Esti ijin pulang kampung, sedangkan suamiku ijin keluar kota. Sebuah kebetulan yang semakin membuatku yakin bahwa mereka bermain nak4l di belakangku. Baiklah, aku akan memergoki kalian!
Part 8"Aku berangkat ke bandara sekarang saja," katanya sambil bergerak turun dari ranjang. Napasku masih lagi naik turun karena kelelahan, sehingga tidak mampu menyahut ucapannya. Rasanya beda karena suamiku bisa bermain lebih lama. Ini seperti bukan dirinya dan bukan seperti biasanya."Ini masih siang dan kamu belum makan ikan pesmol pesanan kamu, Mas," kataku."Ada yang harus aku siapkan untuk meeting besok.""Kamu gak capek? Kamu sangat berbeda hari ini." Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar mandi."Tidak, aku merasa biasa saja. Aku duluan bersih-bersihnya ya." Aku mengangguk dan tidak berniat menjawab. Seluruh tubuhku terasa sakit. Tulang ini serasa lepas dari tempatnya karena satu jam bersama Mas Galih. Aku benar-benar tidak bisa bangun dibuatnya."Mas bantu aku ke kamar mandi," kataku setengah memohon."Aku sudah bilang, Sayang, jangan membuat aku marah." Aku mengangguk. Mas Galih menggendongku ke kamar mandi, bahkan ia membantu membilas badan ini. Suamiku kembali seperti sedia kala dan ternyata memang aku yang berpikir terlalu berlebih-lebihan. Suamiku mencintaiku dan ia tidak pernah menolak jika aku sedang ingin bersamanya.Selesai mandi, kami pun makan. Semua hidangan sudah tertata rapi di meja. Namun, aku tidak melihat Esti."Bu, Pak," panggil wanita itu tiba-tiba, hingga aku dan Mas Galih menoleh serentak."Ada apa?" wajah Esti nampak basah. Ia seperti habis menangis."Bu, Pak, saya ijin pulang kampung. Bapak saya masuk rumah sakit dan saat ini tidak sadarkan diri. Apa saya boleh ijin dua atau tiga hari?" aku menoleh pada suamiku."Boleh saja karena saya rasa, pekerjaan rumah tidak terlalu banyak jika kamu hanya ijin satu atau dua hari. Jangan lebih ya, karena kalau lebih dari tiga hari, kamu akan saya potong gajinya. Paham!" Jawab suamiku sok bijak."Baik, Pak, Bu, terima kasih. Mm ... satu lagi, Pak, Bu, apa s-saya boleh kasbon?""Berapa?" tanyaku."Dua juta sampai tiga juga kalau ada, Bu. Kalau tidak ada segitu, berapa aja buat tambahan beli obat bapak saya." Esti masih menunduk."Satu juta, gimana?" tanyaku. Esti mengangguk sambil tersenyum."Terima kasih, Bu. Saya ijin merapikan pakaian.""Tunggu, kamu mau naik apa?" tanya suamiku. Esti mengentikan langkah, kembali menoleh kepada kami berdua."Saya naik ojek online, Pak.""Kamu bareng saya saja. Saya naik taksi online. Kamu rutenya stasiun kan?""Iya, Pak, saya mau ke stasiun, tapi gak papa saya bisa naik ojek saja. Jangan merepotkan Bapak dan Ibu." Aku hanya jadi pendengar yang baik saja, saat majikan lelaki dan ART yang masih dalam pantauanku ini bercakap-cakap. Karena aku sudah memutuskan untuk memergoki keduanya dengan caraku. Aku tahu pasti ada yang tidak beres diantara Mas Galih dan Esti, hanya saja aku belum punya cukup bukti."Aku gak setuju kamu antar Esti ke stasiun! Biarkan Esti naik ojek online saja. Jangan sampai pembantu diberi ruang untuk jumawa dan lupa diri!" Aku melirik sengit suamiku. Mas Galih hanya bisa diam, lalu kembali menyendokkan nasi ke dalam mulutnya."Aku berangkat, Sayang. Kamu hati-hati di rumah. Minta ditemani mama kalau kamu takut atau kamu nginep di rumah mama aja." Aku mengangguk paham. Mas Galih sambil membuang sampah ke tong sampah depan."Mobil kamu taruh di bandara?" tanyaku."Iya, biar aku gak repot. Gak jadi naik taksi ke bandara. Bawa mobil saja. Semoga aja sehari urusanku selesai. Jadi, bisa lebih cepat pulang. Dah, Sayang. Aku berangkat!" Aku meng3cup bibir suamiku sekilas, lalu melambaikan tangan mengantarnya keluar dari gerbang. Esti pun sudah pergi juga, malah ia sudah lebih dahulu pamitan.Aku masuk ke dalam rumah. Tidak tahu harus melakukan apa di waktu akhir pekan seperti ini. Suami pergi, pembantu juga pulang kampung. Kemarin udah shopping, udah jajan di mall juga, tapi aku belum nonton. Ya, aku putuskan untuk menonton saja.Aku pun mengganti pakaian. Hanya baju kaus warna merah muda, dipadupadankan dengan celana jeans. Tidak lupa aku mengikat rambutku model ekor kuda. Setelah rapi, aku memesan taksi online. Tujuanku adalah mall terdekat dari rumah yang memiliki bioskop.Kring! Kring!Aku mengerutkan kening saat suamiku melakukan panggilan."Halo, Mas, kenapa?""Kamu di mana?""Di rumah, tapi mau ke mall Ambara, mau nonton. Boleh ya?""Oh, tentu saja boleh, Sayang. Hati-hati di jalan ya.""Oke, kamu juga." Aku menoleh ke pintu yang baru saja aku kunci. Ada hal yang hampir saja aku lupakan. Taksi pesananku masih dalam perjalanan, sehingga aku sempatkan untuk mengecek tempat sampah tadi. Hanya kertas struk belanja suamiku di minimarket sejuta ummat.Eh, ini apa? Aku membuka plastik flip bening dan mengeluarkan isinya.O-obat ini bukannya obat kuat yang ada di kamar Esti? Kemarin bukannya kata Esti sudah dibuang? I-ini malah tersisa dua tablet. Aku mengambil obat tersebut, lalu aku simpan ke dalam tas. Bukti semakin kuat, bahwa benar Mas Galih dan Esti main belakang. Aku akan memergoki mereka. Tunggu saja!BersambungKenapa kamu tidak menyusul suami kamu? Part9Gara-gara obat tadi, aku tidak bersemangat mau nonton. Sudah berdiri lama di depan loket sambil melihat layar iklan film yang ditayangkan hari ini, tetapi aku belum juga menentukan pilihan. Malas dan rasanya ingin pulang saja."Kikan." Aku berbalik ke belakang saat suara berat itu memanggil namaku."Pak Batara, b-bapak di sini?" tanyaku sambil celingak-celinguk memperhatikan sekililing, tetapi sepertinya bosku memang datang sendiri. "Iya, saya di sini, di depan kamu. Kamu sendiri?" aku mengangguk sambil tersenyum. "Suami gak ikut?" "Lagi ada kerjaan di luar kota, Pak," jawabku. "Bapak sendiri?" pria tiga puluh delapan tahun mengangguk sambil tersenyum."Anak-anak lagi di rumah neneknya. Saya bosan di rumah, dari pada bengong nanti kesambet laporan keuangan, mending saya cari angin. Kamu mau nonton film apa?""Eh, s-saya bingung mau nonton apa, Pak." Aku mendadak tidak enak hati dan ingin segera keluar dari bioskop."Mungkin tidak jadi
Vitamin Stamina Pri4 di Laci Lemari Pembantuku_Part10Aku berdiri di belakang wanita yang berada satu kamar dengan suamiku. Kami menunggu pintu lift terbuka. Aku harap mereka tidak menyadari ada aku di belakang mereka.****Selamat membacaAku yang tadinya ingin berteriak pada dua orang itu, akhirnya memutuskan menahan diri. Aku harus memergoki keduanya sedang berbuat hal terlarang, sehingga cukup bukti untuk melaporkan mereka atas tuduhan perzinahan. Ya, sudah aku putuskan untuk melaporkan Mas Galih dan Esti jika benar mereka berselingkuh.Lift nampak sedang berpihak padaku. Untunglah aku menggunakan hoodie yanga baru aku beli kemarin. Lekas aku memakai masker, lalu menutup kepalaku dengan topi hoodie. Aku setengah berlari untuk berdiri persis di belakang Esti yang juga sedang menunggu pintu lift terbuka. Ting!Pintu besi itu pun terbuka. Kami membiarkan empat pengunjung keluar terlebih dahulu, barulah kami masuk. Jantungku berdetak cepat. Aku harap Mas Galih tidak mengenaliku denga
Aku yang tadinya ingin berteriak pada dua orang itu, akhirnya memutuskan menahan diri. Aku harus memergoki keduanya sedang berbuat hal terlarang, sehingga cukup bukti untuk melaporkan mereka atas tuduhan perzinahan. Ya, sudah aku putuskan untuk melaporkan Mas Galih dan Esti jika benar mereka berselingkuh.Lift nampak sedang berpihak padaku. Untunglah aku menggunakan hoodie yanga baru aku beli kemarin. Lekas aku memakai masker, lalu menutup kepalaku dengan topi hoodie. Aku setengah berlari untuk berdiri persis di belakang Esti yang juga sedang menunggu pintu lift terbuka. Ting!Pintu besi itu pun terbuka. Kami membiarkan empat pengunjung keluar terlebih dahulu, barulah kami masuk. Jantungku berdetak cepat. Aku harap Mas Galih tidak mengenaliku dengan pakaian seperti ini. Baju longgar, hoodie besar, dan juga kaca mata hitam. Kulihat ia menekan angka lima."Mbak mau ke lantai lima juga?" tanya Mas Galih. Aku hanya mengangguk tanpa bersuara. Suasana semakin mencekam karena tidak ada yan
"Kikan, aku minta maaf. Aku khilaf. Aku gak mau menalak kamu. Kita tidak akan bercerai!" Mas Galih memohon sambil menahan tanganku yang sedang menurunkan semua bajunya dari dalam lemari. Namun, aku sama sekali tidak peduli dan terus menurunkan pakaian miliknya. "Kikan, berikan aku satu kesempatan lagi. Aku janji gak akan mengulanginya. Aku hanya khilaf!""Lepas, Mas, aku gak mau kamu peluk! Aku jijik berada di dekat kamu!" Aku berusaha melepas pelukannya, meski susah, tetapi aku terus berusaha. "Sayang, aku minta maaf! Aku benar-benar minta maaf. Kamu pukul aku, kamu boleh tusuk aku biar kamu puas. Asalkan kita tidak berpisah. Aku hanya khilaf karena Esti terus menggodaku!" Aku meneteskan air mata. Aku cengeng bukan karena aku begitu mencintainya, tetapi karena ..."Sayang, aku minta maaf. Ini, tangan kamu, silakan pukul aku!" Tangan ini ia tuntun untuk menampar wajahnya. Kepalaku tiba-tiba berputar dan untuk detik kemudian aku tidak bisa mengingat apapun lagi.Aku terbangun saat hi
"Oh, yang itu kue Robi, Sayang. Dia baru saja syukuran tujuh bulan istrinya dan bawain kue dan nasi kotak. Aku benar-benar lupa karena buru-buru tadi. Aku gak mau terlambat, Sayang. Maafin ya." Aku tersenyum kaku. Susah sekali untuk percaya Mas Galih disaat ia sudah pernah membuatku sangat patah hati. "Oh, sayang sekali kamu gak bawain, Mas. Padahal kalau nasi kotak syukuran gitu, pasti rasanya enak. Mungkin karena didoakan." Mas Galih tersenyum. Ia duduk sambil memijat kaki ini. "Nanti kita mau syukuran empat bulan atau mau tujuh bulan?" tanyanya. "Entahlah, Mas, masih awal sekali. Mungkin nanti saja tujuh bulan." Suamiku tersenyum sambil mengangguk. "Aku ke dapur dulu ya, lapar nih, mau makan." Aku mengangguk. Yang perlu aku lakukan saat ini adalah berusaha memercayai suamiku, meskipun belum sepenuhnya. Sambil terus mencari informasi apakah di luaran sana suamiku masih menjalin hubungan dengan Esti. Ngomong-ngomong Esti, aku lupa untuk mengecek bagaimana kabar pelakor itu. Aku
Aku menangis untuk hal sepele. Sungguh memalukan, tetapi ini mungkin efek dari kehamilanku. Usia kandunganku masih muda dan emosiku naik turun dan lagi-lagi Mas Galih tidak mau mengerti. Cemburu? Di mana dia saat dia menduakanku dan tidur dengan pembantu busuk menggunakan obat? Apa dia lupa? Aku yang terlalu sabar atau harusnya sejak awal aku tidak memaafkannya?Aku tidak melihatnya di kamar setelah aku selesai mandi. Acara mencari kado tidak jadi aku lakukan. Biarlah besok, saat jam istirahat aku pergi sebentar ke mall yang tidak jauh dari kantor. Tok! Tok!"Kikan.""Ya, Ma." Suara ibu mertuaku di balik pintu kamar yang masih aku tutup. "Masuk saja, Ma." Kenop pintu bergerak, kemudian daun pintu ikut bergerak terbuka. Ibu mertuaku tersenyum hangat. "Ini susunya." "Makasih, Ma. Padahal Kikan bisa bikin sendiri karena Kikan udah gak bedrest." Aku meraih gelas susu ibu hamil dari tangan mertuaku."Gak papa, menantu Mama pasti capek. Sini, biar Mama pijat kakinya!""Jangan, Ma, gak p
Galih"Kenapa, Bro? Muka lu asem banget," tanya Felix, koordinator divisi yang mejanya bersebelahan denganku. "Bini gue lembur terus. Gue pulang, dia belum pulang, gue berangkat, dia masih tidur." Felix tertawa. "Mumpung belum punya anak, biarin aja bini lu ngejar karir. Nanti kalau udah ada anak, baru suruh diem di rumah." Aku menghela napas. "Kerjaan rumah banyak yang terbengkalai. Bibik yang lama resign. Belum anter yang baru.""Udahlah, yang gitu ngapain lu ributin sih. Coba ini dah." Aku mengernyit saat melihat plastik bening berisi dua butir tablet yang diletakkan Felix di atas mejaku."Apa ini?" tanyaku heran."Gue gak lagi sakit, Bro.""Ini obat kuat. Gue dapat dari temen. Gue udh nyoba sama bini gue dan hasilnya bini gue minta terus. Gue bisa tahan lama. Biasanya paling lama lima belas menit.""Lah, terus, kalau minum ini jadi berapa lama?""Jadi satu jam, Galih. Meskipun lu udah dapat, tapi jagoan lu masih gagah. Bikin bini lu tambah cinta. Gue yakin. Nih, bawa dan coba n
Aku baru sadar saat Esti semakin kuat mencakar punggungku. Ia kesakitan dengan derai air mata yang tidak kunjung berhenti. "K-kamu masih perawan?" tanyaku di sela-sela napas yang terengah-engah. Gadis itu mengangguk pasrah. Gila, ini sudah satu jam dan aku masih kuat saja. Benar-benar tidak merasa kelelahan. Pukul satu dini hari aku naik ke kamar. Kikan masih tidur pulas. Aku sengaja membangunkannya, tetapi ia bergeming. "Sayang, katanya mau malam ini. Ayo, bangun!" Aku menciumi pipinya dengan gemas. "Mas, nanti aja, aku ngantuk berat. Besok pagi ya." Efek obat belum sepenuhnya hilang, sehingga aku tidak peduli walau Kikan menolak. "Sudah, Mas, aku capek! Kamu tumben sekali! Aku gak sanggup deh!" Kikan mendorongku karena ia merasa kelelahan dengan pergulatan kami malam ini. "Baiklah, Sayang, kamu tidur saja lagi." Aku pun membersihkan diri, lalu ikut berbaring di samping istriku. Sebuah hal menakutkan yang seumur hidup, baru kali ini aku lakukan. Esti, aku memerawani pembantu ba