Raven King... RAVEN KING???
Pria bersurai coklat gelap itu pun sedikit memiringkan kepalanya, kala melihat wajah cantik Maura yang tampak sedikit memucat ketika menatapnya. "Apa kamu mengenalku?" Leher Maura terasa kaku ketika mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Raven. Ia masih tampak shock, benar-benar tidak menyangka jika pria yang akan ia layani adalah sosok fenomenal dan sangat, sangat terkenal di dunia. 'Sial. Raven King? For real? Untuk apa pria setampan dan terkenal seperti dia menyewa jasa agensi Virginity For Sale??' 'Ya ampun... benar-benar tidak disangka jika pria ini mengincar keperawanan para gadis! Apa jangan-jangan dia memiliki semacam kelainan?!' Ribuan pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikiran Maura, tak pelak ikut tergambar pula di wajahnya meski tak jua ia ucapkan dari bibirnya. Raven tampak menyeringai samar melihat bayang-bayang asumsi yang tampak dari ekspresi gadis bersurai hitam panjang ini. Manik abu-abu pria itu sejenak mengamati keseluruhan tubuh Maura dengan intens. Mengamati surai gelapnya yang lurus tergerai hingga menyentuh pinggang, kulitnya yang putih namun jenis putih khas Asia Tenggara, dadanya yang bulat penuh dan tampak padat, pinggangnya yang ramping dengan lekuk pinggul yang sensual. Sepertinya Maura mendapatkan nilai yang nyaris sempurna di mata seorang Raven King yang telah terbiasa dikelilingi wanita-wanita cantik. Tapi masalahnya... Seringai yang semula samar kini tampak jauh lebih jelas terlukis di wajah tampan Raven, saat melihat helai-helai rambut hitam Maura yang berkilau, sehitam maniknya yang bening memukau. Baru kali ini ia menginginkan seorang gadis dengan penampilan yang jauh berbeda dari sebelumnya, dengan surai dan bola mata yang sepekat malam seperti Maura. Memang agak sedikit aneh, karena biasanya Raven lebih suka tipe gadis Amerika atau Eropa yang bersurai pirang terang dengan manik yang sebiru langit, seperti Rebecca dan juga para gadis sebelum Rebecca. Ia pun teringat kala Madamme Jane si pemilik agensi Virginity For Sale memberikan beberapa foto gadis perawan kepadanya, dan foto Maura pun ada di antara mereka. Di antara gadis-gadis pirang bermata biru yang sejauh ini telah menjadi tipe idealnya. Ah, mungkin juga dia hanya sedang bosan saja. Dan ingin mencoba sesuatu yang berbeda. "Anda adalah Raven King," sahut Maura pelan, masih terpana dengan sosok yang sama sekali tidak ia sangka berdiri tegak di depannya. "Seorang penulis genre thriller yang bukunya telah menjadi best seller versi The New York Times selama enam bulan berturut-turut," tutur gadis itu lagi. Alis lebat kecoklatan Raven pun menukik naik, tak menyangka jika ada gadis muda dari negara lain ternyata juga mengenalnya. "Apa kamu membaca bukuku?" Maura mengangguk lagi. "Saya sudah baca 'The Librarian' sampai selesai," tukasnya, menyebutkan salah satu buku best seller Raven dengan senyuman manis yang tersemat di wajahnya. "Oh ya? Aku sungguh tidak menyangka jika gadis semanis kamu ternyata menyukai seri genre tentang pembunuh berantai yang menyamar menjadi pustakawan." "Karena ide itu sangat jenius!" sambar Maura, tanpa sadar telah melukiskan antusiasmenya yang tampak meluap-luap di wajahnya. "Tak ada yang bisa menebak pemikiran Xavier si tokoh utama, dan bagaimana semua konflik rumit dapat disederhanakan di bagian akhir. Itu adalah buku pertama yang kubaca dan ditulis olehmu. Bahkan aku hendak membeli serial lainnya juga, sebelum... uhm..." "Sebelum?" Raven kembali bertanya ketika Maura yang semula tampak menggebu-gebu bercerita, mendadak malah terdiam. "Sebelum... aku memutuskan untuk mendaftar di Virginity For Sale," ringis Maura malu dan salah tingkah. Untuk sesaat tadi, ia benar-benar terlupa pada posisinya yang akan menjadi pemuas hasrat pria ini. Dengan lugunya, Maura malah bersikap seperti penggemar berat yang baru saja bertemu idola. Yah, itu memang benar sih. Raven King telah resmi menjadi idolanya saat Maura selesai membaca The Librarian sampai tuntas. Tapi tidak seharusnya ia pun tidak ingat tujuan utamanya berada di sini, di Pulau aneh ini, dan berdiri depan pria yang tampak sangat tampan namun memiliki aura dingin dan sedikit menakutkan. Raven menatap lekat gadis yang kini pipinya tampak merona menahan malu. Sejujurnya ia pun sedikit terhibur saat tadi melihat bagaimana sikap Maura yang mirip dengan fans-nya. "Mendekatlah kemari, Moora." Lagi-lagi Raven salah melafalkan namanya, namun Maura tidak bisa menyalahkannya juga. Namanya memang mirip "Moora" jika dilafalkan oleh orang asing. Kaki jenjang Maura pun melangkah perlahan, mengikis jarak yang semula terentang cukup lebar di antara mereka. Maura berhenti ketika jaraknya kini hanya tinggal selangkah dari Raven. Bisa berada sedekat ini dengan idolanya, rasanya seperti mimpi. Namun Maura pun tak yakin lagi apakah ini mimpi indah ataukah mimpi buruk, mengingat tujuan utamanya berada di sini. 'Aargh... kenapa harus dia?!' rutuk merana Maura dalam hati. Sial. Entah apakah ia masih bisa mengidolakan sosok ini lagi untuk seterusnya, jika ia harus melayani hasrat orang yang sama dengan yang membeli keperawanannya! Raven mengamati raut campur aduk di wajah manis Maura dengan ekspresi tertarik. Ada bingung, muram, kesal, ragu dan takut. Manik sehitam kopi milik gadis itu berlarian ke sana ke mari untuk menghindar tatapannya, wajahnya yang menjadi sedikit menunduk itu membuat Raven menyentuh dagu Maura, dan mendongakkan wajah gadis itu. "Apa sekarang kita bisa kembali tujuan awal kenapa kamu di bawa ke rumahku?" Maura menelan ludah saat mendapatkan sorot tajam dan dingin tak terbaca dari bola mata abu-abu Raven. "I-iyaa... tentu saja. Aku di sini karena kamu yang membeliku, Tuan Raven." "Hm... kalau begitu, apakah kamu telah siap dengan tugas pertamamu, Moora?" Meskipun lehernya terasa tegang, Maura pun memaksakan sebuah anggukan yang kaku. "Jika boleh tahu, apa tugas pertamaku itu?" tanya Maura, meskipun ia sudah mengira-ngira jawabannya. Bukankah keperawanannya telah dibeli? Jadi, rasanya jawaban Raven mungkin tak lebih dari urusan yang berkaitan dengan 'jasa' di atas ranjang yang harus ia berikan. "Mandikan aku, Moora," sahut Raven, menyuarakan kalimat yang mengejutkan Maura. "Itulah tugas pertamamu. Mandikan aku." ***Suara maskulin yang mengalun berat dan maskulin itu serta merta membuat Maura merinding. Untuk sejenak, manik gelapnya menatap lekat bola mata abu-abu berkilau dengan efeknya yang seolah mampu menghipnotis itu. Memandikan? Ya ampun, apa dia anak kecil yang belum bisa mandi sendiri? Tapi Maura pun segera kembali menyadari posisinya di hadapan pembelinya, dan merasa tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala. "Ikuti aku," titah Raven sembari membalikkan tubuhnya dan berjalan mendahului Maura. Pria itu mendekato sebuah pintu yang terletak di dinding di samping salah satu lemari buku, lalu membukanya. Manik Maura pun spontan mengerjap. 'Oh, ternyata itu adalah connecting door,' pikir gadis itu. Sebuah pintu yang langsung menghubungkan antara ruang kerja dan... kamar pribadi Raven, sepertinya. Maura mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan bernuansa gelap aesthetic itu. Dindingnya dicat dengan warna taupe yang menimbulkan efek kilau redup. Bahkan gorden
'Huuft... akhirnya aku bisa bernapas dengan lega juga,' batin Maura dalam hati ketika Raven telah menghilang dari balik pintu. Aura dominan pria itu telah membuatnya serasa tercekik dan sulit untuk menghirup udara, lalu bagaimana caranya Maura melayani Raven jika sikapnya malah begini?? "Relax, Maura," guman gadis itu kepada dirinya sendiri. Wajar saja jika dia gugup setengah mati kan? Bukan cuma karena Maura akan memberikan kesuciannya kepada pria itu, tapi juga karena dia adalah Raven King. Desahan napas pelan kembali menguar dari bibirnya, untuk yang kesekian kalinya hari ini. Sebaiknya sekarang ia cepat mengenakan lingerie putih ini, sebelum Raven marah karena terlalu lama menunggu. Gadis itu pun segera membuka gaun merahnya tanpa menanggalkan pakaian dalamnya yang senada dengan warna gaunnya. Lingerie putih menerawang itu ternyata sangat pas di tubuhnya. Maura melangkah menuju ke arah cermin panjang yang memperlihatkan seluruh tubuhnya. Bra yang ia gunakan adalah je
"Mmh..." Maura hanya bisa mendesah, saat jemari panjang Raven telah merengkuh bulatan lembut di dadanya, dan meremasnya dengan lembut. Pria itu masih menyesap bibirnya, dan perpaduan dari kedua perbuatannya itu membuat Maura serasa melayang. Begitu cepatnya Maura terhanyut dalam cumbuan bibir dan godaan jemari mahir Raven, tak bisa untuk tak mengakui bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang tengah berdenyut dan hidup. "Buka bibirmu," titah Raven dengan suara berat dan serak yang telah dipenuhi oleh letupan gairah. Dan pria itu pun menggeram puas kala dua bibir ranum Maura yang lezat itu kini telah terpisah, memberinya akses untuk menjulurkan lidah ke dalam kehangatan dunia Maura. Maura pun sadar jika dia tidak bisa lagi menjadi pihak yang pasif, karena pria yang ada di depannya ini sangat mahir berciuman. Gadis itu pun meniru gerakan lidah Raven, membelit lidahnya dengan lidah pria itu dengan gerakan yang provokatif dan sama intensnya "Not bad," komentar Raven sambil meny
"Aahh... there you go. Kamu pintar sekali, Moora." Raven memejamkan kedua matanya rapat-rapat, seraya mendesahkan pujian untuk Maura yang sedang duduk berlutut di bawahnya. Tak sulit mengajarkan gadis itu bagaimana cara untuk memuaskannya, karena Maura tipe yang cepat belajar dan mudah mengerti. Gadis itu juga pintar berimprovisasi, jika Raven boleh menambahkan. Ah, damned! Mulut Maura yang mungil itu ternyata terasa sungguh nikmat sekali ketika sedang memanjakan miliknya seperti ini. "Fuck. This is so good..." Kembali Raven meracau dengan suara berat yang telah sesak dan membara oleh gelora. Pria itu pun merenggut rambut panjang Maura yang dicepol hingga helai-helainya berantakan mencuat kesana kemari, lalu menyentak kepala gadis itu lebih kuat hingga miliknya pun semakin terbenam sempurna ke dalam mulutnya yang lembut dan manis. Meskipun merasakan sulit bernapas serta tenggorokannya seperti disumbat oleh benda yang sangat besar, namun Maura tetap berusaha untuk tet
Dengan mata yang masih terpejam antara setengah sadar, Maura sedikit mengernyit ketika merasakan seseorang mengusap-usap tali bra yang melintang di punggungnya. Gerakan provokatif itu rasanya tidak mungkin dilakukan oleh Emma, terutama juga karena Maura dapat merasakan tangan yang sedang merayap di punggungnya sekarang terasa jauh lebih besar dan kekar dibandingkan tangan Emma Dan Maura pun makin terkesiap serta sontak membuka kedua matanya, saat tangan tersebut tiba-tiba saja menarik kaitan bra-nya hingga terbuka. Gadis itu membalikkan wajah ke sisi kanan, lalu seketika bertemu tatap dengan manik kelabu serupa kabut asap tipis yang kini memandangnya balik dengan sorot datar tak terbaca. Emily sudah pergi entah kemana, dan kini hanya ada pria bersurai coklat yang hanya mengenakan swimming trunks (sejenis celana untuk renang dengan bahan yang tidak menyerap air, namun tidak terlalu ketat) di sana. Pria itu kini berbaring menyamping di samping Maura, bersempit-sempitan di ku
Dengan langkah pasti dan penuh keyakinan, Maura pun berjalan mengikuti Raven yang telah lebih dulu menghilang masuk ke dalam Mansion. Gadis itu bahkan sudah tak peduli lagi dengan kondisinya saat ini, yang hanya mengenakan pakaian dalam dengan bra yang kaitan di punggungnya telah terlepas dan hanya ia tahan dengan tangannya agar tidak melorot dan jatuh. Maura bahkan juga mengabaikan lirikan diam-diam para pelayan di Mansion ini yang tanpa sengaja berpapasan dengannya. Persetan. Bukankah semua orang pun sudah tahu siapa sebenarnya dirinya? Cuma seorang wanita jalang yang menjual kegadisannya demi uang yang banyak! Sesampainya di kamar Raven di lantai dua, Maura mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Ternyata Raven sudah menunggu di sana... Baiklah. Saatnya untuk bersikap lebih agresif dan lebih menggoda. Meskipun Maura juga sadar diri jika sosoknya tak lebih cantik dari Rebecca, gadis sebelumnya yang bersama Raven, tapi ia yakin jika bisa memberikan pelayanan
"Tuan Raven?" Maura menatap Raven dengan maniknya yang sayu karena bayangan gairah yang masih nyata tersemat di dalamnya. Ia benar-benar bingung saat pria itu tiba-tiba saja mematikan shower, lalu meraih handuk lebar dari rak marmer di dinding, dan mengeringkan tubuh Maura. Bukankah seharusnya justru Maura yang mengeringkan tubuh Raven? "Kemarilah." Setelah menyelesaikan tugasnya, Raven menarik tangan Maura untuk berjalan mengikutinya keluar dari kamar mandi. Namun langkah mereka pun belum sampai di ranjang besar yang tampaknya menjadi tujuan Raven, dan pria itu sudah kembali menyerang bibir Maura dengan ganas. "Umm..." Maura tak sengaja mengguman pelan ketika ciuman itu terasa semakin panas. Foreplay yang diberikan Raven sebelumnya telah menyalakan kobaran api di dalam dirinya. Sensasi tubuh mereka yang sama-sama masih lembab dan beraroma sabun wangi, menambah intensitas gelora yang membuat Maura merinding di sekujur tubuhnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda di momen
"Kenapa? Apa kamu tidak suka hidangannya? Aku bisa meminta juru masak untuk membuatkan makanan kesukaanmu." Maura mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk menatap isi dalam piringnya yang hanya ia aduk-aduk. Maniknya seketika beradu tatap dengan bola mata kelabu serupa kabut asap tipis milik Raven yang menghujam wajahnya. "Eh? Tidak... tidak perlu. Aku suka steak dan mashed potato ini," sahut Maura, yang kemudian menyuapkan kentang tumbuk ke dalam mulutnya dengan terburu-buru. Sebenarnya kentangnya enak dan lembut, pun dengan steak-nya. Hanya saja, Maura-lah yang memang sedang tidak bernafsu untuk mengunyah apa pun, setelah berkali-kali Raven menolak untuk bercinta. Pertama, pria itu bilang kalau Maura bukanlah tipe gadis yang ia sukai. Lalu kedua, Raven juga pernah mengatakan ingin mencari tahu kenapa ia memilih Maura, alih-alih memilih tipe idealnya yang berambut pirang dan bermata biru seperti Rebecca. Aargh, apa karena Raven adalah seorang penulis? Hingga hanya
Leona berdiri di ambang pintu ruang kerja Rhexton, mengenakan gaun merah tua yang menempel sempurna di tubuhnya, memperlihatkan lekuk yang sengaja ia tonjolkan. Sesuai perintah Raven, malam itu ia membawa sebotol anggur mahal untuk menyajikan minuman kepada Rhexton King. Namun kali ini, bukan sekadar anggur yang ia bawa. Di dalam saku gaunnya, terselip botol kecil obat perangsang yang baru saja ia terima dari tangan Raven. Tugas ini membuat keringat dingin mengalir di tengkuknya, meskipun senyum tenang tetap menghiasi wajahnya. Rhexton duduk di kursi besar di dekat jendela, pandangannya tajam dan fokusmemantau berkas-berkas yang berserakan di mejanya. “Selamat malam, Tuan King,” suara Leona terdengar lembut namun menggoda. Ia menutup pintu dengan satu gerakan anggun dan membawa nampan dengan dua gelas anggur. Rhexton melirik sekilas dengan mata yang penuh kecurigaan. “Malam. Ada keperluan apa?”Leona tersenyum, langkahnya perlahan menuju meja tempat Rhexton duduk. “Saya melihat
Rhexton melangkah ke dalam ruang kerja sang kakek dengan tenang, aroma kayu mahoni yang memenuhi ruangan memberikan rasa nostalgia. Tobias King duduk bersandar di balik meja besar yang dipenuhi dokumen dan foto-foto masa lalu, tampak lebih lelah dari biasanya. “Rhexton,” sapanya serak seraya mengangkat kepala dengan seulas senyum tipis di wajahnya. “Ada apa? Apa kalian semua baik-baik saja?” Rhexton tersenyum kecil, menutup pintu di belakangnya. “Maura baik-baik saja. Aku memastikan dia cukup istirahat, dan bayi kami tumbuh dengan sehat.” Tobias mengangguk puas, lalu batuk pelan ke dalam saputangan yang ia genggam. “Bagus. Aku tetap menjaga jarak. Flu ini cukup mengganggu, dan aku tidak ingin menularkan kepada istrimu atau anak yang ia kandung.” Rhexton mengamati wajah sang kakek yang tampak lebih pucat dari biasanya. “Kesehatan kakek lebih penting. Pastikan kakek benar-benar sembuh sebelum memaksakan diri bekerja lagi.” “Jangan khawatirkan aku, Nak. Fokusmu adalah me
Leona memejamkan mata, membiarkan memori masa lalu itu membanjiri pikirannya. Ia ingat dinginnya malam ketika ia dan kakaknya dikepung oleh preman, terjebak tanpa jalan keluar. Kemudian datanglah seorang bocah dengan mata kelabunya yang dingin menatap dunia, seolah ia bisa menaklukkan segalanya. Dialah Raven King. “Aku tahu, Kak,” bisiknya. “Aku tahu kita berutang nyawa padanya.” Lewis tersenyum kecil meski Leona tidak bisa melihatnya. “Kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Rhexton tidak perlu sadar kalau dia sedang digoda. Cukup mainkan peranmu dengan cerdas. Dan gunakan taktik yang tepat.” Leona menarik napas panjang sekali lagi. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Doakan aku.” Lewis tertawa pelan. “Selalu, Leona. Selalu." *** "RAVEN!!" Dengan napas yang tersengal, Maura terbangun dengan tiba-tiba. Matanya terbelalak menatap langit-langit kamar, tangannya terulur seolah ingin menyentuh sesuatu yang tak ada di sana. Namun hanya keheningan yang menyergapnya.
Raven berdiri di sudut gelap koridor, memperhatikan ruang kerja Tobias King dari kejauhan. Sebelum malam tiba, ia telah menyusun strategi untuk menyusup dan memeriksa lorong rahasia yang disebutkan oleh Leona. Namun tampaknya rencana itu terpaksa tertunda, saat melihat lebih dari sepuluh pengawal bersenjata lengkap berjaga di depan pintu ruang kerja tersebut. Matanya yang berlapis kontak lensa biru itu pun tajam memindai setiap inci ruangan, mencari celah yang bisa dimanfaatkan. Tetapi penjagaan terlalu rapat, sesuatu yang jarang terjadi di Mansion ini. Kenapa tiba-tiba mereka meningkatkan pengamanan? Raven menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan kemarahannya yang perlahan membumbung. Ketika ia mencoba berbaur dengan pelayan dan staf keamanan lainnya, telinganya menangkap percakapan salah satu pengawal yang membelakanginya. "Penyusup itu berani sekali," guman pria bertubuh besar dengan nada geram. "Masuk dan keluar seperti bayangan, bahkan membajak semua CC
Langkah Rhexton terlihat mantap ketika membawa Maura masuk ke dalam mansion megah dengan kedua tangan mereka masih bertaut. Jari-jari pria itu menggenggam tangannya dengan erat, namun Maura memutuskan untuk membiarkan saja. Ia tidak melawan, meskipun di dalam hati merasa gelisah. Karena ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahunya. Bukan tentang Rhexton, tapi tentang seseorang lain yang diam-diam mengisi pikirannya. Matanya kembali bergerak melirik untuk mencari sosok tertentu, dan meski ia mencoba menepis, jantungnya pun berdebar lebih cepat dari biasanya. Ryland. Apa yang akan pria itu lakukan? Apa reaksinya melihat ia dan Rhexton bersama seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul tanpa bisa dicegah, membuatnya mengutuk dirinya sendiri karena mengharapkan hal yang bahkan tak masuk akal. Untuk apa ia peduli? Ryland hanya seorang pengawal! Bukan suaminya, bukan seseorang yang punya hak atas dirinya. Tapi jauh di dalam lubuk hati, Maura tahu bahwa ia peduli... l
Rhexton sedang berada di sebuah butik perhiasan terkenal. Ia terlihat penuh tekad saat hendak memilih satu set kalung, gelang, cincin, dan giwang yang sempurna untuk istrinya. Ia menyebutkan ciri-ciri Maura kepada konsultan perhiasan dengan penuh perhatian. "Istriku cantik, lembut, berambut hitam panjang, dan memiliki sepasang bola mata gelap yang berkilau indah." Rhexton meminta pendapat konsultan perhiasan untuk memilihkan perhiasan yang akan cocok dengan semua ciri-ciri itu, berharap bisa membuat Maura merasa begitu dihargai dan istimewa. Konsultan itu pun dengan cermat memilihkan perhiasan-perhiasan indah yang terbuat dari batu mulia langka, yang sesuai dengan aura lembut dan elegan Maura. Rhexton membelinya dengan harga yang fantastis tak peduli berapa pun biayanya, yang penting ia bisa memberi Maura sesuatu yang layak. Ia juga memutuskan untuk membawa seikat besar bunga mawar merah muda, merasa bunga itu serta warnanya sangat cocok untuk istrinya yang lembut dan m
Suara langkah kaki Leona bergema samar di lorong panjang yang dipenuhi lukisan-lukisan kuno dan rak-rak penuh buku. Dinding marmer putih yang dingin menambah kesan megah sekaligus menyesakkan, membuat setiap hembusan napasnya terasa berat. Ia berjalan perlahan, jemarinya yang lentik menggenggam erat ponsel kecil yang tersembunyi di balik mantel hitamnya. Sesekali ia melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada seorang pun yang memperhatikan. Mansion milik Tobias King tidak seperti bangunan biasa. Pengawasan ketat di setiap sudut membuat gerak-geriknya harus sehalus bayangan. Kamera tersembunyi dan alat pendeteksi gerakan tersebar di mana-mana, tapi Leona sudah mempelajari tata letaknya. Ia tidak akan membiarkan dirinya tertangkap. Begitu tiba di salah satu ruangan kosong, Leona mengunci pintu di belakangnya dan menyalakan ponsel. Ia mengetuk tombol dengan hati-hati, membuka saluran aman yang sudah diprogram khusus untuk menghindari deteksi. Beberapa detik berlalu sebelum su
Rhexton berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah mantap dan kepala tegak, serta pikirannya fokus pada apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Baru saja ia selesai memimpin rapat dengan penuh percaya diri, memberikan arahan yang jelas, dan memastikan bahwa semua strategi untuk memajukan King Enterprise terlaksana dengan baik. Tobias mendekati Rhexton setelah rapat selesai, matanya mengamati cucunya dengan penuh kebanggaan. "Rhexton," ucap Tobias sambil melangkah mendekat. "Aku harus mengakui, kamu sudah menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Kamu bisa memimpin perusahaan ini dengan baik, dan aku rasa tak lagi memerlukan aku di sini. King Enterprise kini telah berada di tangan yang tepat." Rhexton menatap kakeknya dengan penuh rasa hormat. Meskipun ia sudah siap memimpin, namun merasa masih banyak yang perlu dipelajari. "Aku tidak bisa melakukan ini tanpa bimbinganmu, Kakek," jawabnya dengan tulus. "Terima kasih telah memberikan kesempatan ini padaku. Aku akan beru
116. Bertemu BEBERAPA HARI SEBELUMNYA… Suara rintik hujan di luar jendela menciptakan melodi tenang yang menemani percakapan serius di dalam sebuah ruang rahasia. Ruangan itu remang-remang, diterangi hanya oleh lampu meja kecil yang memancarkan sinar kuning redup. Raven duduk di kursi kayu dengan punggung yang tegap dan matanya menyorot penuh fokus. Di hadapannya berdiri Lewis dan Leona, saudara kandung yang telah menjadi sekutunya. "Penyamaran kali ini bukan hanya soal masuk ke tempat itu tanpa ketahuan," ujar Raven perlahan, suaranya datar namun penuh tekanan. "Aku harus benar-benar menjadi orang lain." Leona memiringkan kepalanya dengan kedua alis terangkat. “Apa Tuan ingin aku yang akan mengubah wajah Anda sepenuhnya? Itu bukan masalah besar.” Raven menatapnya tanpa ekspresi yang tak bisa ditebak. "Tapi masalahnya, wajah yang berbeda saja tidak akan cukup, Leona. Aku butuh seseorang untuk jadi perantara, seseorang yang bisa berbicara untukku. Dan kamu ya