Ada b3rcak krem di seprei, padahal seprei baru diganti. Aku mengangkat seprei dan membauinya.
Uek!Aromanya seperti milik pri4.Part2Aku masih harus meeting hingga jam sembilan malam, tetapi pikiranku tidak tenang karena ob4t ku4t yang disebutkan Esti sebagai vit4min dan ob4t kolesterol. Untuk apa ob4t itu diminum Esti? Tidak mungkin Esti yang begitu patuh dan baik berani m4in belakang. Apa dia punya pacar?"Oke, terima kasih untuk hari ini semuanya. Sampai jumpa hari Senin. Selamat berakhir pekan." Kepala divisi menutup rapat malam ini. Aku menyalami sebelum beliau keluar dari ruangan. Tak sabar rasanya ingin segera aku ceritakan pada suamiku.Aku menelponnya, tetapi tidak juga diangkat. Aku mengecek jam terakhir W******p-nya aktif, tadi sore jam lima. Aku menghela napas karena tidak juga bisa menghubungi suamiku. Kantor sudah sepi. Aku menunggu di lobi depan, masih ditemani dua petugas keamanan."Malam, Bu Kikan, nunggu dijemput ya, Bu?" tanya David berbasa-basi. Satpam senior di kantor yang begitu ramah padaku. Usianya mungkin baru empat puluh tahun, tetapi wajahnya terlihat seperti tiga puluh tahun. Masih segar dan juga sangat bersih. Aku bisa katakan, satu-satunya satpam kantor yang kulitnya kuning langsat adalah Pak David."Ah, iya, Pak David, suami saya mau jemput. Ini sedang saya telepon.""Baik, Bu Kikan. Ibu tunggu di dalam saja, nanti jika mobil bapak masuk lobi, saya kabari Bu Kikan.""Oh, gitu ya, makasih Pak David." Aku pun masuk kembali ke lobi depan sambil terus menghubungi Mas Galih, tetapi sudah setengah jam menunggu, panggilanku tidak juga diangkat."Halo, Esti, apa suamiku udah pulang?""Halo, Ibu, sudah, Bu. Bapak tidur sejak sore. Belum ada keluar k4mar untuk makan. Apa lagi kurang seh4t, saya gak tahu juga, Bu. Mau saya tanyakan, saya sungkan.""Ya Allah, makasih kamu udah info ke aku. Aku nunggu di kantor, katanya dia mau jemput. Ya sudah, aku pulang sekarang. Siapkan aja minyak urut ya, Es, biar nanti suamiku langsung aku kerik.""Baik, Bu. Saya siapkan juga tolak angin nanti di meja ya, Bu.""Iya, makasih." Langsung aku memesan taksi online untuk pulang. Pikiran soal ob4t ku4t menguap begitu saja mendengar Mas Galih sakit."Bu, taksinya udah di depan." Aku tersenyum pada Pak David."Makasih, Pak." Aku bergegas masuk ke dalam mobil."Agak lebih cepat ya, Pak. Suami saya lagi sakit," kataku pada sopir taksi online."Baik, Bu." Mobil melaju dengan cepat menuju rumah. Jalanan sudah agak lengang di jam sepuluh malam. Esti sudah di teras menungguku. Ia membuka pagar setelah mengetahui aku yang turun dari mobil."Suamiku masih belum keluar kamar?""Iya, Bu. Bapak di kamar terus.""Udah makan sore?""Belum, Bu. Apa mau saya ambilkan?""Gak usah, saya tanya dulu saja. Sini minyaknya!" Aku setengah berlari naik ke kamarku yang berada di lantai dua."Mas, kamu kenapa?" aku menghampiri Mas Galih yang tengah berbaring miring sambil memegang ponsel."Sayang, maaf, aku baru bangun dan baru baca pesan kamu. HP aku silent karena kepalaku sakit. Vendor cecar aku terus bikin tambah mumet. Jadinya aku silent. Kamu pulang sama siapa?" aku memeriksa keningnya dengan punggung tanganku. Suhunya biasa saja, bahkan suamiku menggunakan baju tidur piyama bahan satin warna hitam."Aku kira kamu ke mana. Untung aku telepon Esti, kalau nggak, aku gak tahu kamu sakit, Mas. Sebentar aku bersih-bersih dulu ya. Setelah itu biar aku kerik. Kamu pasti masuk angin.""Apa, kerik? Gak usah, Sayang, aku gak papa. Tidur dari sore kepalaku udah gak sakit lagi. Apalagi setelah lihat kamu pulang ke rumah dalam keadaan sehat, cuma kayaknya lelah banget ya. Sana, m4ndi dulu! Setelah itu biar aku pijitien kamu." Tentu saja aku merasa aneh dengan su4miku. Sebentar terlihat l3m4s, sebentar lagi sudah berubah semangat."Kenapa, udah sana, mandi! Bau asem nih! Kamu dari luar dan langsung duduk di kasur. Pasti banyak kum4n yang nempel." Ucapan Mas Galih benar juga. Aku langsung berjalan masuk kam4r m4ndi untuk membersihkan diri. Pakaian kot0r aku masukkan ke dalam keranjang cucian depan kamar m4ndi yang hampir penuh. Bukannya Esti selalu mengosongkan keranjang cucian pagi hari? Kenapa sudah penuh lagi? Aku mengangkat pakaian kerja yang suamiku pakai tadi pagi. Loh, seprei yang baru dua hari diganti Esti, kenapa sudah sudah dicuci lagi? Aku mengangkat kain putih besar itu, belum bau apek. Aku mendekatkan ke hidungku untuk membauinya.Uek!Aku merasa mu4l karena ada aroma khas lel4ki menempel di seprei putihku. Ada nod4 berwarna pucat. Aku menggeser posisi kain dan aku kembali menemukan tiga titik nod4 pucat, tetapi tidak banyak. Ini seperti nod4"Mas, ini apa ya? Kenapa seprei ini bawu milik lelaki?" tanyaku sambil menunjukkan seprei bernod4 pada Mas Galih dengan tangan gemet4r.BersambungAku bangun kesiangan dan tidak menemukan su4miku di kam4r. Saat aku ke dapur, rambut pembantuku basah, rambut suamiku pun ikut basah juga. Apa mereka ...***Part 3"Oh, i-itu, tadi kepalaku sakit banget. Terus tiba-tiba aja aku rasanya pengen. Tapi badan p4nas, kepala s4kit, jadi aku m4in sendiri he he he ..." Mas Galih menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Maaf ya, udah gak tahan, Sayang," katanya lagi sambil meraih tanganku yang sedang melipat di dada. Seprei kotor itu tergeletak di kamar karena aku masih merasa kesal. "Mas, kalau kamu emang pengen, kamu bisa telepon aku. Aku pasti pulang.""Ya, tapi namanya tiba-tiba lagi naik gitu, gimana bisa tahan nunggu kamu dari kantor ke sini sampai satu jam setengah. Bisa pecah kepalaku. Udah, mandi dulu sana, Sayang!""Bulan lalu kamu juga main solo. Apa enaknya coba? Padahal kamu tinggal telepon istri. Ck, ampun, deh!" Aku berdecak kesal. Kuambil kembali seprei itu dengan serampangan, lalu aku taruh kembali di dalam keranjang.Selesai
Aku baru kembali dari berbelanja di mall. Saat aku pulang, pembantuku baru selesai mandi, suamiku juga. Apa mereka man....Part4"Ibu, Bapak, maaf, saya gak ikutan ya. Sebenarnya saya sudah masak nasi goreng, sayang kalau tidak ada yang makan. Saya sarapan di rumah saja, Bu, Pak. Maafkan saya hari ini kalau udah bikin Ibu kesal." Esti menunduk, lalu segera berbalik masuk menuju pintu depan. Kulihat mulut suamiku setengah terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu."Okelah, kita jalan sekarang ya. Udah lapar." Masa Galih mengecup pipiku, lalu mulai menekan pelan pedal gas. Ia tidak mengomentari penolakan Esti yang tiba-tiba. Aku merasa terlalu besar mencurigai suamiku, mungkin karena perubahan hormon karena aku belum juga datang bulan. Jika memang mereka menyembunyikan sesuatu, parti Mas Galih keberatan kalau Esti tidak ikut, tetapi ini suamiku bersikap biasa saja.Kami memilih tempat sarapan di daerah Cijantung. Suamiku makan dua mangkuk bubur ayam, sedangkan aku hanya sanggup menghab
Aku minta Esti pergi ke warung untuk membeli sesuatu. Setelah ia pergi, aku masuk ke kamarnya untuk mencari obat kuat itu.Part5"Sayang, kamu kenapa, sih? Kamu sakit?" aku menepis punggung tangan suamiku dengan kasar."Jangan sentuh! Kamu melakukan ini dengan siapa? Jawab dulu! Jangan mengalihkan pembicaraan!" Bukannya terkejut, suamiku malah tertawa pendek. "Sayang, kita bukannya baru satu bulan ini berhenti pakai kontr4sepsi? Itu punya kita. Aku baru beresin lemari, mau nyari kunci lemari tempat simpan berkas kartu keluarga. Kamu gak percaya? Sana lihat di tempat sampah! Jangan suka suuzon sama suami. Apalagi sama Esti." Aku bergegas pergi untuk melihat tempat sampah yang ada di depan pintu kamar mandi. Ada empat bungkus alat kontr4sepsi yang kosong dan juga satu box kecil warna biru. "Maaf, Mas, aku lupa dan aku selalu kepikiran hal ini sejak lihat ada obat kuat pria di laci lemari Esti," kataku dengan wajah tegang yang mulai mengendur. "Obat kuat? Untuk apa Esti punya obat kua
Aku pura-pura menggoda suamiku. Aku yakin dia menolak karena dia sudah tergoda pembantu, tetapi prediksiku salah. Kini dia sudah menggendongku masuk ke kamar mandi. Part 6"Mas, kamu yakin gak ada yang mau disampaikan ke aku?" tanyaku saat kami kembali beriringan jalan santai menuju rumah. "Apa? Gak ada, tuh! Kenapa, Sayang?" Mas Galih memperhatikan raut murungku yang memang sejak berbincang dengan Bu Citra."Tidak ada. Ya sudah kalau gitu." Aku tidak mau mendesaknya untuk jujur karena aku sendiri yang akan mengungkap kebohongan demi kebohongan yang dilakukan suamiku dan juga Esti di belakangku. Aku yakin sekali mereka punya hubungan gelap. Begitu sampai di rumah, aku pergi ke dapur. Memperhatikan Esti yang sedang menyiangi sayur. Tidak ada yang aneh. Pakaian yang ia kenakan pun selalu pakaian panjang dan longgar. Pembantuku ini sama sekali belum pernah bekerja menggunakan daster. Selalu saja setelan baju kaus. Aku belum pernah melihat bajunya kekurangan bahan.Wajahnya juga tidak
Jadi setelah kamu menuduh suamimu ini, kamu sekarang mencecar Esti. Jangan tuduhkan apa yang tidak aku lakukan atau aku benar-benar melakukannya! Part7"Aku gak suka kalau kamu asal bicara!" Mas Galih meninggalkanku dengan wajah masam. Aku pun segera menyusulnya."Mas, harusnya aku di sini yang kesal dengan kamu dan Esti. Kamu tahu, tadi Bu Citra bilang, kamu anter Esti nganter laundry setrika pakaian yang ekspres. Tapi, Esti bilang dia yang mengerjakan. Gak mungkin Bu Citra bohong. Jadi yang bohong pasti kamu dan Esti. Jujur aja, Mas, kalau kamu naksir Esti. Apa karena aku belum bisa kasih kamu anak?" cecarku sudah tidak tahan lagi. Mas Galih hanya tertawa sumbang, lalu berjalan masuk ke kamar tanpa memedulikan protesku. Aku menyusulnya ke kamar dalam keadaan menangis. Suamiku menghela napas, lalu mendekatiku. "Jangan sentuh, kalau kamu belum cerita yang sesungguhnya!" Aku bergeser saat tangan Mas Galih mencoba menyentuh pundakku. "Sayang, maafkan aku yang tidak jujur. Jadi, nant
Esti ijin pulang kampung, sedangkan suamiku ijin keluar kota. Sebuah kebetulan yang semakin membuatku yakin bahwa mereka bermain nak4l di belakangku. Baiklah, aku akan memergoki kalian! Part 8"Aku berangkat ke bandara sekarang saja," katanya sambil bergerak turun dari ranjang. Napasku masih lagi naik turun karena kelelahan, sehingga tidak mampu menyahut ucapannya. Rasanya beda karena suamiku bisa bermain lebih lama. Ini seperti bukan dirinya dan bukan seperti biasanya. "Ini masih siang dan kamu belum makan ikan pesmol pesanan kamu, Mas," kataku. "Ada yang harus aku siapkan untuk meeting besok.""Kamu gak capek? Kamu sangat berbeda hari ini." Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar mandi."Tidak, aku merasa biasa saja. Aku duluan bersih-bersihnya ya." Aku mengangguk dan tidak berniat menjawab. Seluruh tubuhku terasa sakit. Tulang ini serasa lepas dari tempatnya karena satu jam bersama Mas Galih. Aku benar-benar tidak bisa bangun dibuatnya."Mas bantu aku ke kamar mandi," kataku s
Kenapa kamu tidak menyusul suami kamu? Part9Gara-gara obat tadi, aku tidak bersemangat mau nonton. Sudah berdiri lama di depan loket sambil melihat layar iklan film yang ditayangkan hari ini, tetapi aku belum juga menentukan pilihan. Malas dan rasanya ingin pulang saja."Kikan." Aku berbalik ke belakang saat suara berat itu memanggil namaku."Pak Batara, b-bapak di sini?" tanyaku sambil celingak-celinguk memperhatikan sekililing, tetapi sepertinya bosku memang datang sendiri. "Iya, saya di sini, di depan kamu. Kamu sendiri?" aku mengangguk sambil tersenyum. "Suami gak ikut?" "Lagi ada kerjaan di luar kota, Pak," jawabku. "Bapak sendiri?" pria tiga puluh delapan tahun mengangguk sambil tersenyum."Anak-anak lagi di rumah neneknya. Saya bosan di rumah, dari pada bengong nanti kesambet laporan keuangan, mending saya cari angin. Kamu mau nonton film apa?""Eh, s-saya bingung mau nonton apa, Pak." Aku mendadak tidak enak hati dan ingin segera keluar dari bioskop."Mungkin tidak jadi
Vitamin Stamina Pri4 di Laci Lemari Pembantuku_Part10Aku berdiri di belakang wanita yang berada satu kamar dengan suamiku. Kami menunggu pintu lift terbuka. Aku harap mereka tidak menyadari ada aku di belakang mereka.****Selamat membacaAku yang tadinya ingin berteriak pada dua orang itu, akhirnya memutuskan menahan diri. Aku harus memergoki keduanya sedang berbuat hal terlarang, sehingga cukup bukti untuk melaporkan mereka atas tuduhan perzinahan. Ya, sudah aku putuskan untuk melaporkan Mas Galih dan Esti jika benar mereka berselingkuh.Lift nampak sedang berpihak padaku. Untunglah aku menggunakan hoodie yanga baru aku beli kemarin. Lekas aku memakai masker, lalu menutup kepalaku dengan topi hoodie. Aku setengah berlari untuk berdiri persis di belakang Esti yang juga sedang menunggu pintu lift terbuka. Ting!Pintu besi itu pun terbuka. Kami membiarkan empat pengunjung keluar terlebih dahulu, barulah kami masuk. Jantungku berdetak cepat. Aku harap Mas Galih tidak mengenaliku denga