Sebelum kembali ke rumah Rida, aku mencari mini market. Dalam rangka menghibur hati dua anak Rida, aku harus membeli sesuatu. Es krim, coklat dan snack. Saat terlintas coklat aku tak bisa menahan senyuman. Rida sepertinya tak suka Azkia memakan makanan itu. Aku tahu itu karena takut bajunya kotor. Perempuan itu sangat apik. Ia tak suka ada setitik noda pun pada baju anaknya. Saking apik kadang jadi berlebihan menurutku. But, itu tak perlu diperpanjang. Namanya juga manusia, pastilah ada beda pikiran dan selera. Bagiku, sebuah perbedaan selama tak mengusik hal fundamental atau memicu kekisruhan tak perlu diperdebatkan. Hanya buang waktu dan memancing masalah jadi besar. Lebih baik fokus pada perbaikan kualitas hubungan. Membangun saling percaya dan menyamankan satu sama lain. Takkan ada kedamaian jika suami istri terlalu mengotak-atik perbedaan. Lebih baik mengikatkan diri dalam persamaan dan menghargai perbedaan. Satu hal lagi jangan terlalu menuntut kesempurnaan sebab itu hanya m
RIDA Wajahku bukan lagi menghangat mendengar tawaran mas Afgan. Bahkan, kini suhunya sudah memanas. Tanpa kupegang pun pipi ini terasa berbeda. Meski tawaran itu sedikit konyol, aku tetap saja kegeeran. Ya, memang tak mungkin malam ini melangsungkan akad nikah sebab terlalu mendadak. Orang tua juga pastilah syok atas kenekatan itu. Surat-suratnya saja belum ada karena memang belum diurus. Aku tak mau nikah siri. Inginnya resmi secara agama dan negara. Meski pun nikah siri itu sah, tetap saja tak merasa nyaman. Jaman sekarang harus hati-hati juga terkait nikah siri ini. Banyak lelaki buaya yang memanfaatkan. Ia mengiming-imingi wanita dengan seribu janji, lalu pergi tiada kabar berita lagi.. Jadi jadilah wanita itu tidak memiliki status yang jelas. Istri bukan janda pun tidak. Aku tahu Mas Afgan tidak seperti itu. Namun, sebagai orang yang pernah dikhianati aku tetap harus waspada. Apalagi lelaki ini merupakan orang kaya yang punya kuasa. Mudah baginya untuk memperdaya wanita. “K
“Kesalahanku memang tak termaafkan, tapi aku tetap akan minta maaf. Aku ke sini hanya ingin bertemu Azka dan Azkia dan menjalankan tanggung jawab sebagai ayah mereka,” tutur mas Adnan saat aku, bang Ragil dan dia telah duduk berhadapan di sofa ruang dan depan. Anak-anak dibawa dulu oleh mas Afgan keluar sebentar. Barulah setelah kami selesai bicara akan diajak menemui papanya, yaitu mas Adnan. “Kesalahanmu memang besar, Adnan. Andai boleh, aku ingin sekali membunuhmu. Tapi, kita ini sesama muslim yang dituntun untuk maaf memaafkan. Meski belum bisa sempurna, kami akan berusaha memaafkanmu. Tentang anak-anak kami tak bisa merampas hakmu sebagai ayah. Silakan kamu dan Rida membuat kesepakatan soal Azka dan Azkia,” balas bang Ragil dengan bijaksana. Kakak keduaku ini lebih tenang dari bang Rano. Ia yang berprofesi sebagai dosen Ekonomi ini juga lebih dewasa dalam menyikapi masalah. “Terima kasih atas kebaikan kalian. Aku, aku ...!” Mas Adnan tak bisa melanjutkan ucapannya sebab kalah
RIDA Mas Afgan merespon anggukanku hanya dengan tatapan. Dalam hitungan berdetik-detik, pria itu tetap mengarahkan pandangan padaku. Seolah-olah ia ingin meyakinkan diri sendiri bahwa ucapan wanita ini benar adanya. “Saya memutuskan ini bukan karena terpaksa atau tak enak hati. Saya sudah membulatkan tekad untuk meninggalkan masa lalu, dan menata masa depan bersama Anda.” Seketika senyum terlukis di wajah pria yang seharian ini bermuram durja.. Ia kemudian memiringkan badannya agar dapat melihatku lebih pas. Jadi tak sekedar kepala yang menoleh. “Terima kasih sudah bersedia menjawab perasaanku. Sekarang, aku bisa lega kalau besok harus pulang. Surat-surat untuk administrasi pernikahan akan dikirim besok. Apakah di sini mau ada pesta?” Nada suara mas Afgan sekarang tidak menyiratkan kesedihan. Yang ada malah keceriaan dan antusiasme tinggi. “Di sini akad saja. Tak usah ada pesta!” jawabku cepat. Aku malu kalau di rumah ini diadakan pesta. Berita perceraianku saja tak diketahui, m
“Kakak dan adik baik-baik di sini, ya. Om pulang dulu, nanti ke sini lagi!” terang mas Afgan saat pamit pada dua anakku. “Ooo, enjih?” sahut Azkia, “Angaaan!” teriaknya kemudian. Ia menghambur ke arah pelukan mas Afgan. “Om marah, ya sama kami? Maafin, nanti kakak main lagi, deh sama Om, gak sama papa! Om jangan pergi, ya!” timpal Azka. “Kakak sayang, Om, beneran!” Mas Afgan memeluk dua buah hatiku. Ia mengelus rambut dan punggung keduanya. Ternyata prasangkaku salah. Azka dan Azkia tak berpaling dari omnya. Mereka tetap mencintai calon papa tirinya. “Om tidak marah, om sayang sama kakak dan adek. Jangan nangis, ya. Nanti om ke sini lagi untuk bawa mama, Azka dan Azkia ke rumah baru.” Azka melepas pelukan, lalu bertanya, “Rumah baru?” “Iya, nanti om, mama, Azka dan Azkia tinggal di rumah baru. Di sana ada kolam renangnya,” jawab mas Afgan. “Yeaaa!” seru Azka. “Aaaayyy!” timpal Azkia tak mau kalah. “Om pergi, ya. Minggu depan om janji akan datang lagi!” Nani dan suaminya pun
AFGAN Aku tak bisa melukiskan perasaan saat Rida menyatakan siap menikah pekan depan. Rasanya di dada ini makin banyak desiran-desiran yang sanggup mengetarkannya.Kurasa wanita ini pun sama, sedang jatuh cinta. Indikasi dari pipinya selalu bersemu merah jika kami bertemu pandang. Atau muncul senyum tertahan saat canda dan godaanku meluncur untuk dirinya.Bodoh sekali Adnan melepas wanita sebaik dan setulus ini. Ia malah terjebak oleh perempuan berhati iblis. Sekarang lelaki itu telah merasakan balasan atas gulungan napsu yang terlalu diperturutkan.Aku sempat takut Rida akan luluh dan mau kembali pada Adnan. Bagaimanapun berkumpulnya orang tua dan anak dapat menjadi pertimbangan rujuknya mantan suami istri. Nyatanya itu tak terjadi. Rida bersedia memberikan hak anak pada ayahnya tanpa harus merajut kembali ikatan yang telah terputus dahulu.Karena semua aman terkendali, aku dapat tenang pulang ke Jakarta. Aku memang harus terbang sebab Alan terus menerus menteror lewat telpon. Rupan
Untuk menahan diri, aku melantunkan zikir dan doa. Hal ini efektif untuk meredakan gejolak di dalam dada. Seiring waktu, perlahan aku bisa mengendalikan perasaan.Tapi, saat mobil memasuki pekarangan masjid, jantungku kembali berdegup-degup kencang. Keringat pun mulai keluar dari sela-sela jari.Om Rendra dan Tante Aini mengapitku saat berjalan menuju ruangan masjd. Di sini sudah hadir keluarga Rida dan tamu undangan terbatas. Meski begitu, halaman masjid jadi tak bisa menampung mobil yang datang. Akhirnya dipakailah parkiran bangunan di kanan dan kirinya.Para lelaki masuk ke shaf depan, sementara wanita di shaf belakang. Kami disambut hangat oleh keluarga Rida. Kemudian dipersilakan duduk di barisan depan.Sekarang aku duduk melingkar bersama penghulu, dua saksi dan wali Rida. Inilah saat yang dinanti, yaitu diikrarkannya janji suci di hadapan ilahi. Bahwa aku mengambil Rida sebagai tanggung jawab dunia dan akherat.Dengan satu tarikan napas kulantunkan kabul atas ijab wali Rida. Ke
RIDA Selepas akad diikrarkan, aku tak sanggup lagi menahan air mata. Satu tetes bening luruh disusul buliran berikutnya. Dan itu sengaja tak kuseka sebab percuma, takkan berhenti juga Aku meluapkan rasa yang bercampur aduk dalam pelukan mama. Wanita ini pun sama, tangisannya pecah. Kami sama-sama terharu hingga meluapkan dalam tumpahan air mata. Satu per satu keluarga memeluk dan mengucapkan selamat. Kakak-kakak ipar wanitaku pun tak kuat menahan tangisan. Mereka tak menyangka akan fase kehidupan yang dialami oleh adik suami-suaminya. “Selamat, ya, Sayang, semoga samawa, dikarunia putra putri sholehah,” ucap kakak mama. Lalu, disusul oleh saudara lainnya. Semua yang hadir menyambut pernikahan ini dengan gempita. Mereka antusias melapalkan doa serta menguntai harapan kebaikan untuk pengantin. Kebahagian terlukis nyata di hadapanku kini. Seakan, kepedihan mendalam di masa silam sirna tanpa meninggalkan jejak. Luka yang digoreskan mas Adnan, diobati oleh mas Afgan. Tak hanya aku y
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin