Aku baru kembali dari berbelanja di mall. Saat aku pulang, pembantuku baru selesai mandi, suamiku juga. Apa mereka man....
Part4"Ibu, Bapak, maaf, saya gak ikutan ya. Sebenarnya saya sudah masak nasi goreng, sayang kalau tidak ada yang makan. Saya sarapan di rumah saja, Bu, Pak. Maafkan saya hari ini kalau udah bikin Ibu kesal." Esti menunduk, lalu segera berbalik masuk menuju pintu depan. Kulihat mulut suamiku setengah terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu."Okelah, kita jalan sekarang ya. Udah lapar." Masa Galih mengecup pipiku, lalu mulai menekan pelan pedal gas. Ia tidak mengomentari penolakan Esti yang tiba-tiba. Aku merasa terlalu besar mencurigai suamiku, mungkin karena perubahan hormon karena aku belum juga datang bulan. Jika memang mereka menyembunyikan sesuatu, parti Mas Galih keberatan kalau Esti tidak ikut, tetapi ini suamiku bersikap biasa saja.Kami memilih tempat sarapan di daerah Cijantung. Suamiku makan dua mangkuk bubur ayam, sedangkan aku hanya sanggup menghabiskan sepiring lontong sayur. Kami tidak banyak bercakap-cakap karena Mas Galih yang terlalu fokus pada sarapannya."Kamu kelaparan, Mas? Habis kerja berat?" ledekku sambil menggelengkan kepala."Iya, aku lapar banget, Sayang. Ini aja masih kurang." Aku tercengang, apalagi saat Mas Galih sudah mengangkat tangan memanggil pedagang ketoprak."Mas, pesen ketoprak satu ya.""Pedes gak?""Sedang aja." Suamiku menyuapkan kerupuk bubur yang terakhir ke dalam mulutnya."Es teh manis dua, Bang!" Serunya lagi pada penjual minuman."Mas, kamu makannya serem amat! Lambung kamu nanti luka loh, makan jangan berlebihan!" Tukasku mengingatkan. Mas Galih hanya tersenyum, lalu merangkul pundakku dengan mesra."Aku harus banyak makan sayang, biar aku selalu kuat." Aku menatapnya aneh."Kuat mencari uang untuk istri tercinta," ujarnya meneruskan. Aku memutar bola mata malas.Ini hari Sabtu dan hampir setengah hariku hanya menemaninya makan semua jenis makanan yang dijual di food court pinggir jalan itu."Mas ke mall yuk!" Aku mengguncang tubuhnya yang tengah berbaring di kamar. Ia kekenyangan karena banyak makan, sehingga matanya berat."Kamu aja, Sayang. Aku ngantuk. Makan hari ini enak sekali semuanya. Sampai-sampai aku gak sanggup untuk duduk. Apalagi harus keliling mall. Ambil ATM-ku di dompet. Kamu memang punya penghasilan, tetapi uang suami adalah uang istri. Beli apa yang mau kamu beli." Aku tersenyum senang. Lekas aku bangun untuk mengambil ATM dari dompet Mas Galih."Makasih, Mas. Aku siap-siap dulu."Setelah rapi, aku baru ingat akan obat milik Esti, tetapi baru saja aku berbalik badan ingin memberitahu suamiku, ternyata Mas Galih sudah tidur dengan sangat lelap."Esti, aku keluar sebentar. Mungkin jam empat baru pulang," kataku pada Esti yang sedang menyetrika di kamarnya."Iya, Bu, siap. Hati-hati di jalan." Aku mengendarai mobil suamiku menuju mall. Tidak perlu ada yang aku curigai di dalam rumahku karena semua berjalan seperti biasanya saja. Aku memperhatikan Esti dari spion seperti tengah mengunci pagar. Ya, mungkin karena dia menyetrika dan suamiku tidur, sehingga ia merasa lebih aman kalau dia mengunci pintu pagar.Aku menghela napas lega. Setelah ada banyak pikiran buruk muncul di kepala, kini benar-bemar ditepis dengan keadaan di depan mataku. Esti perempuan baik-baik dan obat yang kemarin mungkin memang obat kolesterol, hanya saja bungkusnya yang mirip.Aku tentu saja menggunakan ATM Mas Galih dengan sebaik mungkin dan sebanyak mungkin. Beberapa baju mahal, make up, casing ponsel apel digigit, makan, bahkan aku membeli cincin emas model lingkar tipis.Bukan lagi jam empat, tapi aku pulang jam tujuh malam. Klakson kutekan dua kali, tidak lama Esti keluar dengan rambut yang terbungkus handuk kecil. Baju kebesaran dan juga celana bahan kaus motif kotak-kotak."Baru mandi, Es?""Iy, Bu, gerah banget. Tapi gosokan dua gunung akhirnya selesai semua," jawabnga sambil menutup kembali pintu pagar."Baguslah.""Ibu mau makan?""Tidak, saya sudah kenyang belanja dan makan di mall tadi." Esti tersenyum tipis sambil mengangguk."Biar saya bawakan, Bu!" Esti mengambil empat totte bag di tangan kananku, sedangkan aku memegang dua totte bag di tangan kiri.Aku langsung masuk ke dalam kamar, tetapi Esti menaruh belanjaanku di depan pintu."Bu, saya mau rebahan ya. Sayur udah saya panaskan kalau bapak mau makan. Pinggang saya mau copot karena kelamaan duduk." Aku mengangguk. Esti pun melangkah pergi meninggalkanku dan aku baru saja menyadari ada yang aneh dengan langkah Esti."Esti, kaki kamu kenapa?" tanyaku berseru. Wanita itu berbalik dengan terkejut."Kenapa, Bu?""Itu, jalan kamu aneh sekali. Kamu sakit pinggang apa sakit kaki?""Oh, ini, kaki saya keram, Bu. Keasikan gosok baju sambil dengar ceramah, malah kaki saya gak gerak-gerak. Udahannya keram. Gitu, Bu. Mari, Bu, saya mau rebahan dulu." Ia langsung pergi tanpa mendengar komentarku. Aku pun menekan kenop pintu."Kamu baru mandi, Mas?" tanyaku heran."Iya, Sayang. Baru bangun tidur, rasanya gerah sekali. Nunggu kamu pulang, lama sekali. Jadi aku mandi deh. Gimana belanjanya, dapat? Kayaknya info M-banking aku tembus tiga puluh lima juta." Aku tertawa sambil mengangkat semua belanjaanku."Spesial for you my queen." Mas Galih mendaratkan ciuman di bibirku. Namun, aku tidak membiarkan dia melepasnya."Aku pengen, Mas." Wajah suamiku mendadak kaku."Aku capek, Sayang. Besok aja ya." Aku menunduk kecewa, tetapi aku baru sadar di bawah kakiku ada bungkusan yang sangat aku hapal."Apa ini? Mas, kamu pakai alat pelindung ini? Gil4, isinya sama siapa kamu pakai? Esti, iya?! Kalian man.... "BersambungAku minta Esti pergi ke warung untuk membeli sesuatu. Setelah ia pergi, aku masuk ke kamarnya untuk mencari obat kuat itu.Part5"Sayang, kamu kenapa, sih? Kamu sakit?" aku menepis punggung tangan suamiku dengan kasar."Jangan sentuh! Kamu melakukan ini dengan siapa? Jawab dulu! Jangan mengalihkan pembicaraan!" Bukannya terkejut, suamiku malah tertawa pendek. "Sayang, kita bukannya baru satu bulan ini berhenti pakai kontr4sepsi? Itu punya kita. Aku baru beresin lemari, mau nyari kunci lemari tempat simpan berkas kartu keluarga. Kamu gak percaya? Sana lihat di tempat sampah! Jangan suka suuzon sama suami. Apalagi sama Esti." Aku bergegas pergi untuk melihat tempat sampah yang ada di depan pintu kamar mandi. Ada empat bungkus alat kontr4sepsi yang kosong dan juga satu box kecil warna biru. "Maaf, Mas, aku lupa dan aku selalu kepikiran hal ini sejak lihat ada obat kuat pria di laci lemari Esti," kataku dengan wajah tegang yang mulai mengendur. "Obat kuat? Untuk apa Esti punya obat kua
Aku pura-pura menggoda suamiku. Aku yakin dia menolak karena dia sudah tergoda pembantu, tetapi prediksiku salah. Kini dia sudah menggendongku masuk ke kamar mandi. Part 6"Mas, kamu yakin gak ada yang mau disampaikan ke aku?" tanyaku saat kami kembali beriringan jalan santai menuju rumah. "Apa? Gak ada, tuh! Kenapa, Sayang?" Mas Galih memperhatikan raut murungku yang memang sejak berbincang dengan Bu Citra."Tidak ada. Ya sudah kalau gitu." Aku tidak mau mendesaknya untuk jujur karena aku sendiri yang akan mengungkap kebohongan demi kebohongan yang dilakukan suamiku dan juga Esti di belakangku. Aku yakin sekali mereka punya hubungan gelap. Begitu sampai di rumah, aku pergi ke dapur. Memperhatikan Esti yang sedang menyiangi sayur. Tidak ada yang aneh. Pakaian yang ia kenakan pun selalu pakaian panjang dan longgar. Pembantuku ini sama sekali belum pernah bekerja menggunakan daster. Selalu saja setelan baju kaus. Aku belum pernah melihat bajunya kekurangan bahan.Wajahnya juga tidak
Jadi setelah kamu menuduh suamimu ini, kamu sekarang mencecar Esti. Jangan tuduhkan apa yang tidak aku lakukan atau aku benar-benar melakukannya! Part7"Aku gak suka kalau kamu asal bicara!" Mas Galih meninggalkanku dengan wajah masam. Aku pun segera menyusulnya."Mas, harusnya aku di sini yang kesal dengan kamu dan Esti. Kamu tahu, tadi Bu Citra bilang, kamu anter Esti nganter laundry setrika pakaian yang ekspres. Tapi, Esti bilang dia yang mengerjakan. Gak mungkin Bu Citra bohong. Jadi yang bohong pasti kamu dan Esti. Jujur aja, Mas, kalau kamu naksir Esti. Apa karena aku belum bisa kasih kamu anak?" cecarku sudah tidak tahan lagi. Mas Galih hanya tertawa sumbang, lalu berjalan masuk ke kamar tanpa memedulikan protesku. Aku menyusulnya ke kamar dalam keadaan menangis. Suamiku menghela napas, lalu mendekatiku. "Jangan sentuh, kalau kamu belum cerita yang sesungguhnya!" Aku bergeser saat tangan Mas Galih mencoba menyentuh pundakku. "Sayang, maafkan aku yang tidak jujur. Jadi, nant
Esti ijin pulang kampung, sedangkan suamiku ijin keluar kota. Sebuah kebetulan yang semakin membuatku yakin bahwa mereka bermain nak4l di belakangku. Baiklah, aku akan memergoki kalian! Part 8"Aku berangkat ke bandara sekarang saja," katanya sambil bergerak turun dari ranjang. Napasku masih lagi naik turun karena kelelahan, sehingga tidak mampu menyahut ucapannya. Rasanya beda karena suamiku bisa bermain lebih lama. Ini seperti bukan dirinya dan bukan seperti biasanya. "Ini masih siang dan kamu belum makan ikan pesmol pesanan kamu, Mas," kataku. "Ada yang harus aku siapkan untuk meeting besok.""Kamu gak capek? Kamu sangat berbeda hari ini." Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar mandi."Tidak, aku merasa biasa saja. Aku duluan bersih-bersihnya ya." Aku mengangguk dan tidak berniat menjawab. Seluruh tubuhku terasa sakit. Tulang ini serasa lepas dari tempatnya karena satu jam bersama Mas Galih. Aku benar-benar tidak bisa bangun dibuatnya."Mas bantu aku ke kamar mandi," kataku s
Kenapa kamu tidak menyusul suami kamu? Part9Gara-gara obat tadi, aku tidak bersemangat mau nonton. Sudah berdiri lama di depan loket sambil melihat layar iklan film yang ditayangkan hari ini, tetapi aku belum juga menentukan pilihan. Malas dan rasanya ingin pulang saja."Kikan." Aku berbalik ke belakang saat suara berat itu memanggil namaku."Pak Batara, b-bapak di sini?" tanyaku sambil celingak-celinguk memperhatikan sekililing, tetapi sepertinya bosku memang datang sendiri. "Iya, saya di sini, di depan kamu. Kamu sendiri?" aku mengangguk sambil tersenyum. "Suami gak ikut?" "Lagi ada kerjaan di luar kota, Pak," jawabku. "Bapak sendiri?" pria tiga puluh delapan tahun mengangguk sambil tersenyum."Anak-anak lagi di rumah neneknya. Saya bosan di rumah, dari pada bengong nanti kesambet laporan keuangan, mending saya cari angin. Kamu mau nonton film apa?""Eh, s-saya bingung mau nonton apa, Pak." Aku mendadak tidak enak hati dan ingin segera keluar dari bioskop."Mungkin tidak jadi
Vitamin Stamina Pri4 di Laci Lemari Pembantuku_Part10Aku berdiri di belakang wanita yang berada satu kamar dengan suamiku. Kami menunggu pintu lift terbuka. Aku harap mereka tidak menyadari ada aku di belakang mereka.****Selamat membacaAku yang tadinya ingin berteriak pada dua orang itu, akhirnya memutuskan menahan diri. Aku harus memergoki keduanya sedang berbuat hal terlarang, sehingga cukup bukti untuk melaporkan mereka atas tuduhan perzinahan. Ya, sudah aku putuskan untuk melaporkan Mas Galih dan Esti jika benar mereka berselingkuh.Lift nampak sedang berpihak padaku. Untunglah aku menggunakan hoodie yanga baru aku beli kemarin. Lekas aku memakai masker, lalu menutup kepalaku dengan topi hoodie. Aku setengah berlari untuk berdiri persis di belakang Esti yang juga sedang menunggu pintu lift terbuka. Ting!Pintu besi itu pun terbuka. Kami membiarkan empat pengunjung keluar terlebih dahulu, barulah kami masuk. Jantungku berdetak cepat. Aku harap Mas Galih tidak mengenaliku denga
Aku yang tadinya ingin berteriak pada dua orang itu, akhirnya memutuskan menahan diri. Aku harus memergoki keduanya sedang berbuat hal terlarang, sehingga cukup bukti untuk melaporkan mereka atas tuduhan perzinahan. Ya, sudah aku putuskan untuk melaporkan Mas Galih dan Esti jika benar mereka berselingkuh.Lift nampak sedang berpihak padaku. Untunglah aku menggunakan hoodie yanga baru aku beli kemarin. Lekas aku memakai masker, lalu menutup kepalaku dengan topi hoodie. Aku setengah berlari untuk berdiri persis di belakang Esti yang juga sedang menunggu pintu lift terbuka. Ting!Pintu besi itu pun terbuka. Kami membiarkan empat pengunjung keluar terlebih dahulu, barulah kami masuk. Jantungku berdetak cepat. Aku harap Mas Galih tidak mengenaliku dengan pakaian seperti ini. Baju longgar, hoodie besar, dan juga kaca mata hitam. Kulihat ia menekan angka lima."Mbak mau ke lantai lima juga?" tanya Mas Galih. Aku hanya mengangguk tanpa bersuara. Suasana semakin mencekam karena tidak ada yan
"Kikan, aku minta maaf. Aku khilaf. Aku gak mau menalak kamu. Kita tidak akan bercerai!" Mas Galih memohon sambil menahan tanganku yang sedang menurunkan semua bajunya dari dalam lemari. Namun, aku sama sekali tidak peduli dan terus menurunkan pakaian miliknya. "Kikan, berikan aku satu kesempatan lagi. Aku janji gak akan mengulanginya. Aku hanya khilaf!""Lepas, Mas, aku gak mau kamu peluk! Aku jijik berada di dekat kamu!" Aku berusaha melepas pelukannya, meski susah, tetapi aku terus berusaha. "Sayang, aku minta maaf! Aku benar-benar minta maaf. Kamu pukul aku, kamu boleh tusuk aku biar kamu puas. Asalkan kita tidak berpisah. Aku hanya khilaf karena Esti terus menggodaku!" Aku meneteskan air mata. Aku cengeng bukan karena aku begitu mencintainya, tetapi karena ..."Sayang, aku minta maaf. Ini, tangan kamu, silakan pukul aku!" Tangan ini ia tuntun untuk menampar wajahnya. Kepalaku tiba-tiba berputar dan untuk detik kemudian aku tidak bisa mengingat apapun lagi.Aku terbangun saat hi