Share

4. Jangan Membuatku Menunggu

Suara maskulin yang mengalun berat dan maskulin itu serta merta membuat Maura merinding.

Untuk sejenak, manik gelapnya menatap lekat bola mata abu-abu berkilau dengan efeknya yang seolah mampu menghipnotis itu.

Memandikan? Ya ampun, apa dia anak kecil yang belum bisa mandi sendiri?

Tapi Maura pun segera kembali menyadari posisinya di hadapan pembelinya, dan merasa tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala.

"Ikuti aku," titah Raven sembari membalikkan tubuhnya dan berjalan mendahului Maura.

Pria itu mendekato sebuah pintu yang terletak di dinding di samping salah satu lemari buku, lalu membukanya.

Manik Maura pun spontan mengerjap. 'Oh, ternyata itu adalah connecting door,' pikir gadis itu.

Sebuah pintu yang langsung menghubungkan antara ruang kerja dan... kamar pribadi Raven, sepertinya.

Maura mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan bernuansa gelap aesthetic itu. Dindingnya dicat dengan warna taupe yang menimbulkan efek kilau redup.

Bahkan gorden raksasa yang melapisi jendela kaca besar serta karpet lembut di lantai kayu ini pun memilliki warna yang senada.

Hanya penutup ranjang, beberapa kursi di samping jendela, sofa, serta nakasnya saja yang berwarna lebih terang : coklat muda.

Lampu kristal besar yang tergantung di atas ranjang juga tampak elegan dan menambah nuansa mahal pada dekorasinya.

"Pakai baju ini."

Maura yang tadi berdiam diri asyik memandangi sekelilingnya, mendadak kaget saat Raven menyodorkan sebuah kain berwarna putih ke hadapannya.

Ia meraih benda lembut dan ringan itu, lalu meringis dalam hati kala menyadari bahwa benda itu adalah lingerie yang sangat seksi dan rasanya hampir tak ada guna karena nyaris tak ada yang bisa ditutupinya.

Raven mengulum senyum samar saat memandangi sekujur tubuh Maura dari atas ke bawah. Madamme Jane memang sangat tahu seleranya, yang menyukai wanita bergaun merah seksi dengan dandanan yang elegan.

Namun Raven merasa bahwa Maura tidak terlalu cocok mengenakan warna merah seperti ini. Dan entah kenapa, ia yakin sekali jika Maura akan lebih pantas untuk mengenakan warna putih.

Pasti sangat sesuai di kulitnya yang halus dan tampak bersinar itu, dan akan semakin mempertegas warna pekat rambutnya yang panjang itu.

"Aku akan menunggumu di kamar mandi," ucap Raven sembari meraup helai-helai halus rambut hitam Maura, lalu menggesekkannya di antara jemarinya.

"Kenapa aromamu seperti es krim?" Tanya Raven dengan pandangan yang lekat dari abu-abu maniknya tertuju kepada Maura, tanpa melepaskan jarinya dari rambut gadis itu.

"Aaah... itu... sepertinya aroma parfumku," sahut Maura salah tingkah karena wajah mereka yang kini sangat dekat, bahkan kurang dari sejengkal.

Gadis itu bahkan bisa melihat bintik-bintik gelap yang mewarnai iris abu-abu Raven yang aneh itu. Uhm, tapi mungkin 'aneh' bukanlah kata yang tepat.

'Menggelisahkan', mungkin itu adalah kata jauh lebih tepat.

"Jadi aroma es krim ini berasal dari parfummu ya?" Cetus Raven sambil menggelengkan kepala heran. "Memangnya usiamu berapa, Moora? Empat belas tahun?"

Maura pun hanya diam, tak merasa perlu menjawab ledekan terselubung pertanyaan tersebut.

Namun diam-diam ia menambahkan catatan untuk diri sendiri, yaitu harus mencari cara untuk menghilangkan aroma parfum ini, karena tampaknya Raven sama sekali tidak suka.

Kepuasan pembeli adalah nomor satu, begitulah yang diajarkan oleh Madamme Jane padanya.

Sebagai 'produk' yang dijual, Maura pun sadar bahwa ia harus mampu 'mengemas' dirinya dengan baik agar pembelinya pun tidak kecewa.

Meskipun awalnya Maura sempat berharap pembelinya bukanlah Raven King penulis idolanya, namun sekarang ia pun harus menerima kenyataan itu, dan bersikap semaksimal mungkin agar jangan sampai Raven malah membatalkan pembeliannya.

Karena semakin cepat ia mendapatkan uang, maka semakin cepat pula ia dapat menjauh dari keluarganya untuk memulai kehidupan yang baru.

Raven menghembuskan napas tajamnya ke udara. Padahal gadis di hadapannya ini sangat cantik dan sensual, tapi kenapa parfumnya malah seperti gadis remaja sih?

"Ganti parfummu," titah pria itu kemudian.

"Baik, Tuan Raven." Maura menyahut cepat. Tak masalah juga sih, toh dia datang ke Pulau ini tanpa diijinkan untuk membawa apa pun, kecuali pakaian yang saat ini melekat di tubuhnya.

"Aku akan tunggu di dalam kamar mandi. Tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama, Moora," ucap pria itu sebelum membalikkan badannya, lalu melangkah dengan tegas menuju ke arah pintu yang Maura yakin adalah sebuah kamar mandi.

Namun manik legam Maura pun membeliak lebar, saat Raven menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar mandi, hanya untuk... perlahan melucuti pakaiannya sendiri.

'Ya ampun, bahkan caranya membuka kemeja flanelnya saja tampak sangat seksi,' ringis Maura dalam hati, yang kemudian seolah tak mampu melewatkan pemandangan indah sekaligus membuat gadis itu tersipu.

Gadis itu pun sontak membuang pandangannya dengan wajah yang merona, saat tak ada lagi selembar benang pun yang menutupi tubuh Raven.

"Ingat, Moora. Aku sangat tidak suka menunggu." Raven pun berucap, sebelum pria itu memasuki kamar mandi dan meninggalkan Maura sendiri dengan benaknya yang berkecamuk penuh antisipasi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status