"Stop, Bu! Tolong jangan telpon Emak! Anton akan bawa pergi jannah sekarang juga! Tapi Anton mohon, Ibu jangan hubungi Emak," ucapku pada Ibu yang hampir saja menekan tombol panggil di layarnya.
Ibu pun menatapku lalu berkata. "Baiklah, Anton! Ibu tidak akan menelpon Emaknya Nisa, tapi sekarang juga kamu bawa pergi anak itu dari rumah ini. Ibu nggak mau kena sial karena membiarkan anak itu tinggal dirumah kita!" Tegas Ibu padaku. Aku pun mengangguk menyetujuinya, lalu berjalan ke kamar untuk membereskan semua barang-barang milik Jannah.
Lima belas menit berlalu, semua barang milik Jannah telah aku masukan ke dalam tas. Aku pun bergegas menggendong Jannah yang sedang terlelap tidur.
"Gimana, Anton? Kamu sudah selesai membereskan semua barang-barang anak itu?
Nisa terbaring diatas kasur dengan kaki dan tangan terikat. Siapa yang tega melakukan ini? Bahkan, selang infus di tangannya pun sudah dilepas!Aku mencoba untuk membuka pintu, tapi ruangan itu terkunci. Aku harus segera mencari dokter atau perawat. Mereka harus memberikan penjelasan padaku.Aku berlari menuruni anak tangga, berteriak memanggil dokter dan perawat. Tak lama kemudian, dokter Tiara datang menghampiri ku."Pak, Anton! Syukurlah Bapak segera datang!" ucapnya seolah tidak terjadi apa-apa dengan Nisa."Dokter! Tolong jelaskan pada saya, kenapa Nisa dipindahkan ke lantai tiga? Terus kenapa kaki dan tangannya di ikat? Dia bukan pasien gangguan mental, dokter! Kenapa anda memperlakukan seperti pasien yang memiliki gangguan jiwa?" ucapku memberondong pertanyaan pada dokter berambut pirang ini."Tenang dulu Pak Anton! Saya bisa menjelaskan semuanya!" jawabnya berusaha menenangkanku ya
"Maafkan saya, Suster! Saya tidak bisa melakukannya!" ucapku membuat suster muda itu bingung."Maksud Bapak?" tanya ia heran."Iya, Sus! Sebenarnya--saya dan dia sudah resmi bercerai! Kami sudah bukan suami istri. Jadi--saya tidak bisa membantunya melakukan itu. Kalau suster tidak keberatan, saya minta tolong biar suster saja yang membantu memompa ASI nya!" jelasku padanya."Oalah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu jika Bapak dan Ibu adalah mantan suami istri! Kalau begitu, biar saya bilang dulu sama dokter Tiara. Siapa tau dokter Tiara punya obat penghilang nyeri atau obat penenang untuk Ibu Nisa!""Baik, Sus! Silakan!""Kalau begitu, saya
Emak terus berderai air mata, ia tampak begitu sedih."Mak … Emak nggak perlu sedih seperti ini! Emak nggak perlu meratapi kepergian Bapak!" ucapku pada Emak. Seketika Emak menatapku dengan heran."Maksud Nak Anton apa? Kenapa kamu bicara seperti itu, Nak?" sahut Emak bingung."Bapak bukan orang baik, Mak! Dia tidak seperti yang Emak kira!" Aku berusaha menjelaskan lagi, walau sepertinya Emak masih belum paham karena aku belum menceritakan semuanya."Emak semakin tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Nak! Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu pada Bapakmu?""Mak, bisa kita bicara berdua saja? Anton tidak enak jika o
Para perawat pria dibantu oleh security berusaha untuk mengambil gunting bedah di tangan Nisa. Sedangkan perawat wanita dan dokter lainnya membantu mengangkat Emak dan memindahkannya ke atas brankar.Emak tampak begitu kesakitan, darah mulai terlihat keluar di area perutnya yang terluka. Dengan sigap para dokter dan perawat yang membantu Emak membawanya ke ruang tindakan.Mereka berlarian menuju jalan alternatif khusus untuk membawa kursi roda dan brankar rumah sakit.Aqila langsung menangis melihat Emaknya terluka. Mereka berdua berlarian mengejar para perawat yang membawa Emak."Maaf Pak Anton! Kami harus memindahkan Ibu Nisa ke ruang isolasi. Psikologisnya benar-benar tidak stabil. Sudah d
Matahari sudah muncul ke permukaan, waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku bergegas keluar dari kamar, bersiap untuk sarapan pagi."Loh, ko' kamu yang nyiapin sarapannya, Lis? Mbok Darmi kemana?" tanyaku pada Sulis yang sedang sibuk menata sarapan di meja makan."Mbok Narmi lagi nggak enak badan, Pak! Jadi, biar saya saja yang menyiapkan sarapan untuk Pak Anton dan Tuan besar!""Memangnya Wati kemana? Dia juga sakit?" ucapku menanyakan asisten rumah tangga yang lainnya."Tidak, Pak! Mbak Wati sedang beres-beres di dapur!" sahut Sulis, tangannya dengan cekatan menata setiap menu di meja."Ya sudah, kalau tugasmu sudah beres, kamu segera kembali ke kamar! Kamu harus fokus jagain Jannah. Saya tidak mau dia kenapa-kenapa! Tugas kamu disini 'kan sebagai pengasuhnya Jannah! Jadi sebaiknya tidak usah mengambil pekerjaan lain selain jagain Jannah!" jelasku padanya. Sulis pun mengangguk mengiyakan.Suli
"Heh! Lo yang disuruh bokap untuk jemput gue, kan?" ucapnya dengan nada membentak. Ia berbicara dengan expresi wajah yang tidak menyenangkan."Maaf, anda siapa, ya?" tanyaku memastikan. Aku tidak ingin sampai salah orang."Gue Adelia Fransiska Sadewo!" sahutnya dengan penuh penekanan."Oh, berarti benar! Anda orang yang akan saya jemput!" sahutku berusaha seramah mungkin."Lo punya jam nggak, sih? Lo liat dong' ini jam berapa? Gue dari tadi nungguin lo sampai jamuran," Lagi-lagi ia berbicara dengan sewot."Maaf! Tadi dijalan ada kecelakaan, jadi terpaksa saya harus putar balik mencari jalan alternatif agar bisa sampai disini!" jawabku apa adanya."Alah, udah' deh! Gue nggak butuh penjelasan lo! Dimana mobilnya? Gue capek! Pengen segera pulang," cetus nya berlalu meninggalkan semua barang-barang bawaannya yang banyak ini."Hey! Tunggu! Ini barang-barang nya bagaimana?" teriakku memanggilnya. Tapi ia sama sekali tidak peduli. Dia berlal
Kulajukan mobilku menuju rumah sakit, aku harus segera berbicara dengan Emak. Jika sampai Emak nekat ingin membawa Nisa pulang kampung, bisa berabe!Kurang dari satu jam aku sampai di rumah sakit. Kulihat Emak sedang duduk di atas kursi, menemani Qila dan Fadlan yang tampak tertidur pulas."Assalamu'alaikum, Mak! Gimana kondisi, Emak? Sudah baikan?" tanyaku pada Emak. Ku cium punggung tanggalnya yang mulai keriput."Waalaikumsalam, Nak Anton! Akhirnya kamu datang juga! Alhamdulillah, Emak sudah baikan!""Yuli sama Rey kemana, Mak?" Aku menanyakan keberadaan kedua anak buah Ayah yang bertugas menemani Emak dan Nisa disini."Mereka sed
Sepertinya aku tidak perlu membalas pesan Ibu, saat ini perasaannya pasti tidak menentu. Lebih baik aku segera menemuinya."Mak, Anton pulang dulu, ya! Ada urusan dirumah, besok Anton kembali bersama Jannah! Emak jaga kesehatan dengan baik, jangan banyak pikiran! Anton pamit dulu, Assalamu'alaikum!" ucapku berpamitan pada Emak.Gegas ku menuju parkiran, mengambil mobil dan melesat menembus kemacetan Ibu kota.Di pertengahan jalan, aku mampir ke sebuah toko bunga. Aku ingin membawakan satu buket bunga mawar merah untuk Ibu. Ia begitu suka dengan bunga mawar. Semoga saja hatinya bisa luluh.**Sesampainya dirumah, aku segera masuk, karena pintu ruma