Suara maskulin yang mengalun berat dan maskulin itu serta merta membuat Maura merinding.
Untuk sejenak, manik gelapnya menatap lekat bola mata abu-abu berkilau dengan efeknya yang seolah mampu menghipnotis itu. Memandikan? Ya ampun, apa dia anak kecil yang belum bisa mandi sendiri? Tapi Maura pun segera kembali menyadari posisinya di hadapan pembelinya, dan merasa tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala. "Ikuti aku," titah Raven sembari membalikkan tubuhnya dan berjalan mendahului Maura. Pria itu mendekato sebuah pintu yang terletak di dinding di samping salah satu lemari buku, lalu membukanya. Manik Maura pun spontan mengerjap. 'Oh, ternyata itu adalah connecting door,' pikir gadis itu. Sebuah pintu yang langsung menghubungkan antara ruang kerja dan... kamar pribadi Raven, sepertinya. Maura mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan bernuansa gelap aesthetic itu. Dindingnya dicat dengan warna taupe yang menimbulkan efek kilau redup. Bahkan gorden raksasa yang melapisi jendela kaca besar serta karpet lembut di lantai kayu ini pun memilliki warna yang senada. Hanya penutup ranjang, beberapa kursi di samping jendela, sofa, serta nakasnya saja yang berwarna lebih terang : coklat muda. Lampu kristal besar yang tergantung di atas ranjang juga tampak elegan dan menambah nuansa mahal pada dekorasinya. "Pakai baju ini." Maura yang tadi berdiam diri asyik memandangi sekelilingnya, mendadak kaget saat Raven menyodorkan sebuah kain berwarna putih ke hadapannya. Ia meraih benda lembut dan ringan itu, lalu meringis dalam hati kala menyadari bahwa benda itu adalah lingerie yang sangat seksi dan rasanya hampir tak ada guna karena nyaris tak ada yang bisa ditutupinya. Raven mengulum senyum samar saat memandangi sekujur tubuh Maura dari atas ke bawah. Madamme Jane memang sangat tahu seleranya, yang menyukai wanita bergaun merah seksi dengan dandanan yang elegan. Namun Raven merasa bahwa Maura tidak terlalu cocok mengenakan warna merah seperti ini. Dan entah kenapa, ia yakin sekali jika Maura akan lebih pantas untuk mengenakan warna putih. Pasti sangat sesuai di kulitnya yang halus dan tampak bersinar itu, dan akan semakin mempertegas warna pekat rambutnya yang panjang itu. "Aku akan menunggumu di kamar mandi," ucap Raven sembari meraup helai-helai halus rambut hitam Maura, lalu menggesekkannya di antara jemarinya. "Kenapa aromamu seperti es krim?" Tanya Raven dengan pandangan yang lekat dari abu-abu maniknya tertuju kepada Maura, tanpa melepaskan jarinya dari rambut gadis itu. "Aaah... itu... sepertinya aroma parfumku," sahut Maura salah tingkah karena wajah mereka yang kini sangat dekat, bahkan kurang dari sejengkal. Gadis itu bahkan bisa melihat bintik-bintik gelap yang mewarnai iris abu-abu Raven yang aneh itu. Uhm, tapi mungkin 'aneh' bukanlah kata yang tepat. 'Menggelisahkan', mungkin itu adalah kata jauh lebih tepat. "Jadi aroma es krim ini berasal dari parfummu ya?" Cetus Raven sambil menggelengkan kepala heran. "Memangnya usiamu berapa, Moora? Empat belas tahun?" Maura pun hanya diam, tak merasa perlu menjawab ledekan terselubung pertanyaan tersebut. Namun diam-diam ia menambahkan catatan untuk diri sendiri, yaitu harus mencari cara untuk menghilangkan aroma parfum ini, karena tampaknya Raven sama sekali tidak suka. Kepuasan pembeli adalah nomor satu, begitulah yang diajarkan oleh Madamme Jane padanya. Sebagai 'produk' yang dijual, Maura pun sadar bahwa ia harus mampu 'mengemas' dirinya dengan baik agar pembelinya pun tidak kecewa. Meskipun awalnya Maura sempat berharap pembelinya bukanlah Raven King penulis idolanya, namun sekarang ia pun harus menerima kenyataan itu, dan bersikap semaksimal mungkin agar jangan sampai Raven malah membatalkan pembeliannya. Karena semakin cepat ia mendapatkan uang, maka semakin cepat pula ia dapat menjauh dari keluarganya untuk memulai kehidupan yang baru. Raven menghembuskan napas tajamnya ke udara. Padahal gadis di hadapannya ini sangat cantik dan sensual, tapi kenapa parfumnya malah seperti gadis remaja sih? "Ganti parfummu," titah pria itu kemudian. "Baik, Tuan Raven." Maura menyahut cepat. Tak masalah juga sih, toh dia datang ke Pulau ini tanpa diijinkan untuk membawa apa pun, kecuali pakaian yang saat ini melekat di tubuhnya. "Aku akan tunggu di dalam kamar mandi. Tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama, Moora," ucap pria itu sebelum membalikkan badannya, lalu melangkah dengan tegas menuju ke arah pintu yang Maura yakin adalah sebuah kamar mandi. Namun manik legam Maura pun membeliak lebar, saat Raven menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar mandi, hanya untuk... perlahan melucuti pakaiannya sendiri. 'Ya ampun, bahkan caranya membuka kemeja flanelnya saja tampak sangat seksi,' ringis Maura dalam hati, yang kemudian seolah tak mampu melewatkan pemandangan indah sekaligus membuat gadis itu tersipu. Gadis itu pun sontak membuang pandangannya dengan wajah yang merona, saat tak ada lagi selembar benang pun yang menutupi tubuh Raven. "Ingat, Moora. Aku sangat tidak suka menunggu." Raven pun berucap, sebelum pria itu memasuki kamar mandi dan meninggalkan Maura sendiri dengan benaknya yang berkecamuk penuh antisipasi. ***'Huuft... akhirnya aku bisa bernapas dengan lega juga,' batin Maura dalam hati ketika Raven telah menghilang dari balik pintu. Aura dominan pria itu telah membuatnya serasa tercekik dan sulit untuk menghirup udara, lalu bagaimana caranya Maura melayani Raven jika sikapnya malah begini?? "Relax, Maura," guman gadis itu kepada dirinya sendiri. Wajar saja jika dia gugup setengah mati kan? Bukan cuma karena Maura akan memberikan kesuciannya kepada pria itu, tapi juga karena dia adalah Raven King. Desahan napas pelan kembali menguar dari bibirnya, untuk yang kesekian kalinya hari ini. Sebaiknya sekarang ia cepat mengenakan lingerie putih ini, sebelum Raven marah karena terlalu lama menunggu. Gadis itu pun segera membuka gaun merahnya tanpa menanggalkan pakaian dalamnya yang senada dengan warna gaunnya. Lingerie putih menerawang itu ternyata sangat pas di tubuhnya. Maura melangkah menuju ke arah cermin panjang yang memperlihatkan seluruh tubuhnya. Bra yang ia gunakan adalah je
"Mmh..." Maura hanya bisa mendesah, saat jemari panjang Raven telah merengkuh bulatan lembut di dadanya, dan meremasnya dengan lembut. Pria itu masih menyesap bibirnya, dan perpaduan dari kedua perbuatannya itu membuat Maura serasa melayang. Begitu cepatnya Maura terhanyut dalam cumbuan bibir dan godaan jemari mahir Raven, tak bisa untuk tak mengakui bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang tengah berdenyut dan hidup. "Buka bibirmu," titah Raven dengan suara berat dan serak yang telah dipenuhi oleh letupan gairah. Dan pria itu pun menggeram puas kala dua bibir ranum Maura yang lezat itu kini telah terpisah, memberinya akses untuk menjulurkan lidah ke dalam kehangatan dunia Maura. Maura pun sadar jika dia tidak bisa lagi menjadi pihak yang pasif, karena pria yang ada di depannya ini sangat mahir berciuman. Gadis itu pun meniru gerakan lidah Raven, membelit lidahnya dengan lidah pria itu dengan gerakan yang provokatif dan sama intensnya "Not bad," komentar Raven sambil meny
"Aahh... there you go. Kamu pintar sekali, Moora." Raven memejamkan kedua matanya rapat-rapat, seraya mendesahkan pujian untuk Maura yang sedang duduk berlutut di bawahnya. Tak sulit mengajarkan gadis itu bagaimana cara untuk memuaskannya, karena Maura tipe yang cepat belajar dan mudah mengerti. Gadis itu juga pintar berimprovisasi, jika Raven boleh menambahkan. Ah, damned! Mulut Maura yang mungil itu ternyata terasa sungguh nikmat sekali ketika sedang memanjakan miliknya seperti ini. "Fuck. This is so good..." Kembali Raven meracau dengan suara berat yang telah sesak dan membara oleh gelora. Pria itu pun merenggut rambut panjang Maura yang dicepol hingga helai-helainya berantakan mencuat kesana kemari, lalu menyentak kepala gadis itu lebih kuat hingga miliknya pun semakin terbenam sempurna ke dalam mulutnya yang lembut dan manis. Meskipun merasakan sulit bernapas serta tenggorokannya seperti disumbat oleh benda yang sangat besar, namun Maura tetap berusaha untuk tet
Dengan mata yang masih terpejam antara setengah sadar, Maura sedikit mengernyit ketika merasakan seseorang mengusap-usap tali bra yang melintang di punggungnya. Gerakan provokatif itu rasanya tidak mungkin dilakukan oleh Emma, terutama juga karena Maura dapat merasakan tangan yang sedang merayap di punggungnya sekarang terasa jauh lebih besar dan kekar dibandingkan tangan Emma Dan Maura pun makin terkesiap serta sontak membuka kedua matanya, saat tangan tersebut tiba-tiba saja menarik kaitan bra-nya hingga terbuka. Gadis itu membalikkan wajah ke sisi kanan, lalu seketika bertemu tatap dengan manik kelabu serupa kabut asap tipis yang kini memandangnya balik dengan sorot datar tak terbaca. Emily sudah pergi entah kemana, dan kini hanya ada pria bersurai coklat yang hanya mengenakan swimming trunks (sejenis celana untuk renang dengan bahan yang tidak menyerap air, namun tidak terlalu ketat) di sana. Pria itu kini berbaring menyamping di samping Maura, bersempit-sempitan di ku
Dengan langkah pasti dan penuh keyakinan, Maura pun berjalan mengikuti Raven yang telah lebih dulu menghilang masuk ke dalam Mansion. Gadis itu bahkan sudah tak peduli lagi dengan kondisinya saat ini, yang hanya mengenakan pakaian dalam dengan bra yang kaitan di punggungnya telah terlepas dan hanya ia tahan dengan tangannya agar tidak melorot dan jatuh. Maura bahkan juga mengabaikan lirikan diam-diam para pelayan di Mansion ini yang tanpa sengaja berpapasan dengannya. Persetan. Bukankah semua orang pun sudah tahu siapa sebenarnya dirinya? Cuma seorang wanita jalang yang menjual kegadisannya demi uang yang banyak! Sesampainya di kamar Raven di lantai dua, Maura mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Ternyata Raven sudah menunggu di sana... Baiklah. Saatnya untuk bersikap lebih agresif dan lebih menggoda. Meskipun Maura juga sadar diri jika sosoknya tak lebih cantik dari Rebecca, gadis sebelumnya yang bersama Raven, tapi ia yakin jika bisa memberikan pelayanan
"Tuan Raven?" Maura menatap Raven dengan maniknya yang sayu karena bayangan gairah yang masih nyata tersemat di dalamnya. Ia benar-benar bingung saat pria itu tiba-tiba saja mematikan shower, lalu meraih handuk lebar dari rak marmer di dinding, dan mengeringkan tubuh Maura. Bukankah seharusnya justru Maura yang mengeringkan tubuh Raven? "Kemarilah." Setelah menyelesaikan tugasnya, Raven menarik tangan Maura untuk berjalan mengikutinya keluar dari kamar mandi. Namun langkah mereka pun belum sampai di ranjang besar yang tampaknya menjadi tujuan Raven, dan pria itu sudah kembali menyerang bibir Maura dengan ganas. "Umm..." Maura tak sengaja mengguman pelan ketika ciuman itu terasa semakin panas. Foreplay yang diberikan Raven sebelumnya telah menyalakan kobaran api di dalam dirinya. Sensasi tubuh mereka yang sama-sama masih lembab dan beraroma sabun wangi, menambah intensitas gelora yang membuat Maura merinding di sekujur tubuhnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda di momen
"Kenapa? Apa kamu tidak suka hidangannya? Aku bisa meminta juru masak untuk membuatkan makanan kesukaanmu." Maura mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk menatap isi dalam piringnya yang hanya ia aduk-aduk. Maniknya seketika beradu tatap dengan bola mata kelabu serupa kabut asap tipis milik Raven yang menghujam wajahnya. "Eh? Tidak... tidak perlu. Aku suka steak dan mashed potato ini," sahut Maura, yang kemudian menyuapkan kentang tumbuk ke dalam mulutnya dengan terburu-buru. Sebenarnya kentangnya enak dan lembut, pun dengan steak-nya. Hanya saja, Maura-lah yang memang sedang tidak bernafsu untuk mengunyah apa pun, setelah berkali-kali Raven menolak untuk bercinta. Pertama, pria itu bilang kalau Maura bukanlah tipe gadis yang ia sukai. Lalu kedua, Raven juga pernah mengatakan ingin mencari tahu kenapa ia memilih Maura, alih-alih memilih tipe idealnya yang berambut pirang dan bermata biru seperti Rebecca. Aargh, apa karena Raven adalah seorang penulis? Hingga hanya
"Raven, kenapa dia juga dibawa ke sini?!" tuntut Rebecca yang menatap kesal ke arah Maura, serta jemari gadis itu yang digenggam oleh Raven. Rebecca tengah asyik berbaring di ranjang mewah berukuran kingsize menunggu pria itu, dan ternyata malah kejutan yang tak menyenangkan yang ia dapati. Seringai tipis penuh arti terlukis di wajah Raven melihat ekspresi kecewa yang kentara di wajah Rebecca. "Aku membawa Moora, karena kita akan memainkan sebuah permainan yang sangat seru," sahutnya sambil kembali menarik tangan Maura dan berjalan mendekat ke arah ranjang. "Aku tidak mau, Tuan Raven. Lepaskan aku!" Maura pun sontak berusaha melepaskan diri dari cengkraman Raven, menolak untuk menjadi bagian permainan entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu. "Diamlah, Moora!" Raven memerangkap tubuh Maura dalam pelukan erat, hingga gadis itu pun menjadi tak berkutik. "Kamu ingin pergi dari Mansion ini kan? Baik, aku akan ijinkan asalkan kamu mau ikut dalam permainan." Maura pun se
Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias menatap Rav
"Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan
Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai mel
Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah ber
Maura terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu, sebuah euforia kebahagiaan bercampur dengan rasa tidak percaya. Ia ingin sekali menanyakan semuanya. Bagaimana Raven bisa hidup, apa yang sebenarnya terjadi, lalu tubuh siapa yang dimakamkan waktu itu... tapi tidak ada satu pun pertanyaan yang berhasil keluar dari bibirnya. Ia hanya memeluk Raven lebih erat, seolah takut pria itu akan menghilang lagi. Momen itu terasa seperti keabadian. Maura tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Akan ada lebih banyak rahasia yang terungkap, lebih banyak bahaya yang harus mereka hadapi. Tapi untuk saat ini ia hanya ingin menikmati kenyataan bahwa pria yang ia cintai, pria yang selama ini ia kira telah pergi, kini kembali dalam hidupnya. Maka Maura pun tak lagi berkata-kata. Ia diam dalam gendongan hangat Raven, dan semakin mengeratkan pelukannya. Dalam kegelapan yang telah menelan seluruh cahaya ini, Maura pun mempercayakan segalanya h
“Pengkhianat!” Rhexton mendesis tajam, wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Tangannya terkepal erat, sementara tiga pengawal yang masih setia kepadanya segera mengangkat senjata mereka, siap menargetkan ketiga pembelot tersebut. “Turunkan senjata kalian!” Rhexton memerintahkan ketiga pengawal yang berpihak pada Ryland dengan suara bergetar, entah karena kemarahan atau kegelisahan. Namun mereka tidak menggubrisnya. Ketegangan pun memuncak. Suasana kamar yang semula hening kini terasa begitu penuh tekanan. Udara seolah membeku di antara kedua belah pihak, masing-masing mengarahkan senjata mereka tampak tidak ada yang mau mengalah. Maura berdiri di tengah-tengah dengan tubuh yang gemetar hebat. Ia menatap ke arah Rhexton, lalu beralih ke Ryland, yang masih berdiri tanpa bergerak dengan tatapan yang dingin dan penuh kendali. Meski tak berkata sepatah pun, namun hanya dengan kehadirannya saja telah terasa mendominasi seluruh ruangan. “Mau
"Apa yang pernah menjadi milikmu?" tanya Maura bingung. Ryland menatap Maura dalam keheningan yang menegangkan. Kemudian dengan satu gerakan cepat, ia meraih tangan Maura dan menariknya mendekat, untuk memeluk dengan erat. Namun semua sentuhannya itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada bagian perut Maura. Seolah ia sangat menyadari keberadaan dua nyawa kecil yang sedang tumbuh di sana. "Ryland, apa yang kamu~" Maura berusaha untuk melepaskan diri, tapi kekuatannya tak cukup untuk melawan pria itu. Ia terdiam ketika tangan besar Ryland bergerak perlahan menuju ke perutnya, lalu mengusapnya dengan lembut. Sentuhan itu begitu kontras dengan sikap dingin dan tegas Ryland, membuat Maura terkejut dan kehilangan kata-kata. "Ryland..." bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya bergetar antara kebingungan dan emosi yang tak mampu ia jelaskan. Pria itu menunduk, memandangnya dengan lebih intens, sebelum tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Maura. Sentuhannya l
"Rhexton, tunggu!" Maura berseru, suaranya bergetar dengan nada penuh desakan saat melihat suaminya membalikkan badan. Langkah kakinya terdengar tergesa di lantai marmer yang dingin ketika ia mendekat. Cahaya lampu gantung yang mewah memantulkan bayangannya di sekitar ruangan, namun perhatian Maura hanya tertuju pada sosok pria tegap di depannya. Rhexton berhenti melangkah. Bahunya yang lebar terlihat tegang di bawah setelan mahal yang melekat sempurna di tubuhnya. Ia menatap Maura dalam diam dan wajah tetap tanpa ekspresi, begitu tak terbaca hingga membuat dada Maura semakin sesak oleh rasa cemas. Manik kelabu Rhexton tampak menyelidik, seperti menembus ke relung pikirannya yang paling dalam. "Apa yang akan terjadi pada Leona?" tanya Maura, tak mampu lagi menahan rasa penasaran dan ketakutan yang membelenggu pikirannya sejak kejadian tadi. Suaranya terdengar lembut, tetapi jelas memancarkan kecemasan. Ia menggigit bibir bawahnya, bayangan tentang Leona yang diika
Leona berdiri di ambang pintu ruang kerja Rhexton, mengenakan gaun merah tua yang menempel sempurna di tubuhnya, memperlihatkan lekuk yang sengaja ia tonjolkan. Sesuai perintah Raven, malam itu ia membawa sebotol anggur mahal untuk menyajikan minuman kepada Rhexton King. Namun kali ini, bukan sekadar anggur yang ia bawa. Di dalam saku gaunnya, terselip botol kecil obat perangsang yang baru saja ia terima dari tangan Raven. Tugas ini membuat keringat dingin mengalir di tengkuknya, meskipun senyum tenang tetap menghiasi wajahnya. Rhexton duduk di kursi besar di dekat jendela, pandangannya tajam dan fokusmemantau berkas-berkas yang berserakan di mejanya. “Selamat malam, Tuan King,” suara Leona terdengar lembut namun menggoda. Ia menutup pintu dengan satu gerakan anggun dan membawa nampan dengan dua gelas anggur. Rhexton melirik sekilas dengan mata yang penuh kecurigaan. “Malam. Ada keperluan apa?” Leona tersenyum, langkahnya perlahan menuju meja tempat Rhexton duduk. “