkan dengan pertanyaan yang berujung ancaman. Apalagi sengaja menjadikan janji masa lalu sebagai senjata. Meskipun langkah ingin sekali menjauh, tetapi keadaan justru masih terus menahan gerak kaki. Seandainya tidak pernah ada situasi yang mengikat layaknya janji sekerat, maka keraguan untuk pergi mungkin bisa saja tertanam kuat. Akan tetapi, keadaan justru membuat pertikaian hati dan akal kian panas membabat.Pria yang ingat betul ucapannya dulu akan berada di sisi seorang Serena dengan catatan membantu ekonomi keluarga seketika menarik napasnya dalam. Lalu mengembuskannya perlahan agar amarah dalam dada tidak ikut tersulut dan lekas padam. Aksa memberanikan diri menatap wanita yang memasang wajah penuh amarah. “Aku sama Thifa hanya saling peduli, Rena ... jadi tolong jangan ganggu dia dengan tingkah konyolmu seperti sekarang. Dan kalau kamu menyalahkan, jangan salahkan dia! Salahkan aku
WANITA KEDUA 9 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraSabahat itu akan selalu dengan mudah merasakan perbedaan pada orang terdekat apabila telah terjadi sesuatu. Bukan hanya sekadar ingin tahu atau penasaran, tetapi memang ada kepedulian yang mendasari ikatan persahabatan. Apalagi jika semua pernyataan diri dibarengi kenyataan yang tepat di hadapan. Hal itu jelas semakin menambah pikiran berkelana lebih luas. Yula masih mencoba menerka apa yang kini tengah terjadi. Di mana pria yang memiliki kuasa penuh atas swalayan memberi peringatan kedua kali pada Thifa—sahabatnya. Rasa peduli dan takut hal buruk terjadi seakan berlomba memperebutkan siapa yang akan menjadi penguasa hati. “Thifa ... emangnya tadi pagi kamu kenapa? Kamu buat kesalahan tadi?” bisik Yula pada wanita yang masih memasang wajah setengah gugup. Akan tetapi, Thifa tidak menjawab dan hanya fokus pada pria yang menatapnya dengan wajah serius tapi tetap memiliki kharisma. Lian yang merasa butuh jawaban mengulangi pertanyaannya, “Ka
WANITA KEDUA 10 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenjalin sebuah ikatan pada hati yang tidak semestinya memang dipastikan hanya mendapat luka dan air mata. Ancaman kehilangan atau pun ditinggalkan akan bisa seperti kematian yang mengintai nyawa di setiap ujung napas. Bahkan, muara yang kadang menjadi impian dari akhir sebuah hubungan bisa saja tidak pernah ada. Hanya hati terpilih dari Tuhan jika ada yang mampu menjalani kisah terlarang tanpa arah, tetapi tetap berserah dan tidak menyerah. Akan tetapi, rasa takut kehilangan akan selalu terbawa di setiap jejak langkah.Ya, Thifa pasti tahu semua kemungkinan terburuk untuk kisahnya sendiri yang menumbuhkan bunga di tempat tidak seharusnya. Rasa takut kehilangan pun memang selalu mengalir bersama aliran darah hingga urat nadi. Apabila seorang Aksa pergi bisa dipastikan hidupnya pun tidak akan baik-baik saja. Wanita yang tidak memungkiri rasa takut itu menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “La ... aku mencintai Mas Aksa dari hati. Ak
WANITA KEDUA 47 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Seketika wanita yang memang ingin berdamai dengan nasibnya sendiri terdiam tanpa kata. Meskipun tidak begitu mengingat seperti apa pria bernama Ezra itu, tetapi Athifa mencoba memahami tindakan sahabatnya memilki tujuan baik untuk dirinya. Hanya saja memang hatinya yang sedang mengalami masalah. "Aku tahu maksud kamu baik, Yula. Tapi, saat ini memang belum mau memikirkan tentang pria. Apalagi cinta. Entah kenapa rasanya semua hasrat itu padam," jawab Athifa sembari menatap Yula dengan pandangan hampa. "Tapi anehnya dia tahu tentang kamu menjalin hubungan dengan Aksa. Entah tahu dari mana, dia tidak mau mengaku. Cuma katanya bukan dari orang sembarangan," cerita Yula sedikit panjang dan melebar. Athifa hampir kesulitan menelan ludahnya sendiri mendengar ucapan sahabatnya. "Dia tahu kalau aku suka sama suami orang?" tanyanya dengan mata membulat. Yula mengangguk, "Iya. Tapi kamu tidak perlu cemas. Dia mau diam, kok." "S
WANITA KEDUA 47 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Kata maaf memang tidak selamanya bisa menyembuhkan luka. Namun, setidaknya satu kata tersebut bisa sedikit menyamarkan perih. Selain itu juga mengajarkan hati untuk berlapang dada pada kejadian yang telah digariskan sang pemilik alam semesta. Wanita yang belum terlalu kuat berdamai dengan luka dan kata maaf itu menatap dua pria di hadapannya secara bergantian. Meskipun rasanya ingin berlari sejauh mungkin dari kenangan dan kenyataan, tetapi suka tidak suka tetap harus menghadapinya. "Kamu tidak perlu minta maaf, Mas. Sebab aku sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin juga sudah menjadi peran yang harus aku mainkan. Aku ingin berdamai dengan luka ini. Kalau kamu merasa bersalah, maka hiduplah dengan perasaan itu selamanya. Dan aku juga tidak menyesal pernah mengenal dan jatuh cinta padamu," jawab Athifa sembari mengepalkan kedua tangan untuk mengumpulkan segenggam kekuatan. "Aku tidak membencimu, Mas. Karena bagaima
WANITA KEDUA 46 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Lagi. Aksa menatap wanita yang terlihat begitu mudah berbicara tanpa kegugupan sama sekali mengenai masalah dirinya. Meskipun ia menyadari jika ucapan Serena adalah benar adanya. "Aku akan mencoba mencari waktu yang tepat. Entah dia mau memaafkan atau tidak, itu haknya. Karena aku sendiri juga merasa tidak pantas mendapat kata maaf," jawabnya, lalu menunduk menatap kakinya yang terlalu lemah untuk mengambil keputusan. Ketika dua manusia itu sedang belajar menjadi pasangan yang sebenarnya, tiba-tiba orang tua Aksa berdiri di hadapan dengan wajah penuh ekspresi. "Kenapa kamu tidak pantas mendapat kata maaf?" tanya pria yang tidak lain adalah ayahnya Aksa. Aksa dan Serena seketika berdiri dan menyambut kedatangan orang tua yang jarang bertemu setelah acara pernikahan dulu. "Ayah? Kok, tidak bilang mau ke sini?" tanya pria yang sedikit terkejut melihat sang ayah. "Iya. Kalau bilang, kan, kita bisa menyiapkan sesuatu, Yah
WANITA KEDUA 46 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Mengetahui suatu kabar yang berusaha dirahasiakan dari khalayak ramai ternyata melebar luas tentunya membuat khawatir dan gelisah. Bukan karena mereka tahu semuanya, tetapi ada kondisi hati yang harus dijaga sebisa mungkin. Pria bernama lengkap Aksa Gautama itu terus menatap heran. Ia terus berpikir bagaimana pria di sebelahnya bisa mengetahui kisahnya bersama wanita kedua yang berhasil membuat terjatuh dalam cinta. "Sebelumnya maaf ... bagaimana Anda bisa tahu tentang saya dan Athifa? Padahal sepertinya kita baru bertemu?" tanya Aksa dengan wajah bingung dan gelisah sekaligus. Ezra tersenyum getir mendapat pertanyaan yang menurutnya lucu. "Kita memang baru bertemu. Tapi, saya sudah sedikit tahu tentang masnya. Pria yang berhasil membuat seorang Athifa jatuh cinta. Ya, meskipun itu bukan cinta yang sebenarnya. Masnya pasti paham apa maksud saya," jawabnya tanpa keraguan sedikit pun. "Kalau kita baru pertama bertemu, baga
WANITA KEDUA 45 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Aksa yang tiba-tiba bingung langsung mengulangi pertanyaannya. "Mas ... jadi pesan, enggak?" tanyanya sembari mengayunkan telapak tangannya di hadapan pria yang baru kali ini bertemu. Pria yang terjebak lamunannya sendiri pun tersadar. "Aku mau sayur kangkung sama ikan bakar.. "Siap. Sambil menunggu pesanan, Anda bisa duduk manis. Mau melihat pemandangan dari kaca jendela juga bagus," ujar Aksa, kemudian melangkah pergi menuju dapur untuk memberitahu ada pesanan baru. Aksa sendiri masih menatap lekat sampai pria itu menghilang dari pandangan. Ia juga melihat pemandangan sekeliling restoran yang cukup cantik dari segi konsep dan tatanannya. "Keren juga sih, konsep restorannya. Sederhana tapi unik. Apa aku buka restoran aja, ya? Trus bahannya ngambil di swalayannya Om Lian. Kayaknya masuk buat jadi rencana jangka panjang. Tapi aku enggak punya bakat apa pun di bidang kuliner," gumamnya dalam hati. Ketika tengah asyik merencanaka
WANITA KEDUA 45 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Mengobati luka seseorang itu memang bukan hal mudah. Akan ada usaha dan niat yang harus seluas jagad raya. Apalagi jika ada tekad tersembunyi untuk menggantikan posisi tersebut. Tentunya membutuhkan banyak kesabaran dan pengorbanan. Pria yang memiliki tujuan tersebut menatap Yula sekali lagi. Ezra sadar jika jalannya untuk mendapatkan sang pujaan mungkin akan lebih sulit dari sebelumnya. Ya, wajah sahabatnya sudah menjelaskan semua tanpa harus menjawabnya. "Kok, diam, La? Apa kamu juga mengenal yang punya restoran itu?" tanya Ezra kedua kali sembari memancing wanita di depannya untuk bicara. Yula pun tersadar dan menjawab, "Kenal banget sih, enggak. Tapi cukup tahu. Mending jangan tanya soal itu dulu, ya? Aku lagi enggak mau bahas soalnya." "Emang kenapa? Apa karena pria itu ada hubungan dengan Thifa?" Ezra mencoba membuka inti obrolan yang sebenarnya. Kedua mata Yula seketika membulat. Rasanya tidak percaya jika pria di depann
WANITA KEDUA 44 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Lian berpikir sejenak. Sebenarnya ia tidak begitu membutuhkan karyawan baru. Selain itu tabungan Ezra pun pasti masih banyak dan cukup untuk hidup juga membuka usaha."Kamu yakin? Uang kamu sudah habis, kah? Sampai minta bekerja di sini?" goda Lian yang membuat Ezra semakin lucu. "Ayolah, Om ... ini bukan masalah uang. Ini masa depan. Dan sekalian aku juga belajar mengelola swalayan sama Om. Siapa tahu nanti aku buka sendiri dan mengajak bersaing," ujar Ezra berusaha merayu. Lian seketika menarik napasnya dalam dan mengembuskannya kasar. Bagaimanapun hatinya tidak bisa menolak keinginan pria di depannya. Bukan hanya karena urusan ketidaktegaan, tetapi ada persaudaraan yang memang lebih dari segalanya. "Iya sudah. Besok kamu boleh mulai berangkat. Kalau mau, kamu juga boleh tinggal di rumah Om. Biar Mayasha ada teman ngobrol. Soalnya kadang Om pulangnya malam," jawabnya yang terdengar seperti suara malaikat tidak bersayap. "Wah, seriu
WANITA KEDUA 44 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Melihat seseorang yang dulu pernah meluluhkan hati tentunya membuat gembira. Apalagi setelah waktu berhasil menahannya dengan mimpi. Mimpi di mana ingin berbenah diri dalam kelayakan dari segi mana pun. Meskipun harus melewati siksaan perasaan yang jelas terasa seperti goresan belati. Ya, pria bernama lengkap Ezra Rezky Avilla masih saja menatap wanita yang sedang berbicara dengan temannya dari kejauhan. Ia hampir tidak menyangka bisa bertemu di tempat seperti ini. "Ternyata benar kalau dunia ini tidak selebar daun kelor. Aku bisa melihat kamu di Swalayan Melati. Pasti ini bukan hanya sebuah kebetulan, kan?" gumamnya dalam hati dengan senyuman manis yang melebihi gula. Ketika sedang asyik dengan pemandangan pagi paling istimewa, tiba-tiba satu sapaan membuat Ezra terpaksa mengalihkan pandangan. "Maaf, Mas ... kalau berdiri jangan di tengah jalan. Bukannya tidak boleh, hanya mengganggu mereka yang akan beraktifitas." Lian berkata
WANITA KEDUA 43 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira "Enggak. Sekali-kali tampil beda," kekeh Athifa yang berniat memakai hanya untuk hari ini. "Terserah kamu aja kalau gitu. Tapi, emang jadi beda, sih. Jadi tambah terlihat dewasa," puji wanita yang tengah menikmati sarapan paginya. Athifa merekahkan bibirnya menerima pujian dari sahabatnya. "Fokus makan aja. Biar cepat habis. Kalau telat nanti enggak enak sama Pak Lian." Yula yang mengerti langsung diam dan memakan sarapannya hingga suapan terakhir. Setelah sama-sama selesai, keduanya pun membayar dan melanjutkan perjalanan menuju swalayan. Jarak yang memang tidak terlalu jauh membuat mereka cepat sampai dalam waktu beberapa menit. "Parkir di tempat biasa aja, La ...," ujar Athifa saat melewati pintu masuk swalayan. "Oke," jawab Yula singkat, lalu menghentikan roda dua tepat di area sekitar pohon karsen. Ketika Athifa membuka pengait helm, karyawan-karyawan lain yang baru berangkat masih menatapnya dengan senyuman sini